"Kuperkenalkan kamu sama papiku!" kata Angel beberapa hari lalu. Walaupun merasa ragu, Vero tetap datang ke acara makan malam yang dipersiapkan Angel untuk mempertemukan dirinya dan calon mertuanya. Itu adalah saat yang mengerikan, terasa sulit bahkan untuk menelan air liurnya sendiri.
Ayah Angel, adalah dokter bedah orthopedi. Dia dokter konsulan di rumah sakit rujukan utama di provinsi ini. Vero pernah melihat orang tua itu beberapa kali di berbagai pertemuan, tapi tidak pernah benar-benar saling menyapa. Laki-laki enam puluh tahunan yang berperawakan agak gemuk, terkenal tegas dan jarang tersenyum. Vero bisa membayangkan hidupnya berada di tebing neraka ketika ia harus memperkenalkan diri sebagai kekasih Angel.
Dan sekali lagi, ini adalah tahap yang harus dilewati. Meski keyakinannya timbul tenggelam seperti sendal jepit yang terapung di lautan. Tenggelam saat ombak menggulung dan timbul lagi setelah ombak berlalu.
"Siapa orang tuamu?" pertanyaan pertama dari dr. Suto.
Vero terdiam sejenak. Ia menghindari banyak hal untuk tidak mendengar pertanyaan itu lagi.
"Ibu saya meninggal sejak usia saya 11 tahun. Ayah saya...," kata-kata Vero tertahan. Sosok ayah yang ia ingat, yang ia temui terakhir kali, Vero tidak ingin mengakuinya. "Dulu dia hanya bekerja di bengkel, sekarang sudah tidak bisa bekerja," jujur Vero dengan sedikit senyuman. Ia tahu bahwa Angel juga akan terperangah mendengar kebenaran ini. Perempuan itu terlalu lugu untuk melihat Vero dari sudut yang tampak saja, padahal... status sosial... Vero sama sekali tidak punya. Vero mungkin punya mobil mewah dan tempat tinggal yang nyaman, tapi siapa yang tahu bahwa memorinya masih terkurung dalam rantai roda sepeda yang lepas dari tempatnya. Karena kebodohannya, ia tidak bisa memperbaiki rantai itu. Pada akhirnya, Vero harus menyeret sepedanya melewati jalan hitam yang asing. Sampai sekarang, Vero tidak tahu kapan ia akan sampai. Ia masih membawa sepeda rusak itu di tangannya.
"Dokter jiwa! Apa yang bisa dibanggakan dari seorang dokter jiwa? Bisanya cuman ngurusin orang gila. Mending kamu sama Anton, sekarang sudah jadi dokter bedah, mau ngambil spesialisasi bedah jantung, tentu itu lebih membanggakan daripada dia!"
"Pih! Aku bahkan bukan dokter seperti papi ataupun Mas Anton. Tapi, Vero bisa nerima aku apa adanya."
"Anton juga bisa nerima kamu apa adanya. Pokoknya papi tidak setuju! Kamu masuk ke kamar dan biarin dia pergi sendiri!"
Vero masih di meja makan ketika melihat Angel dan ayahnya berdebat di sudut yang mereka kira Vero tidak melihatnya. Vero mungkin menunduk dengan sesekali memasukkan potongan kentang ke mulutnya, tapi ia sangat mengerti apa yang sedang terjadi. Sangat-sangat mengerti hingga menganggap yang terjadi saat itu adalah hal wajar.
Dan ketika Angel memaksa kembali ke meja makan, ia hanya akan menemukan sendok dengan ujungnya menghadap ke bawah. Seperti makan malam itu, hubungan mereka... juga telah selesai.
~II~
Ini malam yang dingin dan berembun. Sudah tiga jam Vero duduk di ujung dermaga. Matanya terpaku pada riak air yang menghempas tiang penyangga ulin yang menembus ke dasar laut. Ia dikelilingi benda tanpa konsistensi yang entah kenapa begitu menarik dalam pikirannya. Sesuatu yang dapat menenggelamkan. Tubuhnya mungkin terapung, dan tanpa perlu bersusah payah benda itu akan membawanya ke tengah laut. Vero membayangkan betapa damainya itu. Di antara diam, langit dan laut lepas, dirinya menghilang. Itu sungguh luar biasa.
Tapi, LCD smarthphone yang menyala, menyadarkannya berkali-kali. Puluhan panggilan tidak terjawab dari Angel. Vero menangis kemudian, ia sudah tidak tahan lagi membayangkan isakan Angel yang menggema dalam pikirannya. Ia sudah mendengar fakta ketika sekali Vero mencoba menjawab panggilan itu. Untuk beberapa saat mereka tidak saling bicara di telpon, kecuali tangisan Angel yang menyaring yang membuat Vero semakin sakit hati.
"Keputusan ayahmu benar. Aku setuju dengannya. Jadi... tidurlah... dan lupakan aku!" ucap Vero yang kemudian menekan tombol merah di smarthphone-nya.
