Pukul sembilan malam lewat lima menit. Amira masih berdiri layaknya tiang yang ditancapkan ke dalam tanah, namun tidak jelas apa gunanya ia di sana. Sementara Arga dan teman-temannnya, atau lebih tepat disebut panitia pelaksana orientasi mahasiswa baru, sedang pesta barbeque di pinggir lapangan. Amira gelisah. Ia tahu ponselnya berbunyi sejak tadi dan untuk dering yang ketiga kali, Amira tak sanggup untuk mengabaikannya lagi.
"Kamu di mana?" tanya Vero di ujung telpon.
"Aku di…," berat Amira mengatakannya. Ia belum mengatakan pada Vero bahwa ia diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran dan sekarang sedang menjalani orientasi.
"Di mana?" tanya Vero lagi.
"Di Fakultas Kedokteran."
"Di Fakultas Kedokteran?" Vero seperti tak yakin dengan yang ia dengar. "Ngapain?"
"Orientasi."
Hening sejenak.
Amira menggigit bibirnya. Ia pikir ia telah membuat Vero kecewa. Orang itu seharusnya menjadi orang pertama yang Amira beritahu tentang apa pun.
"Sampai jam segini?" suara Vero terdengar melemah.
"Nggak tau nich! Seniornya pada rese!" keluh Amira.
"Tut…tut…tut."
Tangan kanan Amira yang memegang handphone lunglai. Ia pikir Vero benar-benar marah padanya sekarang dan langsung memutuskan sambungan telpon.
"Siapa yang ngizinin kamu buat nerima telpon,huh?"
"Dia lagi… dia lagi!" kesal Amira dalam hati.
"Kamu mau hukuman kamu nambah, sampai besok aku nggak bakal ngizinin kamu pulang!"
Amira diam. Satu-satunya yang terpikir oleh Amira adalah Vero. Vero yang belum makan malam, yang merasa kecewa dan marah pada dirinya. "Apa yang mesti kulakuin?" batin Amira semakin gusar dan ia ingin sekali mendorong Arga dan menghajarnya hingga mati. Tapi, Amira tidak bisa melakukan itu. Perilaku kekerasaan tidak akan diterima dengan alasan apa pun. Dan Amira hanya bisa berdiri, menunggu hingga Arga mengatakan "Baik, kamu boleh pulang!"
Vero memperhatikan jam tangannya, waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Ia sedang berada di depan gerbang fakultas dan hampir tidak percaya ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Namun, setelah benar-benar masuk ke lapangan tengah, Vero melihat penampakan itu; perempuan berambut panjang yang sedang berdiri tepat di poros lapangan, wajahnya tertunduk dan helayan rambutnya jatuh kedepan. Vero menghampiri orang itu dan berdiri tepat di depannya.
Cukup lama sampai akhirnya Amira bereaksi,
"Hukum aku apa saja, tapi biarkan aku pulang!" ucap Amira lemah.
Vero diam saja. Ia heran sendiri bagaimana mungkin seorang Amira bisa tertindas seperti ini.
"Malam, Dok!" seseorang terdengar berlari menghampiri Vero.
Telinga Amira menegang, ia langsung menengadahkan kepalanya.
"Ya Tuhan!" pekik Amira ketika melihat makhluk dengan rambutnya yang basah, jeans hitam dan sweater berwarna cokelat keemasan membalut tubuhnya.
"Perempuan ini… ?"Vero mengarahkan telunjuknya ke dahi Amira.
"Dia anak baru, Dok! Lulus seleksi dan menempati peringkat pertama, tapi kayaknya perlu diajarin etika lebih banyak," ucap Arga.
Vero tersenyum, ia kira ia bisa membayangkan apa yang terjadi.
"Dok! Mau ikut makan, nggak? Kami bikin barbeque," tawar Arga dengan sopannya.
Vero berbalik, ia berjalan ke tempat Arga mengarahkan.
