"Kayaknya aku salah ngerasa ngerti sama perasaan perempuan," curcol Vero pada beberapa perawat di IGD.
"Emang kenapa, Dok?"
"Nggak. Aku heran aja. Dijutekin tanpa tahu apa masalahnya."
"PMS kali, Dok?"
"Bisa, sich. Tapi, au ah… ntar mungkin balik sendiri," yakin Vero berpikir soal sikap Amira. Amira membuat Vero berpikir keras tentang hal yang buruk yang mungkin ada di dirinya. Ketika mereka berpapasan di rumah, Amira bersikap seolah-olah Vero sosok yang menakutkan sehingga patut dihindari.
"Apa aku sering bicara sendiri? Apa aku sering marah tidak jelas? Atau memukul orang tanpa alasan?" tanya Vero pada orang-orang yang dengan setia menemani dirinya menulis rekam medis.
Semuanya menggeleng.
Vero menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan melipat tangannya di depan dada. "Jadi, kenapa, ya?" desahnya. "Remaja labil," sebutnya kemudian sambil nyengar-nyengir sendiri. Vero tenggelam dalam lamunannya tentang Amira. Ia bahkan lupa pada tiga orang yang memandanginya sejak tadi.
"Kami udah pulang waktu Anda nikah, Dok! Dikirain nggak jadi," timpal Rendi.
"Terus?"
"Ya…penasaran aja gimana sich istri Dokter Vero? Yang katanya bisa ngalahin Ang…,"
Ana spontan berdiri dan mendekap mulut Rendi,"Nggak kenapa-napa kok, Dok! Cuman penasaran aja secantik apa sich istrinya Dokter?" katanya.
Vero memperhatikan Rendi yang megap-megap gelisah, "Hati-hati lo… nanti anak orang mati kehabisan oksigen,"ujar Vero berdiri. Ia kemudian pergi meninggalkan kumpulan orang yang menurutnya bersikap aneh hari itu.
Kampus hari ke-2,
"Apa nggak ada satu pun tempat di dunia ini tanpa dia?"pikir Amira dengan wajah kecewa ketika mendapat selembar kertas dari seniornya. Kertas berisi kurikulum program studi pendidikan dokter lengkap dengan ketua divisinya, "dr. Alvero Yudistira, Sp. Kj" kepala divisi bagian Neuro-Psikiatri.
"Yang di sana!" sebuah gumpalan kertas melayang, kemudian mendarat tepat di dahi Amira.
"Uh!" Amira mengusap-usap dahinya sambil mencari siapa yang iseng melemparinya dengan kertas. Dan dari arah jam 12, satu cowok mendekati Amira.
"Ada apa?" tanya Amira.
"Ada apa kamu bilang?" kata cowok itu sok. Ia berdiri di hadapan Amira.
"Ya. Ada apa? Kenapa aku dilempar? Apa salahku?" tanya Amira tidak sedikit pun merasa ada yang salah dengan dirinya.
Garis senyum cowok di hadapan Amira tertarik ke kanan. "Berani juga kamu, ya? Aku jadi penasaran sama yang ada di pikiran kamu? Apa kamu sedang ngelamunin aku?"
Amira memalingkan wajahnya. Ia mendesis pelan. Menurut Amira, tingkat narsis orang di hadapannya sudah sangat parah dan perlu pertolongan psikiater segera. Amira ingin sekali mengeluarkan kartu nama atas nama Alvero Yudistira dan menyerahkannya pada orang itu. Amira juga lupa apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.
Amira maju satu langkah, sesuatu yang membuat orang di depannya terdorong ke belakang, "Apa pun yang ada di pikiranku, samasekali bukan urusanmu!" tegas Amira.
Cowok itu memperlihatkan senyum sinisnya pada Amira sebelum berbalik dan kembali ke depan. Seseorang yang ternyata sudah banyak jadi bahan perbincangan mahasiswa baru. Namanya Arga Hanung Widjaya, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), terkenal supel, simple dan menawan. Daripada menyebutnya cowok dengan kualitas tampilan di atas rata-rata, cowok itu lebih terkenal karismatik dan ramah sehingga punya banyak fans. Hal yang paling dibencinya adalah orang tanpa "etika", maka tidak menutup kemungkinan Arga bersikap abnormal dari biasanya ketika menyangkut yang namanya "Amira".
"Apa ini zaman kolonial?" pikir Amira beberapa jam kemudian. Ia berbaris dengan hampir 100 orang mahasiswa baru lain. Namun, sejak tadi ia yang paling sering meninggalkan barisan. Mereka, senior-senior itu, meminta Amira melakukan banyak hal. Amira tidak bisa menolak, bukan karena ia tidak ingin menolak, tapi senior itu memulai dengan kata "tolong" dan Amira tidak punya pilihan selain melaksanakannya.
"Amira! Tolong buatkan minuman untuk semuanya! Sirup merah dan gelasnya ada di sana!"
Minuman untuk lebih dari seratus orang. Amira menyiapkannya sendiri dengan memotong es batu, mencampur, menuang, hingga membagi minuman ke semua senior dan peserta orientasi mahasiswa baru.
"Amira! Tolong cucikan gelasnya!","Amira! Tolong ini... Amira!Tolong itu...," Amira mengusap peluhnya. Ia belum mengeluh dan tidak berniat mengeluh. Sampai akhirnya Arga bicara, "Acara Orientasi Mahasiswa Baru, kita lanjutkan besok. Semua boleh pulang kecuali anak bernama Amira," katanya.
Amira tercekat. Senja yang menampakkan dirinya, seperti ada yang menariknya ke hutan Oak di mana tidak seorang pun dapat ia temui. Pikiran Amira tersesat dan ia mulai gelisah.
Satu per satu teman seangkatannya meninggalkan barisan.
"Kamu tahu 'kan kenapa kamu ada di sini?" tanya Arga.
Amira diam. Ia tidak ingin mengakui sejak tadi senior-seniornya sedang mengerjainya hanya karena ia tidak mau menundukkan kepala di hadapan ketua BEM.
"Aku ngerasa kamu perlu mendapatkan pendidikan etika lebih banyak. Jangan mentang-mentang kamu berhasil masuk ke fakultas ini dengan predikat tertinggi, kamu jadi sombong."
"Sombong?" batin Amira.
"Kamu akan tetap di sini sampai kuizinkan untuk pulang."
"Nggak bisa!"spontan Amira."Aku harus pulang," katanya terpikir soal Vero.
"Kalau kamu ngelawan maka…!"Arga dengan nada mengancam.
"Apa? Aku udah nurutin semua maunya kalian, kok! Aku juga udah ngikutin kegiatan ini sama kayak yang lain, masuk jam lima subuh dan ikut baris di tengah lapangan selama berjam-jam. Aku nggak ngerasa kalau aku bikin salah, Kak! Aku mau pulang!" Amira memutar balik badannya, hampir ia meninggalkan Arga.
"Berani selangkah lagi! Kamu nggak bakalan lulus di program orientasi ini dan status mahasiswa kamu di fakultas bakal ditinjau ulang atas rekomendasiku."
Amira terpaksa berhenti. Ia masih mencoba mencerna ucapan Arga. Tentang seberapa sanggup ketua BEM itu mewujudkan kata-katanya. Dan sepertinya ancaman itu tidak main-main kali ini.
...