Chereads / Who Are You In My Mind / Chapter 23 - Chapter 23: Pikiran Buruk

Chapter 23 - Chapter 23: Pikiran Buruk

[... Ver, ayah kamu koma....]

Sebuah pesan yang ia terima dari Hendry beberapa hari lalu. Vero terkesan mengabaikannya, namun perasaannya tak bisa berbohong. Berita itu membuatnya lebih sering melamun akhir-akhir ini dan otaknya berpikir keras tentang apa yang sebenarnya ingin ia lakukan. Apa harus datang menjenguk orang tua itu? Hingga membuatnya kembali pada memori mengerikan bertahun-tahun silam. Atau membiarkan orang itu mati dengan sendirinya? Itu terdengar sungguh mengerikan dan batin Vero mengutuk itu. Ia mengutuk dirinya sendiri.

Tapi, apa yang bisa Vero lakukan. Ia merasa dadanya terbakar dan kepalanya seperti mau pecah membayangkan kembali bertemu dengan orang tua itu. "Matilah kau!" kalimat yang sering singgah dalam benaknya, hanya saja tak pernah terlontar begitu saja dari mulutnya. Sebenarnya Vero selalu mencari kesempatan untuk membunuh orang tua itu sejak berumur belasan tahun. Saat mencampurkan gula ke dalam teh, Vero berniat memasukkan racun tikus ke dalamnya. Saat Vero harus mengambil air di sumur, ia berpikir apa yang akan terjadi jika ayahnya masuk ke dalam sana. Saat mereka menyeberang jalan, Vero berniat mendorong orang tua itu hingga ia tersungkur di tengah jalan. Dan saat tak sengaja gelas kaca terhempas kelantai, Vero ingin sekali menggorok leher orang tua itu dengan pecahan kaca.

Namun, seperti ada yang menahan lengannya, Vero selalu gagal mewujudkan hal buruk yang ada dalam pikirannya. Psikopat atau pun bukan, masih belum terbukti. Faktanya Vero sendiri tidak tahu apakah dirinya akan merasa senang setelah membunuh ayahnya sendiri. Dan pertentangan batin itu masih terus dialami Vero hingga saat ini, saat ia kembali tenggelam dalam diam dan tatapan kosong pada dinding bening yang menyimpan bayangannya. "Aku tidak akan mebiarkan pikiran buruk mempengaruhiku," ujarnya.

"Pikiran buruk seperti apa?"

Vero segera berpaling ke samping.

"Yang menganggu Anda?" lanjut perempuan yang meletakkan sesuatu di atas mejanya.

Vero terdiam sejenak. Dadanya bergetar menahan amarah yang tiba-tiba saja menyergapnya.

"Apa tidak ada yang mengajarimu untuk mengetuk pintu atau mengucapkan salam sebelum masuk ke ruangan orang lain?" ucap Vero dengan wajah merengut dan sorot mata yang seolah mampu membakar ruangan tempatnya berdiri. Ia benar-benar tidak ingin diganggu saat itu.

Amira terkesiap. Ia mencoba meraba-raba apakah Vero sedang memarahinya. Ekspresi mengerikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya

"Aku… tadi… pintunya…!" Amira tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia katakan. Seingatnya ia sudah bilang," Permisi!", tapi tidak ada tanggapan dari pria tinggi yang berdiri di jarak dua meter darinya.

Vero akhirnya memilih berpaling dibanding mencoba memahami patahan kata yang dikeluarkan Amira. Ia kembali memandangi halaman gersang Fakultas Kedokteran dari tempatnya berdiri, ia melipat tangannya di depan dada dan menyandarkan pantatnya di ujung meja kerjanya.

"Pergilah!" desah Vero.

Amira menelan ludahnya, ia ketakutan sendiri melihat aura Vero yang tidak biasa. Namun, perasaan itu justru menariknya pada teka-teki yang ada pada diri Vero.

"Aku sudah menyelsaikan tugas yang Anda berikan," Amira memberanikan diri untuk bicara.

"Emm," tanggap Vero seadanya.

"Apa aku berbuat salah?" tanya Amira lagi.

"Apa Kau tidak mendengarnya? Aku menyuruhmu pergi!" berat Vero.

"Apa Anda tidak apa-apa?" tanya Amira seakan tak peduli perintah Vero.

