"Aku bisa ngerti kenapa Angel cinta mati sama Anda, dan aku tetap nggak ngerti kenapa Anda memilih bersandiwara seperti ini," ungkap Amira tanpa berpikir. Buat Amira itu adalah bentuk pujian. Ia bisa merasakan perhatian Vero begitu besar pada dirinya, padahal ia tahu dirinya tidak berarti apa-apa. Dan pastinya bentuk perhatian Vero akan lebih besar pada Angel. Akan sangat bahagia seseorang yang menerima jutaan cinta dari laki-laki di sampingnya, sesuatu yang terus saja membuat Amira iri.
"Anda benar-benar nggak mau cerita soal kenapa Anda harus pisah sama Angel?"
"Jangan sebut nama itu, atau…"
"Atau apa?" tanya Amira. "Maaf, tapi kulihat Anda hanya bisa melarikan diri,"pelan Amira.
Vero menghentikan mobilnya. Amira sedikit terkejut dengan gerak tiba-tiba itu. Mereka berada di sebuah jalan gelap. Hanya ada jejeran pohon karet di kanan dan kiri jalan, berbaris rapi membentuk lorong yang dalam. Amira memang tidak menyadarinya, ekspresi Vero yang berubah dingin. Ia juga lebih banyak diam setelah mereka bicara soal Angel.
"Ayo jalan. Banyak yang bilang tempat ini berhantu,"Amira mengusap-usap bahunya lagi. Desiran angin yang misterius, dan gemericik dedaunan hitam membuat Amira bergidik berkali-kali. Koran lokal sering memberitakan kasus pembunuhan di area perkebunan karet itu. Entah berapa banyak yang mati diperkosa di sana.
"Diam!" mata Vero fokus ke depan.
"Ada apa?" tanya Amira terbata-bata.
Vero tidak sempat memberi jawaban kerena tiba-tiba saja terdengar suara klakson, sebuah truk datang dari arah berlawanan. Spontan Vero mengangkat tangannya, ia juga berpaling dari cahaya lampu truk yang menyilaukan. Setelah truk itu lewat, Vero terlihat semakin gelisah, tubuhnya dibanjiri keringat dan napasnya jadi sangat cepat. Vero keluar dari mobil dan berlari ke tengah perkebunan karet.
Amira yang melihat itu, segera mendorong pintu mobil dan berlari mengikuti Vero.
"Pergi! Pergi dari sini! Jangan mengangguku!" teriak Vero.
Langkah Amira tertahan. Ia samasekali tidak mengerti apa yang terjadi. Vero yang seperti dikejar sesuatu, tersungkur berkali-kali, dan mencoba berdiri lagi untuk melarikan diri.
"Ada apa dengannya?" keluh Amira terengah. Kebun karet itu tidak lagi semenyeramkan sebelumnya, Amira harus menyusuri tiap sudut gelap tempat itu untuk menemukan Vero. Ia bahkan lupa kalau sebenarnya kakinya sudah tidak sanggup untuk melangkah setelah berdiri selama berjam-jam di lapangan kampus.
...
Hingga tiga puluh menit kemudian,
Tiba-tiba seseorang mendekap mulut Amira, menariknya dan menghempaskan tubuhnya ke tanah.
"Ssttt!" kata orang itu sambil mengacungkan jari telunjuknya ke depan mulutnya sendiri.
Itu Vero. "Mereka di sini," ujarnya.
"Siapa?"
"Yang ingin membunuhmu!"
"Ingin membunuhku?" tanya Amira terkejut.
"Mereka mengincar ginjalmu. Sudah tiga hari ini ada yang orang mencurigakan di sekitar rumah kita. Aku diam-diam memperhatikan mereka dan rasanya aku mengenal salah satu dari mereka. Yang datang padamu dulu untuk membeli ginjalmu," jelas Vero.
Mata Amira membulat.
"Terus ngapain kita ke sini. Kalau kita teriak, nggak akan ada yang bisa nolongin kita!" kata Amira mencoba lebih rasional.
