Rumah Sakit Umum Pemerintah Provinsi pukul 20.30,
Vero berjalan di belakang Amira. Amira yang kembali menjadi perempuan pemurung sejak masuk pintu gerbang rumah sakit. Tatapannya nanar dan langkahnya benar-benar membuat Vero khawatir. Perempuan itu berulang kali tersandung dan bertabrakan dengan orang. Sampai-sampai Vero harus menangkap lengan perempuan itu dan berkata, "Berhati-hatilah!"
Hampir sampai ke ruang ICU, langkah Vero terhenti. Seseorang berperawakan gemuk, yang masih mengenakan setelan khusus ruang operasi, datang dari arah berlawanan. Vero tentu tidak lupa bahwa ia berada di wilayah kerja Dokter Suto. Laki-laki gemuk itu hanya akan bolak-balik dari ruang operasi, ICU dan ruang operasi lagi. Dokter Suto juga memperhatikan Vero saat itu. Mau tidak mau Vero harus menundukkan kepalanya, bentuk hormat seorang junior pada seniornya. Tapi, Vero tidak menyangka dokter itu akan berhenti di hadapannya. Amira juga menjadi perhatiannya.
Vero mempererat genggamannya pada Amira.
"Langkah yang bagus," ujar Dokter Suto yang akhirnya berlalu.
Vero berpaling ke Amira, ia masih tidak mengerti dengan kalimat yang diucapkan Dokter Suto saat itu. Apa orang tua itu senang karena mengira Amira adalah kekasihnya yang baru? Vero tidak pernah berpikir sejauh itu.
"Ada apa? Anda kenal dia?"
"Tidak penting," ujar Vero kembali menarik Amira, membawanya ke tempat di mana kematian akan disaksikan dengan sangat mudah.
…
Bayangan Amira terekam pada kaca bening yang kedap suara. Ini di luar jam tamu, jadi keluarga hanya bisa melihat keluarga yang sakit dari sebuah jendela kaca.
Vero merasa tempat itu pasti sangat mengerikan buat Amira, air matanya tetap saja menetes meski Vero tahu perempuan itu berusaha keras menahannya. "Maafkan saya," katanya berkali-kali sambil mengusap pipinya.
Vero tidak terlalu mengerti bagaimana sebenarnya kondisi perempuan tua yang terus saja membuat Amira menangis. Yang jelas kondisinya cukup buruk karena penurunan kesadaran dan penggunaan alat bantu napas ventilator. Untungnya, ada seseorang yang akan memberikan sedikit informasi tentang pasien asing yang satu itu. Seorang perempuan berjas putih dari dalam ruang ICU, yang entah sejak kapan juga memperhatikan Vero. Perempuan itu memberikan isyarat agar Vero masuk ke dalam ruang perawatan.
"Aku permisi sebentar," bisik Vero pada Amira.
…
"Sudah lama kita tidak bertemu, Ver!" katanya bersahabat. Reina, perempuan yang seumuran dengan Vero, ia menarik kursi dan mempersilakan Vero duduk di sana.
"Perempuan yang di sana itu, apa dia … pacar kamu?"
"Bukan. Hanya teman."
"Oh, syukurlah!"
Vero mengerutkan keningnya, "Memang kenapa?"
"Nggak ngerti dech apa lagi yang bakal dia lakuin? Yang jelas, kalau sampai dia berhasil ngedapetin kamu. Kamu hanya akan dijadikan mesin uang. Dia punya banyak utang."
Vero menelan ludah dan memperbaiki posisi duduknya, ia merasa tidak nyaman mendengar perkataan temannya yang satu itu.
"Aku bukannya mau menjelekkan dia. Aku malah ingin ada yang menasihati dia."
"Soal apa?"
"Soal ibunya. Ibunya terkena serangan stroke hemoragik, dua hari lalu mendapat serangan yang ke tiga. Kerusakan otaknya semakin parah. Secara keilmuan, tidak mungkin kesadarannya kembali. Tinggal nunggu waktu sampai kematian batang otak. Kami sudah mengedukasi anaknya, perempuan yang datang sama kamu itu, untuk mengikhlaskan orangtuanya. Dia pikir aku nyuruh dia buat membunuh ibunya sendiri? Seperti yang kamu tahu, tidak ada lagi pengobatan yang bisa dilakukan, bahkan dengan operasi. Kita kadang-kadang dihadapkan sama masalah etik kayak gini. Kalau dia mampu, kami sich tidak masalah alat itu terpasang sampai dua tahun atau mungkin sepuluh tahun. Tapi, sampai kapan dia akan hidup penuh tekanan karena ibunya yang sakit. Dikejar-kejar rentenir dan menyia-nyiakan hidupnya sendiri dengan terus menerus bekerja. Mana hidup yang lebih berharga? Dia yang masih muda… atau ibunya yang secara organ sudah mengalami kematian?"
Vero menghela napas. "Kalau aku di posisi dia… kupikir aku akan ngelakuin hal sama."
Reina mengeluarkan selembar kertas yang berisi surat pernyataan, ditulis tangan dan ditandatangani oleh Amira.
…
Saya menghalalkan organ tubuh saya untuk diambil dan didonorkan oleh rumah sakit dengan nilai yang tidak kurang dari tunggakan pembayaran saya pada rumah sakit.
Surat pernyataan ini sebagai jaminan untuk perawatan atas Ny. Indira(Ibu Saya) selama beliau di rawat di Rumah Sakit Umum Pemerintah Provinsi.
Demikian surat pernyataan ini saya buat secara sadar dan tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Amira
…
"Rumah sakit nggak mungkin memfasilitasi ini. Tapi, beberapa kali dia sudah mencoba menawarkan darahnya kepada orang yang bersedia membayar. Tinggal menunggu waktu sampai ada yang membeli ginjalnya. Kemarin, bahkan sudah ada yang datang kepadaku, meminta alamat rumah Amira. Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi."
Vero mengangguk beberapa kali, "Ok! Aku akan mencoba bicara kepadanya," katanya tampak ragu. Vero merasa tidak yakin akan melangkah begitu jauh ke kehidupan Amira. Faktanya, Amira bukanlah siapa-siapa bagi Vero.
~II~