Chereads / The Simplicity of Happiness (Kesederhanaan dari Kebahagiaan) / Chapter 5 - Chapter 4 - Pandangan Pertama

Chapter 5 - Chapter 4 - Pandangan Pertama

PoV: Olvie

Sudah cukup lama aku memandangi derasnya hujan dari jendela kamar. Sekali-kali kupelintir ujung tirai jendela yang bermotif hati berwarna pink kesukaanku, menunggu hujan berhenti.

Kenapa hujan harus turun di hari Minggu, sih? Padahal, aku ada janji dengan teman-teman sebentar lagi. Kami akan makan siang di café yang baru buka di pusat kota.

Susah sekali, loh, mengumpulkan mereka karena kesibukan masing-masing setelah masuk dunia perkuliahan. Masa kami harus mengatur ulang jadwal lagi gara-gara hujan? Uuhh..

Aku melirik ke arah tempat tidur. Baju atasan berwarna pink dengan pita hitam di bagian kerah serta rok-celana berbahan dasar jeans sudah kusiapkan sejak bangun tidur. Aku bersemangat sekali tadi, tapi hujan membuat mood-ku memudar.

Hufftt... Mengesalkan.

"Olvie, kamu dari tadi belum sarapan?" tanya mama yang tiba-tiba langsung membuka pintu kamarku.

"Iya, iya, ini mau keluar, Ma," jawabku dengan setengah hati.

Aku mengikuti mama menuju meja makan. Kulihat Reihan, adikku, sedang melahap potongan besar roti cokelat. Dan di sebelahnya ada piring kosong bekas dia makan nasi.

"Dasar gendut rakus!" gumamku sambil melirik adikku.

Dia berusia empat belas tahun, badannya tidak gemuk, sih, hanya saja terlihat amat berisi. Pipinya juga chubby seperti mantau (roti). Makannya saja banyak begitu, maklumlah.

"Di mana papa?" Aku bertanya pada mama sambil mengoleskan selai cokelat pada selembar roti tawar yang berada di tangan kiriku.

"Di depan, lagi mindahin pot-pot tanaman, kayaknya mulai banjir di halaman kita. Kalau sudah benar-benar banjir, kamu gak bisa kemana-mana, loh." Mama mulai mengejekku dan disusul dengan suara cekikikan dari Reihan.

"Lihat aja nanti." Aku memasang wajah cemberut. Mama dan adikku kembali tertawa. Mereka kompak sekali kalau sedang menggodaku.

Aku, Olvie Amanda, seorang gadis manja dan periang bertubuh 'mungil' (tapi cantik loh) yang sedang berada di akhir masa remaja.

Saat ini aku adalah mahasiswi baru di salah satu universitas besar di Pulau Sumatera, di kota tempat tinggalku. Aku mengambil Jurusan Manajemen dan baru semester satu.

Kupikir setelah lulus SMA, aku akan lebih santai dan punya banyak waktu untuk bersenang-senang. Ternyata kuliah justru membuatku semakin sibuk.

Selain mata kuliah yang banyak, aku juga diwajibkan mengikuti aktivitas-aktivitas jurusan maupun non-akademi.

Mulai dari kegiatan Himpunan Mahasiswa, Himpunan Agama, Minat Bakat, sampai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa, semacam ekstrakurikuler kalau di SMA). Pergi pagi pulang sore, lebih parah dari sekolah malah!

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Papa dan mama selalu memanjakan aku dan Reihan, sehingga kami selalu bergantung pada mereka.

Aku tumbuh jadi anak yang manja dan keras kepala. Meskipun begitu, kami sangat menghormati orang tua kami. Kami tidak malu sudah sebesar ini masih dikecup papa, atau sekedar memeluk mama kapan pun kami ingin.

Kami juga selalu punya waktu bersama untuk mendengarkan cerita keseharian atau pun curhat mengenai apa pun.

Papa juga rutin mengajak kami makan bersama di luar untuk menjaga keharmonisan hubungan kami sebagai keluarga, karena sepertinya papa sadar setiap harinya kami sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Papa dan mama adalah orang tua terbaik sedunia!

Hujan mulai mereda, setidaknya tidak sederas tadi. Meskipun, matahari belum juga kelihatan. Kusandarkan tubuhku pada tumpukan bantal di tempat tidur. Group chat di Line sudah ramai saja dari tadi.

Meysi

Jadi kumpul di café itu gak?

Eci

Di sini hujannya masih deras.

