PoV: Vincent
Aku terbangun karena merasakan nyeri pada lengan kiriku. Aku melihat langit-langit yang tampak tidak seperti biasanya yang kulihat.
Seorang wanita dengan pakaian serba putih sedang menyuntikkan sesuatu di lenganku. Aku mengerutkan kening dan langsung memejamkan mata. Aku baru ingat aku masih berada di rumah sakit.
"Selamat pagi, Vincent. Udah bangun? Gimana perasaanmu hari ini?" tanya wanita itu.
"Udah lebih baik kok, Suster," jawabku yang masih merasa nyeri di lengan yang baru saja dia suntik.
"Coba saya periksa dulu, ya," sahut seorang dokter paruh baya yang ternyata dari tadi ada di sebelah suster itu.
Dokter Elios memeriksa nadiku. Kemudian memasangkan stetoskop yang selama ini menggantung di leher ke telinganya.
Lalu meletakkan ujung stetoskop di atas dadaku selama beberapa detik dan mengulanginya beberapa kali bergantian di dada kanan dan kiriku. Kulihat ia menganggukan kepalanya.
Ia juga menyuruhku duduk. Selagi stetoskop-nya masih berada di dadaku, ia menyuruhku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Lalu ia memindahkan stetoskop-nya ke belakang punggungku dan memintaku mengulangi menarik napas kembali. Kepalanya kembali mengangguk.
"Masih terasa sesak?" tanyanya memastikan karena selang oksigenku baru saja dilepas pagi tadi.
"Sedikit, tapi gak apa, Dok."
Aku menatapnya yang sedang menuliskan sesuatu di lembar catatannya, ia sedang membahasnya dengan suster.
Dokter Elios berumur sekitar empat puluh lima tahun lebih. Ia sudah seperti dokter pribadiku di rumah sakit ini. Sudah hampir sepuluh tahun aku dirawat olehnya.
Hubungan kami pun sudah sangat dekat sebagai dokter dan pasien tetapnya. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat sedang bersamanya. Dialah yang waktu itu menolak permintaan mama untuk memasukkanku ke rumah sakit jiwa.
Ia tahu banyak tentang sebagian besar masa laluku. Dokter Elios selalu memperlakukanku dengan baik. Aku sangat bersyukur dia masih merawatku selama ini.
"Jadi, aku bisa pulang hari ini 'kan, Dok?" tanyaku dengan tidak sabar.
"Baru juga dua hari, menginaplah sehari lagi. Ok?"
"Infusnya udah saya lepas, makanlah yang banyak supaya cepat pulih. Jangan terlalu banyak pikiran." Dokter Elios selalu saja memberiku banyak nasihat.
"Aahhh.. Aku bosan di sini, Dok. Aku janji akan istirahat penuh di rumah," kataku yang langsung memasang wajah cemberut seolah memohon padanya.
Dokter Elios tertawa. "Saya tidak percaya. Saya mengenalmu bukan baru sehari dua hari, Vincent."
"Suster, tolong pastikan dia menghabiskan makanannya dan minum obat," katanya sembari kembali mengecek lembar catatannya.
"Jangan tergoda dengan rayuannya hanya karena wajahnya yang tampan, ya," lanjutnya memberi pesan kepada suster lalu diiringi gelak tawa mereka.
Yah, apa yang harus kulakukan sepanjang hari ini? Tidak banyak hal yang bisa kulakukan di sini.
Kulihat ponselku dan melihat jam yang menunjukkan masih pukul sebelas siang. Kuputuskan untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Untungnya tidak terlalu ramai hari ini.
Baru berkeliling sekitar lima belas menit aku sudah merasa lelah. Padahal, aku merasa sudah cukup pulih. Lalu aku melangkahkan kaki berjalan ke bagian belakang rumah sakit.
Terdapat sebuah taman yang cukup luas di sana. Tempat itu sangat bagus untuk mencari udara segar atau sekedar mengamati anak-anak kecil yang sedang bermain.
Tempat ini banyak berubah, tapi taman ini masih menjadi tempat terbaikku dikala aku sedang ingin sendiri saat sedang dirawat.
Aku duduk di bangku panjang yang ada sandarannya di bawah pohon yang rindang. Kupetik bunga Krisan putih di sebelah kanan bangku yang kududuki.
Kemudian seekor kupu-kupu datang menghampiri dan terbang di sekitar bunga-bunga Krisan berwarna-warni yang mengelilingi tempat dudukku. Kemudian datang seekor lagi.
Kusandarkan punggungku dan menghadapkan kepalaku ke atas. Cahaya matahari yang berhasil menembus sela-sela dedaunan menari-nari indah di wajahku.
