PoV: Vincent
Aku terbangun dari tempat tidur, mendapati nafasku terengah-engah dan sontak kuremas dadaku. Terasa sesak sekali. Sebagian wajah dan bajuku basah karena keringat. Terangnya mentari pagi telah memenuhi kamarku melalui jendela. Cahayanya membuatku memicingkan mata.
Aku menangis setiap terbangun dari mimpi itu. Yaa... Mimpi itu lagi, mimpi dari kenangan buruk dengan ibuku delapan tahun lalu yang selalu membekas di pikiranku, di dadaku. Ada perasaan semacam trauma yang kutahan setiap situasi di mana aku berada di dalam air.
Tapi aku tidak pernah membenci ibuku, yang biasa kupanggil dia mama. Atas apa yang telah ia lakukan terhadapku, atas kenyataan bahwa ia pernah berkali-kali mencoba membunuhku yang merupakan anak kandungnya sendiri.
Aku tidak pernah benar-benar membencinya. Setidaknya sampai suatu hari aku tahu alasan yang sebenarnya mengapa aku tidak diinginkan, kurasa aku sedikit membencinya. Tidak, aku hanya kecewa padanya. Aku tidak bisa membencinya.
Aku, Vincentius Hansen, yang biasa dipanggil Vincent, lahir dari keluarga yang cukup berada di salah satu kota besar di Pulau Sumatera. Aku anak satu-satunya dari ayah dan ibuku. Namun, rasanya tidak pernah sedikit pun aku menerima kasih sayang dari mereka.
Mengapa? Sejak aku kecil ayahku sibuk dengan pekerjaanya dan sering keluar kota. Ibuku yang kesepian di rumah sering menjadikanku 'mainannya' atau sekedar melampiaskan emosinya.
Setidaknya dulu aku berpikir begitu. Mereka berdua sering berantem di depanku, mengarah-arahkan jari telunjuk kepadaku, saling melempar tanggung jawab untuk mengurusku seolah-olah aku bukanlah anak mereka.
Aku terbiasa diam duduk dipojokan sambil membenamkan wajah pada kedua lututku, mendengar mereka beradu mulut. Sesekali terdengar suara benda yang dibanting.
Pasti papa lebih memilih banyak dinas ke luar kota agar tidak sering bertemu mama di rumah. Temperamen mama sangat buruk. Siapa pun pasti tidak ingin berurusan dengannya.
Untung ada Bi Yati, asisten rumah tangga di rumah yang selalu merawatku dengan baik, tapi sekarang dia sudah tua. Pernah kusuruh si bibi untuk berhenti dari pekerjaannya dan kembali pada keluarganya di kampung halamannya, tapi dia selalu menolak. Dia bilang aku sudah seperti anak kandungnya sendiri.
"Nanti Adek bagaimana? Mana mungkin bibi membiarkan Adek tinggal sendiri. Kalau Adek sakit siapa yang rawat, bikin bibi cemas saja," katanya seraya mengelus-elus rambutku.
Tubuhku memang lemah, aku sering sakit-sakitan dari kecil. Bukan hanya fisik, mentalku juga pernah drop karena berbagai penyiksaan yang telah kuterima dulu. Akan kuceritakan semuanya secara perlahan.
Aku juga sayang pada Bi Yati, yang masih memanggilku 'Adek' padahal aku sudah dewasa sekarang. Meski kini aku tidak tinggal di rumah orang tuaku lagi, setiap ada kesempatan Bi Yati datang melihatku.
Bibilah yang paling tahu bagaimana aku dibesarkan di keluargaku. Ia juga merupakan satu-satunya saksi hidup atas semua luka di tubuhku, atas semua sakit yang kuderita, dan atas segala trauma yang kurasakan.
Benar, Bi Yati-lah yang menolongku malam itu, saat hujan di kolam renang yang tidak terlalu besar di belakang rumah. Bibi bilang ia menjerit kaget melihat mama yang seperti kesetanan sedang berusaha menenggelamkanku. Ia reflek menarik mama ke belakang, mengangkat tubuhku ke atas dan langsung memelukku sambil memanggil namaku.
"Ya Allah, Dek. Bangun, Nak, ini bibi... Sudah ngga apa-apa sekarang, ada bibi di sini," kata Bi Yati dengan mata yang selalu berkaca-kaca setiap waktu ia menceritakan padaku.
Waktu itu aku lemas dan tidak ingat apa yang terjadi setelah tenggelam, aku sempat tidak sadarkan diri. Saat bangun, aku sudah berada di rumah sakit. Si bibi yang kulihat pertama kali, ia sedang menangis menggenggam tanganku. Ah, pasti bibi sedih sekali saat itu, aku jadi ada perasaan bersalah pada Bi Yati karena selalu membuatnya khawatir.
