Chapter 12 - Chapter 11 - Pekan Raya

Pov: Vincent

Aku menatap birunya langit yang dihiasi beberapa pesawat mainan terbang bebas. Ada pesawat kertas, ada juga pesawat dengan remote control yang dikendalikan anak-anak lelaki sambil berteriak mengejarnya. Mainan itu mengeluarkan suara mesin yang beradu di udara melewati atas kepalaku.

Di hadapanku ada seorang badut bertubuh gempal dengan rambut berwarna oranye seperti menyala di bawah terik matahari. Seorang anak perempuan mengambil permen dari keranjang yang dijinjingnya dan ditunjukkan kepada teman-temannya. Kemudian, badut itu mulai diserbu anak-anak lainnya.

Banyak pohon-pohon dengan dedaunan yang rindang. Masing-masing di bawahnya terdapat kursi yang cukup panjang agar para pengunjung bebas beristirahat, tetapi tempat duduk itu sekarang dipenuhi sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran. Ada yang sedang selfie, mengobrol biasa dan tertawa bersama. Ada juga yang sedang menikmati jajanan mereka saling suap-menyuap.

Di sepanjang jalan terdapat gerobak-gerobak penjual makanan yang dicat berwarna-warni menghiasi lalu lalang para pengunjung tempat ini. Ada penjual es krim, burger, telur gulung hingga gula-gula kapas. Ah, gula-gula kapas itu seperti yang gadis di sebelahku ini makan.

Lihat bagaimana cara gadis ini makan. Mulutnya yang kecil memaksakan gumpalan gula-gula kapas sebesar itu masuk memenuhi rongga mulutnya. Gula kapas yang mencair menempel di sekitar bibir mungilnya, bahkan sampai ke pipi! Ada garis-garis pink di pipi sebelah kanannya, pasti lengket sekali. Haha, aku geli melihatnya.

Ya, hari ini aku sedang berada di Pekan Raya bersama Olvie, dan Thomas juga tentunya. Entah bagaimana aku terjebak dalam rencana sahabatku ini. Untungnya hari ini cerah. Dan di sini cukup ramai karena sedang akhir pekan, ditambah besok sudah penutupan acara.

"Kak, bisa tolong ambilkan tisu basah di dalam tasku?" Olvie menoleh ke arahku dan menunjukkan seluruh jari tangannya yang lengket dipenuhi gula-gula kapas yang baru saja habis dilahapnya.

Kubuka tasnya sambil sesekali melihat jari tangan dan pipinya bergantian.

"Sebaiknya kamu ke toilet aja," ujarku sambil menyodorkan tisu basah miliknya.

"Ga usah, Kak. Pake ini aja cukup, kok."

Aku menggelengkan kepala memperhatikan Olvie membersihkan sisa-sisa gula dari wajahnya. Thomas juga sedang memperhatikan sembari menertawainya.

"Kau seperti anak kecil, makan aja berantakan!" seru Thomas sambil tertawa.

Lalu Olvie mencubit lengan Thomas dan menantangnya, "Coba katakan sekali lagi?"

"Kau berantakan, jelek sekali!" seru Thomas dengan tawanya yang semakin kencang.

Olvie mencubitnya lebih keras sehingga membuat Thomas meringis.

"Sakit tahu! Cewek tapi ngga ada lembut-lembutnya."

Aku heran, dia belum lama mengenal kami, bahkan ini baru kedua kalinya kami berkumpul sejak kemarin. Artinya baru dua hari saja, meskipun selama ini dia mengenalku, tapi aku tidak mengenalnya. Namun, dia begitu supel, seperti dia sudah lama berteman dengan kami. Tidak kaku dan tidak malu-malu, juga murah senyum.

"Ayo kita hunting makanan lagi!" serunya.

Kini wajahnya sudah bersih dari bekas gula-gula kapas yang menempel.

Dia berlari-lari kecil mendahului kami, membuat lipatan-lipatan roknya mengembang saat dia mulai berputar.

Sesekali dia mampir di salah satu gerobak makanan atau gerobak mainan, melihat bagaimana penjualnya mempertunjukkan keahliannya. Lalu dia akan meneriaki kami agar segera menyaksikannya juga.

