Vero datang. Ia membawa kotak besar berisi mesin "EKG", kemudian meletakkan benda itu di meja depan sofa ruang tengah.
Amira segera menyambar kotak tersebut dan mengeluarkan isinya. "Apa ini beneran nggak bisa dipake lagi?" kabel terbentang, perempuan itu sepertinya tak peduli dengan Vero yang tampak tak bersemangat.
"Sudah kubilang. Nggak perlu kamu ngurusin itu lagi," ucap Vero. Ia menyandarkan dirinya di sofa, kemudian melonggarkan ikat pinggangnya dan membuka satu per satu kancing kemeja hitamnya.
"Ini gimana sich cara pakenya?"
"Itu buat ngerekam kelistrikan jantung, pasang aja di dada!" jelas Vero pada orang yang samasekali tidak punya bayangan apa yang mesti ia pasang di dadanya sendiri. Ada kabel dengan ujung seperti penjepit dan ada enam bulatan-bulatan kecil yang membuat Amira menggaruk kepalanya sendiri.
"Seperti ini?" Amira merapatkan enam bola-bola kecil ke dadanya. "Aku nggak yakin kalau begini," ujarnya yang membuat Vero hanya menatap nanar dirinya.
Sejujurnya Vero sangat lelah. Tapi, Amira merecokinya dengan hal-hal yang sama sejak enam jam lalu. Tentang EKG, ganti rugi, bekerja, dan berhenti jadi mahasiswa. Vero tenggelam begitu dalam dalam lamunannya sendiri saat itu. Saat ia ingin Amira berhenti mengoceh, Vero mulai berpikir bagaimana caranya. Gerak mulut perempuan itu begitu cepat dan Vero merasa pusing hanya dengan melihat gerakan itu.
Vero merasa seperti sedang menonton film bisu ketika melihat Amira. "Mata itu…," binar bening dengan gerakan yang anggun. Vero tersenyum. Alam bawah sadarnya menginginkan tatapan itu lebih lama dan dalam, tatapan yang akan membuat mereka mengerti satu sama lain. Tentang betapa indahnya mata itu, Vero tidak bisa membohongi inderanya.
"Bibir itu…," mungkin kenyal seperti permen karet yang manis. Vero benar-benar merasa penasaran dan segera… Vero melumatnya.
Pada akhirnya Vero mendapatkan dua-duanya, bahkan lebih. Tatapan yang dalam dari seorang Amira dan bibirnya yang benar-benar kenyal seperti permen karet.
Vero tahu ia sudah melakukan kesalahan, tapi ia juga ingin membuat Amira sadar bahwa dia berada bersama seorang laki-laki. Laki-laki tidak menyukai hal-hal yang berisik. Vero senang karena bisa mendiamkan Amira dengan ciumannya. Sekali, dua kali dan seperti senjata makan tuan, Vero tidak bisa menghentikan begitu saja ciuman yang sudah membangkitkan gairahnya.
Tangan kanan Vero berada di tengkuk Amira. Vero merasakan badannya terasa panas dan napasnya semakin cepat. "Ini akan berakhir kalau kamu mendorongku sekarang," lembutnya pada Amira.
Vero menunggu tanggapan Amira. Vero tahu perempuan itu sangat gugup. Tangannya mencengkram gelisah pada kemeja Vero. Dan sekali lagi Vero dibuat heran karena Amira diam saja. Seperti pasrah dengan perlakuannya. "Ke mana keberanian melawan yang selama ini ia tunjukkan?" pikir Vero hampir tak peduli.
Ketidakberdayaan yang ditunjukkan Amira, justru membuat Vero semakin ingin meremas tubuh ramping Amira dan mengusapkan hidungnya ke pipi hingga dada Amira.
Tidak ada penolakan, bahkan untuk saat yang paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang baru pertama melakukan persetubuhan.
<>
Di kamar mandi,
Ini tepat pukul 12 malam dan sudah setengah jam Vero berada di bawah shower. Ia mendesis berkali-kali. Vero merasa dirinya sangat jahat. Tidak ada kata cinta, tidak ada permisi, dan setelah selesai, Vero langsung meninggalkan Amira dengan alasan "mau ke kamar mandi".
