Vero meletakkan sebuah buku di atas meja kerja Angel, novel thriller yang menggunakan istilah psikopat untuk tokoh utamanya. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa jatuh cinta pada seorang psycho yang menjadikan darah adalah kesenangannya? Dan lebih buruk, wanita yang mencintai itu... adalah target psycho itu selanjutnya. Vero telah menyelesaikan 512 halaman novel itu dan tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya karena dia merasa tokoh utamanya sangat tidak pantas untuk dicintai. Andai mereka tidak pernah bertemu, maka tragedi akan dihindari. Sekali lagi, ini hanya cerita. Yang ending-nya sudah tertebak oleh Vero. Maka itu tidak berarti apa-apa.
Vero hanya mengembalikan hal terakhir yang diminta Angel, bahwa dia harus selesai membaca novel itu. Dan Vero menyelipkan komentar di antara lembaran novel itu, kesalahan terbesar dalam novel ini adalah "cinta". "Aku mungkin seorang dokter jiwa, tapi aku orang pertama yang akan menghajar seorang psikopat," Vero ingat ia pernah mengatakan itu pada Angel. Pemerkosa, pembunuh, koruptor, ada lebih banyak psikopat yang beredar di pasaran dengan berbagai merk dan latar belakang. Tidak ada obat untuk orang-orang itu sampai ajal menjemput mereka. Mereka menganggap kejahatan sebagai bagian dari seni, passion, dan hobi. Orang-orang ini yang sebenarnya yang lebih cocok mendapat gelar "Orang Gila".
Vero memperhatikan jam tangan, tiga puluh menit menjelang pernikahannya dengan Amira. Undangan sudah disebar dan mungkin tamu-tamu sudah berdatangan. Vero masih tidak yakin dan tidak akan pernah yakin dengan keputusan yang ia ambil. "Ini bukan pernikahan, hanya perjanjian," pikirnya dengan napas tertahan. Biar begitu, langkahnya tetap terasa berat mengingat Angel yang akan sangat terluka malam ini.
~II~
Di salah satu kamar hotel,
"Apa dia belum datang?" tanya seorang event organizer yang disewa Vero untuk pernikahan mereka.
Amira diam sambil memperhatikan dirinya yang terlihat sangat luar biasa di depan cermin. "Gaun pengantin yang sangat indah,"pikirnya yang justru ingin menangis.
"Bagaimana ini? Sudah hampir satu jam kita menunggu. Tamu-tamu juga sudah kelihatan gelisah."
Amira berbalik. "Kita tunggu sebentar lagi," katanya yang sebenarnya tidak mengharapkan apa pun. Amira juga tidak peduli apakah Vero akan datang atau tidak. Ia kira ia bisa membayangkan bagaimana perasaan Vero saat ini. Bukan sekali dua kali Amira meminta Vero untuk berpikir lagi, pernikahan ini yang seharusnya tidak terjadi. Akan terlalu mudah bagi laki-laki itu mempermainkan kata sumpah dalam pernikahan. "Saya mau pernikahan yang wajar," kata Amira pada akhirnya. Sebuah pernikahan yang tidak berarti kewajiban bagi Vero untuk melunasi semua utang dan membayar kebutuhan hidup Amira sebagai sebuah bayaran.
Hingga setengah jam kemudian, Amira baru saja melepas antingnya ketika sosok Vero terekam di cermin. Amira yang telah menyerah menunggu Vero sejak beberapa menit lalu, tertegun sejenak memperhatikan Vero yang mematung di depan pintu sambil memperhatikan dirinya.
"Apa Anda datang untuk meminta maaf? Akhirnya Anda putuskan untuk tidak jadi menikah. Itu bagus," Amira membuat kesimpulan sendiri.
Vero berjalan menghampiri Amira, ia kemudian mengulurkan tangan kirinya. "Bukan begitu,"ucap Vero.
Amira berbalik. Ia mempelajari apa yang sebenarnya diinginkan Vero dari dirinya.
"Maafkan aku karena datang terlambat."
Amira memperhatikan telapak tangan Vero yang menghadap ke atas. "Apa yang akan terjadi jika kuberikan tanganku?"pikirnya dengan mata yang berkaca-kaca. Sesuatu yang tidak sepenuhnya dimengerti Amira, tentang perasaan yang tidak karuan saat mengira Vero tidak akan datang. Apakah itu perasaan dipermainkan? Padahal logikanya sudah menerima bahwa pernikahan ini bukan karena Vero mencintai dirinya. Sekali lagi, mereka tidak seharusnya menikah.
