'Aku dikelilingi orang-orang yang tertekan secara psikologis, aku tidak tahu kapan aku juga mulai menggila. Hanya saja, aku cukup rasional untuk membantu menyelesaikan satu per satu masalah mereka.'
Perasaan seperti itu yang ada di benak Vero ketika sekali lagi menghentikan mobil di hadapan Amira.
"Ayo, masuklah!" Vero mendorong pintu mobil. "Maaf, ya! Aku pinjam Amira sebentar!" katanya pada beberapa orang yang ada di belakang Amira.
...
"Sepertinya Anda begitu menyukai saya," Amira berharap Vero punya penjelasan. Ini memang jam satu siang, jam dirinya diizinkan untuk istirahat bersama pegawai-pegawai lain. Namun, tidak ada yang mengatakan padanya bahwa laki-laki menawan itu akan datang. Walaupun mungkin saja pertemuan itu hanya kebetulan.
Vero masih diam, sorot matanya hanya berputar antara jalan lurus di depan dan spion mobil. Perlu beberapa blok lagi sebelum sampai ke tempat yang diinginkan. Vero tahu Amira sedang bercanda ketika bertanya,"Apa Anda benar-benar menyukai saya?" Vero bingung harus memulai dari mana, tentang permintaan Reina kemarin. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu dikhawatirkan oleh Vero. Bagaimana pun, itu adalah pilihan hidup Amira. Dan bisa saja jika ia terlalu jauh ikut campur, Amira benar-benar akan salah paham kepadanya.
"Aku hanya tidak punya teman buat makan," sabuk pengaman dilepas dan Vero siap menggali lebih dalam tentang isi pikir Amira. Ellenoir café, bukankah mereka tidak pernah benar-benar menikmati tempat itu dan makanan di sana. Tempat yang selalu ramai di siang hari, namun tetap terasa sejuk.
"Apa Anda benar-benar menyukai tempat ini?" tanya Amira. Ia melemparkan pandangan pada orang-orang dengan berat badan diatas rata-rata, mereka bicara dengan mulut tersumpal roti isi.
Vero mendekatkan dirinya pada Amira, kemudian berbisik, "Tempat ini adalah yang terburuk," katanya terlihat serius. "Di sini makanannya murah, cepat saji dan tidak sehat. Tapi, aku suka tempat ini. Tidak ada yang mengenalku di sini. Teman-temanku, mereka tidak akan memilih makan di tempat ini."
Amira bisa memahami bagaimana perasaan ingin melarikan diri itu kadang-kadang singgah, dan mereka butuh tempat seperti yang didatangi Vero.
Namun, dalam beberapa hal sepertinya Vero salah.
"Apa aku harus percaya pada papi soal kleptomania ini?"
Angel tiba-tiba datang dan membuat Vero tercengang.
"Apa yang dia katakan?" tanya Amira.
"Seharusnya urusan kalian selesai setelah kamu ngedapetin jam tangan kamu lagi 'kan, Ver?"
Vero menggigit bibirnya, ia memperhatikan Amira. Vero berharap perempuan itu benar-benar bodoh untuk memahami perkataan Angel. Sayangnya, itu tidak sesuai harapan Vero.
"Akhh...jam tangan, aku sudah membelinya. Sudah tidak ada masalah," Vero berusaha menjernihkan suasana.
Angel memaku Amira dalam tatapan mengerikan. Sampai tidak menggubris permintaan Vero yang menyuruhnya "berhenti" untuk berkata macam-macam.
"Baiklah. Saya mengerti." Amira tersenyum getir. "Saya seharusnya sadar siapa diri saya," ucapnya lagi dengan butiran bening keluar dari sudut matanya. Butiran bening yang membuat Vero sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan.
"Kamu jadiin dia sebagai alasan untuk menjauh dariku? Apa itu mungkin?" sinis Angel pada Vero.
Vero berpaling pada Angel. Ia berusaha mengingat bagaimana rasa sayangnya yang tak terukur pada perempuan itu. Namun, saat itu, Vero merasa Angel keterlaluan. Angel tidak akan memahami betapa sulit hidup bagi orang lain karena Angel selalu mendapatkan apa yang ia mau sejak ia mulai bisa meminta.
