PoV: Thomas
Vincent tersenyum padaku. Aku sangat ingin membalas senyumnya, tapi tidak kulakukan.
"Kau ngga apa-apa? Jujurlah." Aku sedikit mendesaknya.
"Aku baik-baik aja, Tom." Dia kembali mengembangkan senyum hingga kedua lesung pipinya terlihat.
Aku tahu dia hanya berpura-pura. Aku tahu pasti dia sedang menahannya. Bahkan aku saja baru tahu dia berhasil menyembunyikan emosinya dibalik senyumnya selama ini.
Dadaku terasa pilu sekali melihatnya tersenyum seperti itu. Kutarik pundaknya dan merangkulnya erat.
"Maaf, ya, Cent," gumamku pelan.
"Aku gak ingin mendengarnya." Suaranya bergetar.
"Aku merasa sangat bersalah padamu. Gara-gara aku terlalu egois, kau sampai sakit begini." Air mata yang dari tadi kutahan tidak dapat kucegah lagi, jatuh begitu saja.
Vincent terus berusaha melepaskan diri dari dekapanku, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin dia melihatku menangis.
"Karena itu kamu minta maaf?" tanyanya.
"Iya. Aku benar-benar menyesal memaksamu kemarin, aku terlalu emosi sampai membentakmu segala. Memangnya aku punya kesalahan lain?"
"Bukannya karena ... kamu mau pamitan denganku, mungkin," jawabnya lirih.
Kulepaskan pelukanku dan segera mengusap air mataku.
"Hah? Emang aku mau ke mana harus pamitan segala?"
Aku mengerti apa yang Vincent maksud. Dia pasti mengira bahwa aku telah memutuskan untuk menjauh darinya.
"Aku pikir kamu ... malu berteman denganku."
"Aku pikir kamu ... sedang menjaga jarak denganku."
"Kamu kan sudah tahu, Tom, aku ini ... anak haram," katanya dengan terbata-bata.
Air matanya sudah jatuh dari awal dia mulai mengatakannya.
Aku menepuk pundaknya. "Hei.. Kau kenal aku, 'kan?"
"Gimana kalau sebaliknya, aku punya masa lalu yang bahkan lebih buruk darimu. Hmm.. Misalnya ayahku seorang mafia atau pembunuh bayaran gitu, apa kau akan malu dan memutuskan untuk ngga berteman denganku lagi?"
"Gak." Vincent menggelengkan kepalanya sambil terus menunduk.
"Lalu, kenapa sikapmu berubah, Tom? Bahkan kemarin dan lusa kamu cuma sebentar di sini, kamu bicara sangat sedikit. Aku ... sudah berpikir yang enggak-enggak," lanjutnya.
"Aku merasa sangat bersalah padamu, Cent. Aku ngga bisa tidur dan terus kepikiran. Seharusnya aku bisa ngomong baik-baik denganmu. Aku terus merasa menyesal."
Vincent hanya menggelengkan kepalanya lagi.
"Kau tahu, hatiku juga sakit saat melihat kau kesakitan kemarin itu. Aku terus memikirkan kau menderita karena aku. Aku bahkan tidak berani menghadapimu setelah kau sadar."
"Maaf, Cent. Aku melarikan diri karena perasaan bersalah ini. Maaf membuatmu jadi berpikir seperti itu."
"Maaf, Tom.." Hanya itu kata yang mampu dia ucapkan.
Aku merangkulnya lagi, kali ini dia membalas memelukku erat. Kami berdua menangis seperti anak kecil.
Namun, justru dengan adanya kejadian ini membuat hubungan persahabatan kami menjadi semakin baik.
Tidak ada lagi rasa canggung diantara kami. Aku senang karena dia juga perlahan mulai bisa membuka diri padaku.
* * *
Hari ini Vincent sudah diperbolehkan istirahat di rumah. Aku melewatkan kelas pagi dan memilih untuk mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan dia hanya tidur.
Semalam dia habis bergadang atau bagaimana sih, pikirku.
Melihatnya yang seperti ini, membuatku kepikiran lagi. Semester depan, yang akan dimulai sekitar satu setengah bulan lagi, aku sudah harus mengambil skripsi.
