Pov: Vincent
Tadi aku tidak salah dengar, bukan? Pria itu mengatakan bahwa dia pacarnya Olvie, gadis yang sedang menarik tanganku untuk mengikutinya ini.
Sedangkan tadi aku mengaku-ngaku sebagai pacarnya di depan pacarnya yang sesungguhnya? Gila. Aku pasti sudah tidak waras. Ini bukan seperti diriku.
Akan lebih baik jika pria itu benar-benar hanya seorang bad boy kampus yang sedang menggoda seorang gadis cantik seperti dugaanku, tentu aku akan terlihat seperti pahlawan di matanya. Maksudku, Olvie memang cukup cantik diantara gadis-gadis lain di fakultas ekonomi ini.
Kebetulan aku melihat pria itu sedang memperlakukan Olvie dengan kasar ketika aku baru keluar dari toilet. Tanpa pikir panjang aku bergegas ke arah mereka. Tapi sepertinya aku malah membuat situasi menjadi lebih rumit. Arrgh...
Kami berhenti di ujung koridor tepat di belakang perpustakaan kampus. Tempat ini terhalang oleh dua pohon besar, jadi jarang ada orang berlalu lalang di sini.
Olvie berbalik menghadapku dengan kepala yang ditundukkan, dia tidak berani menatapku. Satu tangannya masih menggenggam tanganku.
"Kak...," ucapnya pelan. Suaranya tertahan, terdengar seperti hampir menangis. Aku yakin dia sedang berusaha menahannya.
Aku menunggunya melanjutkan apa yang hendak dia katakan, tapi tidak ada kata-kata lagi yang terucap darinya. Aku bisa melihat dia sedang menggigit bibir bawahnya, lalu air matanya jatuh melalui ujung kedua matanya.
Aku menghela nafas sekali.
"Maaf, aku tidak tahu kalau kamu sudah punya-"
"Sudah putus... Aku dan kak Bobby-maksudku cowok tadi, kami sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi," kata Olvie memotong ucapanku.
Dia mengangkat kepalanya dan genggamannya semakin erat saat dia mengatakannya. Aku menoleh ke arah tangan kiriku, lalu dia melepaskan genggamannya.
"Oh, begitu. Maaf aku bertindak sembarangan tadi. Aku hanya ... " Kata-kataku terhenti begitu saja.
Olvie menatapku dengan matanya yang dipenuhi oleh air mata, menungguku melanjutkan. Tapi tidak mungkin kukatakan kalau aku hanya khawatir padanya saat kulihat pria itu akan menamparnya.
"Bukan apa-apa." Aku menggelengkan kepala.
"Maaf Kak, sebenarnya aku mau menceritakan tentang hubunganku ini pada Kak Vincent dan kak Thomas. Tapi aku masih butuh waktu untuk lebih dekat dengan kalian."
"Ya, aku bisa mengerti," jawabku lirih.
"Kak Vincent boleh tanyakan apapun, aku akan menjawabnya dengan jujur," tawarnya.
Aku berpikir sejenak. "Kapan kamu putus dengannya?" tanyaku.
Olvie diam sebentar.
"Ng ... dua hari yang lalu." Dia kembali menundukkan kepalanya.
Aku terkejut. Dua hari yang lalu? Yang benar saja. Berarti selama ini dia punya pacar tapi melirik pria lain? Bahkan terang-terangan bilang pada Thomas kalau dia menyukaiku.
Ah, saat pekan raya Sabtu lalu juga. Dia terus menempel dan dekat pada kami disaat statusnya masih berpacaran dengan pria kasar itu?
Aku mundur satu langkah darinya, pikiranku campur aduk. Aku teringat ucapan pria tadi yang mengatai Olvie jalang tukang selingkuh.
Aku ingin kau coba buka hatimu padanya, Cent. Aku akan senang kalau kau bisa berpacaran dengannya. Dia menyukaimu.
Jujur saja, hari itu aku sempat memikirkan perkataan Thomas. Aku mencoba untuk mulai membuka hatiku untuk gadis ini.
Tapi disaat aku ingin mengenalnya lebih jauh, aku sudah disuguhkan fakta bahwa dia hanya mempermainkanku. Dia sudah punya pacar. Atau mungkin akulah alasan mereka putus? Karena Olvie berpaling padaku?
Olvie menatapku kembali, dia seperti sedang mengamatiku karena aku tidak bergeming sama sekali.
"Kak Vincent marah, ya?" ucapnya pelan.