"Waahh.. Keren," gumamnya saat melihat penjual balon yang sedang meliuk-liukkan balonnya sehingga menyerupai seekor anjing Poodle.

Kemudian dia berpindah ke gerobak lainnya, lalu ke gerobak lainnya lagi. Aku dan Thomas tidak mampu mengimbangi langkahnya. Dia seperti kancil, lincah sekali.

"Olvie gadis yang ceria, 'kan? Nggs salah 'kan aku merencanakan ini?" ucap Thomas sambil memandang ke arah Olvie yang masih sibuk melihat-lihat.

"Hm.. Ya, sepertinya begitu. Apa dia selalu begini terhadap setiap orang yang baru dikenalnya?" jawabku.

Thomas tertawa kecil, "Memang udah sifatnya begitu, ramah. Dia juga bawel dan manja, terlihat dari bagaimana interaksinya dengan keluarganya tadi, 'kan?"

Kami membalas lambaian tangan Olvie dari kejauhan. Dia terlihat senang sekali.

"Ya.. Keluarganya.... sangat harmonis."

Aku menundukkan kepala dan mengurangi kecepatan langkahku. Sebenarnya, aku merasa iri dengannya, dia tinggal dalam keluarga yang hangat.

"Aku ingin kau coba buka hatimu padanya, Cent. Aku akan senang kalau kau bisa berpacaran dengannya. Dia menyukaimu." Thomas tersenyum, menuturkan harapannya padaku.

Aku hanya diam menunduk, tidak menjawab. Dalam hatiku terus bertanya-tanya apakah aku mampu untuk mencintai dan dicintai? Aku merasa tidak pernah layak. Aku terlalu takut untuk mencobanya.

"Dia bisa membuatmu banyak tersenyum dan tertawa hari ini, bahkan lebih banyak dari yang kulakukan," ucap Thomas.

Kulepaskan masker yang dari tadi menutupi sebagian wajahku.

"Itu karena... dia gak tahu apa-apa tentangku, Tom."

"Udahlah, berhenti berpikir seperti itu. Kau lihat aku, 'kan? Ngga semua orang berpikiran seperti apa yang kau pikirkan."

"Ngga semua orang akan memutuskan untuk menjauhimu setelah tahu segalanya tentangmu."

"Kalaupun Olvie begitu, aku orang pertama yang akan menjambaknya!" tegasnya.

Aku menoleh padanya, "Beneran? Sampai botak, ya?"

Thomas mengangguk setuju dan tertawa, lalu memperagakan bagaimana dia menjambaknya nanti.

"Kalau begitu, bantu aku. Aku bahkan gak tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang, apalagi seorang wanita."

"Oh, ya? Bagaimana dengan Bi Yati, kau ngga mencintainya? Lalu bagaimana denganku juga? Hm?" Thomas mulai menggodaku.

Aku tersenyum. "Tentu saja aku menyayangi kalian, tapi ini persoalan yang berbeda."

Thomas tertawa geli, "Iya aku mengerti, pasti kubantu. Adikmu ini selalu mendoakan yang terbaik untukmu."

Thomas merangkul pundakku.

Thomas memang lebih muda dariku, hanya setahun. Itu karena aku terlambat masuk kuliah karena harus mengulang kelas saat SMA dulu.

Dia sering menyebut dirinya sebagai adikku saat bercanda seperti tadi, tapi aku pun juga sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri.

"Hei, Olvie! Jangan jauh-jauh, nanti kau hilang!" seru Thomas.

Olvie yang jauh di depan kami mendengarnya dan segera berbalik badan menghadap kami. Kemudian dia bertolak pinggang sambil memasang ekspresi kesal. Lalu kembali berjalan melanjutkan apa yang sedang dilakukannya sedari tadi.

Hari ini dia terlihat cantik dengan warna baju yang sepertinya adalah warna kesukaannya, pink. Pita di kerahnya besar sekali, membuatnya terlihat lucu. Padahal, tubuhnya kecil.

