"Terlalu jelas," Amira menghela napas. Tapi, entah kenapa ia sulit untuk mempercayai kata-kata Vero saat itu. Terlalu mudah untuk Vero membawa Amira masuk ke dalam rumahnya, kemudian menyuruhnya pergi begitu saja. Tidak ada perasaan khusus yang terjadi ketika Vero mengungkapkan kalimat terakhirnya, bahwa dia tidak suka ada orang lain di rumahnya. Sejak awal Vero sudah bilang seperti itu. Namun, apa yang terjadi? Apakah Vero pernah benar-benar bersikap kasar padanya? Tidak, kecuali dengan alasan ketidaksengajaan. Amira sadar, Vero menggila saat berada dalam pengaruh alkohol dan dia lebih banyak diam akhir-akhir ini karena masalah yang tidak diketahui Amira. Vero tidak benar-benar membenci dirinya, itulah yang dirasakan Amira ketika melihat mata Vero yang memerah dan dengan segera laki-laki itu memalingkan wajahnya.
Amira menggeser tirai berwarna abu-abu yang menutupi jendela kaca besar di samping meja makan. Cahaya pagi menghambur teduh, langit dengan awan putih pekat menyelimuti langit saat itu. Amira tak punya ide bagaimana memperlakukannya, kertas yang terbaring di atas meja makan, surat permohonan cerai itu. Ia berharap angin membawa kertas itu terbang jauh dan dirinya juga akan menjadi angin, yang sekadar numpang lewat dalam kehidupan Vero. Amira sebenarnya tidak peduli pada status dan perceraian, ia bisa saja keluar dari rumah itu tanpa harus melakukan ini dan itu dan kembali pada kehidupannya yang dulu. Menjadi Cinderella, samasekali bukan keinginannya. Rasa hutang budinya akan semakin membebaninya jika saja ia mengambil setengah harta psikiater itu.
"Pagi, Dok!" sebut Amira saat Vero keluar dari kamarnya dengan setelan yang lengkap.
"Ya." Vero mengancing lengan kemejanya saat berjalan menuju dapur. Ia berjalan menuju dispenser dan mengalirkan cairan bening ke gelasnya. Jakunnya bergerak turun naik ketika ia memasukkan cairan itu ke kerogkongannya. Lalu, Vero menuju kulkas dan mengambil sebuah apel, ia membuat gigitan yang cukup besar pada buah berwarna merah itu.
"Anda ingin kubuatkan sesuatu?" tanya Amira seraya menuju wastafel, ada beberapa tumpukan peralatan makan bekas tadi malam yang belum dicuci.
"Nggak. Aku bisa cari makan diluar nanti,"ujar Vero masih terlihat biasa saja. "Nggak ke kampus?" tanya Vero.
Amira melihat ke jam dinding, jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Ia memang berniat melewatkan semua pelajaran di hari itu, dan sudah terlambat untuk berubah pikiran.
"Hari ini aku akan pindah," jelas Amira dengan tangannya yang dipenuhi busa.
"Aku tahu cepat atau lambat kamu akan bilang seperti itu. Daripada berdebat denganku untuk menolak bercerai, kamu pasti memilih berpisah."
Amira berpaling ke Vero.
"Maksud Anda?"
"Karena aku tampan, kaya, dan karena aku seorang dokter. Banyak yang ingin menjadi kekasihku. Apa tidak sayang melepaskanku begitu saja?" tanya Vero masih dengan ekspresi datarnya.
Amira dibuat berpikir dengan pernyataan itu. "Rasanya memang sungguh luar biasa," pelannya melamunkan sosok pria tinggi yang tinggal bersamanya beberapa bulan terakhir. "Teman-temanku akan histeris jika tahu Anda sudah menikah dan itu … denganku!" Amira tersipu sendiri.
"Dan apa pernah kamu berpikir soal statusmu yang sudah janda di usia 19 tahun?" tanya Vero lagi dengan mulut asyik mengunyah apel.
"Ada banyak hal yang lebih penting dipikirkan dibanding hal semacam itu. Ini jauh lebih baik dibanding harus menjadi pelacur."
"Aku mohon! Jangan membenciku. Aku sudah berpikir cukup lama untuk ini, aku punya alasan sendiri ketika harus memintamu pergi, dan rasanya salahku sejak pertama kali memintamu menikah denganku."
"Korban?" sebut Amira. Ia kembali mengusap piring-piring kotor dengan busa sabun. "Ada apa sebenarnya dengan Anda?" tanyanya. "Apa Anda pembunuh bayaran? Atau seorang psychopath? Atau mungkin ada makhluk supranatural yang selalu mengikuti Anda hingga kadang merasuki tubuh Anda dan akhirnya Anda kehilangan kontrol diri?"
Vero diam. Ia melirik ke buah apel di tangannya yang hanya tinggal bagian tengahnya saja. Ia pikir ia sudah terbiasa seperti ini, menghindar sebelum orang lain tahu rahasia besarnya. "Datanglah padaku jika kamu perlu sesuatu! Rumah ini tetap dengan kode yang sama. Kamu bisa masuk kapan pun kamu mau," ucap Vero menjauh dari Amira.