PoV: Thomas
Aku tidak bisa lagi terus berpura-pura tidak tahu apa-apa. Obat penenang yang kutemukan waktu itu terus bersarang dalam pikiranku.
Beberapa hari ini aku sudah berusaha bersikap biasa saja pada Vincent seperti kejadian itu tidak pernah terjadi. Namun, semakin keras aku berpikir untuk menunggu saja dan percaya padanya, hatiku menolak.
Pagi ini aku sempat ribut dengannya. Aku tahu aku terlalu terburu-buru, tapi pikirku itu kesempatan yang tepat untuk membahasnya.
Kupikir dia akan beralasan atau menghindari pertanyaanku seperti biasanya. Nyatanya, dia hanya diam dan tidak bisa menjelaskannya.
Aku kecewa? Tentu saja kecewa. Aku tidak marah, hanya sangat kesal. Sebenarnya, aku juga merasa tidak enak padanya karena membuat suasana di antara kami menjadi canggung.
Tapi tidak salah 'kan jika aku ingin tahu apa yang terjadi atau apa yang sedang dialami oleh sahabatku sendiri? Aku hanya ingin membantunya. Kenapa aku yang selalu menerima darinya terus?
Di kelas, aku sengaja memilih duduk di kursi yang jauh dari Vincent. Terlihat jelas aku menghindarinya, ya? Aku hanya masih sedikit kesal saja, seharusnya aku tidak begini padanya.
Sepanjang kelas berlangsung, kuperhatikan Vincent hanya melamun. Dia tidak mencatat apa pun yang diterangkan oleh Bu Indah, dosen Ekonomi kami. Kepalanya terus menunduk, ekspresi wajahnya muram.
Aahh.. Kurasa mood-nya jadi jelek gara-gara aku tadi pagi.
Hari ini kuliah kami selesai di siang hari. Bu Naura, dosen Perpajakan kami tadi menginfokan di group chat bahwa ia tidak bisa mengajar dan meminta kelas tambahan untuk minggu depan. Kami juga diberikan tugas yang harus dikumpulkan saat pertemuan berikutnya.
Kuputuskan untuk mengakhiri rasa canggung di antara aku dan Vincent seharian ini. Aku berjalan ke kursinya, Vincent masih membereskan buku pelajarannya. Dia mendongak melihatku yang berdiri tepat di hadapannya.
"Ayok ke kantin," ajakku.
"Kamu aja, aku mau pulang." Vincent langsung berdiri dan melewatiku begitu saja.
Aku mengikutinya. "Makan siang dulu baru pulang, kunci mobil kan ada sama aku."
Dia tidak menjawab. Kuraih kedua pundaknya dari belakang dan berhasil mengiringnya menuju kantin. Ternyata di kantin sudah cukup ramai. Aku mengajaknya duduk di meja yang paling pojok.
"Kau mau makan apa?" tanyaku.
"Aku gak nafsu makan. Kamu aja, aku tunggu," jawabnya datar.
"Atau mau makan sesuatu di rumah? Aku belikan."
Vincent menggelengkan kepalanya.
"Tapi kan kau harus minum obat," aku menegaskan.
Ah iya, kenapa juga aku pakai bahas obat segala.
Vincent memalingkan wajahnya menghindariku. Sepertinya ucapanku barusan mengingatkannya kembali pada percakapan kami di mobil pagi ini. Bodoh sekali aku. Padahal, aku sedang berusaha mencairkan suasana.
"Tom, soal yang tadi ... aku minta maaf," katanya setelah sempat saling diam beberapa saat.
Aku menghela napas. Maaf lagi, maaf lagi, pikirku.
"Ya, ngga apa-apa. Aku juga minta maaf. Aku selalu mau ikut campur urusanmu, padahal aku 'kan bukan siapa-siapamu. Aku ngga berhak seperti itu 'kan? Aku sadar, kok."
"Aku ..." Vincent menundukkan kepalanya, tidak ada lanjutan dalam kalimatnya.
"Ngga apa-apa kok kalau kau belum mau bicara, aku tahu kau masih ragu padaku."
"Benar, obat itu ... milikku."
Aku terkejut dia mengakuinya sekarang. Sebenarnya, dia terlihat tidak nyaman, tapi bagiku ini kesempatan bagus untuk mendengar penjelasannya langsung. Dia yang memulai membahasnya duluan.
"Kenapa kau minum obat semacam itu?" tanyaku.
"Hanya untuk menenangkan pikiranku. Jadi, dulu aku sempat depresi, kadang-kadang gejalanya masih kualami," jelasnya pelan masih sambil menunduk.
"Depresi? Kapan? Kok bisa?"
Vincent tidak menjawab lagi. Kulihat dia sedang mengepalkan kedua genggamannya. Aku sadar dia sedang tertekan, sepertinya berat untuk menceritakannya.
