Chapter 20 - Chapter 19 - Perubahan

PoV: Olvie

Aku melangkah guntai ke arah mama yang sedang berada di dapur, menggapai belakang punggungnya dan memeluknya erat.

"Sayang, lepas dulu ah!" seru mama.

"Mama hampir aja menjatuhkan telur!"

Reihan menyinyir menirukan suara mama, "Zheyeng, lepaskan, Zheyeng."

Dia baru saja melemparkan bola karet merah yang baru dibelikan papa beberapa hari yang lalu ke dinding, lalu bola itu memantul dan mendarat tepat di wajahnya.

"Tangkapan bagus, Jagoan!" godaku sambil terkekeh.

Reihan tertawa sambil meringis. Aku yakin dia sedang berusaha menutupi rasa malunya. Dia memiliki hanya satu lesung pipi di sebelah kanan yang tampak ketika dia tertawa. Unik, 'kan?

"Taruh bolanya, Rei! Sarapan dulu!" Perintah mama yang sedang menuangkan susu tepat di samping piring omelet yang baru matang.

Reihan langsung melemparkan bolanya sembarangan, lalu menarik kursi meja makan. Tangannya masih saja mengelus hidungnya yang sedikit merah karena ulahnya sendiri. Tidak lama kemudian, papa datang dan ikut sarapan bersama.

"Kok matamu sembab gitu, Vie? Habis nangis?" tanya papa. Rupanya sejak tadi ia memperhatikan wajahku. Sontak mama dan Reihan ikut menatapku, membuatku malu dan merasa tidak nyaman.

"Kamu menangisi si Bobby lagi?" tebak mama.

Papa mengerutkan dahinya bingung, sedangkan Reihan sibuk mengunyah omelet-nya dan tidak peduli. Aku hanya diam dan menunduk.

"Dia baru aja putus dengan Bobby," kata mama menjelaskan.

"Loh, kenapa, Sayang?" Papa menepuk pundakku pelan.

"Kak Bobby jahat, Pa. Kemarin dia... menamparku," jawabku pelan.

Papa sempat membelalakkan matanya. Aku takut papa akan marah besar, tapi ternyata reaksinya tidak seperti yang kupikirkan.

"Kenapa dia sampai menampar? Memang kamu melakukan kesalahan apa?"

"Aku mutusin dia di depan teman-temannya, sepertinya dia marah karena tidak terima," ujarku.

Papa hanya berdecak sambil menggelengkan kepala mendengarnya.

"Papa udah duga dia bukan anak baik-baik. Suruh dia ke sini temui Papa kalau masih berani mengganggumu. Paham?" tegasnya.

Aku mengangguk.

Mumpung semua sedang berkumpul dan kurasa ini waktu yang pas karena sedang membahas masalahku, aku ingin sekalian menceritakan perasaanku yang sudah berpaling pada orang lain, dari Kak Bobby.

"Ng... Pa," panggilku.

Papa menoleh ke arahku sebentar.

"Sebenarnya, aku sudah menyukai pria lain lagi."

Papa yang sedang menyeruput panasnya kopi susu hampir tersedak.

"Secepat itu?" tanya papa tidak percaya.

Melihat senyum mama yang terus mengembang, Papa langsung menyeletuk, "Kamu udah tahu?"

Mama mengangguk.

"Jangan bilang penyebab kalian putus karena cowok lain ini," kata Papa dengan gaya sok menyelidik.

"Bukan begitu, Pa. Kak Bobby itu udah ga menganggap aku lagi. Dia selalu sibuk dengan game dan teman-temannya. Aku capek."

Rasanya aku ingin menangis lagi setiap orang-orang menuduhku penyebab berakhirnya hubungan kami.

"Bobby juga udah kasar sama anak kita, Pa. Untuk apa dipertahankan lagi?"

"Lagian mereka masih sangat muda, perasaan mudah berubah. Mama sih maklum, kita 'kan juga pernah muda, pernah ada di masa-masa seperti kalian," kata mama membelaku.

"Jadi siapa yang udah mencuri hati putri kecil papa ini? Pasti senior kamu di kampus, ya?"

Senyumku mulai merekah, "Papa 'kan udah lihat orangnya."

Papa memutar bola matanya, mengingat-ingat sebentar.

"Oh! Salah satu dari anak yang menjemputmu Sabtu kemarin itu?"

Aku mengangguk membenarkan dengan antusias.

"Wow!" seru Reihan.

Aku merasa sepertinya si Gendut ini sedang mengejekku. Aku memicingkan mata ke arahnya, dia pura-pura tidak melihatnya.

"Yang mana?" tanya papa mengalihkan pandanganku dari Reihan.

"Pasti pria yang sempat mengacak-acak rambutmu itu, ya?" sambung papa.