Target awalku akhir semester tujuh aku sudah menyelesaikan segalanya dan wisuda. Itu berarti paling cepat satu tahun lagi dari sekarang. Lalu aku akan kembali pada orang tuaku di kampung.
Bagaimana bisa aku meninggalkannya saat itu? Vincent pasti akan kembali menderita sendirian lagi, seperti saat belum mengenalku dulu.
Apa dia pernah memikirkan hal ini? Membayangkannya saja aku tidak tega rasanya.
Lebih dari sekadar teman, dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku bisa membalas kebaikannya selama ini?
Sebenarnya itulah salah satu alasan terbesar kenapa aku mendukung si Olvie yang terus saja merengek meminta di-makcomblang-kan dengan Vincent.
Aku berharap kehadiran Olvie dapat membuat kesehariannya lebih hidup. Aku ingin dia merasakan rasanya dicintai dengan tulus oleh seorang wanita.
Aku harap dia juga bisa membuka hatinya untuk dapat mencintai dirinya sendiri dan orang lain.
Aku ingin Vincent juga seperti pria-pria lain seusianya, berkali-kali berpacaran, bergaul dengan teman-teman, nongkrong di cafe hingga tengah malam, dll.
Sehingga saat nanti aku tidak bisa berada di dekatnya lagi, aku tidak akan merasa berat hati meninggalkannya. Ah sudahlah, tidak usah kupikirkan dulu masalah ini.
Kubangunkan Vincent karena kami sudah berada di parkiran halaman rumah. Aku masuk ke dalam lalu menggantungkan kunci mobil di belakang pintu.
Vincent menyusul masuk setelahnya. Kemudian aku melihat meja makan yang sudah penuh makanan tersusun rapi.
"Wah, kapan Bi Yati datangnya," ujarku seraya mendekati meja makan.
"Sepertinya aku membuat Bi Yati jadi sibuk ya, kasihan bibi terus menyiapkan makanan seperti ini. Padahal pagi-pagi kan bibi sudah harus kerja," kata Vincent dengan nada bersalah.
"Tapi aku yakin bibi senang melakukannya, Cent. Terlebih karena ini untukmu. Iya, 'kan?" Aku berpaling ke Vincent dan tersenyum.
Dia mengangguk dan membalas senyumku.
"Kau makan aja duluan, aku mau mandi dan bersiap kuliah." Kuraih tasku yang tadi kuletakkan di kursi dan membawanya ke kamar.
Vincent mengikuti di belakangku.
"Aku ikut."
"Kemana?" tanyaku kaget.
"Ya kuliah. Masa ikut mandi," sahutnya.
Haha, dia sudah bisa bercanda rupanya.
"Kau yakin? Istirahat aja di rumah, tanggung kan besok udah Sabtu."
"Lama-lama kamu mirip dokter Elios, ya, Tom. Kemarin ia bilang aku hanya perlu istirahat sehari lagi. Sekarang kamu nyuruh aku nambah lagi?" protesnya.
Aku tertawa. "Aku tidak setua itu, ya. Ya udah, kau siap-siap aja dulu. Yang selesai duluan langsung ke ruang makan."
"Siap, Dok," balasnya mengejekku.
Kami sarapan dengan sedikit terburu-buru karena waktu yang sudah mepet. Sebenarnya, kelas kedua hari ini dimulai masih satu jam lagi, tapi macet di jalan juga makan waktu sampai sejam.
"Minum obatmu dan jangan lupa masukkan inhaler ke dalam tasmu." Kuingatkan dia dengan tegas.
"Ya, ya," jawabnya dengan setengah hati.
Mobil yang kukendarai melaju membelah kemacetan kota ini. Tidak jarang aku membunyikan klakson. Maklum saja, aku sedang terburu-buru ke kampus. Kulihat Vincent sibuk memainkan ponselnya.
"Tom, kamu kasih nomorku ke Olvie, ya?" tanyanya tiba-tiba.
"Oh, iya...," jawabku sambil nyengir.
