PoV: Thomas
Suara knalpot motor racing yang baru saja melintas di jalan depan rumah berhasil mengejutkanku. Membuatku langsung terbangun dari tidur pulasku. Aku mengucek kedua mataku beberapa kali dengan kedua tangan.
Kulihat empat digit angka jam digital yang tertera di smartphone-ku sambil memicingkan mata.
10:02
Hah? Hampir saja aku melompat dari tempat tidur.
"Mampus kesiangan," gumamku.
Kenapa Vincent tidak membangunkanku? Apa dia sudah berangkat kuliah duluan?
Aku tergesa-gesa keluar dari kamar dengan membawa handuk dan satu set pakaian. Sepertinya aku melewatkan kelas pagi.
Saat sedang menuju kamar mandi, kusempatkan diri melihat ke arah jendela besar di ruang tamu yang mengarah ke garasi depan rumah.
Langkahku terhenti saat aku melihat mobil yang masih terparkir rapi sama seperti saat terakhir kali aku memarkirkannya. Sontak kuputar balik langkahku untuk mengintip ke luar jendela.
Mobil masih di sana. Aku menoleh ke kiri, sepasang motor pun juga masih di sana. Kok bisa? Berarti Vincent juga belum berangkat. Apa dia juga kesiangan karena kebanyakan makan semalam dengan Bi Yati? Haha. Tidak mungkin.
Dari luar terdengar suara anak-anak seperti sedang bermain kejar-kejaran. Kemudian disusul suara Bu Dewi, tetangga depan, yang meneriaki anaknya agar tidak main terlalu jauh. Seolah otakku sedang loading, aku bertanya-tanya sendiri.
"Anak-anak Bu Dewi kok gak sekolah, ya?" Aku terus bergumam.
Tiba-tiba aku tersadar. Ya, ampun! Ini kan hari Sabtu. Seolah itu menjawab semua pertanyaanku dari awal aku bangun tidur tadi. Pantas saja. Astaga, bodoh sekali aku. Hampir saja aku berangkat ke kampus!
Padahal akhir pekan adalah hari terbaik untuk bermalas-malasan. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dengan masih merasa malu pada diriku sendiri atas kekonyolanku pagi ini. Kalau Vincent tahu, dia pasti menertawakanku. Tidak, tidak akan kubiarkan dia tahu. Haha.
Saat melewati kamar Vincent yang berada persis di sebelah kamarku, aku berhenti. Aku mendengar suara dari dalam, seperti suara rintihan. Cepat-cepat kubuka pintu kamarnya dan segera masuk.
Cukup gelap, tirai jendela tertutup semua, menandakan si penghuni kamar belum bangun dari semalam. Tanganku meraba-raba dinding di dekat pintu untuk mencari saklar lampu.
Tap!
Lampu menyala. Sambil memanggil namanya, kuhampiri dia yang sedari tadi merintih.
"Cent, kau kenapa?" tanyaku yang mulai merasa cemas.
Dia tidak menjawab. Kuletakkan satu tanganku di keningnya. Dingin. Sebagian bajunya basah karena keringat. Dia terus mengucapkan kata-kata yang kurang cukup jelas didengar, seperti orang yang berbicara sambil menangis.
Pasti dia mimpi buruk lagi. Aku tidak tahu kenapa orang dewasa seperti Vincent sering mimpi buruk. Padahal, semalam dia baik-baik saja, tertawa bersama kami.
Aku berusaha membangunkannya dengan menggoyangkan pundaknya dan terus memanggil namanya.
Perlahan dia membuka mata, mengedipkannya beberapa kali dan berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu yang baru kunyalakan.
Beberapa detik kemudian, dia sudah duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lalu dia menarik nafas dalam dan terlihat sedang menenangkan diri.
"Kau gak apa-apa, Cent?" tanyaku dengan nada khawatir.
Dia hanya mengangguk seraya menurunkan kedua tangannya yang dari tadi menutupi wajahnya. Mataku tertuju pada tangannya yang gemetaran.
"Mimpi buruk lagi, ya?" Kali ini aku mengusap punggungnya, mencoba membantu agar dia merasa lebih tenang.
Vincent tidak menjawab, hanya terdiam. Aku bisa mendengar deru nafasnya yang tidak beraturan, dan aku bingung harus berbuat apa.
Haruskah kupeluk dia? Atau cukup kuhibur dengan kata-kata? Yang kulakukan hanya memandangnya saja, bertanya-tanya dalam hati sebenarnya dia mimpi apa sampai kelihatan shock begitu.
"Maaf..." Satu-satunya kata yang akhirnya dia ucapkan.
