Musim berganti, Amira masih berusaha menekan perasaannya. Perasaan yang membuat dadanya terasa panas. Seperti kayu yang terbakar dan menyisakan abu. Abu itu terbawa angin dan akhirnya sampai pada Vero. Amira tidak bisa menutupi rasa cintanya seratus persen. Seperti saat itu, saat di mana mereka lagi-lagi membahas hal tidak penting di kampus, yang membuat mereka terlihat seperti Tom and Jerry. Anehnya, hal-hal semacam itu jarang terjadi di rumah.
"Kenapa kamu nggak ngerjain tugas dari aku?" Vero menyandarkan pantatnya di meja sambil melipat tangannya di depan dada. Ia membiarkan Amira berdiri di hadapannya.
"Anda itu keterlaluan, mana mungkin aku bisa ngerjain terjemahan 1000 halaman dalam satu minggu. Dan siapa bilang aku nggak ngerjain, aku ngerjain, kok! Tapi, belum selesai!" urat leher Amira menegang.
Vero tersenyum sinis. "Alah… pasti karena sibuk chat sama senior-senior kamu, 'kan?"
Dada Amira terangkat, ia kemudian mendengus keras. Memang tidak salah kalau ia menerima banyak sekali ungkapan cinta dari kakak tingkatnya kurang dari empat bulan perjalanannya di Fakultas Kedokteran. Amira juga harus mengakui bahwa laki-laki di Fakultas Kedokteran, tidak kalah berkelas dari Vero. "Ah… bersosialisasi itu merupakan kebutuhan. Lagi pula mereka masih muda-muda, masih segar dan masih… kuat…!"intonasi suara Amira merendah di akhir kalimat.
Alvero tertawa. Tapi, di dalam hatinya ia benar-benar kesal, "Apa dia sedang memikirkan aku yang di tempat tidur?" teriak Vero tanpa suara. "Jahat sekali!" ujarnya mencari cara agar tak kalah begitu saja dari Amira.
Mr. Lucky Charming, mungkin itu yang menghampiri Vero saat dirinya diambang kehancuran.
"Hai, Ver!" Amber, salah satu dosen yang paling cantik di Fakultas Kedokteran masuk begitu saja ke ruangan Vero. "Aku bawain makan nih buat kamu!" katanya menyodorkan kotak makanan pada Vero.
Senyum Vero mengembang, "Hai!" ujarnya mendekat pada Amber, dosen yang selalu mengenakan rok yang tidak lebih panjang dari jas putihnya. "Kebetulan banget aku belum sarapan," ujar Vero terdengar begitu omong kosong di telinga Amira.
Amber kemudian melirik ke Amira, " Ngapain dia di sini?"
"Oh, biasa… bikin masalah lagi."
"Aku tahu Amira, Kok! Anaknya baik, nggak pernah bikin masalah sama dosen lain. Kecuali kamu, kayaknya."
Amber dan Vero tertawa bersama.
"Menjijikkan,"umpat Amira ketika melihat Vero mulai menunjukkan gesture seorang playboy dewasa di hadapan Amber.
"Kamu tahu 'kan kadang-kadang mahasiswi…," Vero mulai memberi isyarat.
Amber mengangguk, "Aku ngerti, Kok! Kamu punya banyak fans!"
Vero balas mengangguk.
"Ya sudah. Dimakan, ya! Aku ngajar dulu!"
"Ok!" Vero masih tersenyum sangat manis pada perempuan yang berjalan keluar saat itu.
"Anda nggak bilang kalau Anda itu sudah menikah?" sasar Amira ketika pintu ruangan tertutup.
"Kamu sendiri yang bilang aku nggak boleh ngungkapin hubungan kita."
"Maksudku istri Anda itu "aku"… nggak perlu ada yang tahu. Tapi, orang tetap mesti tahu Anda itu udah nikah, biar nggak terlalu ngarep kayak tadi!"
"Eh, dia itu dosen kamu lo! Siapa yang ngajarin kamu ngomong kotor begitu?" sahut Vero merasa di atas angin.
"Au ah… gelap!" ujar Amira yang kemudian membanting pintu ruangan Vero. Diiringi bunyi "prang" yang cukup keras, jam dinding jatuh ke lantai.