"Tidak. Aku suaminya dan wajar saja aku ngelakuin itu," batin Vero. Ia mencoba berkompromi dengan dirinya sendiri. Amira dalam bayangan Vero, memang terlalu sayang untuk diabaikan. Dia cantik, punya kaki jenjang dan putih, pinggang ramping, dan bibir yang tipis yang selalu membuat Vero ingin melumatnya. Sedangkan dirinya, seorang pria dewasa berusia 29 tahun, kesepian karena baru saja putus cinta.
"Oh… ini nggak adil buat Amira," Vero kembali merasa kesal. Ia merasa bersalah karena telah memperlakukan Amira sebagai tempat pelarian dan tempat memuaskan nafsu sesaatnya. "Dia harusnya lari saja dariku," gumam Vero lagi membayangkan sekali lagi Amira dalam pelukannya.
Vero menarik handuk putih dan mengusapkan benda itu ke dadanya. Sebuah cermin berkabut menyimpan bayangan tubuhnya yang telanjang. Ia mengusap cermin itu, wajah dan dadanya jadi terlihat jelas sekarang. Ada satu titik yang membuatnya kemudian tersenyum. Bekas gigitan Amira yang terukir di bahunya. Vero lupa kapan itu terjadi. Seharusnya akan terasa sakit, tapi hanya kenikmatan yang Vero ingat. "Apa dia juga menikmatinya?" Vero penasaran sendiri. Ia mencoba mengingat lagi bagaimana Amira meringis, rasa sakit itu… yang justru membuat pelukan Amira pada dirinya semakin erat. "Apa dia menyukaiku?" Vero memperhatikan wajahnya. Syndrome narsistiknya kembali. Perasaan percaya dirinya jadi meningkat dua kali lipat. Bahwa ada yang menginginkannya, itu hal yang biasa.
<>
Pukul 06.00 di meja makan ruang tengah,
Vero sudah rapi saat keluar dari kamarnya, ia tinggal mengancing lengan kemejanya saja. "Aku nggak akan minta maaf soal kejadian kemarin," bisiknya pada Amira yang sedang merapikan meja. Amira hanya membuat omelet dengan sayuran rebus. Amira mengambil botol saus, kemudian membuat beberapa titik di atas omlet dan satu garis yang agak panjang. Omelet dengan ekspresi datar. Vero sedikit kecewa jika saja yang itu adalah ekspresi Amira yang sebenarnya.
"Itu cukup membuatku melupakan 50 juta."
Kering Vero mengerut. Ia merasa gusar sendiri mendengar Amira yang…
"Jadi, maksud kamu … kamu ngelakuin itu …cuman buat lima puluh juta."
Amira berpaling ke Vero. "Ya. Kenapa?"
Vero terdiam. Ia merasa kesal, tapi… "kenapa?" Vero berdecak. "Apa nggak ada perasaan sedikit pun?" pelan Vero.
Alis Amira terangkat, sesuatu yang berarti Vero harus menjelaskan lagi maksud pertanyaannya.
"Seperti… gugup, takut, atau nyaman….?"
Amira berpikir sejenak. "Sakit," ujarnya.
Vero mengagguk. Ia ingat ekspresi Amira yang meringis dan kadang mengerang dengan genggaman tangan begitu kuat ke telapak tangannya. Vero sempat merasa kasihan. Namun, ia tidak kuasa menghentikannya. Urat sarafnya menegang dan menuntut itu untuk diselesaikan. "Selain itu?"
Amira berpikir lagi. Tapi, ia akhirnya menggelengkan kepalanya.
"Ok," ucap Vero dengan perasaan kesal yang bertambah. "Aku lupa bahwa dia juga sakit jiwa," katanya dalam hati soal emosi Amira yang kadang-kadang saja adanya, emosi yang cenderung tidak stabil dan Vero mendapatkan masalah baru di diri Amira, ia tidak punya perasaan.
"Aku jadi malas makan,"ujar Vero sambil memperhatikan ekspresi omelet. "Aku nggak suka ya kamu ngegambar omeletnya kayak gitu, datar banget! Ketawa kek, apa kek?"