Gantian aku yang menghela nafas. Aku tidak mengerti, dia selalu bilang maaf setiap ada di situasi seperti ini.
"Udah lebih tenang? Mandi dan ganti baju dulu, bajumu basah begitu," kataku saat melihat dirinya yang sudah mulai tenang.
Dia hanya mengangguk lagi. Aku beranjak dari tempat tidurnya dan membuka tirai jendela kamar. Matahari sudah mulai tinggi rupanya.
Aku reflek menyipitkan mata ketika cahaya matahari berbondong-bondong menerobos masuk. Lalu kutinggalkan Vincent dan hendak mandi juga di kamar mandi luar.
* * *
Aku, Thomas Christian, mahasiswa semester lima Fakultas Ekonomi di salah satu universitas besar di kota ini. Saat ini aku 'numpang' tinggal di rumah teman kuliahku, karena aku bukan berasal dari sini.
Tadinya aku kos, tapi karena kekurangan biaya, untuk sementara aku tinggal bersama temanku. Hehe. Emak dan bapakku tinggal di kampung. Aku ingin menyelesaikan kuliahku dengan cepat dan segera mendapatkan pekerjaan yang bagus untuk membanggakan mereka.
Ya, Vincent itu teman yang kumaksud tadi. Dia baik, anak orang kaya, dan humble. Aku cepat merasa akrab dengannya karena kami berada di jurusan yang sama. Meskipun, pada awalnya dia sangat cuek padaku. Tapi jujur saja, walaupun dia kaya dan baik, sekalipun aku tidak pernah berpikir untuk memanfaatkannya.
Aku benar-benar tulus berteman dengannya. Meskipun aku sekarang sangat dekat dengannya, aku merasa dia penuh misteri. Aku yakin masih banyak hal dan rahasia-rahasia yang tidak kuketahui darinya.
Dia memiliki pribadi yang tertutup. Ini tidak adil. Padahal, aku sendiri selalu terbuka padanya. Aku tidak pernah menyimpan rahasia apa pun darinya. Ada banyak keganjalan yang kutemukan tentangnya, terutama sejak aku tinggal di rumah ini.
Pertama, Vincent tinggal sendirian di rumah sebesar ini?
Memang, sih, aku pernah menanyakan ini langsung padanya. Dia bilang orang tuanya sedang ada urusan bisnis di luar kota. Waktu itu aku bisa memahaminya, tapi sekarang sudah hampir setahun masa orang tuanya tidak pulang-pulang?
Setidaknya sekali-sekali mereka harus melihat keadaan anaknya yang mereka titipkan pada Bi Yati, yang juga tidak tinggal bersama di rumah ini.
Aku pun tidak pernah mendengar Vincent menelpon ayah atau ibunya sekadar untuk menanyakan kabar. Apalagi dia punya tubuh yang lemah, Vincent sering sekali sakit. Masa orang tuanya tidak merasa khawatir?
Kedua, kalau memang dulu Vincent tinggal bersama orang tuanya di rumah ini, kenapa tidak ada tanda-tanda bekas kehadiran mereka?
Seperti Lemari sepatu yang seharusnya ada beberapa pasang sepatu atau sandal milik mereka. Seperti foto-foto keluarga yang tergantung di dinding atau terpajang di meja, aku tidak menemukannya.
Bahkan kamar yang Vincent bilang kamar orang tuanya, bersih seperti kamar tamu. Aku pernah masuk dan melihat-lihat karena penasaran. Malah menurutku rasanya seperti Vincent beserta rumah ini sudah ditinggalkan oleh orang tuanya.
Apakah ada hubungannya dengan mimpi buruknya selama ini?
Semoga tidak benar seperti itu. Semoga itu hanya hayalanku saja, tapi aku tidak bisa menanyakan langsung pada Vincent karena aku tahu masalah ini sangat pribadi. Aku tidak mau dianggap terlalu ikut campur. Padahal, aku hanya peduli padanya.
Kubuka kulkas yang ada di ruang makan, dekat dapur, untuk melihat apa yang sebaiknya kusiapkan untuk sarapan.
Hm... Semalam Bi Yati membawa banyak bahan makanan, aku sampai bingung. Bi Yati adalah bibinya Vincent yang dititipkan orang tuanya untuk menjaga Vincent selama mereka di luar kota, tapi dia hanya datang beberapa kali dalam seminggu. Kenapa tidak tinggal bersama saja, ya?
Kuputuskan mengambil beberapa lauk dan sayur yang sudah dimasak, aku hanya perlu menghangatkannya saja. Ini kan hari Sabtu, masih pagi pula, terlalu malas untuk memasak.