Aku Tidak bisa berkata-kata lagi, hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaannya. Aku tidak marah, saat ini aku hanya tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Mungkinkah aku kecewa?
Olvie maju selangkah mendekatiku, lalu kedua tangannya meraih tangan kananku dan menggenggamnya. Aku dapat merasakan tanganku sedikit gemetar.
Apa aku gugup? Tapi kenapa aku harus gugup? Dia hanya memegang tanganku, sama seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya.
"Aku ingin Kak Vincent tahu satu hal," ucapnya sambil menatap tajam mataku. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Kak Vincent tahu aku menyukaimu, kan? Perasaanku ini tulus, Kak. Aku tidak pernah berniat untuk mempermainkan Kak Vincent ataupun Kak Thomas."
Deg!
Kali ini jantungku berdebar kencang saat mendengarnya, saat dia mengeratkan genggamannya, juga saat kulihat air matanya yang kembali mengalir.
Ini bukan debaran yang biasa kurasakan sebelumnya. Dadaku tidak sakit, tidak sesak, hanya berdebar lebih kencang dan lebih cepat. Aku rasa Olvie juga bisa mendengarnya jika dia melangkah lebih mendekat lagi.
Aneh, sebenarnya ada apa dengan diriku?
"Aku ... hiks" Dia mulai terisak.
"Aku senang dulu bisa selalu melihat Kak Vincent meski hanya dari kejauhan. Aku senang sekarang bisa menyapa, mengobrol bahkan jalan dengan Kakak. Dan Kak Vincent tahu apa lagi yang membuatku sangat senang?"
Aku menggeleng pelan, menatap matanya yang sudah dibanjiri air mata.
"Waktu tadi Kak Vincent berusaha melindungiku dari perlakuan Kak Bobby, mantan pacarku. Aku sangat senang Kak Vincent datang, tidak pernah terpikir olehku. Makasih, ya, Kak." Kepalanya kembali menunduk, dia menangis terisak.
Dia tidak melepaskan genggamannya dari tanganku. Aku hanya menatapnya tanpa berbuat apa-apa. Tapi ada sesuatu yang kurasakan di dalam dadaku.
Aku tidak mengerti, perasaan ini semakin aneh. Rasanya ingin sekali kupeluk gadis di depanku ini. Rasanya aku ingin menghentikannya agar dia tidak menangis lagi. Apa perasaan ini normal?
"Kak, aku benar-benar ... sangat menyukaimu," gumamnya masih sambil terisak.
Tentu aku bisa mendengarnya karena ini tempat yang sepi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, ini pertama kalinya aku berurusan dengan perempuan, dalam situasi seperti ini pula.
Tiba-tiba ponselku berdering. Olvie lalu melepaskan tanganku dengan kepala yang masih tertunduk ke lantai. Kuraih ponselku dari saku celana dan melihat nama Thomas di layar panggilan.
"Ya, Tom?"
"Kau nyasar ke toiletnya? Lama sekali, Cent," kata Thomas di ujung telepon.
"Hm... Maaf, ada masalah sedikit, sebentar lagi aku ke sana," jawabku.
"Masalah ap-"
Belum sempat Thomas menanyakan, kuakhiri panggilan telepon darinya. Maaf ya, Tom. Aku tidak sedang dalam situasi yang baik untuk menerima panggilan telepon.
Aku menghela nafas lagi, lalu menatap Olvie yang masih terdiam.
"Lalu menurutmu aku harus bagaimana? Diam saja saat kutahu ternyata kamu secara tidak langsung sudah berbohong padaku?" Entah kenapa aku malah berkata seperti itu, tidak menghiburnya sama sekali.
"Enggak, Kak. Kubilang perasaanku pada Kak Vincent benar-benar tulus. Akan kuselesaikan sendiri masalahku dengan Kak Bobby. Kami sudah berakhir, sudah lama hubungan kami menggantung. Tolong percaya padaku," mohonnya.
Kualihkan pandanganku, mencoba menjernihkan pikiranku. Apa yang harus kukatakan?
"Kak, aku tidak mau kembali ke waktu saat aku hanya dapat memandangmu dari jauh saja. Tolong tetap di sisiku, Kak. Aku takut ... "
"Takut?" tanyaku.
"Iya, aku takut Kak Vincent akan membenciku."
Apa ini? Kenapa aku harus membenci seseorang? Selama hidupku, hanya ada satu orang yang sangat kubenci, diriku sendiri.