Sekarang Vero berada bersama dengan mahasiswanya. Mahasiswa yang kadang terdengar kurang ajar. Mereka menggosip tentang junior yang mereka kerjai habis-habisan dan mereka menertawakannya. Sebelumnya Vero hanya penasaran kenapa Amira diperlakukan bak patung selamat datang, dibiarkan kehujanan, kepanasan, kedinginan, dan kelaparan.
"Sebenarnya karena dia cantik," seseorang menimpali.
Gerak mulut Vero melambat. Ia memperhatikan satu per satu mahasiswanya, yang semuanya adalah laki-laki. Terutama Arga. Ketua BEM itu tidak melepaskan pengawasannya pada Amira.
Vero sebenarnya bisa mempercayai Arga. Ketua BEM itu bisa menjaga adik-adiknya dengan sangat baik. Tapi, tetap tidak pantas rasanya seorang perempuan berada di antara puluhan laki-laki dengan alasan apa pun.
"Biarkan anak itu pulang!" ucap Vero dengan suaranya yang berat.
Semua terdiam sejenak. Mereka tentu heran pada sikap Vero yang terkesan ikut campur urusan mahasiswa.
"Kenapa, Dok?" tanya Arga.
"Jangan tanya kenapa! Aku tahu aturan di kampus ini. Kalian harus menyerahkan surat izin pada orang tua mahasiswa, jika kegiatan kemahasiswaan dilakukan lewat dari jam enam sore."
…
"Ada yang perlu didiskusikan?" tanya Vero lagi setelah hampir satu menit tidak ada tanggapan.
"Tidak ada," sahut Arga dengan wajah berubah muram.
"Baik, aku pergi! Makasih barbeque-nya!" Vero berdiri. "Dan… aku tidak akan mempermasalahkan kejadian hari ini, tapi kalian juga harus menutup mulut terhadap kejadian hari ini! Mengerti?"
Semua mahasiswa yang ada bersama Vero saat itu mengangguk. Vero tahu orang-orang itu akan terkejut dengan sikapnya. Dia yang selalu ramah dan bukan pemarah, apalagi bisa sampai mengancam orang.
Vero kembali mendatangi Amira. Ia langsung merangkul Amira dan meletakkan kepala Amira di dadanya.
"Aku kira Anda sama seperti mereka? Aku cuman diam, dan mereka nganggap aku salah dan ketika aku ngebela diri, mereka nggak terima," lemah Amira.
"Sudah! Ayo, kita pulang!"ajak Vero yang akhirnya membuat Amira harus melangkahkan kakinya.
Amira mengusap wajahnya dengan sweater yang melekat di dada Vero. Ia tidak bisa menahan tangisnya lagi. Marah, jengkel, lelah, rasa bersalah, membuatnya hampir putus asa.
"Hei! Kenapa nangis sich? Kan cuman dikerjain begini. Mereka berhasil dong ngerjain kamu kalau kamu nangis begini."
"Maaf!" kata Amira terisak.
"Buat apa?"
"Aku belum bilang soal ini."
"Soal apa?"
"Soal aku yang keterima di sini."
"Oh."
"Anda nggak marah?"
"Emm… marah nggak, ya?" tanggap Vero sambil tersenyum diam-diam.
Vero membawa Amira ke mobilnya yang terparkir tepat di depan gerbang kampus. Ia membuka pintu untuk Amira dan memasangkan sabuk pengaman pada perempuan itu. Angin malam kemudian beradu dengan kecepatan mobil yang melaju santai. Amira bisa bernapas lega kali ini. Lelahnya seperti berakhir. Sekali lagi, Vero datang seperti hembusan angin di tengah terik. Menyenangkan bisa memiliki seseorang di sisinya. Meskipun Amira tak terlalu banyak berharap, nyatanya Vero memberikan lebih untuk setiap hal dari harapan itu.