Aku berusaha mengingatnya sebentar, rupanya papa menebak Kak Thomas.

"Bukan, Sayang, yang satunya lagi," kata mama yang sudah geregetan, membuatku tersipu malu.

"Oh... Yang itu," respon papa.

"Gimana, Pa, Ma?" Aku menatap mereka bergantian, berharap mendapatkan 'lampu hijau' dari mereka.

"Mama sih suka dua-duanya, mereka ganteng dan juga sopan sekali."

"Hm... Jangan lihat hanya dari peampilan luarnya aja, nanti akan berujung sama dengan si Bobby itu," kata papa menasihatiku.

"Iya, Pa, tapi ...."

"Ada apa lagi?" tanya papa heran.

"Kali ini aku yang mengejarnya, aku yang mendekatinya terang-terangan."

Sebenarnya, aku malu untuk mengakuinya, tapi aku ingin jujur. Aku tidak bisa menyembunyikannya, aku juga butuh support dari mereka.

Setiap pasang mata di ruang makan menatapku tajam. Reihan terlebih dulu tertawa, memecah keheningan. Kemudian, Papa mengangkat satu tangannya dan menepuk keningnya pelan dengan telapak tangannya, sedangkan mama ikut menertawaiku.

"Lihat, tuh, persis seperti kamu dulu," celetuk papa ke mama, membuat tawa mama semakin kencang.

"Beneran? Bagi tips-nya, dong, Ma," rengekku dengan nada meledek.

Kami tertawa bersama sambil menghabiskan sarapan, mereka terus saja menggodaku.

"Coba kamu ajak dia main ke sini. Mama mau terawang dia. Eh, mau kenalan sama calon menantu maksudnya."

"Ih, Mama. Nanti aja, kalau dia udah menjadi milikku." Aku tertawa.

* * *

Masih ada waktu satu jam sebelum aku berangkat kuliah. Banyak hal yang terjadi kemarin, rasanya pikiran lelah sekali. Hal buruk sekaligus hal baik terjadi bersamaan.

Mendadak aku harus mengakui semuanya tentang hubunganku dengan mantan pacarku pada Kak Vincent dan Kak Thomas. Untung saja hal yang selama ini kutakutkan tidak terjadi, mereka tidak membenciku dan masih memberiku kesempatan.

Aku terdengar seperti gadis murahan, ya? Mengakui perasaanku pada seorang pria yang baru saja berkenalan, bahkan saat aku masih terikat sebuah hubungan rumit. Tapi inilah perasaanku, tidak bisa ditutupi dan berpura-pura tidak merasakan.

Jatuh cinta itu... membuatku menangis dan tertawa di saat yang bersamaan.

Tanpa sadar aku tersenyum, mengingat Kak Vincent yang berusaha melindungiku dari perlakuan kasar Kak Bobby, juga saat dia mengantarku pulang kemarin. Meskipun, agak sulit mengartikan kata-katanya karena dia tidak mengatakannya dengan jelas.

Aku senang Kak Vincent mencemaskanku. Yah, walaupun mungkin hanya sedikit. Aku tidak sabar ingin bisa terus berada di sampingnya, maksudku, menjadi pacarnya. Kutepuk kedua pipiku keras-keras agar tersadar dari hayalanku. Pipiku pasti merah lagi, nih.

Anda:

Pagi, Kak.

Jangan lupa sarapan, ya.

Hati-hati ke kampusnya. Semangat^^

Tidak sampai semenit, ponselku berbunyi. Kak Vincent cepat sekali langsung balas, pikirku.

Kak Bobby:

Temui aku di parkiran setelah kelas lab komputer atau kau akan menyesal.

Membaca pesan itu seketika aku langsung badmood. Bagaimana tidak, bekas pacarku ini selalu menghubungiku dengan ancamannya setiap hari. Aku sudah muak, kublokir nomornya dari semua kontak dan media sosialku. Lebih baik aku menghindarinya untuk sementara waktu ini.

Aku berangkat kuliah dianter papa, seperti biasa.

"Ingat, ya, bilang papa kalau Bobby masih kasar padamu, Vie!" perintah papa.

Aku tersenyum, "Siap, Pa!"

Aku pamit dan langsung masuk gerbang menuju gedung di mana lab komputer berada, yakni kelas pertama dan satu-satunya aku hari ini. Aku sudah kembali bersemangat lagi.

Ketika aku melewati lapangan basket, suara langkah sepatu yang berlari terdengar tepat di belakangku. Belum sempat aku menoleh, pundakku sudah diraihnya.

"Vira! Berat tahu!" seruku menepis tangannya.

"Kata Ayangku, kamu ribut dengan Kak Bobby ya kemarin?"