Aku menarik napas dalam dan memejamkan kedua mataku. Cuacanya bagus sekali, pikirku.
Tanpa sadar aku masuk dalam lamunan. Aku kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu. Aku sudah memberikan pengakuanku pada Thomas bersama dengan Bi Yati malam itu.
Tentang keadaan orang tuaku sekarang, tentang berbagai penolakan yang kualami, tentang sakitku, kesedihanku selama ini, semua tentang masa laluku.
Selama di kelas, aku sudah memikirkannya baik-baik. Aku menyiapkan diriku untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah Thomas tahu seperti apa aku yang sebenarnya.
Aku menyiapkan hati jika Thomas memilih pergi dan tidak ingin berteman denganku lagi. Aku akan merelakannya dan kembali pada diriku yang dulu, sebelum mengenalnya.
Akan sangat memalukan berteman dengan seorang anak haram. Sangat memalukan juga berteman dengan seseorang yang pernah dirawat di Pusat Rehabilitasi Mental karena depresi.
Thomas itu cerdas, apalagi dia tahu aku masih mengkonsumsi obat penenang. Seharusnya dia juga bisa menduga bahwa depresiku bisa saja kambuh, seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Hal itu akan sangat membuatnya kerepotan, dan malu ketika terjadi di tempat umum seperti di kampus. Aku takut mungkin saja aku bisa melukainya ketika gejala depresiku kambuh.
Jadi, aku selalu minum obat penenang saat pikiranku mulai kacau meski tidak terlalu parah. Membayangkannya saja membuat hatiku tidak tenang.
Aku hanya takut Thomas akan melihatku dengan tatapan yang aneh, mengganggapku gila. Aku takut dia akan bersikap seperti teman-teman sekelasku saat di sekolah dulu.
Tidak, sebenarnya yang kutakutkan hanya ... kehilangan orang yang selalu ada di sisiku.
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai bergantung padanya. Mungkin karena selama ini aku tidak pernah memiliki teman yang peduli, seperti Thomas.
Saat SMA, teman-teman menganggapku teman hanya saat sedang butuh saja. Seperti meminta bantuanku membelikan jajanan di kantin, meminjam buku PR, atau menggantikan tugas piket, tapi ketika aku sakit dan butuh catatan selama aku absent, mereka pura-pura tidak tahu.
Aku menyesal tidak bisa mengontrol diriku waktu itu. Thomas terlihat kesal dan marah saat aku menanyakan pendapatnya mengenai aku yang sepertinya sangat tidak layak menjadi sahabatnya.
Dia bilang aku tidak mempercayainya. Dia juga bilang selama ini aku tidak pernah menganggapnya sebagai teman. Dia bilang dia lelah dan merasa gagal menjadi sahabatku.
Bagaimana mungkin aku tidak menganggapnya sebagai teman disaat aku takut kehilangan sosoknya sebagai seorang teman, bahkan sahabat itu sendiri?
Dan bukannya aku tidak mempercayainya, aku hanya tidak siap. Itu masa lalu yang tidak bisa kulupakan, yang tidak ingin aku ingat lagi, apalagi untuk menceritakan kembali.
Membuatku seolah-seolah kembali ke masa-masa itu yang menjadi penyebab utama aku menangis sejadi-jadinya malam itu.
Tidak terasa air mataku jatuh dan mengalir dari kedua sudut mataku. Aku mulai terisak dan langsung tersadar dari lamunan panjang.
Kuhapus air mata dari pipi. Ah, padahal Dokter Elios baru saja berpesan agar aku tidak terlalu banyak pikiran. Kalau dia tahu pasti aku akan diomeli, atau bisa-bisa tidak diizinkan pulang.
Aku merasa sudah terlalu lama di sini dan memutuskan untuk kembali ke ruanganku.
Kuisi gelasku yang kosong dengan air dalam teko plastik yang telah disediakan di atas meja ruanganku, lalu meneguknya.
Kemudian, aku mencabut charger dan mengambil ponsel di atas meja yang sama lalu segera berbaring ke tempat tidur.
Lampu notifikasi ponselku berkedip-kedip. Rupanya ada pesan masuk selama aku keluar tadi. Aku sengaja tidak membawa ponsel karena sedang di-charge. Sebuah pesan Whatsapp dari nomor yang tidak dikenal.
+62821234567xx
Hai, Kak Vincent.
Ini aku, Olvie, yang mengirimkan direct message di Instagram kemarin-kemarin. Hehehe
Eh? Olvie? Dari mana dia tahu nomorku? Aku berpikir keras mengira-ngira apa aku mencantumkan nomorku di sosial media. Seingatku tidak.