Rambutnya yang lurus dibiarkan terurai, bagian bawahnya sedikit bergelombang. Aku rasa dia menghabiskan banyak waktu untuk menatanya pagi ini.

Akhirnya, kami mempercepat langkah kami menyusul Olvie yang sudah tidak menghiraukan kami lagi. Thomas setengah berlari dan meraih lengan Olvie.

"Kau sebenarnya ke sini sendirian atau bersama kami, sih?" protes Thomas.

Olvie tertawa cengengesan, "Maaf, Kak. Aku terlalu bersemangat."

"Aku sukaaa sekali dengan tempat ini," katanya dengan secorong es krim vanila bertabur cokelat mesis berwarna pelangi di tangan kanannya. Es krimnya mencuat ke atas cukup tinggi.

"Coba ini, Kak." Dia menyodorkan es krimnya padaku.

"Gak, makasih."

"Kak Vincent ga mau karena bekas kujilat, ya?" tanyanya dengan wajah cemberut, membuat kami tertawa.

Kami kembali berjalan beriringan dengan bermandikan cahaya matahari. Kulihat poni Olvie yang setengah basah karena keringat. Dia memicingkan matanya karena mungkin silau dengan terik matahari. Wajahnya juga mulai memerah karena panas.

Kulepaskan topi dari kepalaku lalu memasangkannya di kepala Olvie.

Dia mendongak ke arahku sambil memegang topi di kepalanya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih memegang es krim yang tinggal setengah tingginya.

"Wah.. Terima kasih, Kak Vincent." Senyumnya malu-malu, tapi terlihat sangat senang.

"Mau naik wahana?" ajak Thomas.

"Mau, mau!" Olvie menjawab dengan antusias.

"Mau naik apa?" tanyaku bingung. Aku tidak suka naik wahana.

"Ayuk kita naik kora-kora!" seru Olvie menunjuk sebuah kapal laut besar yang mengayun ke kanan dan kiri tinggi sekali. Suara teriakan-teriakan terdengar cukup keras dari sini.

Aku menelan ludah mendengarnya.

"Itu nanti aja. Gimana kalau kita main bom-bom car dulu sebagai pemanasan?" saranku, berharap Olvie menyetujuinya.

"Oh, iya. Tadi di sana kulihat ada tempat bom-bom car untuk dewasa, sepertinya seru." Thomas membantuku membujuknya.

Olvie terlihat sedang berpikir lalu berkata, "Boleh deh, tapi aku mau satu mobil dengan Kak Vincent pokoknya. Deal?"

Thomas langsung melirik ke arahku, menantikan jawaban. Arrgh, pintar sekali cewek ini mencari-cari kesempatan. Aku tidak bisa menolak.

"Deal."

Baiklah, setidaknya aku bisa menghindari wahana mengerikan yang diinginkannya tadi.

Kami membeli tiket untuk dua mobil. Tidak banyak antrian yang tersisa.

"Habiskan dulu es krim-mu itu," ujar Thomas pada Olvie.

"Oh, iya ya.. Hehe." Olvie segera menghabiskan es krim yang sudah menetes ke tangannya.

"Oh.. Oh.. Tanganku lengket lagi!" serunya setelah membuang sisa corong es krimnya.

Aku menghela napas berat dan meraih tasnya untuk mengambilkan tisu basahnya lagi. Aku seperti sedang membawa anak lima tahun saja yang setiap makan selalu berantakan.

Ah, jadi itu alasannya kenapa dia menyediakan tisu basah di dalam tasnya.

Thomas menggelengkan kepala melihat Olvie membersihkan jari-jarinya untuk kedua kalinya.

"Taraa! Udah bersih," pamernya dengan senyumnya yang mengembang tanda bangga.

"Sepertinya udah giliran kita," kata Thomas.

Kami memilih mobil-mobilan yang hendak kami naiki. Mudah ditebak, Olvie memilih mobil yang berwarna pink terang. Kini aku yakin sekali itu adalah warna favoritnya.

Kuinjak pedal gas dan mobil pun melaju, sedangkan Olvie bersiap untuk bersenang-senang. Aku mengejar mobil berwarna kuning di depanku yang dikendarai Thomas dan dengan sengaja menabraknya tanpa melepaskan injakkan gas, sehingga ban pelindung mobil kami saling berpantulan dengan keras.