"Ssttt! Tetap tenang," ujar Vero. "Aku bakal nyerang meraka dan kamu kembali ke mobil,"lanjutnya.
Amira menggelengkan kepalanya. "Kita harus pergi sama-sama."
Tapi, Vero tidak mempedulikan permintaan Amira, ia lari ke tengah kebun yang berkabut dan tampak bergulat dengan seseorang di sana. Hanya saja tidak jelas seperti apa orang yang dimaksud Vero. Tempat itu terlalu gelap.
"Dokter Vero! Ayo, kita lari aja!" teriak Amira.
Tidak lama Vero berlari ke arah Amira, ia menggenggam tangan Amira dan segera membawa Amira keluar dari kebun karet.
"Kita selamat!" ujar Vero setelah berhasil menekan gas mobilnya. Ia memperbaiki kaca spion tengah, seseorang berpakaian serba hitam terekam di spion itu."Mereka nggak akan bisa ngejar kita," katanya yakin.
***
"Melelahkan!" kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang dialami Amira sekarang. Setelah turun dari mobil, Vero langsung membawa dirinya masuk ke dalam rumah dan mengunci semua pintu dan jendela. Ia juga menggeser semua tirai di rumah itu, cahaya yang tersisa hanya dari sinar bulan yang masuk dari celah-celah ventilasi. Mereka juga harus tetap terjaga sepanjang malam.
Vero, ia dibuat kesal dengan handphone-nya sendiri sejak tadi. Katanya ia sedang menelpon polisi, tapi tidak ada yang menjawab panggilan darurat itu.
"Boleh aku mandi dulu?" tanya Amira pada Vero.
Vero berpaling ke Amira, "Sebentar saja," sahutnya. "Kukira kita nggak bisa mengharapkan polisi malam ini, jaringan telpon mereka kayaknya rusak semua," Vero menghempaskan dirinya ke sofa dan ia melempar handphone-nya ke atas meja. Laki-laki itu mengusap rambutnya sendiri, meraba tengkuknya dan menyandarkan diri ke sofa sambil memejamkan matanya.
"Aku nggak tega liat Anda kayak gini,"lirih Amira ketika menutup pintu kamarnya. Amira masuk ke kamar mandi, menekan saklar kamar mandi dan langsung berdiri di bawah shower. Kebiasaannya untuk tidak melepaskan pakaiannya terlebih dulu. Setelah air meresap sempurna ke pori-pori kepalanya dan kulitnya, barulah Amira melepas satu per satu pakaian yang membalutnya dan melempar pakaian itu ke keranjang.
Hanya tersisa satu kemeja dan underwear ketika Vero tiba-tiba saja mendorong pintu kamar mandi.
"Ada apa? Kenapa berteriak?" panik Vero.
Amira mengerutkan keningnya, ia perlu beberapa detik mencerna apa yang sedang terjadi. Vero benar-benar berada di mulut pintu kamar mandi.
"Apa ada yang berteriak?" Amira balik bertanya.
Vero terdiam sejenak. Ia jelas telah mendengar teriakan, tapi seharusnya ia bisa bernapas lega karena tidak terjadi apa-apa pada Amira.
Vero memalingkan wajahnya. Tangannya masih berada di gagang pintu saat itu. Pelan-pelan ia merapatkan pintu kamar mandi, "Cepatlah! Kutunggu kamu diluar," katanya yang kemudian bersandar di dinding samping pintu kamar mandi. Ia masih bisa mendengar percikan air dari sana, sesuatu yang membuatnya semakin sulit untuk mengalihkan pikirannya dari Amira. Dan apa yang barusan ia lihat; kain hitam yang membalut dada perempuan itu dan kemeja putih yang basah, yang membentuk lekuk tubuh Amira. Vero menarik napas dalam dan kembali memegangi tengkuknya, "Apa yang terjadi padaku?" lirihnya. Vero merasa jantungnya berdenyut tidak teratur.