Anda:
Gimana kamu bisa punya nomorku?
+62821234567xx
Dari teman, Kak. :)
Kak Vincent lagi sakit, ya?
Anda:
Teman siapa?
+62821234567xx
Ada deh, Kak, pokoknya. Hehe.
Kakak masih di rumah sakit? Aku boleh jenguk?
Hah? Dia sampai tahu aku di rumah sakit? Teman-teman sekelasku hanya tahu aku bolos. Hanya Thomas yang tahu aku di rumah sakit. Sudah pasti dia yang paling kucurigai.
Anda:
Aku tahu. Dari Thomas, 'kan?
+62821234567xx
Yah, ketahuan :p
Kok ga jawab, sih, Kak? Aku jenguk Kak Vincent, ya?"
Aku memikirkan kenapa Thomas memberikan nomorku padanya. Padahal, sebelumnya dia pernah menyuruhku untuk mengabaikannya.
Thomas sedang kuliah. Segera ku search namanya di kontak ponselku. Hampir saja aku menekan tombol call. Tiba-tiba aku teringat hubunganku dengannya yang masih canggung.
Aku tidak bisa menelponnya. Aku harus ngomong apa nanti? Tidak mungkin aku berpura-pura bersikap biasa seperti tidak ada yang terjadi seperti sebelum-sebelumnya.
Kali ini kasusnya berbeda. Bahkan kemarin Thomas di sini hanya sebentar, hanya sampai Bi Yati datang saja lalu dia buru-buru pulang. Aku tidak berani menatapnya atau pun mengajaknya bicara.
Lebih baik nanti saja kutanyakan padanya saat ada kesempatan. Aku jadi kepikiran lagi, sikap Thomas berubah sejak malam itu.
Aku takut apa yang kukhawatirkan benar-benar terjadi. Apa seharusnya masa laluku tetap menjadi rahasia saja, ya? Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Aku menarik napas dalam dan mencoba menenangkan hatiku. Tidak lama kemudian, pintu ruanganku bergeser.
Suster masuk membawa makan siang dan menyiapkan obatku. Dia mengingatkan kembali pesan dokter Elios tadi pagi agar aku menghabiskan makananku dan minum obatnya.
Aku mengangguk sembari tersenyum lalu mengucapkan terima kasih pada suster. Ia membalas senyumku dan mengucapkan selamat makan.
Menu makan siangku sudah berubah menjadi menu nasi setelah kemarin aku diberi bubur seharian, bahkan sampai tadi pagi pun aku masih disuguhkan semangkuk bubur.
Setelah makan dan minum obat, aku kembali bosan tidak tahu harus melakukan apa. Kunyalakan tv dan tidak ada yang menarik. Kemudian, ponselku berdering. Satu panggilan tak terjawab dari Olvie.
Ngapain anak ini missedcall?, batinku.
Aku membuka chat Whatsapp darinya dan baru teringat tadi aku hanya membacanya saja, tidak kubalas. Jadi dia missedcall karena memberiku kode untuk membalas pesannya begitu?
Ada-ada saja. Aku akan meladeninya hanya karena kebetulan aku sedang bosan.
Anda:
Cuma missedcall? Memangnya kamu berani menemuiku?
Bukankah terakhir kamu lari dariku?
+62821234567xx
Iya, habisnya Kak Vincent cuma read aja :(
Eh, kapan aku lari, Kak? :p
Anda:
Waktu di kantin itu.
Aku tahu kamu yang pake jaket denim.
+62821234567xx
Yah, ketahuan lagi. Hehe
Anda:
Jadi, kenapa kamu lari?
+62821234567xx
Iya, aku udah bilang di balasan chat Kakak di Instagram, kan?
Aku kaget aja waktu itu. Belum siap. Hehehe
Anda:
Terus sekarang udah siap?
+62821234567xx
Siap ga siap, Kak :D
Aku mau mengenal Kak Vincent. Boleh 'kan, Kak?
Anda:
Semester berapa? Jurusan apa?
+62821234567xx
Aku baru semester satu, Kak :p
Jurusan Manajemen. Kak Vincent Akuntansi, 'kan?
Anda:
Yap.
+62821234567xx
Kak Vincent udah punya pacar belum?
Anda:
Aku gak buka lowongan untuk pacar.
+62821234567xx
Berarti belum ya, Kak? :D
Kalau begitu, aku akan buat Kak Vincent berubah pikiran.
Aku tertawa geli. Dia sedang membuat lelucon atau bagaimana, lucu sekali.
Anda:
Ya silakan aja, tapi sepertinya gak akan terjadi.
Ya, memang benar aku tidak pernah berpikir untuk mencari pacar. Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya, tidak punya pengalaman.