Jujur, aku kaget mendengarnya. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk tidak melontarkan semua pertanyaan yang muncul dalam benakku saat ini. Aku sangat ingin tahu.
"Apa ada hubungannya dengan mimpi burukmu selama ini? Apa kau selalu minum obat penenang setiap bangun dari mimpi itu?"
Vincent mengangguk tanda mengiyakan.
Aku mengalihkan pandanganku ke atas, mencerna apa yang baru saja ku ketahui. Wajar saja dia menyembunyikannya dariku selama ini, ini bukan sesuatu yang pantas untuk diumbarkan.
Aku benar-benar merasa bersalah padanya karena terus mendesaknya untuk cerita. Aku yakin sebenarnya dia juga tidak ingin mengingatnya lagi.
"Tom, kamu pasti takut padaku, 'kan? Aku bahkan pernah dirawat di Pusat Rehabilitasi Mental." Vincent menoleh ke arahku, jelas matanya tampak berkaca-kaca.
Aku kembali terkejut. Sampai dirawat? Separah itukah? Aku diam karena benar-benar kaget, aku tidak tahu harus berkata apa.
Kami kembali saling tidak bicara. Hening, suasana seperti ini sungguh sangat membuat kami tidak nyaman.
Tidak lama kemudian, Vincent bangkit dari tempat duduknya. Dia langsung pergi meninggalkanku begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Aku spontan mengikutinya.
Setiap orang yang berpapasan dengannya melihat dengan tatapan bingung. Beberapa teman sekelas menahanku dan bertanya ada apa karena aku berjalan di belakang Vincent.
"Hey, kalian bertengkar? Vincent kelihatannya hampir menangis, tuh," ujar Fino, salah satu teman sekelas kami di beberapa mata kuliah. Bisa dibilang dia salah satu yang paling diingat para dosen karena sering membuat masalah.
"Bisa ribut juga, toh. Macam pasutri aja." Yang lainnya tertawa dan mengejek.
Sial. Aku sedang tidak ingin bercanda, kutepis mereka semua dan segera mengejar Vincent yang semakin menjauh. Cepat sekali dia.
Aku mendapatinya sedang bersandar di samping mobil, di parkiran. Rupanya dia menungguku. Dia memberi kode padaku agar segera membuka kunci. Kemudian, kami masuk ke dalam mobil. Ya sudah, kupikir membahasnya di rumah mungkin akan lebih baik.
Vincent sibuk membuka laci dashboard, lalu mencari sesuatu dengan tergesa-gesa.
"Kau cari apa?" tanyaku.
Dia tidak menjawabku dan hanya fokus mencari. Kemudian, dia meraih inhaler dari dalam laci setelah mengeluarkan sejumlah barang.
Sepertinya itu yang dia cari. Lalu dia menegakkan posisi duduknya, meletakkan bagian bawah inhaler ke mulutnya, menekannya, dan langsung menarik napas dalam.
"Sesak, ya?" Kutepuk pundaknya, memastikan dia baik-baik saja.
"Kau tak apa?" lanjutku karena dia tidak menjawab.
Vincent menyandarkan tubuhnya ke belakang dan memejamkan mata. Dadanya terlihat naik turun dengan cepat, napasnya tersenggal-senggal, dan sesekali batuk pelan.
Beberapa menit kemudian, napasnya sudah kembali normal. Dia menurunkan tangan kanannya yang dari tadi memegangi dadanya.
"Aku udah gak apa-apa. Jalankan mobilnya, Tom," katanya lirih. Bibirnya pucat dan dia terlihat lemas.
Kunyalakan mesin sebentar dan jalan pulang. Sebelumnya, aku sempatkan untuk mampir membeli makanan. Walau bagaimanapun, Vincent harus makan dan minum obat, dia sedang terlihat tidak sehat.
Baru tiba di rumah, ponselku bergetar. Wah, benar-benar deh, bisa-bisanya si Olvie mengirimkanku pesan Instagram.
Olvie_Amanda:
Kak Thomas, ada apa dengan Kak Vincent?
Tadi aku berpapasan dengannya di depan kantin. Kudengar kalian bertengkar?
Haha. Jadi di kampus sudah menyebar gosip kami bertengkar gitu? Padahal kan bukan itu yang terjadi. Pasti kerjaannya rombongan Fino tadi. Fino dan geng-nya itu bisa dibilang seperti preman kampus, mereka tidak lebih dari anak-anak nakal yang suka mencari sensasi.
Anda:
Tanya aja sendiri.
Olvie_Amanda:
Udah, Kak, tapi enggak dibaca. :(
Jangan begitu, dong, Kak sama Kak Vincent.
Hah? Gila, memangnya aku habis melakukan apa. Lagi pula, dia mengirimikanku pesan disaat yang tidak tepat. Aku malas menanggapinya, lalu tidak kuhiraukan lagi.