Ketika mendekati ujian akhir saat SMP, aku tidak sengaja mengetahui alasan kenapa aku diperlakukan tidak baik selama ini. Waktu itu aku baru pulang dari latihan UAS sekolah. Kebetulan aku pulang sendiri sebelum Bi Yati menjemputku karena sedang pulang cepat. Saat tiba di depan gerbang, aku mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah.
Kupikir pasti papa sudah pulang dan bertengkar lagi dengan mama, seperti biasanya. Beberapa tetangga dan orang lewat pun menengok ke rumahku dan saling bertanya-tanya. Aku membuka gerbang dan mengintip ke dalam. Ternyata pamanku, yakni kakak dari ayahku, yang sedang berdebat dengan mama.
"Oh, ada paman berkunjung rupanya." Aku bergumam pelan.
"Bawa anakmu itu sekarang! Aku tidak tahan melihatnya!" ketus mama dari dalam.
Deg!
Langkahku terhenti. Apa aku salah dengar? Anak paman yang mana? Setahuku paman telat menikah dan anak-anaknya masih kecil sedang sekolah di luar negeri.
Pamanku ini pemilik sebuah perusahaan besar, jadi ia ingin anaknya berpendidikan tinggi sebagai penerusnya nanti. Aku berdiri di balik pintu, berusaha fokus mendengarkan siapa yang mereka bicarakan.
"Ibu macam apa kau ini, Vincent juga anakmu! Bahkan kau yang melahirkan dia!" jawab paman.
"Kau pikir aku ingin melahirkannya? Aku melakukan apa pun supaya anak itu tidak lahir, tapi kau ingat? Kaulah yang selalu menggagalkannya! Kau yang menginginkan anak itu lahir," sahut mama dengan emosi yang tidak terkontrol lagi, "seharusnya kau yang bertanggung jawab atas anak itu, bawa dia sekarang! Aku muak! Dia menghancurkan hidupku dengan suamiku, kehadirannya menghancurkan segalanya!"
"Aku sudah memenuhi tanggung jawabku sebagai ayahnya. Kau lupa? Aku yang selama ini membiayai hidupnya! Aku juga sudah memberikan padamu biaya sekolahnya sampai kuliah! Kalau kau tidak bisa memberikan kasih sayangmu, apa susahnya merawat saja dia dengan baik? Toh, dia anakmu juga!"
"Dia bukan anakku! Brengsek!"
Aku terdiam, mencoba mencerna semua percakapan yang baru saja kudengar. Aku mendengar namaku disebut. Tubuhku gemetaran, sangat jelas bahwa akulah yang mereka maksud. Ah, ternyata begitu. Sekarang semuanya tampak masuk akal.
Aku tidak pernah diinginkan di keluargaku. Aku bukan anak dari papa yang selama ini kuanggap ayahku. Jantungku berdegup cepat, dadaku sesak seperti ditekan kuat, dan nafasku jadi tidak beraturan. Aku masih tidak percaya kisah hidupku terjadi seperti yang ada dalam sinetron berseri.
Waktu itu aku benar-benar drop setelah kejadian itu. Aku mengadu pada Bi Yati sambil menangis malam harinya. Kupaksa bibi menceritakan semuanya. Aku tahu Bi Yati sudah bekerja di rumahku dari awal pernikahan orang tuaku, dari sebelum aku lahir. Kenapa bisa aku jadi anak paman? Bibi menangis dan tak henti-hentinya memelukku.
"Sabar ya, Dek, sabar..."
Bi Yati menceritakan semuanya, dia menjawab setiap pertanyaanku dengan lembut. Memelukku, mengusap kepalaku, dan mengelus punggungku. Air matanya terus mengalir deras. Yang aku tangkap dari cerita bibi, mama tidak sengaja hamil dari pamanku.
Sewaktu papa pergi dinas kerja ke luar kota, paman yang masih lajang sering berkunjung sekedar untuk menengok mama yang sendirian. Karena papa sangat mempercayai paman, papa mengijinkan.
Hingga suatu malam mama pergi clubbing bersama teman-temannya. Lewat tengah malam mama mabuk berat dan meminta paman untuk mengantarnya pulang. Paman membawa mama masuk ke dalam kamarnya.
Bibi bilang ia terlalu mengantuk untuk memastikan keadaan mama, karena pergi clubbing sudah menjadi kebiasaan mama saat papa sedang tidak ada. Pagi harinya saat sedang bersih-bersih rumah, bibi terkejut melihat paman keluar dengan terburu-buru dari kamar mama. Rambut dan pakaiannya terlihat berantakan.
Paman pergi tergesa-gesa melewati Bi Yati tanpa menyapa. Bibi langsung memeriksa kamar mama dan mendapati mama masih tertidur.