"Aku udah ketemu dia. Sepertinya dia anak yang baik walau agak sedikit blakblakan, tapi dia cantik juga kok. Kupikir kau bisalah berteman dengannya dulu," kataku menjelaskan.
"Hm.. Menurutmu begitu?"
Aku hanya mengangguk dan kembali fokus pada kemudiku. Sepertinya Vincent sedang chatting-an dengan Olvie, dengan siapa lagi, 'kan?
Dosen terakhir kami mengakhiri kelasnya padahal masih jam tiga sore, satu jam lebih awal dari waktu seharusnya.
Vincent memintaku menemaninya untuk bertemu Olvie di kantin, dan aku menyetujuinya. Malah aku yang lebih bersemangat dibandingnya.
Tiba di kantin, ternyata Olvie sudah standby menunggu kami sambil menyedot segelas tinggi es jeruk di salah satu meja di sana.
Kami menghampirinya, dia melihat kami lalu melambaikan tangannya sambil tersenyum hingga deretan gigi mungilnya terlihat. Anak yang ceria, pikirku.
"Hai, Kak Thomas, Kak Vincent!" serunya sembari menyelipkan rambut ke belakang telinganya yang sebelah kiri.
Sementara tangan kirinya masih menahan rambut, tangan kanannya disodorkan ke arah Vincent untuk mengajak berjabat tangan. Tidak luput bibirnya tersenyum lebar.
Benar-benar, deh. Dia pasti girang sekali bertemu Vincent.
"Kita belum kenalan dengan benar 'kan, Kak? Aku Olvie," katanya dengan tatapan yang tidak lepas dari Vincent.
Pintar sekali dia meniru gayaku tempo hari. Haha. Vincent membalas jabatannya. Kulihat Olvie tersipu malu.
"Udah makan?" tanyaku padanya.
"Udah, Kak. Kalian gimana?"
"Be-"
"Udah, kok." Dengan segera Vincent memotong jawabanku.
Aku hendak menjawab belum. Tadi siang kami menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan kampus. Vincent sibuk mengerjakan tugas tambahan dari dua dosen kami dan aku membantunya.
Hari ini waktu jeda kelas hanya satu jam. Dan tentu saja aku menemani Vincent sehingga kami tidak sempat makan siang. Kebetulan sekali kelas terakhir selesai lebih awal.
Aku menoleh ke arah Vincent dan memperlihatkan ekspresi bingung. Kemudian, dia mengedipkan kedua matanya sekali, memberi kode. Aku tidak mengerti arti kodenya, tapi kuikuti saja maunya.
"Udah lama nunggu?" tanyaku pada Olvie.
"Ng.. Kayaknya setengah jam, Kak, aku udah disni."
"Masih ada kelas sore?" Aku bertanya lagi.
"Ga. Kelasku udah berakhir jam sebelas tadi."
"Wow.. Terus kau masih di kampus sampai jam segini?"
"Iya, Kak." Dia tertawa kecil lalu melanjutkan, "Demi kalian aku menunggu empat jam."
"Sendirian gitu?"
"Tadi sih dengan teman, Kak, tapi dia sudah pulang sejam yang lalu." Dia mengaduk-aduk gelas es jeruknya dengan sedotan.
"Ohh.. Temanmu yang waktu itu?" Aku mengira-ngira.
"Nah, benar. Tahu aja, Kak Thomas," jawabnya dengan senyuman.
Menurutku Olvie bukan tipe cewek yang kaku. Buktinya dia cukup banyak bicara meskipun hanya menjawab pertanyaanku.
Dia juga murah senyum yang membuatnya enak dipandang mata. Aku jadi penasaran seperti apa dia sehari-hari.
Eh, tunggu dulu. Kok jadi aku yang dari tadi mengajaknya mengobrol? Kusikut lengan Vincent memberi kode untuk bicara. Kenapa dia malah diam saja, hanya menyimak.
"Hm.. Gimana rasanya menjadi mahasiswi baru? Kuliah menyenangkan?" tanya Vincent malu-malu.
Sumpah, dari sekian banyak pembahasan kenapa dia memilih pertanyaan yang kaku begitu, sih. Aku tertawa dalam hati.
