Chapter 3 - Chapter 2 - Teman

PoV: Vincent

Kini aku berusia 21 tahun. Aku tidak terlalu tinggi dan kulitku putih seperti ayahku, maksudku ayah kandungku. Rambutku yang lurus kubiarkan jatuh di kepalaku dengan warna sedikit cokelat, tentu saja karena aku sengaja mewarnainya. Aku punya mata yang agak sipit dengan lipatan ganda kelopak mata.

Aku merasa hidupku jauh lebih baik saat ini. Lebih tepatnya sejak aku keluar dari rumah itu, sejak aku lepas dari berbagai macam pelampiasan mama. Ah, aku tidak ingin mengingatnya lagi. Hanya mengenangnya saja dadaku terasa sesak dan air mataku akan meleleh sendiri.

Aku sudah dewasa, kini aku dapat mengontrol diriku dengan baik. Aku bisa tersenyum, sesekali tertawa dan berekspresi seperti orang normal lain seusiaku. Aku berusaha keras untuk membuka diri. Meskipun, tidak jarang mimpi-mimpi buruk itu masih datang menerorku seolah menolak untuk dilupakan.

Aku sedang kuliah semester lima di salah satu perguruan tinggi swasta di kotaku. Saat kelulusan SMA, aku berkesempatan berbicara dengan ayah kandungku bahwa aku ingin keluar dari rumah mama dan papa. Ayah, begitulah caraku memanggilnya, mendukungku karena mungkin ia pikir aku sudah dewasa.

Sebenarnya ia baik padaku, ia hanya takut pada istrinya yang juga menolak kenyataan bahwa aku adalah anak haram suaminya. Istrinya pun baru mengetahui hal itu setelah anak pertama mereka lahir. Aku mengerti, wanita mana yang bisa menerima anak hasil dari hubungan gelap suaminya dulu.

Ayah memberiku rumah yang cukup besar dan dekat dengan kampus, memenuhi setiap kebutuhanku serta menanggung biaya hidupku, termasuk biaya rumah sakit.

Seperti yang sudah pernah kujelaskan, aku memilliki riwayat lemah jantung dan gangguan pernafasan. Setiap obatku habis, aku harus pergi checkup ke rumah sakit dan memperbarui obat-obatan yang harus kuminum setiap harinya.

Melelahkan, bukan? Aku juga bosan menelannya setiap hari, tapi aku sangat bersyukur atas hidupku sekarang. Bi Yati juga sering datang mengingatkan supaya aku jangan sakit dan makan yang benar. Ia benar-benar penyemangat hidupku.

Di kampus, aku mengenal seorang teman yang bernama Thomas. Dia baik, sedikit usil, dan ramah pada siapa pun. Dia tidak pernah memandang remeh orang, tapi dia bisa cukup tegas jika diremehkan orang. Dia juga sangat peka, berbeda sekali denganku.

Pertama kali aku mengenalnya saat OSPEK dua tahun lalu. Walaupun aku selalu mengabaikannya, dia terus menempel padaku karena kami satu kelompok. Belakangan aku iseng bertanya padanya kenapa dia begitu waktu itu.

"Habisnya kau lucu, sih. Aku perhatiin kau sering bengong, terus kemana-mana sendirian kayak gak punya temen aja," jawabnya sambil tertawa dengan gaya bicaranya yang khas. "Sebenarnya aku juga belum ada teman waktu itu. Aku kan dari kampung, gak kenal siapa-siapa. Pas aku liat kau yang begitu, jadi pengen kumangsa!" Dia geli sendiri.

Ya, Thomas anak kos di sini. Orang tuanya tidak tinggal di kota ini. Dia merantau ke sini untuk kuliah dan sedang mengejar semester pendek. Semakin lama dia makin bersahabat denganku.

Ternyata dia cukup banyak bicara dan sangat terbuka. Aku belajar banyak darinya. Dia juga blakblakan dan pandai menghiburku. Misalnya saat aku terlihat sedang penat di kelas, tiba-tiba dia menghela nafas panjang.

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Aku kangen sayur asem buatan emak," jawabnya enteng.

Sontak aku tertawa kecil. "Minta gojekin sana," balasku.