Vero kembali menyorotkan bola matanya pada Amira dan menunjukkan senyumnya yang terkesan mengerikan.

Ia mendengus kuat. Ia kira Amira terlalu banyak ikut campur akhir-akhir ini dan ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit sekali untuk dijawab. Semacam, "Tadi malam Anda terus meneriakkan nama Angel, apa terjadi sesuatu?", "Apa ada yang mengganggu Anda?"dan sekarang, " Apa Anda tidak apa-apa?"

Dan entah kenapa Vero merasa Amira sedang menelanjanginya dengan tatapan mata yang seperti ia lihat sekarang. Menyimpan terlalu banyak rasa penasaran hingga membuat perempuan itu tak ingin berpaling.

Vero merubah posisinya, tangannya kini tertahan di saku jas putihnya dan ia melangkah santai ke Amira.

"Apa menurutmu aku baik-baik saja?" tanya Vero masih terus memperhatikan bola mata Amira yang kecoklatan, yang selalu bergerak gelisah, namun selalu akan kembali pada titik yang sama.

Amira menelan air liurnya. Sejenak Amira tertunduk, "Apa aku berbuat salah?"tanyanya kembali menengadah, ia mencoba meraih wajah Vero dengan pandangannya.

Vero tidak menjawab.

"Akhir-akhir ini Anda lebih banyak diam. Seperti sedang marah padaku. Tapi, maaf! Aku samasekali tidak tahu apa salahku," Amira mencoba mengumpulkan ingatannya. Vero memang tidak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri, bahkan ketika Amira menanyakannya, Vero tetap akan diam. Hanya saja, dua malam sebelumnya Vero datang ke rumah dengan aroma alkohol pekat tercium dari tubuhnya. Malam yang pekat dengan jarum jam menunjuk ke angka satu. Hari itu, langit menaburkan gerimis yang membuat Amira memeluk dirinya sendiri. Vero membuatnya menunggu lebih lama dari biasanya. Penantian yang hanya sebatas penantian tanpa bisa melakukan apa-apa, benar-benar menyiksa dirinya. Bahkan untuk menelpon, sekadar bertanya, "Anda di mana?" Amira merasa tak berhak.

Laki-laki itu berjalan sempoyongan saat masuk ke rumah, ia menabrak apa pun yang menghalangi langkahnya. Laki-laki itu juga tersungkur berkali-kali.

"Di mana ini? Kenapa gelap sekali?" teriak Vero saat ia jatuh untuk kesekian kalinya.

Amira segera menghampiri Vero saat itu dan membantunya berdiri. Namun, laki-laki itu menghalau lengan Amira.

"Jangan pedulikan aku!" Vero mencoba berdiri sendiri. Ia melemparkan pandangannya ke sekeliling kemudian dan mencoba melangkah lagi. "Jangan pedulikan aku! Aku baik-baik saja!" katanya berulang-ulang.

"Bagian mana yang membuatku percaya Anda baik-baik saja?" Amira mencoba menahan tubuh Vero dan berniat memapahnya ke kamar. Namun, sekali lagi Vero bertindak di luar dugaan.

"Sudah kubilang aku baik-baik saja dan kamu nggak perlu sok peduli!" teriak Vero dengan menyentakkan tangannya.

Amira terlempar ke belakang dengan bahu menghantam ujung meja. Ia sempat mengaduh, tapi sepertinya Vero samasekali tidak menyadari hal itu. Untuk sejenak Amira merasa perlu menjaga jarak dengan Vero yang berubah menjadi agresif. Vero terus saja mengulang kata-kata bahwa ia baik-baik saja dengan ekspresi yang berbeda-beda. Kadang ia tertawa, kemudian menangis dan sesaat kemudian ia berteriak sambil melemparkan beberapa barang ke dinding.

"Vero, stop!" ujar Amira mencoba menahan Vero. Ada beberapa pecahan kaca di lantai dan tentu itu akan sangat berbahaya jika Vero meginjaknya. Vero berusaha melepaskan diri saat itu, dan Amira tentu saja tak kuasa menahan tubuh Vero hingga ia terlempar untuk yang kesekian kalinya.

Amira tertegun ketika sadar ada yang menembus kulit di bagian lengan atasnya. Bajunya berubah menjadi merah dan pelan-pelan ia mulai merasakan perih luar biasa.

