Vero berusaha untuk terlihat biasa. Ia datang ke rumah sakit, memeriksa pasiennya, dan segera pulang setelah pekerjaannya selesai. Satu-satunya yang berbeda adalah Vero yang tidak lagi bersikap ramah pada Angel.
"Apa Anda akan terus seperti ini?" tanya seorang perawat padanya. Vero sadar, gosip hubungan dirinya dan Angel yang ditentang oleh orangtua Angel menjadi berita nomor satu yang beredar di grup WA minggu ini. Tidak sekali dua kali ia menerima hujatan karena tidak mencoba meyakinkan orangtua Angel tentang betapa pantas dirinya mendampingi perempuan itu. Terlebih karena Angel masih enggan untuk menjauh dari Vero. Angel seperti benang kusut yang melilit di kaki Vero, yang tidak bisa diluruskan oleh Vero hingga benang itu terus mengganggu langkahnya. Vero diam saja ketika Angel bertanya tentang sesuatu padanya, ia bahkan berbalik pergi ketika Angel mencoba marah dengan alasan yang dibuat-buat oleh Angel. Ketika tidak sengaja berpapasan, Vero berpura-pura tidak melihat Angel dan berlalu begitu saja.
"Awas!"seseorang menarik lengan Vero. Dan segera setelah itu, benda yang cukup besar berjatuhan di dekatnya.
"Saya sudah menyelamatkan Anda! Dengan begitu, utang saya lunas!" ujar perempuan berambut cokelat dengan kedipan mata yang terlihat lambat di pandangan Vero. Seseorang yang sudah tidak asing baginya.
"Aku tidak akan mati hanya karena ketiban bantal," Vero agak bingung. Ia memperhatikan pick up bermuatan penuh dari toko meubel yang berhenti di dekat mereka.
"Memang. Untung cuman bantal. Bagaimana kalau tronton yang tergelincir terus menabrak Anda?"
Sekali lagi Vero memperhatikan sekelilingnya. Ia tidak menyadari sejak kapan ia berdiri di sana, bersandar di pintu mobil yang terparkir ilegal di tepi jalan.
"Saya juga ingin melamunkan banyak hal, sayangnya saya tidak punya cukup waktu," kata Amira mencoba lebih akrab dengan laki-laki yang tidak sengaja ia temui. "Cobalah memilih tempat yang aman dan nyaman untuk melamun. Tadinya saya kira Anda sedang menunggu seseorang. Tapi, kok tidak ada yang datang?" Amira melihat ke kanan dan kiri jalan. Faktanya, sudah lebih dari setengah jam Amira mengawasi Vero dan Vero tidak menyadari itu.
"Apa Anda baik-baik saja?" tanya Amira lagi.
Vero diam sejenak. Ia tersenyum kemudian. "Sepertinya akhir-akhir ini banyak yang mengkhawatirkan aku," ujarnya sekali lagi berusaha terlihat baik-baik saja. "Mau kutraktir?" tawarnya pada seseorang yang telah mencuri jam tanganya. Vero tidak akan lupa soal "jam tangan" itu.
Amira tidak segera menjawab. Ia memperhatikan trotoar di seberang jalan. Ia seharusnya ada di sana, menunggu angkutan kota seperti biasa. Angkutan itu akan membawa Amira ke tempat kerja selanjutnya.
"Maaf, saya benar-benar tidak bisa,"Amira merasa kecewa sendiri ketika mengucapkan penolakan itu. Vero terlihat bersinar. Amira suka mata laki-laki itu, yang mengedip lambat di antara helaian rambut yang bergerak karena angin. Ia juga suka Vero tersenyum dan bicara kepadanya. Amira merasa Vero seperti keajaiban, seperti mimpi indah dalam lelahnya di kenyataan. Amira mengira selama ini ia hidup untuk dilupakan. Tidak pernah ada yang menyapanya di jalan. Ia merasa asing di tanah kelahirannya sendiri dan Vero mengubah itu. Vero mengubah hidup Amira menjadi terkesan sedikit lebih normal. Sapaan hangat seperti seorang teman, jalan-jalan, makan bersama. Hal sederhana tapi seharusnya ada di kehidupan seorang remaja.