"Aku seharusnya membencimu," lirih Vero yang juga merasa tidak adil pada Angel. Angel dalam ingatannya adalah gadis angkuh dan cantik. Dia terlalu naif. Perempuan itu tidak patut dipersalahkan karena dia memang tidak mengerti apa-apa.
~II~
Keesokan harinya,
Vero tidak pernah segugup ini. Ia menarik napas dalam berkali-kali dan mengembuskankannya lewat mulut hingga menimbulkan desisan. Vero berada di tepi jalan menuju rumah Amira sejak lima belas menit lalu. Awalnya ia berniat menunggu Amira di jalan itu. Vero berpikir, saat mereka bertemu, Amira akan mengira bahwa pertemuan itu adalah suatu kebetulan. Walaupun... agaknya tak logis karena seorang dokter spesialis kejiwaan tidak seharusnya berada di perkampungan nelayan.
Tapi, Amira tidak juga turun. Vero mempertimbangkan kemungkinan lain jika ia menaiki dua tangga dan sampai di depan rumah Amira. Apa yang akan terjadi setelah ia mengetuk pintu? Amira mungkin akan menghempaskan pintu itu ke wajah Vero? Atau dia akan melempar barang kelontongan untuk mengusir Vero? Dua-duanya hanya asumsi saja, faktanya Vero harus benar-benar bicara dengan Amira. Karena jika tidak, Vero akan terus terbebani dengan rasa bersalahnya.
...
"Bagaimana Anda tahu saya tinggal di sini?"
Bangunan yang hanya seluas 4x6 meter, berbahan beton tanpa cat. Lantainya dari batu alam yang disusun sangat rapi. Dari jendela yang terbuka di belakang Amira, Vero bisa melihat garis pantai yang indah dan laut yang membiru.
"Emmm... soal kemarin... aku tidak bermaksud...,"
"Maafkan saya! Memang benar saya telah mencuri jam tangan Anda. Saya terpaksa dan saya berjanji akan segera mengembalikannya," potong Amira tidak bersemangat. Ia berbalik dan mengambil secangkir air putih. "Duduklah!" katanya sambil memperhatikan satu-satunya bangku kayu yang ada di tempat itu.
"Kamu kecewa?" tanya Vero.
"Tidak juga. Saya memang tidak berhak mengenal orang sebaik Anda. Terlepas semua niat Anda melakukan ini."
"Awalnya aku memang curiga. Tapi, seiring waktu, aku bisa mengerti kenapa kamu melakukan itu? Apa aku harus meminta maaf?" tanya Vero masih ragu dan masih tidak yakin dengan cara Amira menyambutnya. Yang meskipun dengan wajah merengut, tetap terkesan lebih hangat daripada yang ada di pikiran Vero.
"Berapa harga jam tangan itu?" tanya Amira hanya sekadar basa-basi, bagaimana mungkin hanya untuk mengejar sebuah jam tangan membuat mereka sepertinya akrab.
"Sekitar 15 juta," kata Vero santai.
"Apa? Paman di pegadaian itu cuman ngasih saya satu juta!"
Vero tersenyum.
"Akh... bagaimana ini?" keluh Amira dengan wajah tertekuk lebih buruk.
"Satu-satunya yang harus kamu khawatirkan... aku mungkin saja menyeret kamu ke kantor polisi," ujar Vero.
"Lakukan saja kalau bisa!" ucap Amira percaya diri, ia menyerahkan gelas berisi air putih pada Vero.
Amira baru saja ingin menemani Vero ketika beberapa orang asing menyambangi rumahnya dan bertanya, "Apa benar ini rumah Amira?"
"Iya. Saya sendiri!"
"Saya dengar Anda yang mau ...maaf... mendonorkan ginjal Anda? Hasil pemeriksaan kesehatan Anda kemarin sudah selesai, dan ternyata ginjal Anda cocok untuk klien kami," orang berjas dan berkaca mata hitam menyerahkan beberapa lembar kertas pada Amira. Hasil pemeriksaan darah yang sama sekali tidak dimengerti Amira.
"Kami akan memberikan berapa pun yang Anda minta. Setengahnya akan kami transfer sebelum operasi. Akan kami penuhi semuanya saat operasi berhasil."
"Berapa pun?" Amira meminta ketegasan.