Vero juga ikut tertegun. Keningnya mengerut dan tatapannya tak beralih pada darah yang mulai menetes. Tangan Vero terangkat untuk menyentuh lengan Amira yang terluka. Namun, belum sampai jemarinya menyentuh kulit Amira yang berdarah, Vero kesakitan sendiri. Ia memegangi kepalanya, napasnya berubah cepat, keringat dingin membanjiri keningnya.

Amira menyentuh wajah Vero dengan tangan yang tak terluka, "Tenanglah!" lembutnya pada Vero.

"Apa aku menyakitimu?" tanya Vero dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan aku. Aku tidak tahan dengan semua ini! Aku ….,"

Amira memeluk Vero. "Tenanglah!" ucapnya sekali lagi tanpa berharap Vero berpikir lagi.

...

Dan sekarang, Vero berada di hadapannya. Bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi malam itu. Atau Vero memang tidak ingat apa-apa. Memang tidak apa-apa. Bukan permintaan maaf yang diharapkan Amira dari Vero. Tapi, setidaknya laki-laki itu menjelaskan sedikit apa yang sebenarnya terjadi? Sedikit saja tentang apa yang mengganggu pikirannya? Apa soal Angel? Apa benar tentang perempuan itu lagi? Atau ada hal yang lain? Rasanya tidak salah ketika beban itu dibagi dan Amira benar-benar berharap Vero mampu membagi isi hatinya pada dirinya.

"Sudah aku bilang kalau nilai etika kamu rendah banget, bisa 'kan ketuk pintu dulu sebelum masuk! Tambah tiga ratus halaman lagi yang kamu terjemahin di buku yang sama, deadline-nya besok!"

"Aku samasekali nggak salah. Dan Anda tidak baik-baik saja!" sahut Amira membuat telingaVero menegang.

"Aku sudah bilang permisi, dan aku sudah menahan diri agar tidak melewati batas yang Anda buat. Mulut, mata, telinga, dan hati Anda tekunci sangat rapat. Siapa pun nggak bisa mengetuk pintu itu!"

"Apa?" Vero samasekali tidak mengerti apa yang dikatakan Amira. "Kamu berani ngelawan dosen kamu sendiri?" tanya Vero dengan superioritasnya.

Amira diam. Sementara Vero tersenyum sinis. "Apa tiga ratus halaman terlalu sedikit?"

Amira berniat berbalik pergi saat itu. Jika saja ia lebih lama di sana, mungkin dirinya akan meneriaki dosennya yang satu itu atau hanya akan menangis tersedu-sedu.

"Hey!"tahan Vero dengan menyentuh lengan kiri Amira.

Sontak Amira meringis. Air matanya menetes seketika. Vero mencengkram lengannya dengan sangat erat. Itu terlalu kasar sepanjang ingatan Amira.

"Kenapa?" tanya Vero melemahkan genggaman lengannya. Ia kemudian menyingsingka lengan baju Amira.

"Apa ini?" heran Vero melihat beberapa mata luka dan area lebam yang cukup luas. Vero memegangi kepalanya lagi, ia merasa pernah melihat luka seperti itu sebelumnya. Beling yang berhamburan di lantai dan tetesan darah yang kemudian menetes entah dari mana. Itu hanya seperti kilasan mimpi yang pelan-pelan disadari Vero agak tidak biasa. Setelah mimpi yang buruk malam itu, ia ingat ia terbangun dengan wajar dari atas tempat tidurnya. Memang ada sedikit luka dilengannya, tapi ia merasa itu juga wajar jika ia terluka tanpa ia sadari dalam kondisi mabuk. Hal yang ia ingat terakhir kali di malam sebelumnya adalah ia yang berada di bar dan memesan beberapa gelas wisky.

Vas bunga kristal yang pecah, mulai timbul di pikiran Vero sebagai gerakan slow motion yang membuatnya ngeri sendiri dan seorang perempuan terlempar karena ulahnya.

"Apa aku yang melakukannya?" tanya Vero dengan perasaan yang berkecamuk. Sorot mata Amira yang memerah, sedikit menyorotkan ketakutan.

Amira menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi," ujar Amira.

Vero masih menggenggam lengan Amira saat itu. Amira yang terlihat semakin gelisah dan ketakutan.

"Aku… aku akan menerima hukuman dari Anda!" ucap Amira yang menarik paksa lengannya dan pergi dengan cepat dari ruangan Vero.