Meilan

Jemput aku ya guys.. <3

Chely

Aku ngantuk, nanti bangunin yaa.. hehe

Eci

Dasar keboo @chely

Silvi

Ayo berangkat!

Olvie

Tunggu sebentar lagi sampai hujannya benar-benar berhenti.

Di depan rumahku banyak air menggenang. Haha

Kututup chat obrolan dan beralih ke aplikasi Instagram. Aku sedikit kecewa melihat direct message-ku yang tidak ada notif angka merahnya.

Dua hari yang lalu aku mengirimkan pesan pada seseorang. Memang, sih, aku hanya sekedar say hai, tapi masa hanya di-read saja? Padahal, aku sudah memberanikan diri untuk memulai duluan.

Umm.. Jadi, aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya. Kalau kata orang mah, love at the first sight alias cinta pada pandangan pertama. Dia juga salah satu mahasiswa di kampus yang sama denganku, tapi sayangnya lain jurusan.

Pertama kali aku melihatnya saat OSPEK beberapa bulan lalu. Dia menggantikan temannya sebagai perwakilan dari Jurusan Akuntansi untuk memperkenalkan kegiatan jurusannya kepada mahasiswa-mahasiswi baru.

Aku tahu dia bukan salah satu bagian dari panitia acara itu karena aku sempat bertanya kepada kakak tingkat lain yang kebetulan sedang melewati barisanku saat itu.

Dia itu tidak terlalu tinggi, putih dan rambutnya dibiarkan apa adanya tanpa minyak rambut seperti cowok-cowok kebanyakan.

Ketika dia tersenyum akan terlihat sepasang lesung di pipinya. Manis sekali, membuatku deg-degan! Jadi yang dinamakan love at the first sight itu benar-benar nyata, loh.

Bahkan sebagian besar mahasiswi baru saat itu ribut dan berbisik-bisik ketika dia mulai berdiri di panggung. Aku sadar pasti mereka semua juga merasakan apa yang kurasakan. Wajar saja, perawakannya seperti anggota boyband Korea, sih. Haha

Sesuai dugaanku, dia cukup populer di jurusannya karena penampilan fisiknya. Namun, aku juga mendengar rumor bahwa dia sering bolos kelas, seperti anak-anak badung pada umumnya atau istilah kerennya badboy.

Rumor lainnya mengatakan kalau sikapnya dingin dan cuek, terutama dengan cewek. Waduh, aku rasa aku harus membuktikannya sendiri, nih.

Dua minggu setelah dimulainya kegiatan belajar mengajar, aku berhasil mengetahui namanya, Vincentius Hansen. Butuh perjuangan juga karena teman-temanku di Jurusan Manajemen kebanyakan hanya tahu orangnya, tapi tidak tahu namanya.

Aku sampai memanfaatkan teman-teman baruku di Jurusan Akuntansi untuk mengorek informasi tentangnya. Maafkan aku, ya, teman-teman. Haha

Aku selalu makan siang di kantin, berharap bisa sering melihatnya karena kantin ini adalah salah satu tempat di mana semua jurusan dari Fakultas Ekonomi berkumpul.

Lama kelamaan aku jadi hafal hari apa dan jam berapa dia biasa ada di kantin, baik untuk makan siang maupun hanya duduk untuk beristirahat. Kadang juga dia mengerjakan tugas di sana. Pasti sekalian numpang wifi-an, tuh.

Aku hanya bisa memandangnya dari jauh setiap melihatnya. Menurut pengamatanku selama ini, dia sering ke kantin bersama Kak Thomas, temannya. Sepertinya mereka teman dekat.

Pernah aku berfikir untuk meminta bantuan Kak Thomas agar aku bisa dikenalkan dengannya, tapi kuurungkan niatku. Hmm.. Sepertinya terlalu frontal.

Suatu hari, kulihat Kak Thomas di kantin dengan teman-temannya yang lain, tapi dia tidak bersama Kak Vincent. Langsung saja aku mengajak Vira, temanku, untuk duduk di meja yang sama dengan Kak Thomas setelah memesan makanan.

"Kak, kok teman Kakak yang biasa nggak ikut makan siang?" tanyaku penasaran.

Dia menengok ke sebelah kanan dan kirinya, kemudian baru tersadar bahwa dialah yang kuajak bicara.

"Teman yang mana?" Kak Thomas balik bertanya. Sepertinya dia pura-pura tidak tahu atau hanya ingin memastikan saja.

"Itu loh, Kak Vincent." Tanpa sadar aku tersenyum.