"Apa yang akan terjadi kalau kamu bolos kerja satu hari?"
"Mereka akan memotong gaji saya."
"Kalau begitu aku bakal ganti kerugian kamu tiga kali lipat. Lupain soal pekerjaan! Ayo, kita jalan!"
Amira masih tidak menjawab ketika Vero mengganggam lengannya dan membawanya ke sebuah pasar tradisional yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari Vero memarkirkan mobil.
"Aku ingat pertama kali aku datang ke kota ini lima tahun lalu. Menurutku kota ini sangat kecil," tidak banyak destinasi kuliner, hanya punya satu mall, pasar tradisional pun beberapa blok saja luasnya. Hanya saja, Vero tidak pernah merasa bosan berada di sana. Vero dan Amira kini berdiri di depan sebuah rumah makan kecil yang ada di pinggiran pasar. Rumah makan yang menjual sea food segar. Tempat itu adalah rumah makan pertama yang ia datangi setelah keluar dari bandara lima tahun lalu.
"Makanlah! Kalau tidak makan... rugi! Kamu bakal jarang ketemu orang sepertiku ini!" ujar Vero yakin.
"Kenapa Anda mengajak saya? Waktu itu saya lihat Anda...,"
"Jangan bicarakan soal dia,"potong Vero.
Amira menyedot sedikit jus strawberry yang telah tersaji di meja. Ia tidak tahu sejak kapan mulai merasa simpati dengan orang yang sekarang makan dengannya. Sedikit merasa kasihan, meskipun sebenarnya dirinya sendirilah yang patut dikasihani. Ya, apa pun masalah Vero, setidaknya Vero punya uang, dia tidak akan kelaparan. Amira punya masalah yang lebih besar yang terus akan membebaninya.
Beberapa jam kemudian,
Amira benar-benar dibuat heran ketika menuruni tangga keluar dari mall. Langit telah hitam dengan beberapa bintang yang menghiasinya. Ada balon di tangan Amira, Vero membelikan itu untuknya di pasar. Selain itu, ada topi beruang dan beberapa pernik dari kerang. Setelah masuk ke mall, segalanya semakin terlihat tidak wajar. Ada sekitar lima kantong belanja di tangan Amira, dan ada lebih banyak di tangan Vero. Hanya saja, seingat Amira, semua barang yang sampai ke kasir adalah barang perempuan.
"Sudah saya bilang, Anda seharusnya tidak membeli barang-barang ini," kata Amira dengan kerutan di keningnya. Bola matanya kemudian memutar ke atas, ada sesuatu yang bertengger di kepalanya. Benda itu membuatnya merasa bersalah. Sesuatu yang akan terlihat kontras dengan perasaan yang ditunjukkannya kali ini.
Vero tersenyum. Ia tidak menanggapi. Amira memang berkali-kali menolak ketika Vero memintanya memilih. Perempuan itu selalu saja bilang, "Gaun itu bagus, tapi ...," kemudian Amira akan menggelengkan kepalanya. Karena merasa tidak ada yang bisa membuat Amira mengatakan "ya", pada akhirnya, Vero mengukur tingkat guratan senyum di bibir perempuan muda itu. Apakah sebenarnya Amira menyukai sesuatu yang ia tawarkan atau tidak, Vero tidak perlu bertanya lagi.
"Ayo, kita ke mobil!"ajak Vero.
Amira yang berjalan di belakang Vero, tidak lagi bersemangat mengatakan sesuatu, "Barang-barang ini benar-benar mahal," ujarnya tampak frustrasi. Semakin frustrasi ketika Vero menyuruhnya masuk ke dalam Lamborghini hitam.
"Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri, kok!" ucap Amira sambil memandangi mobil di hadapannya.
Vero tercenung. Ia memperhatikan apa yang menjadi perhatian Amira, " Kenapa? Memang ada yang salah sama mobil ini?"
"Saya bisa benar-benar jatuh cinta kalau begini," kesal Amira.