"Kayaknya multiple fraktur tuh," gumam Vero menundukkan kepalanya. Helayan rambutnya menyembunyikan ekspresinya saat itu, Alvero yang terkekeh sekali lagi dan dia merasa cukup puas untuk kemenangan kali ini.
Begitulah. Amira mulai terbiasa dengan ritme hidup yang tidak monoton ketika bersama Vero. Di kampus sebagai mahasiswi dan dosen, di rumah seperti suami dan istri… ralat…seperti om-om dengan simpanannya. Amira tersenyum sendiri mengingat istilah "simpanan", ia menyeruput mocachino-nya lagi. Faktanya, hidupnya tidak setragis istilah yang menggaung selalu di otaknya tentang perempuan yang hidup bersama seorang laki-laki. Vero yang dengan izin Tuhan mengangkatnya dari jurang keterpurukan, mendorong Amira mau melakukan apa pun untuk orang itu. Amira tak tahu kapan hatinya mulai merasa penuh, setidaknya dia berguna untuk memenuhi kebutuhan Vero yang dianggap Vero biasa. Menyediakan kopi dan sarapan di pagi hari, membuatnya tidak harus meluangkan waktu untuk merapikan tempat tidur dan menjadi partner seks ketika Vero benar-benar butuh.
Amira yang saat itu duduk sendiri di meja makan, merasa merinding sekaligus senang. Ia meraba tengkuknya dan masih berusaha melupakan kejadian tadi malam. Itu tidaklah mudah karena ia belum bertemu lagi dengan Vero. Ya. Vero masih meringkuk di atas tempat tidur tanpa busana, tubuhnya hanya diselimuti kain hitam tebal yang amat lembut. Amira tidak tahu seberapa lelah Vero, kelihatannya ia berusaha cukup keras tadi malam. Ia terlihat lebih santai menikmati setiap desahan yang tercipta dan megulanginya lagi dan lagi.
Kemarin, pukul delapan malam tepatnya. Amira mengendap-endap ke kamar Vero dan memperhatikan sesuatu yang terpajang di sisi kiri kamar Vero. Jejeran buku yang tersusun rapi. Memang bukan sekali dua kali Amira melakukan itu. Ia tentu ingat Vero bilang tidak suka ada yang menyentuh barang-barangnya dan untuk itu Amira melakukannya dengan sangat hati-hati. Tidak boleh ada hal yang membuat Vero sadar bahwa ada yang telah menjamah area pribadinya atau Vero akan… entahlah…Amira tidak terlalu yakin apa yang akan dilakukannya. Faktanya, untuk beberapa kasus Amira pernah mengira Vero akan memarahinya, namun akhirnya tidak samasekali. Dia baik dan terlalu baik.
"Dapet bukunya?"
"Iya."
Lalu… "Akhh!" buku setebal lima ratus halaman jatuh mengenai kaki Amira sendiri. Ia menyorot ke makhluk bersuara berat yang barusan mengajaknya bicara, kemudian segera memungut buku di lantai. Buku yang seakan lebih berharga dibanding kakinya yang sakit.
Amira tersenyum getir melihat makhluk yang kini menyandarkan bahunya di sisi lemari sambil mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk.
"Anda?" pelan Amira. "Ini 'kan baru jam delapan. Anda seharusnya belum pulang."
Vero tersenyum sinis. "Maksud kamu aku tidak boleh pulang lebih cepat?"
Amira mengangguk, namun buru-buru menggelengkan kepalanya.
Sejenak, Vero menatap Amira dengan begitu intens. Sesuatu yang membuat Amira merasa Vero belum…belum…belum ingin marah. Sorot mata tajam, namun terkesan lembut. Amira bisa mengerti Vero dari sorot mata itu, sorot mata yang juga ia perlihatkan pada Angel di restoran Jepang dulu. Sorot mata yang tetap peduli, meski ada hal yang mesti ia korbankan. Dulu ia mengorbankan perasaannya untuk tidak bersama Angel, "Apa sekarang ia masih mencoba mengorbankan perasaannya untuk tidak marah padaku karena telah melanggar aturan yang ia buat?"