"Oh... Kamu kenal sama Vincent? Dia gak datang hari ini."

"Ng.. Aku cuma tahu aja, Kak, karena sering melihatnya bersama Kakak di sini. Kenapa nggak datang, Kak?" Aku menjawab sambil cengar-cengir.

"Oh... Dia lagi gak enak badan," jawabnya.

Aku mulai berpikir rumor itu benar bahwa Kak Vincent sering bolos kelas. Aku ragu dia benar-benar tidak enak badan atau hanya alasan yang biasa dia gunakan.

Lalu, sekitar satu minggu yang lalu aku menemukan akun Instagramnya! Selama ini aku mencarinya sendiri, tapi tidak pernah ketemu. Ternyata dia tidak menggunakan nama aslinya. Pantas saja.

Awalnya, aku melihat akun Kak Thomas di daftar saran pengikut, aku jadi punya ide untuk mencarinya di daftar followers Kak Thomas. Tapi sampai mataku jereng pun aku tidak menemukannya. Followers Kak Thomas sampai ribuan!

Lalu saat aku melihat beberapa foto yang di-posting sekitar tahun lalu, aku melihat wajah yang tidak asing lagi bagiku. Benar saja, ada foto Kak Vincent bersama Kak Thomas. Dan betapa senangnya aku saat tahu Kak Thomas men-tag akunnya!

Aku yakin itu Kak Vincent. Meskipun, dia menggunakan nickname yang tidak ada kaitannya dengan namanya sama sekali.

Pesanku yang tidak dibalas membuktikan bahwa rumor dia cuek juga benar. Wah, haruskah aku menyerah saja? Ah, nanti akan kucoba lagi, berteman saja tidak apa-apa, 'kan? Aku cukup percaya diri karena aku sendiri juga tidak jelek.

Akhirnya, hujan sudah berhenti. Bergegas aku siap-siap dan berangkat ke cafe.

"Paa! Ayo berangkat, hujannya udah berhenti, tuh!" seruku.

Aku melambaikan tangan pada mama dengan terburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul satu lewat lima menit. Chat di Line sudah berisik sedari tadi.

Apa aku dandan terlalu lama, ya? Teman-teman sudah menungguku rupanya.

Sesampainya di tujuan, aku berpamitan dengan papa.

"Nanti aku dijemput lagi kan, Pa?" tanyaku memastikan.

"Iya, Sayang, asal jangan lupa waktu. Kalau terlalu malam kamu pulang sendiri, ya. Papa kan ngantuk," jawabnya dengan setengah tertawa.

"Iiihhh, tega banget...."

Aku melambaikan tangan ke papa dan berpaling darinya. Aku baru sadar sepatuku kotor sekali karena terciprat air dari ban belakang motor papa selama perjalanan.

Untungnya aku pakai rok-celana pendek. Kalau pakai celana panjang pasti pulang nanti mama akan mengomeliku karena dipenuhi cipratan dari tanah di sepanjang jalan.

Aku melangkahkan kaki ke dalam cafe dan langsung disambut ramah oleh salah satu pelayan di sana. Stelah kujelaskan bahwa aku sedang ditunggu teman-temanku, aku langsung diarahkan menuju lantai dua.

Sambil berjalan, aku mengamati dekorasi-dekorasi unik yang serba terbuat dari kayu dan dicat cokelat bergaris-garis menyerupai batang pohon. Langit-langitnya pun tergantung dedaunan yang dihiasi beberapa bunga dan kupu-kupu buatan yang berhasil menarik perhatianku. Cantik sekali.

Kunaiki tangga yang pada pegangannya juga terdapat sulur-sulur tanaman, tentu saja semuanya buatan. Tapi warna-warna hijau dan cokelat ini membuatku nyaman. Konsepnya benar-benar bagus, pantas saja seramai ini.

"Hai, teman-teman! Maaf terlambat," sapaku dengan senyum yang mengembang lebar.

"Parah! Kau terlambat dua puluh menit! Dasar Ratu Ngaret" balas Silvi sambil melipat kedua tangannya di dada.

Aku hanya tertawa dan langsung menarik kursi, lalu mulai memesan makanan.

Kami sudah berkumpul semua berenam. Mereka semua teman-teman dekatku dari SMA. Namun, kami berpencar saat kuliah. Tidak ada dari mereka yang satu kampus denganku.

Berbagai suka duka sudah kami lalui bersama. Mumpung kami sedang berkumpul semua, sekalian saja aku ingin curhat tentang perasaanku ini.