Olvie berteriak-teriak sambil tertawa. Sesekali dia mengangkat kedua tangannya sambil berseru, "Wuuuuuu..!"

Tidak mau kehilangan keseruan, Thomas membalas menabrak kami dari belakang tanpa aba-aba. Sontak kami berdua terpental ke depan dan reflek menahannya dengan tangan.

Olvie menoleh ke belakang dan berteriak, "Awas, ya, Kak Thomas!"

"Kalian ngga apa-apa?" teriak Thomas dari belakang.

"Ya!" balasku, lalu segera membelokkan setir ke kiri menghindari pengendara lain.

Ada sekitar tujuh mobil termasuk mobil yang kami kendarai. Ukuran arenanya sendiri cukup luas dibandingkan dengan di Timezones, jadi tidak sulit menghindari pengendara lainnya.

Kini di depanku mobil berwarna biru yang dikendarai seorang anak kecil laki-laki yang dibantu ayahnya. Dari sudut arena terlihat ibunya sedang merekam mereka dengan ponselnya sambil memanggil-manggil nama anaknya itu untuk menyemangatinya.

Hahh... Selalu saja, aku lemah dengan pemandangan semacam ini. Hatiku seperti menjerit. Pemandangan yang tidak pernah kualami semasa kecilku. Bukan, pemandangan yang sangat ingin kurasakan juga.

Bagaimana rasanya jadi anak itu? Kenapa hanya aku yang tidak pernah mengalaminya? Kenapa aku dilahirkan di keluarga yang berbeda dari yang lainnya? Mereka terlihat bahagia akan kehadiran anaknya di sisi mereka. Sedangkan aku?

Tanpa sadar aku melamun. Mobil kami menabrak besi pembatas arena, membuatku kembali tersadar.

"Kak Vincent kenapa, sih? Aku panggilin ga menyahut," ucap Olvie dengan suara yang keras karena tempat ini lumayan berisik.

"Oh, maaf. Aku gak fokus tadi. Di mana Thomas?"

"Itu, kejar dia, Kak!" sahutnya, lalu kembali bersorak girang.

Kami berjalan mencari tempat penjual air minum setelah selesai menikmati permainan tadi.

"Seru?" tanyaku pada Olvie.

"Seruuuuu buanget, Kak. Aku capek teriak-teriak, suaraku hilang. Aku mau minum es susu coklat!"

"Minum es lagi?" Thomas menimpali.

"Kau mau minum apa, Cent?"

"Aku air putih aja," balasku.

Olvie dan Thomas berpencar membeli minum masing-masing. Aku yang sempat bingung harus ikut menemani siapa akhirnya memutuskan untuk menunggu di tempat duduk di bawah pohon.

Thomas kembali dan menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Kubuka tutup botol itu dan meneguk hampir setengahnya.

"Kau udah lelah belum?" tanyanya.

"Sedikit, tapi aku baik-baik aja, gak usah khawatir."

"Oke, bilang padaku kalau kau sudah merasa lelah."

Aku mengangguk. Kemudian Olvie kembali dengan es susu coklat di tangannya. Rasanya seperti sudah menjadi kebiasaan aku tersenyum padanya saat dia melihat ke arahku. Dan dia selalu membalas dengan senyumnya yang lebar.

"Ahh.. Lega sekali," ucap Olvie setelah meneguk minumannya.

"Mau, Kak?" Dia selalu menawarkan apa yang ada di tangannya padaku.

Sudah cukup kami beristirahat. Ternyata semakin sore semakin ramai. Tidak hanya berjalan kaki, di sini juga disediakan motor ATV, sepeda, bahkan becak-becakan yang disewakan.

"Mau ke mana lagi?" tanya Thomas.

"Kora-kora!" lagi-lagi Olvie menyerukannya.

Aku berpikir keras.

"Ah, kalian berdua aja duluan. Aku sakit perut, mau ke toilet yang sepertinya akan lama." Aku mencari-cari alasan. Thomas sih mengerti.