Tapi, seperti seorang pangeran yang telah menemukan sepatu kaca yang hilang, Amira merasa beruntung dan keberuntungan seperti itu entah mengapa membuatnya semakin khawatir. Khawatir hingga tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Mungkin, secara tidak sadar Amira telah jatuh cinta pada laki-laki yang mengulurkan tangan padanya. Sementara ia tahu, laki-laki itu mencintai orang lain.
~II~
Amira benar-benar memulai hidup baru. Malam setelah pernikahan, Vero membawa Amira ke sebuah rumah mewah bergaya modern. Jika pintu kaca menuju balkon digeser, maka harum laut tercium begitu khas. Angin mendesir tanpa henti hingga membuat Amira benar-benar merasa bebas. Rumah itu bersih dan rapi, Amira tidak percaya saat Vero bilang ia tidak punya asisten rumah tangga. Sebenarnya, alasan dia tidak memperkerjakan asisten rumah tangga karena dia tidak suka ada yang menyentuh barang-barang pribadinya. Karena alasan itu juga, akhirnya Vero mempertimbangkan satu kamar lagi untuk Amira.
"Bukannya aku tidak mau ada kamu di kamarku. Tapi, aku yakin pasti kamu juga merasa tidak nyaman," ucap Vero saat memperlihatkan sebuah kamar dengan tempat tidur yang besar pada Amira. Ada perasaan tidak enak menyusup dibenak Vero, kalau-kalau Amira merasa tersinggung dengan sikapnya. "Suatu saat jika kamu datang ke kamarku dan mau tidur di sana, aku anggap kamu siap buat malam pertama kita," pelan Vero yang membuat Amira berpaling padanya.
"Oh..., maksudku...kamu sendiri yang bilang menginginkan pernikahan yang wajar. Sebagai laki-laki rasanya kewajibanku...,"
Amira menangkap kegelisahan di wajah Vero. "Soal tidur dengan Anda?" potong Amira mengingat dia yang selalu bertingkah seperti perempuan nakal. "Saya hanya menyombongkan diri waktu itu, sebenarnya... membayangkannya saja bikin saya takut," ucap Amira. "Itu juga kalau Anda tidak keberatan."
"Keberatan? Kupikir aku orang yang demokratis dan menghargai keinginan orang lain. Aku tidak akan memaksamu melakukan apa pun untukku, " ungkap Vero tersenyum lega.
Begitulah hingga akhirnya Amira berusaha membuat hidup Vero tidak jauh berubah meski ia tidak sendiri lagi di rumah itu. Amira hanya perlu membuat sarapan dan makan malam, membersihkan rumah dan menyembunyikan dirinya di kamar jika Vero berada di rumah.
Suatu hari, seperti biasa...
Amira memperhatikan jarum jam yang menunjukkan pukul sembilan malam. Ia selesai dengan urusannya di meja makan. Amira mematikan lampu ruang tengah dan masuk ke kamar. Sebentar lagi Vero akan datang. Biasanya laki-laki itu akan langsung ke ruang tengah, menyalakan lampu dan duduk di sofa. Setelah melamun beberapa saat, Vero akan masuk ke kamar, mandi, ganti baju, dan kembali ke ruang tengah untuk makan. Begitulah yang terjadi setiap hari sejak hari pertama Amira tinggal di sana.
"Keluarlah! Sampai kapan kamu mau jadi kura-kura?" Vero mengirim pesan WA. Tapi, Amira mengabaikannya. Ia akan membiarkan Vero mengira dirinya sudah tertidur dan belum sempat membaca pesan itu.
"Aku akan bertahan," lirih Amira sambil menarik selimut. Menenggelamkan diri dengan bodohnya hingga sulit untuk bernapas. Amira terlalu takut membuat Vero tidak nyaman dengan kehadirannya.
Setengah jam kemudian, lampu ruang tengah padam, itu berarti Vero sudah selesai dengan acara makan malamnya. Amira bangun dan diam-diam membereskan meja makan. Perempuan itu selalu gugup tentang makanan sisa. Tentang apakah Vero menyukai masakannya atau tidak. Untungnya, selama ini Vero tidak pernah menyisakan apa pun di piring dan itu membuat Amira lega.