Amira segera menambah titik di bawah mata omelet dan membuat garis bibir menjadi melengkung ke bawah. Sekarang omelet itu menangis.
"Ok. Aku akan makan!" ujar Vero yang akhirnya duduk manis di meja makan.
<>
Amira menarik kursi di dekat Vero, duduk di sana sambil memperhatikan Vero yang sedang sarapan. Amira bohong soal tidak ada perasaan apa pun. Vero yang tiba-tiba menciumnya, itu hampir membuatnya gila. Ia ingin sekali mendorong tubuh Vero menjauh saat Vero berubah menjadi semakin liar, tapi yang terjadi justru Amira melingkarkan tangannya lebih rapat ke tubuh Vero. "Ini pengorbananku yang pertama," ucap Amira dalam diamnya. Amira sadar Vero tidak mencintai dirinya dan Amira tetap ingin memberikan dirinya pada Vero. "Ini sekadar seks untuk 50 juta," dan itu omong kosong.
"Apa Arga sudah ngasi hukuman ke kamu?" tanya Vero.
Amira menggelengkan kepalanya.
"Kamu akan ke kampus?"
Amira tidak menjawab. Ia memutar bola matanya ke piring kosong di hadapannya.
"Kita sudah membahas ini, daripada ngasi izin kerja, lebih baik kamu kuliah."
"Apa menurut Anda aku bisa? Aku 'kan bayarnya juga dari duit Anda. Selain itu, gimana kalau misalnya aku buat masalah. Nama baik Anda dipertaruhkan. Rasanya aku mau menyerah."
"Kamu aja belum mulai, gimana mau menyerah?" spontan Vero yang membuat Amira berpaling lagi padanya. "Aku percaya kamu bisa dan Amira yang kutemui di kampus kemarin, bukan Amira yang aku kenal. Amira itu sosok yang sangat kuat. Asal dia punya niat, uang, hukuman, bahkan diriku, nggak akan pernah jadi halangan."
"Gimana Anda bisa tahu aku bisa?"
"Ibumu yang masih hidup di rumah sakit dan kamu yang ada bersamaku sekarang," Vero menutup mulutnya, ia tak sengaja bersendawa saat itu, "memakan masakanmu selalu membuatku senang," katanya tersenyum. "Aku punya sesuatu buat kamu," Vero beranjak dari tempat duduknya setelah selesai menekan-nekan mulutnya dengan tisu. Ia ke kamarnya, dan keluar dari kamar dengan membawa sebuah pulpen tinta berwarna silver dalam sebuah kotak kaca.
"Ini… pulpen yang diberikan oleh seorang dokter saat aku berusia belasan tahun. Mungkin bukan hal yang perlu diingat karena itu pengalaman yang tidak menyenangkan yang bikin aku nggak mau balik ke sekolah. Aku tidak tahu nama dokter itu, tidak tahu juga apa spesialisasinya, yang aku tahu dia sangat baik padaku, selalu ramah pada siapa pun dan aku suka saat ia tersenyum padaku. Dia bilang… jika aku berhenti sekolah, mungkin akan menolong satu orang. Tapi, kalau aku menjadi seseorang, aku mungkin bisa menolong lebih banyak orang. Lalu, kuputuskan untuk menjadi dokter… seperti dia! Sekarang aku kasih pulpen ini ke kamu, balikin pas kamu sudah menerima gelar dokter!"
Vero meletakkan pulpen itu di atas meja makan, di sisi tumpukan piring kosong. "Aku pergi," kata Vero yang akhirnya meninggalkan Amira sendiri. Amira yang kemudian mengucurkan air matanya tanpa suara. Amira yang menyesali pikirannya yang mengira tidak akan ada yang mendukungnya. Amira yang menyesali pertemuannya dengan Alvero Yudistira, yang membuatnya merasakan cinta. Amira yang menangis untuk suatu hari berpisah dengan Vero karena pernikahannya hanyalah sebuah perjanjian. Amira yang tak tahu harus berbuat apa untuk membuatnya berhenti mencintai Vero. Amira yang tanpa Vero sadari menjadi sangat lemah karena perasaanya sendiri.