Hingga matahari terbit, Vero masih berada di ujung dermaga. Ia mulai menegakkan kepalanya yang tertunduk dan memandang lurus ke bola jingga yang seperti memberinya tamparan baru. Cinta itu seharusnya seperti matahari terbit, bersyukurlah karena sekali lagi Tuhan memberikan kesempatan memulai hari yang baru. Cinta adalah kehidupan, yang di dalamnya ada pilihan, dan pilihan terbaik mungkin adalah berpisah. Namun, bukan berarti cinta itu hilang. Ia akan tetap hidup, bahkan ketika raga tak sanggup lagi berdiri, jantung berhenti dan napas tak lagi terlihat alirannya.
~II~
Beberapa hari kemudian,
"Cukup lama Anda tidak kemari," Amira menyerahkan lembar menu pada pelanggan yang selalu duduk di meja pojok kanan baris ke tiga.
"Seperti biasa saja."
Amira mengangguk sekali, kemudian berbalik pergi. Ia merasa ada yang berbeda dari pelanggannya yang satu itu. Amira memegangi dadanya, heran sendiri kenapa ia harus peduli. Kenapa juga ia harus merasa senang sejak melihat laki-laki bertubuh tinggi itu berada di restoran. Dan sekarang, Amira merasa kecewa sendiri karena Vero terkesan mengacuhkannya. Vero berubah dingin dan lebih banyak diam.
Vero sudah menghabiskan setengah makanan ketika seorang perempuan menghampirinya. Perempuan bertubuh tinggi, mengenakan dress berwarna pink muda. Ekspresi wajahnya tidak kalah buruk dari ekspresi Vero.
"Bawa aku pergi!" dengan mata sembab, perempun itu seolah memohon.
Sayangnya, Vero tidak menggubris. Laki-laki itu meneruskan makan dengan kepala menunduk. Ia biarkan helaian rambutnya jatuh ke depan.
"Aku mohon bawa aku pergi dari sini!" kata perempuan itu sekali lagi.
Sekilas Vero terlihat sangat jahat, ia mengabaikan perempuan yang menangis di dekatnya. Tapi, siapa yang tahu Vero juga tertekan hingga tidak bisa bernapas. Ia mungkin menelan banyak makanan, tapi semuanya terasa hambar. Vero juga merasakan mual teramat sangat, tenggorokannya terbakar, dan sulit menghentikan itu kecuali ia memuntahkan semua isi perutnya. Sampai pada akhirnya perempuan itu mengambil garpu dan mengarahkan garpu itu ke arteri dan vena di lehernya sendiri. Bisa dibayangkan jika ujung tajam garpu menusuk dua pembuluh darah besar itu, maka akan terjadi perdarahan hebat. Perempuan itu akan mati dalam beberapa menit karena otaknya kehabisan oksigen.
Vero akhirnya berdiri, ia menangkap lengan perempuan itu. Memberikan sedikit tekanan hingga sang perempuan terpaksa melepas garpu dari genggamannya. Vero menghempaskan perempuan itu ke dada dan memeluknya dengan sangat erat.
"Jangan bodoh!" bisik Vero.
...
Amira memalingkan wajahnya dari pemandangan itu. Sekali lagi ia menekan dadanya, "Apa aku terlalu berharap?"pikirnya.
~II~
Ini motel, Vero berdiri di samping kaca jendela kamar sambil meratapi jalan yang dihiasi lampu berwarna jingga. Angel sedang berbaring di atas tempat tidur, "Aku terus saja berpikir tentangmu. Rasanya melelahkan," katanya beberapa saat lalu. Vero belum memikirkan apa yang harus ia lakukan, kecuali meminta Angel istirahat sejenak.
Benarkah ia akan membawa Angel lari dari kota itu? Haruskah ia bertindak kejam untuk memisahkan seorang anak perempuan dari ayahnya yang begitu dicintainya? Vero merasa kisah cintanya hanya sebagian kecil dari seluruh keajaiban cinta yang menghampiri Angel. Angel hidup di keluarga yang lengkap, sesuatu yang benar-benar diinginkan Vero dan sekali lagi itu hanya menjadi harapan yang sia-sia. Selama 25 tahun hidup Angel, tidak sampai seperempat waktu yang ia habiskan dengan laki-laki asing. Lantas, atas dasar apa seorang laki-laki asing berhak mengambil seorang anak perempuan dari ayahnya?
Kurang dari 24 jam ketika satu nomor asing masuk ke ponselnya.
"Angel pasti bersamamu sekarang?"
Vero menoleh ke atas tempat tidur.
"Ya. Dia datang pada saya dan...,"
"Datanglah ke ruang pertemuan rumah sakit umum!"potong dr. Suto. "Cepat bawa dia padaku! Atau aku tidak akan pernah mengampunimu!" teriak dokter itu.