Vero akhirnya berbalik. Ia melemparkan handuknya ke keranjang kotor dan berjalan menuju lemari pakaiannya. "Keluarlah!" katanya.
Amira menundukkan kepalanya, merasa bersalah atas dua hal yang ia lakukan. Masuk ke kamar Vero dan menjatuhkan koleksinya ke lantai.
"Anda boleh marah padaku, tapi mohon jangan dendam padaku!" katanya kembali berbalik pada Vero.
Vero yang saat itu mulai mengancingkan kemeja berwarna putih, sejenak merasa heran sendiri.
"Maafkan aku yang telah masuk kamar Anda tanpa izin, aku sangat perlu buku-buku ini!"
"Nampaknya kamu salah."
Amira menegakkan kepalanya, ia merasa penasaran dengan maksud Vero.
"Aku tidak pernah melarangmu masuk ke kamarku," tatapan Vero penuh pada Amira.
Amira mencoba mengingat kembali kata-kata Vero waktu pertama kali ia menginjakkan kakinya di rumah ini.
[... Suatu saat kalau kamu datang ke kamarku dan mau tidur di sana, aku anggap kamu siap buat malam pertama kita...]
Amira terkesiap. Ia merasa malu sendiri karena berdiri di kamar Vero sekarang. Amira mengembalikan buku yang ada di tangannya ke rak dan segera berjalan menuju pintu. Namun, langkah Vero lebih cepat mencapai pintu. Ia mendorong pintu yang setengah tertutup dengan tangannya. Memutar kuncinya dan kemudian bersandar tepat di daun pintu yang merapat.
"Seekor serigala tidak akan melepaskan begitu saja mangsa yang datang padanya. Aku memilih menjadi manusia normal daripada bermartabat tapi itu menyiksa diriku sendiri!" kata Vero klise.
Vero meraih tengkuk Amira dan merapatkan bibirnya ke bibir Amira. Laki-laki itu merasa terganggu sejak melihat Amira yang tumben sekali berada di kamarnya. Perasaan berbeda timbul perlahan seiring lamanya ia memperhatikan Amira tanpa Amira menyadarinya. Sebenarnya, Vero tak terlalu peduli pada apa pun yang akan dilakukan perempuan itu. Hanya saja, seperti menemukan kupu-kupu yang terkurung pada kotak kaca, Vero bisa menikmati keindahannya. Dan setelah Amira tahu bahwa dia tidak sendiri, perempuan itu terlihat sangat terkejut. Kupu-kupu yang merasa terancam, berusaha mencari jalan keluar untuk melarikan diri. Saat itu pun, Vero tidak berusaha menolongnya. Ia hanya ingin menikmati kupu-kupu yang sedang tersesat, sayap yang indah itu mengepak kesana- kemari.
"Sial! Apa lagi ini?" umpatnya dalam hati ketika merasakan gairah yang tidak kalah hebat dari pertama kali ia mencoba mencumbu Amira. Permen karet yang tak pernah habis manisnya, begitulah rasa bibir Amira. Kenyal dan basah. Vero mengangkat sejenak wajahnya. Ia meneliti sudut mulut Amira yang baru saja ia lumati, bibir merah muda itu tampak berkilau saat itu. Sedikit menggeser pandangannya, ia menemukan mata yang membulat dan kedipan yang memukau. Saat itu, pinggang Amira masih terkekang oleh lingkaran tangan Vero. Vero mempererat dekapannya dan mulai menikmati lagi bibir yang tampak menggairahkan.
Amira yang tak kuat menahan beban tubuh Vero, perlahan terdorong ke belakang. Kakinya tertekuk ketika menabrak sisi tempat tidur di belakangnya. Amira langsung terhempas ke tempat tidur.
"Apa kamu takut?" pelan Vero ketika menahan telapak tangan Amira di bawah tekanan tangannya.
"Anda sudah pernah melakukannya sekali, aku tidak tahu apa aku harus merasa takut atau tidak!"
Vero tersenyum. Ia mengangkat tubuhnya, dengan lutut tetap berada di sisi pinggang Amira. Vero melepaskan kemejanya dan melonggarkan ikat pinggang celananya. Dengan liar ia mulai menciumi leher Amira. Perempuan itu menggeliat, terlebih ketika Vero menggigit payudaranya.
