Pov: Thomas
Aku merasa aura di sini agak berbeda dari biasanya. Kuperhatikan sejak Vincent dan Olvie datang tadi, mereka tidak terlihat seperti orang yang saling mengenal.
Vincent dan Olvie seperti sibuk masing-masing, seperti main ponsel atau hanya melihat-lihat buku menu yang tidak menarik itu. Bukankah biasanya gadis ini akan berulah hanya untuk menarik perhatian pada sahabatku ini?
Ah, benar juga. Bahkan aku belum mendengar mereka saling berbicara. Terutama Vincent, dia tidak merespon obrolan kami.
Kami makan dengan tenang. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling bersentuhan dengan mangkok. Sesekali terdengar suara seruputan mie dari mulutku. Kok tidak ada bahasan, ya? Sepertinya aku harus membuka obrolan.
"Ada sesuatu terjadi diantara kalian berdua yang tidak kuketahui?" tanyaku memecah keheningan.
Mereka kompak menoleh ke arahku. Dari cara mereka menatap, aku bisa tahu kalau aku benar, pasti ada sesuatu. Tidak ada satupun dari mereka yang menjawabku.
"Aku terlihat seperti orang bodoh di sini. Kalian tidak saling bicara. Kalian tahu kan aku tipe orang yang berisik? Situasi ini mencekam bagiku." Dan cuma aku yang tertawa, mereka hanya saling menatap lalu melanjutkan makan.
"Kalian berdua habis bertengkar ya?" Kucoba mengorek informasi.
Vincent tersenyum tipis. Kulihat Olvie seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dikatakan. Ada apa sih sebenarnya? Aku jadi penasaran sekali.
"Hey... Apa aku invisible? Kalian nyuekin aku," kataku yang mulai kesal.
"Biarkan aku makan dengan tenang," ucap Vincent.
Haahh.. Baiklah, akan kusimpan baik-baik rasa ingin tahuku ini sampai mereka selesai makan.
Kutopang daguku dengan tangan kiri yang kusangga di atas meja, sementara tangan kananku memainkan kelima jemari di atas meja sehingga menimbulkan suara, persis seperti posisi seseorang ketika sedang bosan menunggu.
Pandanganku tak lepas dari mereka yang sudah selesai makan sejak lebih dari lima menit yang lalu. Aku sengaja menunjukkan raut wajah sebal karena mereka belum juga bicara.
"Kalian habis ciuman ya?" Aku asal menebak saja.
Vincent yang sedang minum tiba-tiba tersedak, dia batuk-batuk. Kutepuk punggungnya beberapa kali sambil bertanya, "kok kaget begitu?"
Lalu aku menatap Olvie, aku mau menyelidiki raut wajahnya, tapi dia langsung berpaling menghindar. Kuputar bola mataku dan berkata, "beneran habis kisseu?"
"Tidak," ujar Vincent dan Olvie kompak.
Aku tertawa keras. Lihat mereka, dua-duanya panik begitu. Vincent bahkan melotot padaku.
"Terus apa yang terjadi?" tanyaku sekali lagi.
"Ng... Itu, Kak. Ada yang ingin aku sampaikan." Akhirnya Olvie mulai berbicara.
"Yaa, memang itu yang kutunggu. Langsung saja," kataku yang sudah tidak sabar.
Apa-apaan lagi ini. Mereka berdua saling melirik satu sama lain seolah saling melempar siapa yang akan bicara duluan.
Aku geli sendiri melihatnya, sejak kapan mereka sedekat ini? Sampai-sampai ada sesuatu yang bisa tidak kuketahui diantara mereka, secara aku kan makcomblang mereka. Haha
"Jadi Kak ... tadi aku tidak sengaja, ng.. maksudku tanpa sadar, aku memeluk kak Vincent dari belakang." Olvie terlihat malu-malu dan bibir mungilnya langsung mengembangkan sebuah senyuman.
Vincent yang mendengarnya langsung kaget dan spontan mengelak. "Bukan. Bukan itu yang seharusnya dia sampaikan."
Kemudian dia menatap tajam Olvie. Wajahnya kembali merah. Oh, rupanya dia sedang memikirkan itu ya tadi. Aku terkekeh pelan.
Aku sedikit terkejut mendengarnya. Wah... Cewek ini agresif sekali, ya, batinku. Kemudian aku kembali tertawa. Vincent memberikan kode pada Olvie, tapi aku tidak mengerti.