Sejak itu bibi merasa gerak-gerik mama dan paman aneh setiap mereka bertemu. Hingga suatu hari bibi tahu bahwa mama sedang hamil. Bi Yati tidak berpikir yang aneh-aneh, ia bilang ia benar-benar berpikir bahwa mama sedang mengandung anak papa.
Kemudian hal tak terduga terjadi. Bibi menyaksikan papa dan mama bertengkar hebat untuk yang pertama kalinya. Yang bibi dengar bahwa papa tidak percaya kalau anak yang dikandung mama adalah anaknya. Karena sepertinya papa jarang di rumah dalam beberapa minggu terakhir.
Singkat cerita setelah dilakukan tes DNA terbukti bahwa mama bukan mengandung anak papa. Waktu itu bibi tidak berani bertanya apa-apa karena suasana rumah itu sangat tidak enak. Bi Yati hanya mendengar keributan mereka setiap hari.
Akhirnya paman datang dan mengakui segalanya, bahwa mereka sempat khilaf malam itu. Papa sangat marah, sejak itu hubungan ketiganya tidak baik. Papa masih menerima mama, tapi mereka ingin menggugurkan aku dari kandungan.
Seperti yang sudah kalian tahu, aku tetap lahir setelah berbagai upaya pengguguran. Aku lahir dengan tubuh yang lemah. Jantungku lemah, membuatku harus mengkonsumsi obat-obatan dan bermacam-macam vitamin. Aku tidak bisa melakukan akivitas yang terlalu berat.
Saat kelas lima SD, aku pernah diusir mama dan harus menghabiskan malam di luar pintu rumah. Tidak hanya sekali atau dua kali, bahkan mama tidak peduli jika sedang hujan sekali pun. Bi Yati tidak bisa berbuat apa-apa karena mama lebih berkuasa.
Kedinginan di luar setelah dihajar mama, menangis sendirian, bahkan sampai pingsan, sudah biasa bagiku. Dokter menyatakan aku punya gangguan penafasan juga, salah satu penyebabnya karena udara dingin dan tekanan psikologis. Jika sedang kambuh, akan terjadi penyempitan saluran pernafasan yang membuat dadaku sesak seperti ditekan dengan kuat.
Sejak aku tahu kenyataan pahit akan keberadaanku di keluarga ini, aku menangis setiap malam. Aku tidak bisa fokus belajar padahal ujian akhir sudah didepan mata. Aku selalu mengurung diri dan jarang mau makan. Kalau sekarang dipikir-pikir, Bi Yati pasti sedih karena aku saat itu.
Aku benar-benar stress, tidak bisa menerima segala yang telah terjadi. Ya, aku masih SMP, emosiku masih labil dan tidak bisa berpikir dewasa. Aku gagal dalam ujian. Tentu saja mama tidak peduli. Hanya papa sempat marah besar karena malu anak yang 'dibesarkannya' tidak lulus ujian.
Dalam beberapa bulan, kesedihanku semakin larut. Aku benar-benar merasa sedang berada di titik terendah dalam hidupku. Tidak ada semangat. Pikiran-pikiran aneh mulai menyelimuti kepalaku.
Aku kerap melukai diriku dengan membuat sayatan-sayatan tipis di lengan kiriku. Atau sengaja tidak meminum obat-obatku yang disediakan Bi Yati setiap hari. Atau mengumpulkan jatah obat dua hari untuk kuminum sekaligus. Biasanya aku hanya akan muntah-muntah, atau paling parah aku akan terbangun di rumah sakit besoknya, dan langsung dihajar mama saat pulang.
Aku masuk SMA dengan ijazah paket C. Aku tidak punya teman di sekolah karena pribadiku yang tertutup dan hampir tidak pernah menunjukkan ekspresiku. 'Cowok Robot', teman-teman memberiku nama julukan di sekolah. Atau kadang mereka juga memanggilku 'Anak Pembantu', karena Bi Yati rajin mengantar dan menjemputku sekolah.
Haha, yang benar saja. Memang kenapa kalau aku diantar jemput pembantu? Aku yakin Bi Yati itu pasti seribu kali lebih baik dari pada ibu mereka!
Aku sakit, pagi itu aku tidak bisa bangun dari tempat tidur. Aku demam tinggi, tubuhku gemetaran, dadaku naik turun karena terasa berat bahkan sekedar untuk bernafas. Dalam keadaan setengah sadar aku ingat sempat memanggil-manggil mama sembari menangis. Aku tidak mengerti kenapa mama yang aku panggil-panggil dan bukannya Bi Yati?