"Apa yang harus kulakukan?"pikir Vero ketika sekali lagi ia memperhatikan Angel. Perempuan itu sedang terlelap dan Vero tidak ingin membangunkannya. Angel mungkin tidak tidur berhari-hari.
"Apa yang harus kulakukan?"ucap Vero masih tanpa suara. "Ayahmu memperlakukanku seperti seorang penjahat, penculik dan mungkin seorang pemerkosa. Ia melihatku sebagai sebuah ancaman yang amat besar. Kukira dia akan tenang jika saja bisa menghunus jantungku dengan pedang dan aku mati. Seperti itulah hubungan kita. Aku benar-benar tidak yakin bahwa dirimu akan tahan dengan itu. Aku, Vero, sama sekali tidak melihat pada rintangan-rintangan itu. Aku hanya melihat padamu, kamu yang mungkin tidak akan pernah berhenti menangis jika kuteruskan ini."
Ingin sekali Vero membelai rambut perempuan yang sedang terlelap itu, namun gerak tangannya tertahan. Vero berdiri kemudian, meninggalkan jejak dan pintu yang tertutup tanpa suara.
...
Di ruang pertemuan,
Vero berusaha bersikap tenang meski pria tua yang menunggunya benar-benar geram. Orang itu punya keahlian memainkan bor, gergaji dan pisau sekaligus di atas meja operasi. Tapi, Vero dan dr. Suto sama-sama tahu hanya cukup satu bisturi untuk membuat seseorang mati.
"Anda pasti sangat membenci saya!" ucap Vero duduk berhadapan dengan dr. Suto. Kursi di ruang pertemuan disusun melingkar, mejanya juga demikian. Meski Vero dan dr. Suto berhadapan, jarak mereka terpisah lebih dari dua meter.
"Apa kamu berniat tetap menyembunyikan Angel?"
Vero tersenyum sinis.
"Apa maumu? Aku tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan anakku!"
"Saya tidak menginginkan apa-apa," sahut Vero. Meski ia mengucapkannya pelan, suaranya menggema di seluruh ruang pertemuan.
Tidak lama kemudian, ada sesuatu yang membuat Vero hampir mati rasa. Pintu ruang pertemuan yang kembali terbuka. Seseorang berjas putih masuk dengan langkah tegas sambil menyorotkan matanya ke Vero.
"Aku yakin itu kamu," katanya dengan senyum yang terkesan mengerikan.
Meski tidak benar-benar memfokuskan pandangannya, Vero tahu siapa yang barusan datang.
"Mahasiswaku di program studi pendidikan dokter umum. Semester empat perkuliahan, pernah mengalami serangan akut schizofrenic. Sahabatmu itu... siapa namanya... dia pernah berkonsultasi padaku sebelum akhirnya kalian berdua mengambil cuti dan kembali ke kampus enam bulan kemudian. Aku dengar ayahmu juga seorang pengidap skizofrenia. Secara genetik, mungkin kalian memiliki struktur otak yang sama abnormalnya," jelas dr. Farlan.
Tangan Vero bergetar, sesaat ia mencoba menyembunyikan itu. Vero juga mencoba mengumpulkan keberanian agar kepalanya tidak begitu saja tertunduk. Namun, setelah ia mampu menatap dr. Farlan, aliran darahnya seolah terhenti. Kepalanya tiba-tiba sakit dan pandangannya memburam.
"Mungkin kamu tidak punya catatan medis berhubungan dengan diagnosa itu, tapi kamu pasti tahu betapa mudahnya kami menuliskan diagnosa. Hanya perlu dua atau tiga dokter yang tanda tangan dan melakukan pemeriksaan, hasilnya akan dipercaya. Secara etik, seharusnya kami tidak boleh menjatuhkan dirimu sebagai anggota organisasi. Tapi, bagaimana dengan masyarakat? Kami saja tidak yakin ingin diobati oleh ahli kejiwaan yang sebenarnya juga punya gangguan jiwa. Dan tidak perlu waktu lama sampai berita ini keluar, Angel akan mundur teratur."
Vero mematung cukup lama. Sebenarnya, ia ingin sekali berteriak dan menyerang seseorang yang seenaknya bicara dan ikut campur. Tapi, jika ia benar-benar mengamuk, maka catatan medisnya akan selesai lebih cepat. Ia akan diikat, disuntik obat penenang dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Vero masih berusaha menahan dirinya saat itu. Ia masih ingat bagaimana Angel tertidur dengan manisnya. "Angel tidak boleh tahu soal ini. Aku mohon!" ucap Vero yang sepertinya sudah bisa ditebak dua orang di depannya.
"Saya sudah berniat memberi tahu Anda di mana Anda bisa menjemput Angel," Vero meletakkan selembar kartu nama di atas meja. "Saya akan mencari cara agar dia menjauh dari saya. Beri saya waktu!"
~II~