Tiba-tiba, sesuatu berderag. Amira tercekat. Tapi, ia enggan menoleh ke sumber suara. Tidak lama, ada bayangan hitam yang berjalan menuju kulkas, bayangan itu membuka kulkas dan mengambil botol minum di sana. Jakunnya bergerak saat menenggak air. Seperti siluet yang begitu detail tentang sesosok manusia, begitulah Vero dimata Amira di ruang gelap itu. Amira mematung, ia berharap Vero tidak menyadari keberadaannya.
Tapi,
"Gimana kabar kamu? Sudah tiga hari tidak kelihatan," ucap Vero yang terdengar seperti sebuah sindiran.
"Saya baik," jawab Amira.
"Kenapa? Kok kayaknya ketakutan begitu? Apa aku seperti monster? Sampai-sampai kamu tidak berani keluar kamar?"
"Anda sendiri yang bilang Anda tidak terlalu suka ada orang lain."
Kening Vero mengerut, ia lupa kapan pernah mengatakan soal itu pada Amira. Itu terlalu jujur dan terkesan agak kasar.
"Jadi, kamu tersinggung sama ucapanku?"
"Nggak kok!" spontannya. Otak Amira berpikir keras kemudian, ia tidak bisa memberi penjelasan apa pun. "Saya hanya ingin menjaga perasaan Anda," katanya.
"Perasaanku?" Vero semakin heran. "Omong kosong apa itu?" katanya tersenyum sinis. "Jangan anggap serius ucapanku waktu itu, bersikaplah sewajar mungkin, buat dirimu sendiri nyaman di sini," nasihat Vero. "Aku cuman mau tanya... kamu masih punya uang apa tidak? Aku pikir kamu beneran kehabisan uang, abisnya buat ngebalas pesan-pesan aku aja kok kayaknya susah banget. Kamu kehabisan kuota, ya?"
Amira tidak menjawab. "Uang", rasanya Amira mulai membenci kata itu. Vero benar-benar mengira yang ada di otak Amira hanyalah "uang" dan Amira benci disangka seperti itu.
"Boleh saya bicara?" tanya Amira.
"Ya, silakan!"
"Saya mau bekerja."
Vero terdiam. Mereka sebenarnya sudah membahas soal ini. Vero tidak mengizinkan Amira bekerja. Pramusaji dan pramuniaga, siapa pun akan menganggap Vero kejam jika mengizinkan istrinya melakukan pekerjaan yang gajinya tidak seberapa. Vero bisa memberikan lima kali lipat lebih besar dan itu jatah untuk satu minggu.
"Saya mohon! Tidak ada yang bisa saya kerjakan di rumah sendirian," ucap Amira.
"Coba pikirkan hal lain. Misalnya kuliah? Aku berharap setelah kita bercerai nanti, kamu bisa mencari pekerjaan yang lebih layak. Kamu sudah lulus SMA, 'kan?"
"Ya. Tahun lalu?"
"Tahun lalu?" tanya Vero hampir tersedak.
"Ya."
"Jadi,umurmu?"
"Sembilan belas tahun," jawab Amira jujur.
Vero mengangguk. Ia lupa menanyakan soal umur sebelum meminta Amira menikah dengannya. Sembilan belas tahun dalam benak Vero, seperti mahasiswanya yang masih perlu banyak bimbingan. Vero tidak pernah membayangkan akan menikahi perempuan sembilan belas tahun. "Apa aku pantas disebut seorang pedofil?" pikirnya.
"Kenapa?" tanya Amira.
"Nggak. Kamu kelihatan lebih dewasa aja dari umur kamu," aku Vero.
"Maksud Anda, saya terlihat lebih tua?"
"Bukan begitu," Vero menggaruk-garuk kepalanya. Dia hampir memukul mulutnya sendiri. "Sudah, aku mau tidur lagi," Vero menyerahkan botol minum ke Amira. Melarikan diri menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini.
~II~
Malam berikutnya,
Pintu terbuka sebelum Vero sempat menekan nomor kuncinya. Sosok dengan lekuk tubuh yang sempurna menghadangnya di balik pintu. Vero selalu dibuat terkejut dengan perubahan drastis seorang perempuan berambut panjang yang tinggal di rumahnya. Vero lupa kapan Amira bertanya,"Menurut Anda bagaimana penampilan saya? Saya tidak mengerti apa yang mesti saya lakuin agar bisa dibilang pantas untuk mendampingi Anda?" Vero tidak memberikan jawaban ketika itu. Ia hanya melemparkan sebuah majalah fashion.