"Jadi guys, aku mau cerita, nih, tapi aku jangan dipojokan, ya. Dengerin aja dulu." Aku membuka obrolan setelah mereka kehabisan topik pembicaraan.

"Waduh, ada apa ini tiba-tiba?" Meysi menaikkan sebelah alisnya.

"Wah, kayaknya kamu habis melakukan hal jahat, ya?" tanya Chelly menduga-duga.

"Cerita apa? Aku dengar dulu." Silvi terlihat tertarik.

Meilan hanya mengangguk dan Eci membenarkan posisi duduknya siap untuk fokus padaku.

"Jadi... Di kampusku ada kakak tingkat ganteng ... " Aku memberi jeda.

"Teruuussss?" kata Silvi.

"Terus... aku suka sama dia," jawabku dengan nada manja sembari senyum-seyum malu.

Kemudian, aku langsung menutup telinga dengan kedua tanganku seolah sudah tahu mereka akan bereaksi seperti apa.

"Haaahhh...?" Mulut Chelly terbuka lebar sekali.

"Loh, kamu kan ... ?" kata Eci yang kaget sekaligus kebingungan. Dia tidak melanjutkan kalimatnya.

"Gilaa! Terus si Bobby gimana? Kamu mau selingkuh gitu?" kata Silvi blakblakan.

"Yaa enggaklah.. Kan aku belum pacaran dengan kakak tingkat itu," jawabku santai.

"Olvieeeee... Sadar atuh kamu!" Meilan akhirnya bersuara.

Meysi hanya menggelengkan kepalanya.

"Kan udah kubilang dengerin aku dulu. Aku udah nggak merasakan apa-apa lagi dengan Kak Bobby. Dia selalu sibuk dengan game-nya dan nggak pernah ada waktu untukku lagi belakangan ini." Aku merunduk.

Ya.. Aku sudah punya pacar saat ini. Bobby, mahasiswa Jurusan Teknik Komputer di kampusku. Dialah alasan utamaku memilih universitas dimana aku kuliah sekarang, aku mengikutinya.

Tapi sejak aku kuliah, bukannya semakin dekat, aku merasa kami malah semakin menjauh.

"Aku capek sama dia, aku mau mengakhirinya aja."

"Serius? Coba kamu bicarakan dulu baik-baik dengan Bobby. Kalau dia masih kayak gitu, aku mendukungmu. Putusin aja dia!" hardik Silvi.

Yang lain mengangguk tanda setuju. Aku masih menunduk dan sesekali menghela nafas. Aku benar-benar merasa hubunganku dengan Bobby tidak bisa dipertahankan lagi.

"Jadi, siapa nama kakak tingkat itu? Gimana bisa suka? Dia memperlakukanmu dengan spesial?" tanya Chely mengganti topik, "ciyeeee.." Sepertinya dia ingin menghiburku.

Aku kembali tersenyum. "Ng... Namanya Vincent. Aku suka dia karena dia tampan. Eh, bukan cuma karena itu, sih."

"Terus karena apa lagi?" tanya Meilan yang mulai penasaran.

"Karena ... lesung pipinya. Dia manis banget pas senyum. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama." Reflek aku senyum-senyum sendiri.

"Oh, my God" Eci menggelengkan kepalanya.

Meilan menggosok-gosok lengan kirinya dan berkata, "Sial, merinding aku."

Kami tertawa bersama. Mereka memukuliku sambil menggodaku.

"Jadi, udah sejauh mana kalian chatting-an?" tanya Chely.

"Boro-boro chatting-an, pesanku di Instagram aja cuma dibaca." Aku kembali cemberut.

"Mungkin dia tahu kamu punya pacar. Jadi gak direspon, 'kan." Ujar Meilan sambil tertawa. Aku bisa mendengar nada mengejek dari suaranya.

"Baru sekali diabaikan, aku belum menyerah," balasku.

Kami melanjutkan sesi curhat dan tertawa bersama sampai magrib. Kemudian, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku dijemput papa seperti biasa.

Malamnya, kuceritakan tentang hubunganku dengan Bobby dan perasaan baruku ini pada mama. Mama hanya tertawa dan mengelus rambutku, menganggap itu hanya cinta monyet dan hal yang biasa bagi gadis seusiaku.

Aku kesal karena mama selalu memperlakukanku seperti anak-anak. Aku kan sudah delapan belas tahun, sudah besar, dong. Iya, 'kan?

* * *

Bersambung..