Dia mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku yang selalu merasa takut orang yang kusayangi membenciku dan pergi meninggalkanku.
Ah, jadi seperti ini rasanya berada di posisi sebaliknya, seperti Thomas atau bi Yati. Seharusnya aku sangat paham perasaan Olvie saat ini.
"Baiklah. Aku akan mempercayaimu. Tapi maaf, aku tidak tahu apa aku masih bisa bersikap biasa padamu."
"Tidak apa-apa, Kak. Kak Vincent sudah percaya padaku saja aku sangat berterimakasih. Aku akan berusaha membuat Kak Vincent jatuh cinta padaku. Lihat saja." Kali ini dia mengembangkan senyumnya.
Aku mendengus sambil tertawa kecil, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dia ingin membuatku jatuh cinta padanya? Bagaimana caranya?
"Wah, aku merinding," ujarku.
Olvie tertawa sambil menyeka air mata dari pipinya.
"Kak Thomas sudah menunggu ya, Kak? Apa aku masih boleh ikut bergabung?" tanyanya dengan suara yang lebih ceria.
Aku mengangguk. "Ya, terserah. Lagipula tadi aku yang mengajakmu."
Aku langsung berbalik dan segera menuju kantin sebelum Thomas pergi mencariku. Tapi baru beberapa detik saja langkahku kembali terhenti.
Tiba-tiba saja punggungku terasa hangat. Olvie memelukku dari belakang, membuatku langsung menghentikan langkah kakiku karena terkejut.
Aku menoleh ke arahnya. "Se-sedang apa kamu?"
Gadis ini tidak menjawab. Beberapa detik kemudian dia melepaskan pelukannya, seperti baru tersadar. Aku langsung berpaling padanya, menatapnya dengan ekspresi wajahku yang kebingungan.
"Eh, ng ... itu ... maaf, Kak. Aku tidak sadar tanganku bergerak sendiri." Olvie pun tampak kebingungan memberi alasan.
"Hah?" Aku menggaruk belakang kepalaku.
"Eh, bukan. Maksudku ... aku tidak bisa menahannya lagi. Maaf, Kak. Jujur saja, aku ingin memeluk Kak Vincent dari tadi."
Dia menunduk karena malu. Kulitnya yang putih membuat rona merah di wajahnya terlihat sangat jelas.
Aku menelan ludah, spontan reflek memegang dadaku yang kembali berdebar kencang. Aku tidak suka dengan perasaan ini, sangat tidak nyaman bagiku.
"Kenapa, Kak? Dada Kak Vincent sakit, ya?" tanyanya sambil mendekat padaku.
Aku menggeleng dan melangkah mundur. "Jangan lakukan lagi."
Segera kuberbalik dan meninggalkannya sambil bergumam, "Dasar cewek bar-bar."
Tapi ... kenapa aku tersenyum? Debaran jantungku belum mereda. Sesekali aku menengok ke belakang, melihat Olvie yang mengikuti langkahku.
Ketika aku menoleh ke belakang sekali lagi, aku melihat seseorang memandang ke arah kami. Garis senyum tipis nampak di wajahnya, sedangkan salah satu tangannya mengangkat ponsel.
Sedang apa Fino sendirian di sana? Mungkin sedang video call-kah? Tapi kok di tempat seperti ini?
Aku tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke kantin, menerobos kumpulan anak-anak basket yang sedang beristirahat.
"Nah, baru saja aku mau menyusulmu," sapa Thomas begitu kami tiba di meja kantin tempat dia berada.
Aku langsung duduk di sebelah Thomas, disusul Olvie duduk di depan kami.
"Pantas saja lama, masalahmu tadi itu menjemput Olvie dulu, ya?" Seperti biasa, Thomas menggoda kami.
Aku tidak merespon, hanya diam melihat daftar menu di tanganku, padahal aku sudah bosan melihat daftar ini setiap hari. Begitu pun dengan Olvie, dia mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan memainkannya.
"Kamu makan apa, Tom? Sudah pesan?" Kucoba memecahkan keheningan yang ada.
"Belum. Enaknya makan apa ya?" Thomas balik bertanya. "Vie, kau mau makan apa?'
"Ng ... kayaknya makan Indomie kuah kari ayam pakai telur dan potongan cabe rawit enak nih, Kak," jawab Olvie sambil cengengesan.
Aku meliriknya sebentar. Dia benar-benar bersikap biasa saja. Rupanya hanya aku yang merasa canggung di sini.