"Hah? Ongkosnya bisa untuk beli ayam goreng sekandang tahu!" Lalu dia tertawa keras.

Aku ikut tertawa. Ada-ada saja dia itu.

Memang terlihat seperti aku selalu memujinya, tetapi Thomas berbeda dengan teman yang lain. Dia akan menelponku berkali-kali jika aku tidak masuk kelas dan tidak mengabarinya. Bahkan dia sampai repot-repot datang ke rumahku ketika tahu aku sedang sakit karena absent di kelas selama beberapa hari.

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, seperti ini rasanya memiliki teman yang begitu peduli padaku. Sebenarnya, aku sungguh merasa tidak enak padanya. Aku banyak merepotkannya.

Tanpa kusadari, aku mulai bergantung pada Thomas. Hanya dia satu-satunya teman yang selalu kucari setiap tiba di kampus. Tapi aku tahu betul aku tidak boleh terlalu bergantung padanya.

Aku selalu berpikir dia baik padaku karena merasa kasihan, terutama setelah dia tahu aku mudah sakit dan sedang tinggal sendiri di rumah. Ah, aku belum jujur padanya tentang hubunganku dengan orang tuaku. Aku hanya bilang padanya kalau mereka sedang ada bisnis di luar kota.

Tahun lalu, Thomas cerita bahwa dia ingin pindah kos yang lebih kecil karena dia merasa orang tuanya sedang kesulitan keuangan. Aku melihat raut wajahnya yang biasanya ceria meredup seolah menunjukkan bahwa dia tidak ingin menyusahkan orang tuanya. Menurutku, dia benar-benar anak yang berbakti.

Tak perlu berpikir dua kali, aku langsung mengajaknya tinggal bersamaku. Rumahku cukup besar. Lagi pula, aku hanya tinggal sendirian. Tanpa disangka, dia langsung menyetujuinya. Aku kira dia akan basa-basi menolak dulu. Haha

"Nanti aku bantu bersih-bersih, oke, oke?" Wajahnya kembali berseri seolah-olah beban besar baru saja terangkat dari pundaknya.

Kuakui Thomas cukup sabar menghadapi sifatku yang agak ngeyel dan keras kepala ini. Semenjak dia tinggal di rumahku, mau tidak mau dia jadi banyak terlibat dan tahu tentangku. Pernah dia sampai kerepotan karena sakitku sedang kambuh dan harus dirawat di rumah sakit beberapa hari.

Tidak tahu akan jadi bagaimana aku kalau waktu itu tidak ada Thomas, tapi aku masih belum bisa sepenuhnya terbuka padanya. Aku memilih lebih baik dia tahu sendiri nanti perlahan-lahan daripada langsung kuceritakan semua sekaligus.

Ada satu hal penting yang aku tidak suka darinya. Meski bukan pecandu berat, Thomas seorang perokok. Bukannya apa, aku tidak tahan dengan orang yang merokok. Sedikit saja asapnya bisa membuat nafasku sesak dan sakit kepala.

Selain karena aku punya gangguan pernafasan, aku yakin pasti ada sebagian orang yang juga tidak suka asap rokok sepertiku, 'kan? Tapi lagi-lagi Thomas sangat mengerti. Dia tidak pernah merokok di depanku. Bahkan sejak tinggal di rumahku dia menjadi sangat jarang merokok. Baguslah.. hehe

* * *

Kurebahkan tubuhku di sofa ruang tamu setelah sebelumnya sempat melempar tas punggung ke atas meja. Aku menarik nafas sedalam mungkin dan perlahan menghembuskannya.

Kulihat jam dinding yang menghadap tepat ke sofa menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Akhirnya, selesai juga kelas yang cukup panjang hari ini. Tanganku mencoba meraba-raba meja yang ada di depan sofa, mencari remote AC.

"Oh, ini dia!" Langsung saja kutekan tombol power on ke arah dinding di atas kepalaku.

Ting...

Smartphone-ku berbunyi tanda notifikasi.

Kusempatkan mengambilnya dari dalam tas yang kulemparkan tadi dan kembali berbaring di sofa. Sebuah direct message dari seseorang yang tidak kukenal di Instagram.