"Tumben, masak apa?" tanya Vincent yang langsung duduk di kursi ruang makan. Dia sudah kembali menunjukkan sikapnya yang biasa, seolah tidak ada yang terjadi tadi.
"Oh, ini lauk yang dari Bi Yati kemarin. Tinggal dipanaskan saja," jawabku.
Dia hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Kuperhatikan dia selama beberapa detik, rambutnya yang basah memperlihatkan bahwa dia habis keramas. Matanya fokus pada smartphone miliknya.
Aku tebak sepertinya dia sedang melihat-lihat sosmed. Aku melangkahkan kaki kearahnya sambil menunggu panciku mendidih. Lalu kutarik kursi di depannya dan kami duduk berhadapan.
"Benar gak apa-apa?" Aku bertanya seraya mendekatkan kepalaku padanya untuk memastikan dia tidak berbohong.
"Apanya?" Dia malah bertanya balik, tanpa menoleh. Matanya masih tertuju pada smartphone miliknya.
Aku menarik kembali kepalaku dan menyandarkan punggungku di kursi. Selalu saja begitu, pura-pura tidak ada yang terjadi. Ini bukan yang pertama kalinya dia mimpi buruk sampai seperti itu. Dan dia tidak memberiku kesempatan untuk menanyakannya.
Apa yang sebenarnya Vincent sembunyikan? Jujur saja, aku kecewa. Aku teman dekatnya, tapi dia tidak mempercayaiku.
Aku menghela nafas dengan kasar, lalu segera bangkit dari kursi. Kuperiksa panciku meski belum terdengar suara mendidih. Lebih baik aku menunggu di sini dari pada duduk berhadapan dengannya di sana. Tiba-tiba saja aku malas dengannya.
Kami makan bersama, tanpa percakapan. Kuakui aku memang memasang ekspresi seperti orang yang sedang kesal. Sepertinya dia menyadarinya karena tidak bisa kututupi lagi.
"Thomas, kamu marah, ya?" katanya lembut memecahkan keheningan.
"Enggak," jawabku datar.
"Iya, ya.. Thomas yang aku kenal kan gak bisa marah. Dia baik hati, murah hati, ramah, dan suka menabung," katanya sambil menyuapkan sesendok nasi di mulutnya. "Hm.. Betul, betul, betul," lanjutnya dengan nada bicara khasnya si kembar dari film kartun Upin Ipin, seolah membenarkan apa yang baru saja dia ucapkan.
Lagi-lagi aku menghela nafas, kali ini tanda menyerah. Aku gagal dan benar-benar tidak bisa marah padanya. Belum apa-apa aku sudah dibuat tertawa.
Mungkin benar seperti yang Vincent bilang tadi, sudah menjadi sifatku yang tidak bisa marah, baik hati, murah hati, dan ... eh, kalau rajin menabung tidak juga. Haha.
Aku juga tidak setega itu padanya, dia juga terlalu baik padaku. Aku cukup sadar diri bahwa aku tidak boleh memaksanya.
"Mau kopi? Kubuatkan, ya?" tanyaku setelah selesai membersihkan meja makan.
Vincent langsung menggelengkan kepala tanda menolak sembari tersenyum.
"Kopi hitam? Espresso? Kopi susu? Latte?" Aku meng-absent jenis-jenis kopi. Meskipun, aku tahu sebagian besar yang kusebutkan tadi tidak ada di lemari.
"Aku gak minum kopi. Barang satu teguk pun aku gak bisa, Tom. Kamu gak percaya?"
Aku tertawa. "Yaa.. ya.. Aku tahu kok, aku tahu. Aku cuma bercanda. Kan gak seru aku ngopi sendirian."
Aku selalu ingat kok jika Vincent memang tidak bisa makan atau minum sesuatu yang mengandung kopi. Dia bilang itu sudah dari kecil. Mungkin semacam alergi dengan kopi, tapi aku sendiri belum pernah melihat efeknya secara langsung.
Habis makan memang paling enak menyeruput kopi sambil nonton tv. Terlebih karena ini hari libur kuliah rasanya aku hanya ingin bersantai ria seharian.
Ah, biasanya aku pasti akan menyalakan korek dan mulai merokok. Namun, sejak tinggal di sini aku merubah kebiasaanku dari merokok menjadi ngopi. Aku menghargai pemilik rumah ini yang punya masalah dengan kesehatannya.
Aku menguap lagi. Acara tv kebanyakan hanya acara anak-anak dan siaran berita siang. Udara panas di luar membuatku mager. Kuteguk tegukan terakhir dari gelas kopiku. Kemudian, aku teringat tugas yang diberikan dosen Teori Akuntansi hari Senin lalu.