Sehabis makan dan minum obat, Vincent tidur. Aku tidak punya kesempatan untuk membahasnya lebih lanjut. Tapi aku terus saja kepikiran, sebenarnya apa yang telah terjadi padanya?
Aku mengambil sebatang rokok dan merogoh kantung celana mencari korek, lalu kubakar ujung rokok yang sudah kupegang. Kuhisap sedalam mungkin kemudian menghembuskannya dari mulut. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menikmati ini.
Kuhabiskan waktu dengan duduk bersantai di teras depan. Tidak terasa rokokku sudah batang yang kedua. Sambil menyeruput segelas kopi hitam tanpa gula, aku teringat si Olvie yang tadi sempat mengirimkanku pesan.
Aku lihat kembali history pesan darinya, lalu membalasnya.
Anda:
Kau tertarik dengan Vincent, ya?
Beberapa menit kemudian, kulihat pesanku sudah dibaca, tapi tidak ada balasan. Haha. Aku ingin tahu dia akan jujur atau menghindari pertanyaanku. Aku yakin sekali gadis ini tertarik pada Vincent.
Dddrrttt!
Ponselku bergetar. Nah, akhirnya dia membalas pesanku.
Olvie_Amanda:
Ngg... Kasih tahu gak, ya?
Anda:
Aku udah baca semua chat yang kau kirimkan ke Vincent. Kau itu seperti paparazi tahu!
Udahlah jujur aja, kau suka padanya?
Atau temanmu yang mau berkenalan?
Olvie_Amanda:
Eh, bukan, bukan..
Ngg.. Iya sih, Kak. Aku mau mengenal Kak Vincent lebih dalam aja.
Kakak bantuin aku, ya? Ya? Ya? Pelissss..
Kena kau. Instingku selalu benar. Haha.
Anda:
Besok temui aku di kampus.
Berikan nomor HP-mu, nanti kukabari waktu dan tempatnya, berdua aja.
Sore harinya, Bi Yati datang berkunjung. Aku bilang padanya kalau Vincent sedang tidak enak badan dan belum bangun dari tadi siang. Bi Yati yang khawatir langsung menengok Vincent ke kamarnya.
Karena tadi kami agak berisik, rupanya Vincent terbangun. Melihat Bi Yati yang sudah duduk di sampingnya, dia bangun dan langsung memeluk Bi Yati.
Bi Yati membalas memeluk Vincent sambil mengusap punggungnya perlahan. Pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku bingung pada situasi semacam ini. Aku merasa sepertinya hanya aku yang tidak tahu apa-apa di sini.
Aku mendengar semuanya malam itu dari Vincent sendiri. Dia menceritakan masa lalunya yang tidak ingin dia ingat lagi. Bi Yati juga ikut membantu menceritakan perlahan dengan air matanya yang terus mengalir.
Jujur, hatiku terasa pilu melihat Vincent menangis terisak dalam pelukan Bi Yati, yang selama ini kukira adalah bibinya ternyata hanyalah bibi asisten rumah tangga keluarganya.
Aku masih tidak percaya kisah hidupnya itu seperti halnya dalam sinetron di tv lokal. Aku tidak menyangka Vincent mengalami semua itu.
Penolakan oleh ibu kandungnya sendiri, penyiksaan, sakit, dia pasti sangat menderita. Tapi selama aku mengenalnya, dia tidak pernah menunjukkannya. Yang kutahu dia anak yang ceria. Aku benar-benar merasa gagal sebagai sahabatnya.
"Jujur aja Tom, kamu sekarang takut padaku, 'kan? Kamu berpikir aku tidak waras, 'kan?" Vincent berkata sambil membenamkan wajahnya dalam pelukan Bi Yati, dan dia mulai menangis lagi.
"Ya.. Kau memang gila, gila karena berpikir seperti itu. Kau seharusnya mengenalku dengan baik, menurutmu apa aku bakal berpikiran seperti itu?" balasku.
Dia tidak merespon.
"Enggak, Dek. Adek Vincent hanya takut Dek Thomas akan menjauhinya begitu Adek tahu semuanya sekarang. Dia cuma enggak siap ditinggalkan lagi. Bibi yakin Adek enggak begitu," kata Bi Yati padaku.
Perasaanku campur aduk. Baru kuketahui hati dan pikirannya selemah ini, seperti orang lain saja. Walau bagaimanapun, aku bukan tipe orang yang dengan mudahnya datang dan pergi.
"Hey, udah berapa lama sih kita berteman? Dua setengah tahun ada, 'kan? Terus kenapa kau ngga percaya padaku? Kau ngga sadarkah, selama ini hanya aku yang menganggapmu teman!" Kutarik salah satu lengan Vincent dan memaksanya menatapku.