Vero kembali tersenyum. Ia yakin membuat perempuan jatuh cinta berkali-kali bukan hal yang aneh.
"Akhh... apa Anda berniat membawa saya ke hotel? Untuk..."
"Hanya ingin mengantarkanmu pulang. Jangan menuduhku macam-macam!"Vero tiba-tiba mendengus. Ia kemudian membuka pintu mobil dan mendorong Amira masuk ke dalam.
"Aku berhak marah karena kamu seenaknya memfitnah orang," ungkap Vero sambil memasangkan sabuk pengaman pada Amira.
"Maaf," ucap Amira yang benar-benar menyesali kata-katanya.
Pintu mobil terhempas kencang. Vero ingin membuktikan pada Amira kalau dirinya tidak suka disamakan dengan laki-laki hidung belang lain yang seringkali menggodanya.
"By the way, berapa yang harus kuganti?" tanya Vero yang baru saja duduk di kursi kemudi dan memasang sabuk pengaman.
"Lima puluh ribu, jika itu dikali tiga jadi seratus lima puluh ribu."
Vero mengerutkan keningnya, harga yang bahkan tidak sepadan dengan satu gaun yang dibelinya untuk perempuan di sampingnya.
"Jadi, pendapatanmu dalam sebulan?"
"Di restoran pendapatan saya hanya lima puluh ribu per hari, jadi satu bulan sekitar satu juta lima ratus ribu. Saya bekerja di tiga tempat dengan penghasilan yang tidak jauh berbeda. Beri saja saya mentahnya, barang-barang ini bisa Anda berikan ke pacar Anda!"
"Aku membelinya untukmu. Mana mungkin aku berikan ini ke orang lain dan juga jangan memintaku mengenakan ini semua," ucap Vero setengah bercanda.
"Tapi, Anda akan kecewa."
"Kenapa?"
"Karena saya tidak akan menyimpan barang-barang ini ataupun mengenakannya?"
Senyam Vero tenggelam, ia sempat berpaling ke Amira yang sedikit tertawa. Vero tidak mengerti mana bagian lucu yang ditertawakan perempuan itu.
"Barang-barang itu sudah kuberikan kepadamu. Aku tidak peduli akan kau apakan," Vero memutar setir. Ia memperhatikan kaca spion samping kanan dan memastikan tidak ada mobil yang lewat.
"Saya kira saya akan menjual barang-barang ini. Harga barang-barang ini dua bulan gaji saya. Saya perlu uang untuk membayar biaya rumah sakit. "
"Rumah sakit?" tanya Vero tidak yakin dengan apa yang ia dengar.
"Ibu saya dirawat di ICU rumah sakit umum pemerintah, empat bulan lalu dia mengalami stroke."
Vero tersentak ketika ada yang menekan klakson di belakang. Ia lupa bahwa ia harus segera mengeluarkan mobilnya dari barisan parkir ilegal di tepi jalan. Jalan itu sudah cukup sempit dan semakin sempit karena jejeran mobil yang mengisi sisi jalan.
"Ke mana aku harus mengantarmu?" tanya Vero lagi setelah cukup lama menenggelamkan dirinya sendiri dalam keheningan. Ia merasa tidak adil karena mengira Amira seorang kleptomania, faktanya mungkin perempuan itu butuh uang. Walaupun tidak ada yang bisa membenarkan tindakan Amira yang mencuri, Vero tetap saja berubah empati pada perempuan yang duduk di sampingnya.
"Masih ada dua jam, mungkin kita bisa ke rumah sakit. Saya akan memperkenalkan Anda pada ibu saya. Saya merasa sangat beruntung hari ini. Itu juga... kalau Anda bersedia?"
Vero tidak menjawab. Matanya fokus ke depan, ke jalanan yang tampak lengang dengan cahaya jingga remang-remang.
"Maafkan saya," ucap Amira membuat Vero lagi-lagi terusik. "Saya pasti akan berusaha mengganti apa yang Anda berikan hari ini," lanjutnya.
"Jangan dipikirkan! Anggap saja Tuhan yang memberikan ini melalui diriku. Hakmu mendapatkan sedikit bantuan."
~II~