Vero mendesis. Ia terkejut karena Amira sudah sampai pada tahap itu. "Tapi, sayang sekali dia tidak jadi mendonorkan ginjalnya," Vero menarik Amira ke belakang.
"Apa?" heran Amira.
"Pergilah! Aku akan menelpon polisi jika kalian tidak pergi sekarang!"ancam Vero pada orang-orang yang lebih terlihat seperti mafia.
Vero menghempaskan pintu rumah Amira dan menguncinya dari dalam.
"Anda sudah gila! Sudah susah payah saya buat ngedapetin...,"
"Pelanggan buat ginjal kamu?"sambung Vero.
Amira berhenti meronta.
"Jual beli organ tubuh itu ilegal," tegas Vero.
"Terus kenapa? Apa saya akan ditangkap? Terus kalau saya nggak jual ginjal atas nama hukum, polisi bakal ngebayarin semua biaya rumah sakit ibu, nggak 'kan?" teriak Amira.
"Kamu harus terima kondisi ibu kamu yang seperti itu. Kalau dia tahu anaknya bakal ngelakuin ini, dia pasti sudah bunuh diri."
Amira berusaha sangat keras untuk lepas dari kekangan Vero, sampai akhirnya ia sadar bahwa orang-orang yang mau membeli ginjalnya sudah pergi, saat itu ia mulai menangis. "Lalu saya harus bagaimana?" tanyanya menjadi semakin histeris. Amira sudah terlalu lelah berpikir untuk sampai pada keputusan akan menjual ginjalnya. Tidak mudah untuk datang ke rumah sakit, seseorang akan mengambil darahnya dan menempatkannya pada posisi di mana organ dalamnya akan difoto menjadi bentuk hitam putih yang mengerikan. Amira juga harus berusaha menjaga diri tetap sehat agar ada orang yang mau membeli ginjalnya.
Vero menyediakan dadanya untuk Amira menangis kemudian. Buat Vero, Amira hanya seorang gadis kecil yang tidak ingin kehilangan ibunya.
"Ayo, kita menikah!" spontan Vero. Sebenarya, tidak ada perasaan apa pun saat ia mendekap dan mengusap punggung perempuan itu, kecuali empati yang teramat besar. Vero mungkin bisa melindungi Amira dari orang-orang itu hari ini, tapi Vero yakin orang-orang itu akan mendatangi Amira lagi dan membujuknya.
"Aku akan melunasi semua biaya rumah sakit ibu mertua," ujarnya lagi agar terdengar lebih akrab dan wajar.
Amira menghentikan tangisannya, ia juga melepaskan diri dari pelukan Vero. "Sudah kuduga! Anda begitu menyukaiku. Seberapa menarik aku di atas tempat tidur? Aku tidak pernah menerima tawaran laki-laki hidung belang karena mereka pasti akan membayarku sangat sedikit. Tapi, Anda berbeda. Anda punya mobil mewah. Aku mungkin seharga mobil itu. Dan menikah, apa maksud Anda aku akan dijadikan simpanan?"
Vero terkekeh sejenak. "Maaf, tapi aku tidak akan merendahkan diriku sendiri dengan melakukan itu. Anggap saja aku sedang melarikan diri dari seseorang," ucap Vero melemah. Bola matanya bergeser ke bawah, ke lantai batu yang tampak sangat kokoh.
"Dari pacar Anda yang itu?"
Vero mengangguk. Membayangkan Angel, selalu membuat hatinya terluka. "Aku cuman mau status kamu yang "lajang", menjadi "menikah". Aku cuman minta itu, nggak lebih. Kamu juga berhak minta cerai, kapan pun kamu mau. Sebaliknya aku bakal ngelunasin utang kamu dan memenuhi semua kebutuhan hidup kamu. Gampang 'kan?"
Amira tidak menjawab. Ia menatap Vero begitu lama. Tentang arti "pernikahan" bagi orang kaya. Istilah itu seolah tidak berarti apa-apa.
"Apa aku sudah gila?" kata Amira masih denggan tatapan penuh ke Vero.
"Belum. Kamu belum gila,"tanggap Vero.
"Kalau begitu Anda yang gila," ujar Amira yang kemudian berdiri. "Pergi dari rumah saya dan pikirkan lagi yang sudah Anda lakukan hari ini!" usir Amira.
~II~