"Kak Vincent sakit perut karena makan gudeg yang kusarankan tadi, ya?" tanya Olvie yang sepertinya sedikit mencemaskanku.

"Ngga, gak apa-apa. Nanti aku ikut wahana yang berikutnya bersama kalian, kincir angin misalnya."

Aku berusaha mengarahkannya untuk naik wahana yang ringan-ringan saja.

"Sebenarnya, Vincent sakit perut karena nervous naik yang begituan," bisik Thomas pada Olvie yang juga terdengar olehku.

Kupelototi dia dengan tajam. Lalu mereka berdua tertawa bersama. Syukurlah Olvie tidak memaksaku ikut dan setuju hanya berdua dengan Thomas.

Baru saja beberapa langkah aku berbalik badan hendak mencari tempat duduk selagi menunggu mereka, terdengar suara bel sepeda berbunyi dari arah belakangku. Seketika aku menoleh.

Kring! Kring!

Sebuah sepeda yang dikendarai anak kecil laki-laki melaju ke arah Olvie tanpa pengurangan kecepatan.

"Awas, Mbakk!" seru seorang pria yang mengejar sepeda itu berusaha menghentikannya.

"Rem, Nak! Rem!"

Tapi laju sepeda itu semakin cepat karena medan di sini sedikit menurun.

Olvie yang baru melihat dan menyadarinya langsung terkejut. Kakiku sudah reflek berlari ke arahnya dan dengan sigap kutarik lengannya. Tubuhnya mendarat dalam dekapanku.

Sepeda itu oleng dan terjatuh. Rupanya pria yang mengejarnya tadi adalah ayahnya. Dia langsung mengangkat anaknya yang masih berumur sekitar enam tahun itu dan memastikan tidak ada yang terluka.

Dadaku tiba-tiba terasa dingin sekali. Lalu aku merasakan sesuatu yang dingin itu mengalir turun ke perutku, basah dan lengket.

Olvie yang sadar telah menumpahkan sebagian es susunya di bajuku panik dan hendak membersihkan dengan lengan bajunya, tapi aku langsung menahan tangannya.

"Hey, kalian baik-baik aja?" seru Thomas yang berlari ke arah kami.

Beberapa orang di sekitar kami mulai memperhatikan.

Ayah sang anak pun segera menghampiri kami dan meminta maaf, dia terlihat sangat menyesal. Pria itu menawarkan untuk membelikannya kaos yang banyak dijual dalam pekan raya ini, tapi aku menolaknya dengan alasan aku akan membelinya sendiri.

Aku tidak ingin membebankannya atas kejadian barusan. Kemudian, aku membiarkannya pergi bersama anaknya.

"Maaf, Kak, aku benar-benar ga sengaja."

Olvie masih panik melihat kaos putihku yang sudah berubah sebagian menjadi cokelat.

"Gak apa-apa, bukan salahmu, kok." Aku berusaha menenangkannya.

"Duduk di sini, aku carikan kaos pengganti." Thomas langsung menghilang di kerumunan.

"Maaf ya, Kak."

Tidak ada senyum lagi saat dia melihatku, yang ada hanya rasa bersalah yang nampak di wajahnya, bahkan dia terlihat seperti mau menangis.

Aku bingung harus bagaimana meyakinkannya, aku benar-benar baik-baik saja dan ini bukan karena dia. Aku sendiri yang terlalu kuat menarik lengannya tadi.

"Bukan salahmu. Aku gak apa-apa. Thomas sedang mencari kaos untukku, kok."

Kulepaskan topi yang kuberikan tadi dari kepalanya. Olvie terus menunduk.

"Sepertinya kamu yang kenapa-napa. Ada yang terluka?" tanyaku dengan mendekatkan wajahku padanya untuk memastikan karena dia menunduk.

Dia menggeleng. Aku terjebak dalam situasi di mana aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku harap Thomas segera kembali. Aku yakin dia tahu sebaiknya yang harus dilakukan karena dia sangat berpengalaman dengan perempuan.

* * * *

Terimakasih telah membaca^^

jangan lupa tinggalkan komentar, like dan favorite 😍

kritik dan saran welcome~