Dan lihatlah Amira sekarang, ia cukup cerdas untuk tetap memilih style yang berantakan untuk rambutnya, dan warna-warna pastel yang ia suka untuk bajunya. Dan bagaimana mungkin perempuan itu bisa nyaman dengan potongan leher melebar serta celana yang panjangnya jauh di atas lutut. Rasanya Vero baru percaya bahwa Amira memang remaja labil dengan penampilannya itu, tapi tidak untuk sikapnya.
Amira menyodorkan sepuluh brosur ke hadapan Vero saat Vero duduk di sofa. Perempuan itu juga membuatkan capucino latte untuk Vero.
"Bagaimana?"tanya Amira penuh harap.
"Akademi Perawat, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Psikologi," sebut Vero. Dan secara khusus Vero memisahkan brosur "Program Studi Pendidikan Dokter" dari kumpulan brosur yang diserahkan Amira.
"Kenapa? Anda tidak setuju kalau saya masuk kedokteran?"
"Aku bisa ngasi rekomendasi buat kamu ke kampus kesehatan mana pun, tapi nggak sama kedokteran. Ya. Walaupun aku juga punya koneksi di sana, tapi karena ini berhubungan sama nyawa orang lain, kemampuan kamu harus sesuai sama gelar yang kamu dapetin. Kalau nggak, aku ikut dosa juga!"
Amira memperhatikan satu-satunya brosur yang disingkirkan Vero dari tumpukan lainnya.
Vero beranjak dari sofa setelah menghabiskan capucino latte-nya.
Amira masih duduk di sofa saat itu, tatapannya kosong pada film kartun Disney tanpa suara yang diputar Vero. Kartun hitam putih yang membuat Vero seringkali tertawa sendiri melihat kejadian unbelieveble pada tokoh-tokohnya yang tak pernah mati meski tertindas berkali-kali.
Meski belum mengalaminya, Amira merasa ia bisa memahami bagaimana kehidupan seorang dokter. Ia ingat bagaimana Vero menyelamatkan nyawanya ketika ia diserang seorang skizofren yang sedang kambuh, hanya karena Vero seorang dokter jiwa, ia merasa perlu melakukan itu. Bekas luka ditangan Vero adalah sejarah yang terekam selama ia menjadi seorang dokter. Seorang dokter menempatkan kepentingan pasien di atas segala-galanya. Diam dan bersikap defensif bukanlah pilihan meskipun perasaannya sedang terpuruk. Sekali lagi Amira terpikir tentang Angel. Amira yakin Vero berusaha keras agar terlihat biasa, bahwa dirinya tidak menyesali keputusannya, tapi siapa yang pernah melihat Vero diam begitu lama di depan televisi dengan film kartun bisunya tanpa ekspresi apa pun. Saat bangun pagi dia juga sering bertanya hari apa ini, seakan-akan Vero telah tenggelam dalam mimpi buruk begitu lama hingga membuatnya melupakan banyak hal.
"Hari ini aku bikin waffle yang dilumuri dengan cokelat Nutela dan vanilla ice cream," Amira setengah berteriak. Ia berharap Vero tidak berlama-lama di kamar mandi, atau ice cream di waffle akan meleleh.
Dan tiba-tiba saja pintu kamar Vero kembali terbuka. Laki-laki itu keluar dengan tubuh hanya dibalut handuk berwarna putih. Ia menuju meja makan. Mengambil garpu dan mengangkat piring ceper berisi waffle. Tanpa basa-basi, Vero memotong benda segi empat itu dan memasukkannya ke mulutnya.
"Sebutkan makanan apa yang tidak Anda suka?" ucap Amira heran. Amira tidak tahu seenak apa makanan yang ia buat hingga Vero tidak ingin melewatkan sepotong pun makanan itu. Amira bukan seorang chef, tapi ia pernah bekerja di restoran jepang, restoran cepat saji, restoran perancis dan juga restoran padang. Keahliannya adalah membuat makanan sesuai selera bosnya. Ia tidak menganggap bahwa kemampuannya itu istimewa.
"Tidak ada. Bahkan jika kamu masakin aku cuman telor ceplok, aku akan melahapnya," jawab Vero.
"Apa Anda punya penyakit ... semacam kerusakan saraf...sesuatu yang bikin Anda nggak bisa ngebedain mana manis, asam, asin...?"
Vero tersenyum. Ia memasukkan sendokan terakhir ke mulutnya, meletakkan piring dan kembali ke kamarnya.
"Sial!" umpat Amira karena Vero yang mengabaikan pertanyaannya. Namun, ketika Amira menggeser bola matanya ke piring kosong yang ditinggalkan Vero, kekesalannya sirna seketika.
~II~