"Cent, kau udah kerjain tugasnya Pak Hendro?" tanyaku pada Vincent yang duduk di sofa tidak jauh dariku.
"Udah, tinggal di-print aja nanti. Kan dua hari lagi udah harus dikumpul. Jangan bilang kamu belum dapat apa-apa."
"Mampus aku! Aku benar-benar gak ingat. Untung aja muka pembawa acara itu mirip dengan Pak Hendro, langsung ingat aku," kataku dengan gelak tawa yang meledak sambil menunjuk tv.
"Maksudmu kepala botaknya?" Vincent tertawa kecil. Lalu menyuruhku cepat-cepat mencari bahan materi karena tugasnya itu membuat makalah.
"Aku pinjam laptop-mu, dong. Di tempat biasa, 'kan?"
Vincent mengangguk dan kembali menonton tv. Dengan setengah berlari aku menuju kamar Vincent yang tidak jauh dari ruang tengah.
Mataku fokus menelusuri ruangan itu mencari laptop hitam 14 inch yang ditempeli stiker besar bergambar emoticon smile berwarna kuning. Membuat orang yang melihatnya pun bisa ikut tersenyum seperti gambar itu.
Aku menemukannya di atas meja, di pojokan, persis sebelah tempat tidur. Kuraih laptop itu bersama dengan charger-nya. Beberapa benda di sekitarnya berjatuhan karena terseret kabel charger.
Aku mulai menggerutu karena mau tidak mau aku harus membereskannya kembali. Kuletakkan laptop di tempat tidur di sebelah kiriku dan langsung berjongkok untuk memunguti benda-benda yang terjatuh tadi.
Aku sedikit terkejut. Ternyata sebagian benda yang terjatuh tadi adalah obat-obatnya Vincent. Aku melihat berbagai macam merek dan jenis yang berbeda.
Sebenarnya, aku sudah tidak asing dengan obat ini. Ini obat sesak nafas, pereda nyeri, dan beberapa vitamin untuk jantung. Tidak jarang aku menyiapkannya untuk Vincent kalau sedang kambuh. Aku juga pernah menebusnya dari apotik. Jadi, aku tahu betul.
Namun, ada satu jenis obat yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dua diantaranya sudah terbuka dan kosong. Sebisa mungkin aku menghapal mereknya dan kutaruh lagi semua di atas meja. Kuraih laptop dari tempat tidur dan bergegas keluar.
"Ketemu?" tanya Vincent dari ruang tengah dengan setengah berteriak ketika mendengar aku menutup pintu, keluar dari kamarnya.
Aku kembali ke ruang tengah, lalu kutunjukkan laptop itu padanya. Aku menaruhnya di meja depan sofa dan langsung menghidupkannya.
Sambil pura-pura menunggu laptop benar-benar siap digunakan, aku mengambil smartphone-ku dari sofa. Cepat-cepat kutuliskan merek obat yang sudah kuhapal tadi di google sebelum aku melupakannya.
Obat penenang, dengan tanda lingkaran berwarna merah dan ada huruf 'K' ditengahnya.
Aku terdiam, membaca tulisan demi tulisan lebih dalam. Perasaanku jadi tidak enak. Aku benar-benar bingung. Kenapa Vincent punya obat penenang dengan dosis tinggi? Dan untuk apa juga dia minum ini?
Aku melirik ke arahnya diam-diam.
Kapan kamu minum obat ini? Sejak kapan?
Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Rasanya ingin kulontarkan semua pertanyaan itu padanya, tapi tidak bisa.
Aku terus berpikir. Aku merasa ada suatu hal penting yang tidak kuketahui tentangnya. Ah, aku teringat yang terjadi pagi tadi. Mungkinkah ada hubungannya dengan mimpi buruk yang sering dia alami?
Jadi, setelah itu dia minum obat ini langsung dua sekaligus? Rasanya tidak mungkin. Itu hanya mimpi buruk biasa saja, setiap orang pasti pernah mengalaminya, kan?
Hanya saja, kalau dia benar-benar sampai harus mengkonsumsi obat seperti ini, dia pasti sangat menderita.
Arrrghh, aku sangat penasaran!
"Hei, apa kau baik-baik saja?" Tanpa sadar aku mengatakannya.
Vincent melirik ke arahku, "Apa?"
"Ah, bukan apa-apa."
Aku tidak berani membahasnya. Aku hanya perlu menunggu. Menunggu sampai dia bersedia menceritakan semuanya. Aku hanya berharap semoga dia baik-baik saja..
****
Bersambung...