Amira terpaku di depan papan pengumuman di sebuah kampus terbaik di kota itu. Namanya berada di barisan teratas peserta yang mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ya. Memang bukan tidak mungkin akhirnya ia mendapatkan kesempatan meraih gelar dokter. Tapi, "Apa ini mimpi?" pikirnya mengingat menjadi dokter tak pernah terlintas dalam benaknya. Ia tidak punya uang meskipun perempuan itu cukup yakin dengan kemampuannya menjawab soal.
"Apa ini benar aku?" tanya dengan ekspresi datar pada kaca hitam yang menyimpan bayangannya. Amira sedang berada di sisi bagian kecil gedung berlantai lima yang tak terlihat atapnya. Tak lama lagi ia akan berada di sana, bersama ratusan mahasiswa lainnya yang mengenakan jas putih dan membawa buku tebal mereka.
Buku-buku kedokteran yang tebalnya ribuan lembar, untuk beberapa hari ini tidaklah asing bagi Amira. Ia melihat benda itu berjejer apik di lemari di kamar Vero. Vero memperlakukan jejeran buku itu seperti perempuan memperlakukan sepatu koleksi mereka.
Keluar dari gerbang kampus Fakultas Kedokteran, ia berdiri di tepi jalan. Angkutan kota, seperti biasa, Amira menunggu carry hijau itu. Bagaimana pun Vero menasihatinya untuk memanfaatkan semua fasilitas yang ia berikan; uang, kartu kredit, mobil, bahkan jika Amira memerlukan seorang sopir; Amira tetap tidak ingin terlena dengan itu. Atau ia benar-benar akan kehilangan dirinya sendiri, lagi pula…apapun itu… "itu bukan milikku," batinnya tentang semua hal yang menyangkut Vero.
Angkutan kota berhenti di depan rumah sakit pemerintah provinsi. Lift bergerak menuju lantai tiga dan berhenti tepat di depan ruang perawatan intensif. Langkah Amira tertahan ketika berpapasan dengan dr. Reina. Dokter yang selalu tampak jutek di mata Amira.
"Bagaimana rasanya sudah berhasil menikahi seorang konglomerat kayak Vero? Menyenangkan?" tanya Dokter Reina.
Amira tertunduk. Amira tidak marah jika akhirnya ia mendapatkan predikat pelacur. Reina pantas menganggap dirinya seperti itu. Dan jika Reina menganggap bahwa Vero terlalu baik untuk dimanfaatkan, maka kebenaran itulah yang membuat perasaan Amira tidak nyaman.
"Semua tunggakan biaya rumah sakit ibumu sudah dibayar dan penanggung jawab biaya beralih nama menjadi Alvero Yudistira. Aku heran, apa yang menarik dari diri kamu sampai Vero ngelakuin ini semua?" pernyataan terakhir yang dibuat Reina. Dokter itu kemudian memasukkan tangannya ke kantong jas putihnya dan pergi. Seolah-olah jawaban apa pun yang akan dilontarkan Amira kemudian, dia tidak ingin mendengarnya.
Ini jam 11 siang, waktu di mana keluarga pasien diizinkan untuk membesuk selama satu jam. Suhu dingin membuat Amira mendekap dirinya sendiri saat masuk ke ruangan ber-AC perawatan intensif. Ia menuju tempat tidur di mana ibunya terbaring, hanya bersekat tirai dari tempat tidur pasien lain. Amira mendekatkan kursi ke tempat tidur ibunya dan duduk di sana.
"GCS 1-1-1, masih koma," seseorang laki-laki berpakaian serba biru berdiri di dekat tempat tidur ibu, sepertinya ia sedang menjelaskan sesuatu pada orang yang ada di sebelahnya.
Amira mengabaikan dua orang itu dan berusaha tak penasaran dengan istilah-istilah yang asing tentang kondisi ibunya. Satu hal yang Amira tahu, bahwa itu buruk.
"Ibu!" sebut Amira miris. Dada ibunya mengembang teratur, tapi entah seberapa dalam selang dipasang hingga membuat dada ibunya bisa seperti itu. Amira cukup pintar untuk memahami kata-kata dokter tentang kondisi ibunya, hanya saja ia belum bisa menerima, dan belum ingin menyerah.