Selain itu, aku terlalu takut untuk ditinggalkan nantinya. Sepertinya aku trauma akan perasaan ditolak dan ditinggalkan. Aku juga sadar aku sakit-sakitan. Jika punya pacar, tentu aku hanya akan menyusahkannya saja.
+62821234567xx
Besok Kak Vincent kuliah ga?
Aku mau ketemu dan ngobrol langsung. Udah lama ga liat Kakak. :(
Anda:
Gak tahu, mungkin kuliah.
Udah dua hari absent, harus kejar ketinggalan.
+62821234567xx
Iya betul, Kak..
Makanya Kakak jaga kesehatan dong, jangan sakit lagi ya, Kak.
Haha. Aku benar-benar geli membacanya, merinding. Kulemparkan ponselku ke sebelah bantal kepalaku.
Aku menguap. Sepertinya efek obatnya sudah mulai bekerja, aku mengantuk. Kupejamkan mataku lalu tertidur.
* * *
Sebenarnya, aku sudah bangun ketika Thomas masuk ke dalam ruanganku. Tapi aku terus berpura-pura masih tidur karena pasti akan terasa canggung hanya kami berdua di sini. Sepertinya dia baru selesai kuliah. Aku berharap agar Bi Yati cepat datang.
Aku mendengar seperti suara-suara rantang kaleng yang saling bersentuhan, lalu tercium aroma makanan yang membuatku reflek mengendusnya.
Kubuka mata dan meilhat Thomas sedang berbenah bawaanya. Dia sedang menyiapkan makan malam rupanya. Tanpa sadar aku terus memperhatikan kegiatannya.
"Udah bangun, toh," ucapnya setelah menyadari aku yang sudah membuka mata sedari tadi.
Aku menengok ke arahnya kemudian mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Bibi mana?" tanyaku singkat.
"Bi Yati tidak bisa datang, dia menitipkan ini tadi pagi-pagi sekali," jawabnya yang masih sibuk menyiapkan makanan.
"Kamu yang menyiapkan semua?" tanyaku dengan nada tidak percaya.
Dia menoleh ke arahku sekilas, "Menurutmu siapa lagi?"
Ah, benar juga. Aku bangun dari tempat tidur dan ikut membantunya. Aku tidak menyangka Thomas masih mau melakukanya untukku.
Dia pasti sudah lelah kuliah hari ini, ditambah lagi harus mengurusku serta menyiapkan ini semua sendiri. Aku membantunya tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Kepalaku terus merunduk, tidak berani menatapnya lagi.
"Kau udah baikan?" tanyanya memecahkan keheningan setelah kami selesai menyiapkan makan malam.
Aku mengangguk, "Ya."
"Syukurlah," suaranya sangat pelan seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Aku menyadari sesuatu. Aku melihat ekspresi yang berbeda darinya. Bukan seperti Thomas yang biasanya, belum sekali pun kulihat dia tersenyum padaku sejak malam itu.
Aku sangat mengenalnya dengan baik, dia anak yang ceria dan cerewet. Tapi dua hari ini dia berbeda. Kukepalkan kedua tanganku yang mulai gemetaran.
Apa yang kamu pikirkan sekarang tentangku, Tom? Mungkinkah kamu sudah memutuskan untuk menjaga jarak dariku? Aku tahu ini akan terjadi. Berbagai macam pertanyaan mulai memenuhi pikiranku.
Aku diam dan terus menundukkan kepala. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Kupejamkan mata sambil terus berkata dalam hati, "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Biarkan Thomas menentukan keputusannya sendiri."
Lalu tiba-tiba aku merasakan pundakku didorong kebelakang, yang membuatku langsung membuka mata dan mengangkat kepalaku. Aku melihat Thomas yang sudah berada di depanku, duduk di atas tempat tidur.
"Cent, kau kenapa? Mau kupanggilkan dokter?" tanyanya dengan mata yang fokus menatap mataku. Kedua tangannya masih memegang erat pundakku. Raut wajahnya terlihat sangat serius.
"Ah, gak apa-apa," sahutku pelan.
Aku kembali memejamkan mata sebentar sembari mengatur napasku senormal mungkin. Lalu aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Kemudian, kuangkat wajahku dan menatap Thomas yang masih terlihat cemas mengamatiku, lalu kutunjukkan senyumku sebaik mungkin supaya dia tidak lagi mencemaskanku. "Aku baik-baik aja, Tom."
* * * *
Terimakasih sudah membaca, semoga kalian suka :)
Mohon tinggalkan jejak dengan menekan tombol like, komentar dan favorit.. Kritik dan saran sangat welcome~
Gbu