"Lalu apa yang terjadi setelahnya?" Aku bersemangat sekali menggoda mereka.
Vincent menghela nafas, seperti ada yang sedang mengusik pikirannya.
"Oke, mau aku atau kamu yang bilang, Vie?" Sorot matanya tampak serius.
Aku membetulkan posisi dudukku dan siap mendengarkan. Sepertinya aku salah, mereka berdua tampak sedang tidak ingin bercanda.
"Aku saja, Kak," ucap Olvie sembari menunduk. Garis senyumnya menghilang.
Aku bingung. Kulirik Vincent dan bertanya padanya apa yang terjadi melalui gerak bibirku tanpa suara. Dia mengabaikanku dan hanya menatap Olvie, menunggunya berbicara.
"Hm... Sebenarnya ... aku baru saja putus dari pacarku dua hari yang lalu, Kak."
Hah? Aku diam memastikan kalau aku tidak salah dengar.
"Kau sudah punya pacar?" tanyaku terperanjat.
"Sekarang tidak, Kak." Olvie menekankan statusnya saat ini.
Aku mendengus. Selama ini kupikir dia tidak mempunyai pacar. Bagaimana aku tidak berpikir begitu, dia sendiri yang bilang bahwa dia ingin dekat dengan Vincent dan aku setuju untuk membantunya.
"Kenapa tidak bilang dari awal?" desakku.
"Dia hanya mempermainkan kita," ketus Vincent tanpa menoleh.
"Aku sudah katakan semua yang ingin kukatakan pada Kak Vincent tadi. Aku benar-benar minta maaf, Kak. Tapi aku tidak pernah main-main dengan perasaanku. Aku ... sudah lama menyukai Kak Vincent," jelas Olvie.
Aku tertawa kesal. "Yang benar saja, kalau begitu suatu saat nanti perasaanmu juga bisa berpaling dari Vincent, kan? Seperti yang kau lakukan pada pacarmu sekarang."
"Aku selalu serius dengan perasaanku. Kak Bobby sendiri yang membuatku seperti ini!"
Lalu Olvie menceritakan kisahnya dengan kekasihnya yang dia bilang baru saja dia akhiri itu. Tentang bagaimana sikap pacarnya yang berubah kasar, tentang dia yang seperti tidak diangggap lagi, hingga yang baru saja terjadi sebelum dia bersama Vincent tiba di sini.
Kuperhatikan Vincent hanya diam saja mendengarnya. Sedangkan aku tentu saja sangat kesal. Kesal dengan Olvie sendiri yang ternyata tidak jujur selama ini, juga kesal pada pacarnya yang tidak punya otak itu.
"Hubunganku dengan kak Bobby sudah berakhir, begitupun dengan perasaanku. Di hatiku hanya ada Kak Vincent seorang sejak beberapa bulan ini. Dan aku serius ingin lebih mengenal dan dekat dengan Kak Vincent," kata Olvie menegaskan.
"Hei, kau baru saja putus dua hari yang lalu. Kau pikir si Bobby itu sudah tenang? Seperti yang kau bilang tadi, dia kasar dan tidak menerima keputusanmu, kan? Bagaimana kau yakin kejadian tadi tidak akan terulang lagi?" Aku menatapnya dengan serius.
Olvie hanya menunduk, sepertinya dia tidak bisa menjawabnya. Aku berdecak kesal. Beberapa detik kemudian Olvie mulai menangis. Ck! Dasar, jurus andalan setiap wanita.
"Sudahlah." Vincent yang dari tadi diam akhirnya bicara.
Dia bangkit dari tempat duduknya dan hendak pergi. Tapi Olvie segera menahan tangannya.
"Aku mohon, Kak. Kasih aku kesempatan. Kakak bilang tadi akan percaya padaku. Aku janji tidak akan mengecewakanmu. Aku akan buktikan kalau aku serius, Kak," kata Olvie dengan tatapan memohon. Air matanya terus mengalir di pipinya.
"Ya, aku sudah mendengarnya tiga kali. Yang kubutuhkan hanya bukti, bukan sekedar ucapan atau janji manismu," jawabnya dingin.
Vincent melepaskan tangannya dari Olvie, lalu berpaling kembali. Baru saja dia akan melangkahkan kakinya yang kedua, Olvie menahannya lagi.
"Ada apa lagi?" Nada bicaranya terdengar tidak bersemangat.
"Masih ada yang mau kukatakan. Jangan pergi, Kak. Please..."
Vincent menghela nafas panjang.