"Ga tau, ah. Aku lagi ga mood bahas itu," jawabku.

"Hey! Ini nggak adil tahu. Aku juga ingin dengar langsung darimu, sobatku. Ayolah..." Vira terus saja membujukku.

"Cepat masuk lab komputer sekarang kalau ga mau duduk paling depan! Nanti aja kuceritakan."

Vira mendengus kesal dan mengikutiku bergegas masuk kelas.

Sepanjang kelas, aku terus memperhatikan layar ponsel yang kuletakkan persis di sebelah keyboard komputer. Aku menunggu balasan chat dari Kak Vincent, tapi lampu tanda notifikasi belum juga menyala dari tadi.

Sudah hampir empat jam yang lalu aku mengirimkan pesan itu. Memang sih, Kak Vincent juga ada kuliah pagi hari ini, tapi status terakhir online-nya terus berubah-ubah, menandakan dia aktif dalam chat. Lalu kenapa pesan dariku tidak dibaca-baca?

Perasaanku jadi galau. Jangan-jangan dia ilfeel denganku gara-gara kemarin itu? Jadi, dia sengaja menghindariku? Eh, tapi 'kan kemarin Kak Vincent yang menawarkan diri duluan untuk mengantarku pulang. Argh... Cepatlah kelas ini berakhir! Aku tidak sabar ingin bertemu pangeranku.

Kulihat jam di sudut bawah layar monitor, seharusnya setengah jam lagi berakhir. Aku menggoyang-goyangkan satu kakiku menunggu dengan tidak sabar.

"Kok kamu kayak uring-uringan gitu, Vie?" tanya Vira mengagetkanku.

"Kebelet eek, ya?"

"Eh, iya, Ra, kebelet banget," jawabku.

"Ya udah sana ijin, atuh."

"Kebelet mau ketemu kakak tingkat." Aku tersenyum sangat lebar, lalu Vira mendengus kesal seperti biasa.

"Alamak, Kak Vincent lagi?" tanyanya.

Aku mengangguk mengiyakan.

Sepuluh menit kemudian, kak asisten dosen berkata, "Yang sudah paham boleh langsung matikan komputer masing-masing dan dipersilakan meninggalkan lab, yang belum paham silakan panggil saya."

"Ah, jangan lupa matikan UPS-nya!" sambungnya.

"Yes! Ini yang kutunggu dari tadi."

Aku langsung bergegas mematikan komputer dan memasukkan bukuku ke dalam tas, lalu pamit pada Vira.

"Ra, aku duluan, ya!" Kutepuk pundaknya, kemudian bangkit dari kursi.

"Iya, santai, Vie. Awas nabrak!" serunya.

Dengan setengah berlari, aku keluar kelas. Tiba-tiba saja aku teringat Kak Bobby yang menyuruhku untuk menemuinya usai kelas ini. Ah, biarkan saja. Lagi pula dia tidak akan bisa menghubungiku.

Kulangkahkan kakiku semakin cepat, takut kalau-kalau berpapasan dengan Kak Bobby. Entah sejak kapan salah satu ikatan tali sepatuku terlepas, Aku tidak sengaja menginjaknya dan langsung kehilangan keseimbangan.

Bruk!

Aku jatuh ke depan, tapi tidak langsung tersungkur ke lantai. Aku menabrak seseorang!

Aku bisa merasakan salah satu lengannya melingkar di pinggangku, dia menahan tubuhku agar tidak jatuh. Malu sekali rasanya sampai aku tidak berani mengangkat kepalaku dan membiarkan tubuhku dalam posisi seperti ini. Apa sebaiknya aku pura-pura pingsan saja?

Sial, mana ada dalam sejarah seseorang pingsan setelah tersandung tali sepatunya sendiri!

Pipiku menempel pada dadanya yang bidang. Suara detak jantungnya pelan terdengar jelas di telingaku. Aku mencium aroma yang tidak asing lagi bagiku. Wangi parfum, bukan ding, ini wangi Molto yang membuatku nyaman dan reflek memejamkan mata.

Beberapa detik kemudian, terdengar suara cekikikan persis di sebelahku. Suara pria yang sangat familiar sekali. Kubuka mata dan menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, aku melihat Kak Thomas sedang tertawa cekikikan.

"Sampai kapan kamu mau seperti ini, Olvie?" tanya pria yang kutabrak tadi, masih dalam posisi yang sama.

Aku mendongak perlahan.

Deg!

"Kak Vincent?"

Tiba-tiba suhu panas dalam tubuhku mengalir naik dari ujung kaki dan menumpuk semua di kepalaku yang membuat wajahku terasa panas. Jantungku berdebar tidak karuan.