"Ya gitu, Kak. Ada enaknya, tapi ada ga enaknya juga."
"Aku banyak tugas dan banyak kegiatan yang wajib diikuti, jadi kebanyakan menghabiskan waktu di kampus," jawabnya cemberut.
Vincent mengangguk, "Sabar aja masih juga semester satu, gimana kalau udah semester akhir."
"Kalian tahu ga, apa yang membuatku bersemangat berada di kampus?" tanya Olvie dengan matanya yang berbinar.
Aku dan Vincent saling melirik. Lalu kujawab, "Ya mana tahu, lah."
"Mau tahu?" jawabnya dengan senyum yang melebar.
"Engga," balasku.
"Ihhh.. Kak Thomas memang selalu nyebelin!" Ekspresinya berubah kesal.
Vincent tertawa karenanya.
"Jadi, apa itu?" tanya Vincent yang sepertinya mulai kasihan padanya.
Olvie menatap Vincent dan kembali cengar-cengir.
"Karena ... aku bisa melihat Kak Vincent, meski hanya memperhatikannya dari jauh."
Aku melihat wajah Vincent sedikit memerah dan kelihatan agak shock. Haha.
Dia pasti geli sekaligus malu mendengarnya. Aku menahan tawa sebisa mungkin. Oh ternyata cewek ini bisa menggombal juga, pikirku. Hahaha
Kami bertiga membicarakan banyak hal. Mulai dari hanya sekadar basa-basi sampai membahas ketertarikan Olvie pada Vincent. Juga sesekali aku atau Olvie membuat guyonan yang membuat kami tertawa.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima lewat saat Olvie mendapatkan telepon dari ibunya.
"Duh, Kak. Ibu negara udah menyuruhku pulang, nih." Olvie tampak mengeluarkan dompet dari dalam tasnya untuk membayar es jeruknya.
"Mama tahunya hari ini aku pulang siang, tadi aku lupa bilang. Dia mengira aku kelayapan sama teman-teman," kata Olvie hendak mengakhiri pertemuan kami.
"Oh, iya.. Kami juga mau pulang. Rumahmu di mana, Vie?" tanyaku.
"Di daerah Pasar Cimeng, Kak."
"Lumayan jauh, ya." Vincent menanggapi.
"Kau naik apa? Bawa motor?" Aku menimpali.
"Enggak, aku naik ojek, Kak. Biasanya dijemput papa, tapi kalau hari Jumat papa belum pulang kerja," jawab Olvie sembari bangun dari kursinya dan ijin ke kasir sebentar.
"Kami antar aja kalau begitu, aku bawa mobil," ajakku saat dia kembali.
"Kak Vincent juga ikut?"
"Iya, dong. Kan aku tinggal dengan Vincent."
"Kalian kakak-adik?" Olvie kaget tidak percaya sekaligus bingung.
"Iya, kami kembaran yang selama ini terpisah dan baru dipersatukan kembali akhir-akhir ini. Makanya rupa kami tak sama," gurauku.
Vincent memukul pundakku, "Jangan ngaco, Tom."
"Memangnya gak lucu?" tanyaku sambil tertawa sendiri.
Mereka berdua ikut tertawa. Kemudian, aku memberikan penjelasan singkat pada Olvie bagaimana aku bisa tinggal di rumah Vincent. Lalu kami mengantar Olvie pulang.
Selama perjalanan mengantar Olvie, aku memikirkan sebuah rencana. Aku hendak mengatur jadwal supaya Vincent dan Olvie bisa jalan bareng. Atau aku akan ikut menemaninya jika Vincent menolak.
"Vie, besok weekend, 'kan?" tanyaku tiba-tiba memecahkan keheningan.
"Eh, iya, Kak. Besok hari Sabtu."
"Kau ada acara?"
Vincent yang berada di kursi penumpang sebelahku langsung melihat ke arahku. Aku pura-pura tidak sadar saja.
"Besok jalan, yuk," ajakku.
"Sama Vincent juga," lanjutku.