"Memang kamu pikir aku mau kemana? Aku hanya mau bayar makanan sebentar." Lalu Vincent menunjuk tasnya yang dia tinggalkan di sampingku.
Aku sudah tahu Vincent pergi untuk membayar pesanan kami. Rasanya aku ingin tertawa, tapi aku sadar ini bukan waktu yang tepat. Olvie segera melepaskan tangannya dan membiarkan Vincent pergi. Kulihat Vincent sempat tersenyum saat dia memalingkan wajahnya.
Tapi sedetik kemudian senyumnya memudar dan langkahnya terhenti. Dia seperti terkejut menatap tajam ke arah depan. Aku dan Olvie reflek mengikuti pandangannya.
"Ada apa, Cent?" tanyaku.
Dia menggeleng. "Tidak apa-apa." Lalu kembali berjalan menuju ke kasir.
Tentu saja Olvie tersipu malu. Wajahnya memerah, meskipun hidungnya sudah merah dari tadi karena menangis. Haha.
Kalau dipikir-pikir, aku kasihan dengan Olvie. Pasti lelah sekali punya hubungan seperti itu. Aku tidak bisa marah dengannya, tapi aku juga harus memikirkan Vincent. Aku tidak tahu seberapa besar dia kecewa. Meskipun terlihat cuek, aku yakin dia peduli. Bahkan aku cukup kaget saat tadi Olvie bilang kalau Vincent akan mempercayainya.
"Hei, apa kau tidak malu? Sudah dua kali aku melihatmu menangis," godaku.
Olvie melirik ke arahku, menarik ingus dan menyeka air matanya.
"Berarti Kak Thomas seperti bawang merah buatku."
"Kok bawang merah?" tanyaku bingung.
"Iya, kalau dekat Kak Thomas bawaannya jadi ingin menangis." Olvie tertawa kecil.
"Wah, parah." Aku berdecak.
"Lalu, bagaimana cara kau membuktikannya pada Vincent? Aku tidak bisa bantu lagi, lho," lanjutku kembali membahas masalah tadi.
Olvie terdiam, terlihat dia sedang berpikir.
"Kak, tolong bantu aku lagi. Cuma Kak Thomas yang bisa kuandalkan. Aku terlanjur bilang kalau aku akan membuat Kak Vincent jatuh cinta padaku. Ya, Kak?" Tiba-tiba saja Olvie memegang tanganku sambil memohon.
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku jadi merasa salting begini. Bagaimana tidak, mendadak dia menggenggam tanganku. Tanganku yang satu lagi menggaruk belakang kepalaku, aku sungguh tidak bisa menolak permintaannya. Apa yang sebaiknya kukatakan?
"Tapi ... ini kan masalahmu. Salah kau sendiri tidak bilang dari awal. Kalau kau jujur padaku pasti akan kubantu." Aku berusaha menyalahkannya.
"Iya, Kak. Aku tahu ini memang sepenuhnya salahku. Tapi Kak Thomas kan sudah ikut membantuku mengenalkan kak Vincent, berkat Kak Thomas aku bisa makan siang bersama seperti ini, bahkan jalan bareng. Secara tidak langsung Kak Thomas juga terlibat. Ayolah, Kak, bantu aku, ya, ya?" rengeknya.
Wajahnya ditekuk-tekuk agar aku merasa iba padanya.
Haahh.. Aku merasa terjebak. Cewek ini pintar sekali bicaranya. Seharusnya dia bisa mengatasinya sendiri. Kenapa malah seolah-olah aku jadi ikut bertanggungjawab?
"Oke. Tapi jangan berharap banyak dariku, ya," jawabku.
Olvie mengangguk dan tersenyum senang. "Terimakasih, Kak. Memang Kak Thomas yang bisa kuandalkan."
Kemudian Vincent telah kembali dari kasir. Dia duduk di depanku, di sebelah Olvie. Aku heran, padahal tadi dia duduk di sebelahku.
"Mau balik ke kelas?" tanya Vincent tidak lama kemudian.
"Masih ada setengah jam kan, Kak?" jawab Olvie sambil melihat jam di ponselnya.
Vincent menaikkan lengan kemeja kirinya, melihat jam di tangannya, lalu menoleh ke belakang.
"Kenapa?" Aku merasa ada yang aneh dengan gerak-geriknya.
"Seperti ada yang mengawasi. Tapi mungkin hanya perasaanku saja." Vincent tersenyum.