Lagi-lagi aku terbangun di rumah sakit. Alat bantu pernafasan sudah terpasang di wajahku dan selang infus di tanganku. Hahh.. Aku menghela nafas lelah. Entah bagaimana aku merasa sangat lelah. Aku melepas masker oksigen dari wajahku dan menarik selang infus dari tanganku.
Pandanganku kosong, aku melamun duduk di tempat tidur. Semenit kemudian aku tersadar karena nafasku kembali tersenggal-senggal. Kupegang dadaku yang mulai terasa sesak dengan sebelah tangan sambil berusaha mengatur nafas. Mataku menelusuri ruangan mencari Bi Yati, tapi tidak kutemukan.
Aku sendirian di sana, tapi aku mendengar bisikan-bisikan aneh di telingaku.
"Mati... Lebih baik mati saja," bisik suara itu.
Aku menengok ke arah sumber suara, tapi tidak kutemukan siapa pun. Sementara suara itu terus saja kudengar.
"Tidak ada yang menginginkanmu di dunia ini. Ikutlah denganku..."
Kututup kedua telingaku sambil memejamkan mata. Bagaikan putaran film yang tidak bisa di-pause, ingatan-ingatan serta kenangan buruk yang selama ini kualami berbondong-bondong menyerbu kepalaku. Sementara itu suara-suara tadi masih terus berbisik, "Mati... Mati..."
Sungguh aku tidak tahan lagi, aku berteriak menggila dengan kedua tangan yang masih menutupi telinga. Aku tidak begitu ingat lagi setelah itu, tahu-tahu kudapati diriku sedang dipeluk oleh Bi Yati, dan dokter sedang menyuntikkan sesuatu di lenganku. Aku lemas dan langsung terkulai tak berdaya.
Saat kembali membuka mata, aku melihat papa, mama, Bi Yati, dokter dan suster yang merawatku. Samar-samar aku mendengar apa yang mereka bicarakan, semakin lama aku bisa mendengarnya lebih jelas.
Dokter bilang aku depresi, ia bertanya apakah aku mendapat semacam tekanan di rumah. Mama menyangkalnya dengan tegas, kudengar mama bilang mungkin aku stress karena tidak lulus ujian waktu itu. Aku lihat Bi Yati hanya bisa merunduk. Padahal mereka semua di sana tahu betul kenapa aku seperti itu.
Rasanya aku ingin memberitahu dokter tentang semua apa yang kuderita, tapi tidak bisa. Tenggorokanku seperti tertahan sesuatu. Aku menangis dan merasa sangat putus asa. Aku kembali berteriak sejadi-jadinya sambil meronta.
Aku tidak mengerti akan apa yang kulakukan itu, semua diluar kendaliku. Saat itu satu-satunya yang dapat membuatku merasa lebih baik adalah menangis dan menangis.
Sesekali aku menyakiti diriku lagi, benda apa pun di sekitarku dapat kujadikan alat sekedar untuk melukai lengan atau leherku. Aku merasa tidak ada gunanya hidup, aku merasa tidak akan pernah bahagia.
Hahh.. Sebenarnya memalukan untuk diceritakan, tapi aku tetap harus bilang. Aku pernah dirawat di pusat rehabilitasi kesehatan mental selama delapan bulan. Apa aku gila? Kalau iya, seharusnya aku di rumah sakit jiwa, dong. Haha
Ya, mama yang meminta dokter merujukku untuk dirawat di RSJ. Sepertinya ia ingin segera terbebas dariku dengan mengirimku ke sana, tapi dokter tidak setuju. Dia menyarankan aku ke pusat rehabilitasi kesehatan mental karena menurutnya aku akan lebih cepat membaik di sana.
Hal itu membuatku tinggal kelas dan harus mengulang di kelas satu lagi. Aku malu menghadapi teman-teman seangkatanku dulu. Aku juga malu menatap teman-teman sekelasku yang baru. Mereka semua tahu kenapa aku tinggal kelas. Aku takut, takut mereka menolakku seperti orang tuaku yang menolakku sebagai anaknya.
Pada akhirnya, aku melewati masa SMA dengan tenang. Nilaiku tidak terlalu bagus karena aku sering absent karena sakit, bahkan tidak banyak teman sekelas yang kuingat namanya.
Bi Yati hanya temanku satu-satunya yang bisa kuajak bicara saat itu. Dialah yang datang menjenguk dan memberiku semangat setiap hari di pusat rehabilitasi. Dia juga yang membuatku bisa merasakan hangatnya kasih sayang ibu.
Aku dapat melewati masa SMA-ku dengan baik berkat bibi. Aku berpikir suatu saat aku harus membalas segala kebaikannya. Yang pasti bibi harus selalu sehat, yaa...
* * *
Terima kasih buat yang udah baca, komen, dan vote/like ya.. Kritik dan saran welcome ~~ XD