Olvie A.

Hai... :)

Siapa, nih? Kubuka profile akunnya dan sekilas melihat sebuah foto pada barisan pertama. Cantik, terlihat seorang gadis yang sepertinya lebih muda dariku. Lalu kutekan tombol back sampai kembali ke layar home.

Aku tak membalas pesan itu setelah membacanya. Hanya kubiarkan begitu saja. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya aku menerima chat seperti itu.

Di depan kudengar Thomas yang masih sibuk memarkir mobilku. Dia baru belajar menyetir sekitar dua bulan yang lalu. Sudah lumayan lancar, sih, hanya kalau parkir dia masih sedikit kebingungan.

Kupejamkan kedua mataku sembari melepas lelah. Padahal kuliah hanya duduk dan mendengarkan saja, tapi terasa melelahkan.

"Enak, ya, udah rebahan," ujar Thomas setelah menginjakkan kakinya di dalam rumah, "panas banget di luar, padahal udah sore." Lalu terdengar suara kerincing kunci yang digantung.

Hanya kujawab, "Hmm..." Dengan mata yang masih terpejam.

"Mau makan apa untuk nanti, Cent? Biar sekalian aku pergi beli naik motor, mumpung belum ganti baju, nih," tanya Thomas memecah keheningan, menyadarkanku yang hampir terlelap.

Aku merogoh kantung belakang celana jeans-ku untuk mengeluarkan dompet. Kutarik dua lembar uang lima puluh ribu rupiah lalu menyodorkannya pada Thomas.

"Beli makan untuk kamu aja, aku ngantuk," jawabku seraya membalikkan badan ke kiri dan kembali menutup mata. Nyaman sekali rasanya setelah penat seharian di kampus.

"Bukannya kamu harus minum obat? Berarti harus makanlah..."

Aku tidak menjawabnya. Kubiarkan diriku terlelap lagi. Tidak lama dari itu, aku kembali terbangun oleh suara gerbang depan yang dibuka. Dengan mata yang setengah terpejam aku beranjak bangun dan duduk di sofa.

"Ada siapa itu, Tom?" Aku mendongak pada Thomas yang sedang menegak air.

Buru-buru dia meletakkan gelasnya dan segera membuka pintu.

"Oh, ada Bi Yati. Banyak amat bawaannya, Bi," katanya sambil bergegas keluar, sepertinya dia sedang membantu membawakan bawaan seseorang yang membuka pintu gerbang tadi.

"Bi Yati?" tanyaku memastikan aku tidak salah dengar.

Kemudian aku melihat Thomas masuk dengan membawa kantong kresek besar pada masing-masing tangannya dan disusul oleh bibi yang membawa rantang makanan.

"Sudah makan, Dek? Ini bibi bawakan ayam goreng dan beberapa lauk. Ada sayur asem juga tadi bibi masak banyakan sengaja untuk Adek." Bi Yati menyodorkan rantangnya ke arahku.

"Apa, Bi? Sayur asem?" seru Thomas dari balik pintu kulkas sambil memasukkan beberapa makanan. Aku tertawa kecil. Dengar saja dia kalau bibi bawa sayur kesukaannya.

Aku yang tadinya mengantuk jadi hilang setelah melihat bibi. Kuraih rantang itu dan membawanya ke ruang makan bersama bibi. Aroma makanan mulai tercium ke seluruh ruang makan ketika kubuka penutup rantangnya.

"Bibi udah makan? Vincent mau makan sama bibi juga," ajakku sambil menarik kursi menyuruh bibi duduk. Dan bibi mengiyakan.

Lalu aku keluarkan isi rantang ke dalam piring yang sudah kusiapkan sebelumnya, sementara Thomas masih sibuk dengan isi kantong-kantong yang dibawa bibi tadi. Rupanya bawaan bibi benar-benar banyak, terbukti dari Thomas yang mulai kebingungan menatanya di kulkas.

"Padahal ya, Bi, tadi Vincent bilang ngantuk dan gak ingin makan," adu Thomas pada bibi sambil cekikikan pelan.