Amira, dia licin seperti belut. Perempuan itu terus berusaha bangkit ketika Vero melemahkan genggaman tangannya. Rintihannya terdengar di kesunyian malam itu. Rintihan yang membuat Vero ingin mengecup bibir Amira beberapa kali. Namun…
"Akhhh…Vero!" Amira berteriak.
Spontan Vero menahan dirinya. Untuk pertama kalinya ia mendengar namanya disebut oleh perempuan yang coba ia setubuhi sekarang. "Ada apa?" tanyanya.
Amira menarik napas beberapa kali. Keningnya mengerut saat ia menatap Vero. Sebenarnya perempuan itu ingin bilang "sebentar", ia tidak tahan dengan sesuatu yang terus menekan organ yang ada di antara selangkangannya. Ada sesuatu yang memaksa masuk dan menembus pertahananya. Sesuatu yang bisa saja membuat Amira mendorong tubuh Vero spontan. Namun, tidak ada yang keluar dari mulut Amira kemudian. Ia hanya menelan air liurya. Tenggorokannya terasa kering menahan rasa gugup, takut, bercampur jijik dan benci. Tapi, jika kerelaan mampu membuat Vero senang, Amira tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menerima.
"Tenanglah! Ini tidak akan sesakit sebelumnya!" ucap Vero mencoba mengerti apa yang dirasakan Amira.
"Anda bisa bilang begitu karena bukan Anda yang merasakannya," umpat Amira.
Vero mendecak, "Maaf, kali ini aku tidak menerima interupsi!" ujar Vero berubah arogan.
Dan untuk itu… "Akhhh!" teriakan Amira semakin nyaring. Ia merasa ngeri sendiri. Amira kemudian merasakan tubuhnya berguncang dengan ritme yang dikendalikan oleh Vero. Entah apa alasannya ketika Amira mengira Vero tidak akan mengulanginya lagi setelah malam pertama mereka beberapa minggu sebelumnya. Itu sebuah kesalahan dan ketidaksengajaan, itu yang Amira yakini. Menjijikkan ketika mengingat keringat laki-laki yang jatuh menyelimutinya, dan mengerikan buat Amira membayangkan ada cairan putih yang keluar dari organ intim Vero masuk ke dalam rahimnya. Namun, perasaan seperti itu perlahan menghilang karena Vero terus menghujani dirinya dengan tatapan lembutnya ketika tubuh mereka saling beradu. Vero juga menyingkap rambut Amira berkali-kali, menyentuh sudut mulut Amira dan mendiamkan erangan Amira dengan sebuah ciuman. Amira hampir tidak percaya bahwa yang mereka lakukan itu hanya berlandaskan nafsu.
Vero memompa lebih cepat, desahannya juga semakin kuat.
Amira melingkarkan tangannya ke leher Vero dan memaksa Vero lebih rapat padanya. Ia tak berusaha lari lagi saat itu. Hingga akhirnya tekanan di organ intimnya melemah dan Amira merasakan ada yang berdenyut di dalam sana.
"Apa sudah selesai?" bisik Amira.
Vero mencoba mengatur napasnya. Posisinya masih di atas Amira saat itu.
"Belum!" ujar Vero diiringi senyum iblis. Ia menegakkan punggungnya dan memulai lagi permainannya. Membuat Amira mengerang berkali-kali.
Dan di sini lah Amira sekarang, berhadapan dengan jendela besar di samping meja makan sambil nyengar-nyengir sendiri. "Malam yang indah," ujarnya menatap langit pagi yang biru.
Vero datang dengan setelan rapi. Dokter itu langsung menuju meja makan dan mengangkat cangkir kopi di depan Amira.
Amira berpaling tenang menghadapi Vero. Ia masih terbayang keringat Vero yang menempel di tubuhnya. Sesuatu yang dalam pikirannya menjijikkan berubah menjadi hal yang "seksi".
"Kosong?" Vero memaku Amira dengan tatapannya. "Apa kamu tahu, aku selalu ngerasa nggak nyaman kalau ada seseorang yang mengambil punyaku," Vero mengeluarkan pernyataan tentang dirinya sendiri.