Buru-buru aku berdiri dan segera mengambil tasku yang berada di lantai. Tawa Kak Thomas kemudian meledak. Aku malu sekali, tapi tidak bisa dipungkiri aku juga senang saat tahu orang itu adalah Kak Vincent.

"Kalau mau menangkap kodok itu di sawah, Vie! Kok di sini, sih?" ledek Kak Thomas. Dia tidak berhenti menertawaiku.

"Kau lihat gayanya tadi 'kan, Cent? Persis kayak ... Aw!"

Aku mencubit lengannya keras-keras. Kak Thomas meringis sebentar, lalu melanjutkan tawanya.

"Ihh, udah, Kak. Diem!" Kutaruh jari telunjukku di depan bibirku mengisyaratkannya agar diam.

Kak Vincent tiba-tiba berjongkok di hadapanku dengan satu lututnya yang menyentuh lantai sebagai penyangga beban tubuhnya. Kemudian, dia mengikatkan tali sepatuku yang terlepas.

Aku mengerjapkan kedua mataku berulang kali. Mulutku hampir saja menganga dibuatnya. Aku sadar pasti wajahku merah saat ini. Ini bagaikan salah satu adegan dalam drama korea yang pernah kutonton bersama Vira.

Aku terdiam dan hanya bisa mematung sampai Kak Vincent selesai mengikatnya dan kembali berdiri. Dia menatapku, lalu maju satu langkah ke arahku.

"Kamu demam? Wajahmu memerah."

Aku menunduk, mencoba menghindar dari tatapannya. Sebentar lagi aku bisa meleleh, pikirku.

"Eng-nggak, Kak."

Sial, kenapa tiba-tiba aku terbata-bata begini?

"Ka-kalian ... kenapa di sini?"

"Kami mau ke ruang logistik, ada yang harus di fotokopi," jawab Kak Vincent dengan lembut sambi menunjuk sejumlah kertas di tangan Kak Thomas.

"Oh... Bukannya kalian udah selesai kelas?" tanyaku.

"Iya, nanti ada kuliah pengganti. Ini bahan materinya, Vincent belum punya karena terakhir kelasnya dia ngga masuk," kata Kak Thomas.

"Kau mau ke mana tadi buru-buru amat?" lanjutnya.

"Hm... Tadinya, sih, mau ke kantin, Kak."

"Tadinya?" tanya Kak Vincent.

"Iya, tapi ga jadi. Yang kucari udah ketemu." Aku tersenyum malu-malu.

Mereka smepat saling melirik bingung sebelum kembali menatapku.

"Maksudmu kodoknya udah ketemu?" Lagi-lagi Kak thomas meledekku.

"Ih, Kak Vincent 'kan bukan kodok!" ketusku.

Ah, aku kelepasan lagi.

"Kok aku jadi kodok?" Kak Vincent benar-benar bingung.

Aku suka melihatnya yang polos seperti ini, jantungku semakin berdebar hanya dengan memandangnya saja, sedekat ini.

Kak Thomas yang paling tahu apa yang kumaksud bukannya menjelaskan malah tertawa semakin kencang.

"Kak Thomas pilih diem atau mau kucubit lagi?" ancamku.

Dia langsung melindungi kedua lengannya dan mundur selangkah, "Oke, Fine."

Aku menyeringai bangga saat Kak Thomas akhirnya memilih untuk diam, dia mengerucutkan bibirnya karena kesal.

"Masih ada kelas?" tanya Kak Vincent.

"Enggak, Kak. Udah selesai."

"Mau pulang?"

Aku sedikit menundukkan kepala dan menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri bergantian. "Gak mau."

"Kenapa?"

"Ng... Masih kangen sama Kakak." Aku malu sekali saat mengatakannya.

"Wuekkss!" Kak Thomas menirukan gaya orang seperti mau muntah, meledekku.

Kuangkat tangan kananku dengan posisi siap mencubit kehadapan Kak Thomas sekadar untuk mengancamnya.

"Oops," katanya sambil menutup mulutnya dengan satu tangan.

Aku sempat melihat garis senyuman di wajah Kak Vincent sebelum dia menariknya kembali.

"Tunggu di kantin aja, setelah fotokopi kami ke sana untuk mengerjakan tugas," kata Kak Vincent.

Aku tidak salah dengar, 'kan? Aaaaa.. Rasanya aku ingin teriak dan melompat-lompat kegirangan! Yang tadinya sempat gelisah tiba-tiba terasa plong! Secercah saja harapan bagiku sudah seperti seluas Teluk Alaska!

* * *

Terima kasih sudah membaca, adik-adik! :P

Semoga kalian suka yaa~~

Jangan lupa like/bintangnya :D

Kritik dan saran yang membangun aku tunggu :3