"Boleh juga. Pas sekali cuacanya mendung begini. Aku mau pesan double!" seru Thomas. "Kau bagaimana?"
"...."
"Cent?" Thomas menepuk bahuku. Seketika aku tersdar dari lamunan.
"Aku baru saja bertanya padamu, kau bagaimana?" tegas Thomas.
"Bagaimana apanya?" tanyaku bingung. Aku tidak sadar ternyata tadi Thomas berbicara denganku.
"Kau sedang memikirkan apa?"
Aku menggeleng. "Tidak, hanya sedang tidak fokus."
"Aku dan Olvie akan pesan Indomie kuah. Kau mau juga atau ingin makan yang lain?"
"Oh... Oke, aku ikut saja."
"Double?"
"Single, tanpa cabai," jawabku.
Kemudian Thomas berdiri hendak meninggalkan aku dan Olvie di sini.
"Mau kemana, Tom?" Aku yang sedikit panik menahan tangannya.
"Ya pesan Indomie, lah." Dia menatapku seraya mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi heran.
Ah, bodohnya aku. Hanya karena aku merasa tidak nyaman jika cuma berdua dengan Olvie, aku menanyakan hal konyol seperti itu. Hahh..
Baru saja aku mau menawarkan diri untuk menggantikan Thomas memesan makanan, Olvie lebih dulu berdiri.
"Biar aku saja, Kak. Kalian tunggu saja."
Aku lega tidak jadi ditinggal berdua dengannya. Sepertinya Olvie peka padaku atau mungkin bisa saja dia juga merasakan hal yang sama denganku.
Sambil menunggu, aku terus mengingat kejadian tadi. Kata-kata Olvie terngiang di kepalaku.
Aku akan berusaha membuat Kak Vincent jatuh cinta padaku. Lihat saja.
Tanpa sadar aku tersenyum. Aku juga teringat bagaimana mendadak dia memeluk punggungku, lalu kebingungan sendiri memberi alasan. Kalau dipikir-pikir dia lucu juga.
Loh? Lucu apanya? Kenapa juga aku jadi senyum-senyum sendiri begini mengingatnya. Arghh... Kuacak-acak rambutku dengan kedua tangan, berusaha menyingkirkan ingatan itu dari otakku.
"Ada apa, Cent? Wajahmu agak merah, kau demam?" tanya Thomas tiba-tiba, menyadarkanku bahwa aku sedang berada di kantin.
"Benarkah?" tanyaku memastikan. Kupegang kedua pipiku dengan kedua tangan.
Thomas meletakkan satu tangannya di keningku, lalu tangan yang satunya lagi diletakkan di keningnya sendiri, kemudian diturunkan kembali.
"Badanmu tidak panas, udara juga tidak panas. Kenapa wajahmu memerah? Kau sakit? Sesak?" Sepertinya Thomas mulai khawatir, sedikit berlebihan.
Aku diam sebentar, lalu menggelengkan kepala pelan.
"Terus?"
"A-aku juga tidak tahu." Kualihkan pandanganku darinya.
Aku menghela nafas, mencoba fokus dan tetap tenang sampai Olvie datang kembali dari memesan makanan.
Baru saja beberapa detik usahaku, orangnya sudah muncul tepat di hadapanku. Dia tersenyum dan kembali duduk. Sepertinya aku tak mampu menatapnya.
Kumainkan ponselku, hanya scroll-scroll beranda instagram tidak jelas. Setidaknya aku bisa mengalihkan pikiranku sementara.
Para senior dari UKM musik baru saja naik ke panggung yang berada di tengah kantin. Sepertinya mereka baru kembali dari makan siang. Mereka yang memainkan alat musik mulai duduk di posisinya masing-masing, sementara sang vokalis membisikkan judul lagu yang hendak dia nyanyikan kepada rekan-rekan di belakangnya.
Jrengg...
Aku bisa membuatmu ... cinta kepadaku
Meskipun kau tak pernah mencintaiku
Biar saja waktu yang 'kan menjawab
Semua padamu
Aku hampir saja tersedak ludahku sendiri saat mendengar sang vokalis menyanyikan langsung baris pertama di bagian reff lagu itu. Kulihat Olvie sedang menahan tawa, garis bibirnya membentuk sebuah senyuman di wajahnya.
* * * *
Semoga kalian suka ya^^
Silahkan tinggalkan jejak dengan vote/like & komen.. kritik dan saran welcome~