Amira melirik ke dalam cangkir yang memang telah kosong. Vero tidak salah soal kopi itu. Itu memang dibuat khusus untuknya, tapi karena laki-laki itu tidak juga keluar kamar, akhirnya Amira meminumnya.
"Aku akan buatkan lagi!" Amira berdiri.
Vero, ia belum melepaskan Amira. Ada sisa-sisa krim di mulut perempuan itu dan segera saja Vero melahap itu. "Rasanya nggak akan sama," ujarnya setelah melepaskan bibir Amira.
"Oh Tuhan!" sebut Amira dalam hati ketika sekali lagi ia merasa bergairah dengan laki-laki di dekatnya ini. "Aku tidak mengerti jalan pikirannya," katanya masih tak bersuara.
Setengah jam setelah ciuman terakhir mereka karena secangkir kopi,
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Vero sambil mengunyah nasi goreng di hadapannya. "Apa… masih sakit?"kali ini terdengar ragu.
Amira mencoba berpikir. Ia merasa tidak terlalu penting untuk mengungkapkan rasa terbakar di selangkangannya, karena ia sudah mencoba mengatakan itu pada laki-laki yang tidur dengannya semalam, dan laki-laki itu tetap melanjutkan apa yang ia mau.
"Badanku terasa remuk, kakiku masih kesemutan sampai sekarang dan rasanya masih lemas."
Vero mengangguk beberapa kali karena sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama.
"Aku sebenarnya bukan orang yang tidak demokratis. Kamu boleh mengatakan kalau kamu tidak suka dengan perlakuanku. Itu hakmu!"
Kali ini Amira yang mengangguk. Tentu saja ia tidak percaya, "Anda tidak menerima interupsi," ujarnya mendiamkan Vero.
Vero berhenti mengunyah.
"Itu karena….," ada bloking di pikiran Vero. Ia mencoba mencari alasan yang tepat kenapa semalam pertempuran mereka berubah menjadi sangat sengit. Ya. Vero sangat menikmatinya, tapi ia masih tak yakin dengan perasaan Amira.
Hingga tiga puluh detik berlalu, Vero meletakkan sendok dan garpu dan mendorong piring nasi goreng yang masih ada setengah isinya.
"Begini… aku…,"
"Aku mohon Anda jangan meminta maaf," spontan Amira.
"Hah?" Vero tercengang.
"Aku merasakan apa yang belum pernah kurasakan dan kupikir aku beruntung karena melakukannya dengan orang sehebat Anda," ucap Amira tanpa ekspresi.
Perlu waktu buat Vero mencerna kata-kata itu. Sampai akhirnya ia terkekeh. "Benarkah? Kamu suka?" tanyanya penasaran.
Amira tidak menjawab.
"Kamu pasti menikamatinya?" tanya Vero lagi. "Kamu pasti menginginkannya lagi dan lagi.Ketagihan."
"Rasanya menyenangkan," jujur Amira masih tanpa ekspresi.
"Sepertinya tinggal dengan dokter Jiwa ngasi cukup banyak kemajuan. Kamu udah bisa muji orang, " ujar Vero merasa sangat tersanjung.
Sekali lagi Amira tidak memberi tanggapan. Vero memang terlihat sangat senang dan sudah seharusnya Amira merasa senang karena berhasil berbuat sesuatu untuk Vero. Namun, tawa Vero saat itu agak kontras dengan yang ia lihat subuh tadi. Sebelum Amira meninggalkan Vero sendiri di atas tempat tidurnya. "Angel!" Vero menyebut nama itu berkali-kali. "Maafkan aku, Angel! Jangan tinggalkan aku, Angel!" semua itu terucap dengan garis ketakutan yang membuat Amira sadar bahwa Vero benar-benar mengharapkan Angel. Ada perasaan yang menekan batin Amira kemudian, sesuatu yang meyakinkannya bahwa dirinya hanyalah alat untuk memenuhi kebetuhan dasar fisiologis Vero dan tempat untuk melampiaskan stressnya. Samasekali tidak berarti apa-apa dan tidak pantas berharap lebih dari itu.