Tanpa sadar air mata jatuh dari kedua sudut mataku.
"Kamu teman terbaikku, Tom, kamu tahu itu," ujarnya.
"Kau yakin? Bahkan kalau aku ngga memergoki obatmu itu, sampai kapan aku ngga tahu? Kau bilang aku teman terbaikmu?!" Aku tidak tahu kenapa aku malah membentaknya seperti ini.
"Maaf," ucapnya lirih.
"Kau pikir selama ini aku nyaman terus banyak menerima dan menerima darimu? Aku selalu berusaha membuka diri padamu, sedangkan kau selalu menutup diri padaku. Aku senang kau menerimaku sebagai temanmu. Aku udah cukup berusaha menunggu, kau yang ngga pernah menganggapku, Cent!" Aku tidak bisa menahannya lagi.
"Maaf..." Suaranya hampir tidak terdengar, dia terisak.
Bi Yati hanya diam. Dia menggenggam tangan kami dengan masing-masing tangannya, mencoba menenangkanku.
"Udahlah.. Aku capek mendengar kata 'maaf' darimu. Maaf kalau selama ini aku gagal sebagai sahabatmu."
Vincent menggelengkan kepalanya dan terus berkata maaf.
Aku menghela napas. Entah kenapa terdengar seperti aku akan pergi saja. Padahal, aku hanya ingin mengakhiri percakapan ini, aku terlalu terbawa emosi.
"Maaf, Cent, aku ngga bermaksud marah padamu. Aku cuma mau kau lebih terbuka padaku. Aku juga ingin membantumu. Kau mengerti, 'kan?" Aku bicara sambil menenangkannya.
Dia tidak mendengarku. Napasnya tidak stabil dan wajahnya pucat pasi. Dia masih saja meminta maaf. Aku melirik Bi Yati dan memberi kode. Lalu Bi Yati menepuk-nepuk punggungnya.
"Udah, udah, Dek.. Enggak apa-apa.. Tenang, yaa.." Bi Yati mencoba menenangkan Vincent dan merangkulnya kembali.
"Cent, kau baik-baik aja?" tanyaku khawatir.
Vincent tetap tidak menjawab. Napasnya semakin tidak beraturan. Dia memegangi dadanya dan terlihat menahan sakit. Aku bergegas mencari inhaler dan obatnya. Kutemukan obatnya di dalam laci meja kamar, tapi inhaler-nya tidak ada. Seharusnya di kamar ini ada satu, tapi dimana, sih? Aku benar-benar panik.
Aku menoleh karena mendengarnya mulai merintih dan terbatuk-batuk. Bi Yati sedang memegangi Vincent sambil membantu mengusap dadanya yang sakit.
"Ketemu, Dek?" Bi Yati bertanya padaku.
"Ngga ada, Bi. Aku ke depan sebentar, pakai yang di mobil aja," sahutku.
Aku meraih kunci mobil dan berlari ke halaman. Segera aku kembali ke kamar Vincent secepatnya setelah mendapatkan inhaler. Dia sudah sangat kesulitan bernapas.
Kubantu Bi Yati membuat Vincent duduk dan segera menjejalkan ujung inhaler ke mulutnya. Aku menyuruhnya menarik napas sedalam-dalamnya lalu menekan bagian atas inhaler, tapi tarikan napasnya terlalu pendek. Kuulangi sekali lagi sambil memberikan aba-aba.
"Sekarang coba bernapas pelan-pelan," ajakku.
"Pelan-pelan aja, Dek," Bi Yati menambahkan.
Vincent menarik napas dalam. Belum sempat dihembuskannya lagi, dia kembali memegangi dadanya dan langsung meremasnya kuat-kuat diikuti dengan erangan pelan menahan sakit. Dadanya naik turun karena sesak.
"Cent, kau kenapa? Lihat aku! Minum obat, ya?" tanyaku panik.
"Ss-sa..kit, ukh..," katanya terbata-bata sambil kesusahan bernapas.
"Adek tahan sebentar, ya.. Dek Thomas, kita ke rumah sakit aja," ujar Bi Yati. Air matanya sudah berlinang sejak tadi.
Aku memapah Vincent masuk ke mobil dibantu dengan bibi.
"A-aku.. gak bi..sa.. n-na..pas.. Ukh, ss-sa..kit, Bi." Suaranya pelan sekali, satu tangannya mencengkeram erat lengan Bi Yati.
Bi Yati memeluknya di kursi belakang. Aku tidak pernah melihat bibi sangat khawatir seperti ini. Sementara Bi Yati terus berbicara pada Vincent supaya dia tetap sadar, aku menginjak gas sedalam mungkin. Bertahanlah sebentar, Cent..
* * * *
Semoga kalian suka ya^^
Tolong tinggalkan komentar dan bintangnya, kritik dan saran dipersilahkan~