"Siapa bilang? Aku udah tahu Bi Yati mau datang. Jadi, aku menunggunya. Lihat, benar 'kan bibi datang? Iya 'kan, Bi?" bantahku. Aku terpaksa mencari-cari alasan agar bibi tidak khawatir.

Bi Yati tertawa. Aku mengedipkan mataku pada Thomas, memberi kode agar dia jangan lagi mengadu yang tidak-tidak. Dia membalasku dengan menunjukkan ekspresi wajahnya yang mengejek. Thomas memang sering menyebalkan seperti itu.

Setelah selesai menata meja makan dan mencuci rantang yang bibi bawa tadi, aku pamit untuk mandi. Kutitipkan Bi Yati pada Thomas.

Sambil berjalan ke kamar aku sempat mengarah-arahkan jari telunjukku pada Thomas, memberi kode lagi agar dia tidak berbicara yang tidak-tidak pada bibi seperti tadi. Dia memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak melihatku. Dasar.

Usai mandi, kulihat Bi Yati sedang menyapu di ruang tangah. Loh, kemana si Thomas? Pikirku. Segera kuambil sapu itu dari tangan bibi.

"Kok Bibi malah bersih-bersih? Kan Bibi sudah capek bekerja di rumah mama." Dengan sigap mataku menelusuri ruangan, memastikan Thomas tidak ada. "Bibi ijin apa ke mama bisa mampir ke sini?"

"Tidak apa-apa, Dek. Bibi senang masih bisa melakukan sesuatu untuk Adek. Dek Thomas tadi bibi suruh mandi juga, kasihan dia sudah lapar sepertinya." Bibi tersenyum membicarkan Thomas. "Ibu belum pulang, pergi dengan bapak."

Ibu yang dimaksud Bi Yati adalah mamaku, dan bapak yang dibicarakan bibi adalah suami baru mama. Ya.. Mama sudah menikah lagi dengan seorang duda yang belum sempat mempunyai anak.

Sekarang mereka sudah mempunyai anak yang berusia hampir dua tahun. Dia cantik dan menggemaskan. Bi Yati pernah memperlihatkan foto dan video-videonya padaku.

Walaupun aku tidak pernah meminta atau membahasnya sekalipun, bibi selalu mengerti aku. Mengerti bahwa sebenarnya aku ingin bertemu adikku, ingin melihatnya tumbuh besar dengan baik.

Aku senang dia tidak akan merasakan seperti bagaimana aku diperlakukan dulu. Aku senang mama dan suami barunya sangat menyayanginya, tapi aku tidak bisa menyentuhnya.

Aku tidak ingin dia mengenaliku sebagai kakaknya suatu saat nanti. Aku juga tidak mampu bertemu mama, sampai sekarang pun aku masih sangat takut padanya.

Sedangkan papa, aku dan Bi Yati sendiri tidak tahu pastinya papa kemana dan sudah berkeluarga lagi atau belum. Ia pergi dinas ke luar kota dan tidak pernah kembali. Sudah hampir empat tahun, tidak ada kabar juga sama sekali. Tanpa ada proses perceraian yang resmi, mama menikah lagi.

Rumah mereka yang dulu masih ditinggali mama bersama keluarga barunya, dan Bi Yati juga masih di sana. Syukurlah mama memperlakukan bibi dengan baik selama ini. Syukurlah sekarang mama bisa bahagia. Aku tidak mau lagi menjadi penghalang kebahagiaannya.

Kami bertiga sudah berkumpul di meja makan. Menyantap masakan bibi dengan lahap, terutama Thomas. Dia bahkan sudah makan piring keduanya.

Bi Yati sangat menyukai Thomas. Bibi pernah bilang bahwa dia bersyukur aku mendapatkan teman yang baik dan tulus seperti Thomas. Sebenarnya, aku pun berpikir begitu. Namun, aku selalu merasa takut. Aku takut akan membebaninya, bukan, aku hanya takut kehilangan dan ditolak lagi.

Kami membicarakan banyak hal mulai dari keluh kesah di kampus sampai banyaknya tugas yang diberikan. Apa saja yang ingin dibicarakan menjadi bahasan kami. Kami tertawa bersama. Aku harap waktu dapat berhenti seperti ini..

* * *

Bersambung...