"Kak, tidak marah padaku, kan?" tanya Olvie sambil menyubit lengan baju Vincent dan menggoyangkannya. Dia memasang wajah melas.
"Sok imut," ketusku begitu saja, membuat Olvie melotot cemberut padaku.
Aku yakin sekali kalau dia di sebelahku pasti dia sudah mencubit keras lenganku. Haha.
"Kak? Kok tidak dijawab? Marah, yaa?" Kali ini Olvie memegang lengan Vincent dengan tangan kirinya.
Kulihat Vincent menatap tangan Olvie beberapa saat, lalu menghela nafas.
"Iya, iya.. Aku tidak marah."
Olvie tersaenyum ke arahku. Lihat, dia menunjukkan betapa senangnya dia. Aku hanya berdecak sembari menggelengkan kepala pelan. Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja menangis. Dasar.
"Terimakasih, Kak. Aku janji tidak akan menyembunyikan apapun lagi dari kalian," ujar Olvie.
Vincent mengangguk. "Selesai kelas nanti tunggu kami di depan gedung F."
Olvie melirikku dengan mimik wajah penuh tanda tanya, aku mengangkat kedua bahuku. Aku sih bisa menebak maksud Vincent, tapi aku berpura-pura saja tidak tahu.
"Eh.. kenapa, Kak?" kata Olvie antara bingung dan heran.
"Pulang bareng, tidak mau?" jawab Vincent datar.
Mata Olvie melebar, wajahnya tampak sumringah jelas sekali walaupun dia belum mengucapkan apapun. Sesuai dengan apa yang kupikirkan, Vincent ingin mengajaknya pulang bersama. Jangan meremehkanku, aku cukup peka terutama pada Vincent.
"Mau-lah, Kak!" Senyumnya lebar sekali, hampir-hampir menembus ke telinganya.
Setelahnya kami kembali ke kelas masing-masing. Tinggal satu mata kuliah terakhir sebelum pulang. Aku mulai mengantuk karena kekenyangan, sepertinya aku akan menghabiskan waktu dengan tidur di kelas. Haha.
Bu Naura, dosen mata kuliah Perpajakan kami belum juga menampakkan batang hidungnya ketika kelas sudah hampir penuh. Kuletakkan kepalaku pada lipatan kedua tanganku dia atas meja, menghadap ke Vincent.
"Ciyee..." Aku senyum-senyum meledeknya.
Vincent menoleh padaku. "Apa?"
"Ada kemajuan nih, ngajak Olvie pulang bareng duluan. Kupikir kau akan marah padanya."
Dia mendengus dan memalingkan wajahnya dariku.
"Bukan begitu. Perkataanmu tadi ada benarnya. Mantannya itu pria yang kasar, dia juga tidak bisa menerimanya begitu saja. Bisa jadi dia menunggu Olvie sampai selesai kuliah. Pria itu terlihat tidak akan menyerah," ujar Vincent sambil mengeluarkan buku dan sebuah pena hitam dari dalam tasnya.
"Kau mengkhawatirkannya?"
Tangannya berhenti saat akan meletakkan pena itu di atas meja, lalu kembali menoleh padaku.
"Apa aku terlihat begitu?" tanyanya.
Aku terkekeh kecil. Dia benar-benar polos, batinku.
"Kau memang tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu?" godaku.
"Menurutmu?" Vincent bertanya balik.
Aku mengangkat kedua bahu, lalu membenamkan wajahku di atas meja dan memejamkan mata.
"Aku juga tidak tahu, Tom," ucapnya pelan.
Aku bisa memakluminya. Berkenalan dan dekat dengan seorang gadis, melindungi serta menncemaskannya, bagi sebagian pria tentu ini hal yang wajar. Tapi itu semua adalah hal yang baru bagi Vincent, teman terdekatku ini.
Aku mengerti jika dia sendiri bingung dengan apa yang dia rasakan. Bahkan jika orang lain pasti akan marah dan kecewa jika gadis yang mengejarnya ketahuan sudah punya pacar dan berbohong. Aku pun akan begitu. Tapi tidak dengan Vincent, aku paham dia tidak tahu bagaimana harus merespon sampai akhirnya memutuskan untuk mempercayai Olvie.
Tanpa sadar aku terus menatapnya. Bu Naura datang memberi salam dan langsung membuyarkan lamunanku.
* * * *
Terimakasih sudah mampir..
jangan lupa dukung aku dengan vote ya xD
kritik dan saran monggo~