Tidak lama, Amira keluar dari kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa. Tubuhnya terbalut handuk putih dengan bulu yang tebal. Amira mengambil beberapa pakaian dari lemarinya dan mengenakan satu per satu pakaian itu. Seakan tidak ada yang salah, Amira tidak meminta Vero keluar atau pun meminta laki-laki itu menutup matanya saat ia mengenakan pakaian.
Berbeda dengan Amira, Vero justru harus menarik napasnya berkali-kali dan ia menundukkan kepalanya hingga helaian rambutnya jatuh ke depan. Di kamar itu, sebenarnya pandangan Vero sudah terbatas dengan lampu yang tidak menyala. Tapi, gelap membuatnya tenggelam dalam rasa penasaran dan bayangan Amira muncul menggodanya.
"Apa kamu sudah selesai?" berat Vero.
Amira diam. Ia tak mengerti bagaimana perasaannya saat itu. Apakah dia senang karena tahu Vero adalah orang yang baik, ia memalingkan wajahnya dan membuat Amira merasa tidak dilecehkan. Di sisi lain, ia ingin sekali Vero bersikap jahat, menciumnya dengan paksa dan memintanya untuk tidur bersama. Pada posisinya sekarang, dengan status sebagai Mrs. Alvero Yudistira, Amira tidak merasa itu adalah dosa.
"Boleh aku tetap di sini? Aku beneran ngantuk, pengen banget tidur."
Alvero tidak menanggapi.
"Aku tahu Anda heran kenapa aku bisa-bisanya milih tidur dibanding terjaga semalaman. Tapi, aku samasekali nggak ngerasa takut sama orang-orang itu," Amira meraba hatinya sendiri. Ia mencoba membayangkan pisau yang secara tiba-tiba menusuk jantungnya. Mungkin rasanya biasa saja dan Amira tersenyum kemudian. "Yang aku takutin cuman Anda," katanya. "Aku nggak mau Anda terlibat sama masalah ini."
"Sayangnya aku sudah terlibat sejak awal dan aku merasa harus menyelesaikan ini," Vero menarik bantal dari tempat tidur Amira dan membawanya ke sofa santai yang ada di dekat jendela kamar Amira. "Tenang saja, aku sering seperti ini pada pasien-pasienku. Aku merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada mereka."
Vero berbaring lebih dulu, ia memejamkan matanya kemudian.
Sekali lagi Amira melihat siluet yang mengagumkan dari sosok Vero. Bentuk dahinya, tulang hidung dan pipinya, "Sekali saja… aku ingin sekali mengusap wajah itu,"batin Amira. Bahkan jika benar Vero menganggap dirinya pasien, tidak membuat Amira terpuruk. Amira memang merasa dirinya sakit jauh sebelum pertemuan mereka, ia lupa cara mengekspresikan emosi yang seharusnya ada sehingga menjadi pasien Vero menjadi hal yang luar biasa.
Keesokan paginya,
Telinga Amira dipenuhi suara asing yang membuatnya terjaga. Cahaya matahari menembus celah tirai dan Amira sadar dia telah tidur cukup lama. Cukup untuk membuat rasa lelah di kaki dan kepalanya hilang.
"Kami akan mengerahkan anggota kami untuk melindungi anggota keluarga Anda sementara pemeriksaan belum selesai," ujar seseorang dengan seragam berwarna cokelat pada Vero. Masih banyak lagi orang-orang dengan seragam yang sama yang berada di sekitar rumah. Sepertinya tidak ada satu sudut pun dari rumah itu luput dari pemeriksaan.
Hampir pukul sepuluh pagi ketika Amira menampakkan dirinya di hadapan Vero dengan pakaian rapi. "Aku mau pergi ke kampus," katanya pada Vero.
Vero diam saja. tidak mengizinkan, tapi juga tidak melarang. Biar begitu, Amira tahu ada mobil Camry yang mengikutinya sejak ia berjalan ke ujung jalan, naik ke angkutan kota hingga sampai di kampus. Orang-orang itu adalah "prosedur tidak resmi" yang disebut Vero sebelumnya pada pria berseragam cokelat berperawakan agak gemuk dan berkumis tebal.