Kali ini Vincent melotot padaku. Aku membalas tatapannya dengan seyum mengejek.
"Kamu gila?!" katanya tanpa suara, hanya bahasa bibir saja tapi aku bisa mengerti dengan jelas apa yang dia katakan.
"Bertiga, Kak?"
"Iya, ngga mau, ya?"
"Mau banget!" jawabnya penuh semangat.
Vincent menepuk keningnya pelan sambil menggelengkan kepalanya. Aku yakin di rumah nanti dia akan mengomel karena aku memutuskan semuanya sendiri. Aku sudah siap, kok. Haha
"Di depan belok mana, Vie?"
"Ke kanan, ya, Kak. Nanti ada perempatan belok kanan lagi."
"Siap."
"Enaknya ke mana kita?" Aku melanjutkan obrolan tadi.
Olvie berpikir sejenak.
"Ng.. Gimana kalau nonton, Kak? Kebetulan ada film horor yang ingin kutonton. Itu loh, yang judulnya Hantu Penunggu Jembatan," katanya antusias.
"Nggak, nggak." Vincent segera menolak.
Aku tertawa.
"Kau tahu Vie, Vincent itu nggga bisa nonton film kayak gitu."
"Kak Vincent penakut? Serius, Kak?" seru Olvie dengan nada yang sedikit mengejek.
"Ya, anggap seperti itu," jawabku sambil tertawa kecil.
Vincent menghela napas berat dan melirikku. Aku tahu dia ingin protes tapi dia tahan karena sedang ada Olvie di kursi belakang.
Aku puas sekali melihatnya tidak bisa berkutik saat ada Olvie seperti ini. Aku bisa menggodanya semauku dan dia tidak bisa marah. Haha, lucu sekali.
Sebenarnya bukan karena Vincent takut menonton film horor, hanya saja film seperti itu tentunya akan ada banyak adegan jumpscare-nya.
Adegan yang bikin penontonnya kaget begitu tidak baik baginya karena kondisi jantungnya sendiri yang lemah.
"Hm.. Setahuku sekarang sedang ada event Pekan Raya, 'kan? Di lapangan dekat Gedung Olahraga Nasional itu."
Mereka berdua tampak sedang berpikir.
"Tempatnya cukup luas. Aku lihat teman-teman membuat insta story, sepertinya menarik untuk dikunjungi," saranku.
"Oh iya, Kak, benar. Boleh tuh, aku juga belum ke sana. Minggu ini penutupannya. Gimana Kak Vincent?"
Vincent sedikit terkejut karena tiba-tiba namanya disebut.
"Eh? Mm.." Dia menoleh padaku seolah bertanya apa yang harus ia jawab.
Aku mengangguk padanya.
"Ok, kita ke sana bertiga," sambungnya.
Aku tertawa tanpa suara. Tidak sabar menantikan hari esok. Semoga berjalan lancar sesuai dengan bayanganku.
Langit yang berwarna jingga merona menghiasi senja. Kutepikan mobil di sebelah kanan, pada rumah berpagar hitam tanpa tingkat. Ada pohon mangga yang rindang di halamannya.
"Ini rumahmu?" tanya Vincent.
"Iya, Kak. Terima kasih udah mengantarku. Sampai jumpa besok, ya," pamit Olvie.
Bibirnya tidak luput dari senyuman sambil turun dari mobil. Lalu dia melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumah.
Aku memutarbalikkan mobil yang kukendarai. Vincent terlihat lelah, dia tidak membahas perihal tadi aku mengajak Olvie jalan besok. Aku baru teringat dia melewatkan obatnya karena siang tadi tidak sempat makan.
"Mau mampir makan dulu?" ajakku.
"Gak usah, Tom. Langsung pulang aja. Masakan Bi Yati tadi pagi sepertinya masih banyak," jawabnya.
Benar juga. Kuinjak pedal gas menambah kecepatan dan memilih rute lain tercepat agar terhindar dari kemacetan, lalu bergegas pulang.
* * * *
Terimakasih sudah membaca, semoga kalian suka ya ^^
Jangan lupa tinggalkan komentar, like dan favorit XD