"Apa Ibu marah padaku? Kenapa diam saja?"pelannya dengan air mata yang mulai menetes. Ia mulai membayangkan rasa sakit yang dialami ibunya. Dokter Reina pernah berkata padanya, "Kamu sedang memperpanjang penderitaan untuk ibumu sendiri," dan Amira tidak menyangkal itu.
"Tidak. Seharusnya aku tidak menangis hari ini," lirihnya."Ya Tuhan!" sebutnya dalam hati. "Apa Kau mendatangkan berkah padaku atas kesabaranku dan ketidakinginanku untuk menyerah," Amira mengingat tentang Vero dan segala keberuntungan yang mampir di hidupnya akhir-akhir ini; uang, tempat tinggal yang nyaman, mobil mewah, pendidikan layak dan seorang yang baik. Sekali lagi Amira menatap nanar ibunya. "Sebenarnya, aku tidak perlu apa pun di dunia ini kecuali ibuku," batinnya memohon pada Tuhan. Bahwa seharusnya tidak ada Vero di hidupnya dan Amira akan mengikhlaskan itu.
Namun, "Sampai kapan Anda akan terus muncul tiba-tiba di hadapanku?"gumamnya.
Amira tidak sengaja melihatnya, Vero dengan setelan yang tidak biasa; seragam biru dengan penutup kepala, sedang duduk di dekat meja jaga perawat. Amira berniat menghindar dari Vero, ia mungkin akan berpura-pura tidak melihat Vero sehingga tidak apa-apa tidak menyapa laki-laki itu. Namun, sudut mata mereka bertemu sebelum Amira sempat memalingkan wajahnya.
Amira memfokuskan pandangannya ke depan. Biar begitu, ia bisa membayangkan seseorang berjalan ke arahnya. Laki-laki tinggi dengan langkah yang lebar, berjalan tenang diiringi senyum yang menghangatkan.
Tangan Vero singgah di bahu Amira, "Kamu belum ngenalin aku sama ibu kamu," bisik Vero pada Amira.
"Ngapain Anda di sini?" tanya Amira celingak-celinguk ke sekelilingnya.
"Ngumpulin data buat penelitian. Aku perlu hasil MRI orang-orang yang dirawat di sini," jawab Vero masih dengan keramahannya.
"Jadi… gimana nih…?"tanya Vero soal prosedur formal memperkenalkan diri.
Amira menghela napas, "Bu!" sebut Amira tidak bersemangat. "Ini Vero,dia...,"
"Aku suaminya Amira, menantu Anda. Anda pasti sangat terkejut soal berita ini. Jadi, aku mohon maaf karena baru bisa mengunjungi Anda dan memperkenalkan diri secara resmi sekarang," potong Vero.
Amira tertegun. Sekali lagi Vero membuatnya merasa sangat tersanjung. Andai saja ibunya sadar dan bisa mendengar Vero bicara, orang tua itu pasti sangat senang punya menantu seorang dokter, tampan, kaya dan baik hati. Tapi, seorang "suami" seperti Vero, Amira tidak berani berpikir tentang itu. Mungkin benar secara status, tapi itu tidak akan lama karena Amira tidak ingin terbebani dengan perasaan bersalahnya karena memanfaatkan Vero. Pelan-pelan Amira merasa menyesal telah memilih menikah dibanding menjual ginjalnya.
"Hey! Jangan ngelamun!" Vero menepuk pelan punggung Amira. "Emang ke mana aja tadi? Pagi-pagi banget udah pergi?"
"Aku nggak harus bilang, 'kan! Lagian apa gunanya juga Anda tahu? Anda punya banyak urusan yang lebih penting dibanding mengurusi aku."
Kening Vero mengerut."Apa aku bikin salah?"
Amira diam. Perempuan itu cukup sadar dengan sikapnya yang jutek tiba-tiba pada orang sebaik Vero. Tapi, Amira merasa harus melakukan itu, atau jika tidak sikap malaikat Vero akan menambah harapan di hatinya dan membuatnya semakin terpuruk. "Ya sudahlah!" ucap Vero yang akhirnya berdiri dan pergi.