"Pagi, Dok!"
"Pagi!" Vero telah menjawab lebih banyak sapaan hari itu. Hari pertama masuk kerja setelah menghilang selama satu minggu.
Di koridor menuju bangsal perawatan, Angel datang dari arah berlawanan. Senyum Vero mengembang, ia mengulurkan tangannya dan siap untuk memeluk Angel.
Tapi, "Apa yang terjadi?"
Angel berlalu begitu saja. Sesuatu yang membuat Vero terpaksa berbalik dan menarik paksa lengan Angel.
"Sekarang apa?" tanya Vero.
Angel diam saja. Sudut matanya menyempit dan bersinar seperti ujung samurai yang baru saja diasah. Vero ingin mengerti apa artinya itu, Angel yang seolah marah padanya tanpa alasan yang belum didengar Vero.
...
"Pagi, Dok!" sekali lagi terdengar sapaan yang membuat Vero sadar bahwa dirinya masih di tempat umum. Ia terpaksa melepaskan Angel dan berbalik mengiringi perawat yang barusan menyapanya.
"Ada berapa pasien di sini?" tanya Vero masih diiringi perasaan kesal. Ia menghela napas sejenak, sekadar megurai kekecewaan yang datang karena rasa rindunya yang tidak terbayarkan.
"Delapan, Dok! Pasien baru di kamar 8, usia 24 tahun, datang kemarin dengan perilaku kekerasan. Kemarin, dia memukul orangtuanya sendiri. Sekarang masih belum bisa diajak berkomunikasi. Dia juga lupa dengan identitasnya sendiri dan tidak mengenali orang di sekitarnya. Bicaranya kacau, terus menerus mengoceh, sudah tiga hari tidak tidur. Enam bulan yang lalu pernah masuk penjara karena menusuk orang. Orangtuanya bilang, alasan dia melakukan penusukan karena mendapat bisikan dari seseorang. Di penjara, pasien seringkali histeris dan bersikap aneh, dia mengaku pernah melihat bayangan putih yang menembus dinding penjara. Karena itu dia mengamuk minta dikeluarkan. "
"Berarti sudah pernah dirawat?"
"Ya! Selama satu bulan.Transfer dari kepolisian."
"Riwayat penyalahgunaan obat?"
"Ada. Konsumsi Dextromethropan sampai 20 biji per hari. Dia juga perokok berat."
"Kapan?"
"Sekitar sebulan terakhir."
" Putus obat?"
"Kata orangtuanya sudah sebulan ini anaknya tidak mau minum obat lagi."
Vero membuka rekam medis pasien. "Ini hari ke dua perawatan, ya?" katanya yang kemudian bangun dari tempat duduk dan langsung menuju ke kamar delapan.
"Keluarkan aku dari sini!" teriak penghuni kamar nomor delapan. Tangan dan kakinya terikat kain di empat sisi tempat tidur. Vero mendekati orang itu, memeriksa setiap jengkal tubuh yang memiliki beberapa luka. Luka sayat di dekat pergelangan tangan kiri, luka benturan di kepala dan beberapa luka lecet di tangan dan kakinya.
"Sudah berapa lama dia di-restrain begini?"
"Baru saja, Dok! Dia terus-terusan menggedor pintu minta keluar. Pagi ini kami belum berhasil meminumkan obat. Setiap diberi obat, pasti dimuntahkan."
"Ok. Kasih benzodiazepine 1 ampul IM. Observasi setengah jam. Jika sudah tenang. Lepaskan restrain-nya. Terapi yang lain dilajutkan saja!"
"Baik, Dok!"
"Dokter! Lo dokternya, 'kan?" orang yang tangan dan kakinya terikat berbisik pada Vero.
"Benar, saya dokter di sini. Nama saya Vero dan saya yang akan mengobati Anda."
"Lepasin aku, Dok!" katanya memohon. " Aku nggak gila, 'kok! Aku cuman nggak suka aja lihat orang-orang itu," ujarnya menunjuk pada pojok kamar.
Vero menoleh ke tempat yang ditunjuk pasiennya dan tidak menemukan apa pun di sana, kecuali dinding kosong dengan cat yang memudar.
Pasien yang tadinya marah-marah dengan tangan mengepal dan mata memerah, kini mulai menangis sambil memohon padanya.
"Tujuan kami melakukan ini hanya untuk melindungi Anda. Ikatan akan kami lepas jika Anda berjanji tidak akan mengamuk lagi, berjanji tidak akan memukul orang, dan berjanji tidak akan memukul dan merusak barang."
"Saya berjanji!"ujarnya.
Vero berpikir sejenak. Mengkaji apakah pasiennya yang satu ini bisa dipercaya, dan bagiamana jika tidak.
"Perempuan mundur!" ujar Vero. Ia kemudian melepas ikatan di kaki kiri pasiennya.
Sejenak tidak terjadi apa-apa. Vero melepaskan ikatan di kaki kanan, juga masih tidak terjadi apa-apa. Sampai akhirnya Vero mencoba melepaskan ikatan di lengan kiri. Sontak pasien itu menangkap lengan Vero dan mencoba menggigit lengannya. Kaki sang pasien berguncang hebat. Tempat tidur bergeser dan hampir terbalik ketika pasien berusaha turun dari tempat tidur.
"Lepaskan aku! Bangsat kalian semua!"
Vero naik ke tempat tidur. Ia menjaga posisi kepala sambil menekan dada orang yang sedang mengamuk itu. Ikatan di lengan kanan juga hampir terlepas.
"Suntikkan obat penenangnya!" perintah Vero.
Lima belas menit Vero berada di posisi yang sama. Memegangi pasien bersama dua orang perawat ruangan itu. Vero akhirnya tertawa sendiri memikirkan dirinya mengerjakan hal yang seharusnya tidak perlu dikerjakan.
"Maafkan aku!"ujarnya terkikik pada dua orang perawat yang masing-masing memegangi kaki pasien.
"Dokter tidak kenapa-napa, 'kan?" tanya seorang perawat perempuan yang berdiri di dekat mereka.
"Seharusnya aku tidak menuruti permintaannya," Vero memperhatikan orang yang sudah jatuh di bawah pengaruh obat penenang, matanya terpejam dan tenaganya melemah.
Sayangnya ini bukan kali pertama terjadi. Vero seakan tidak pernah jera untuk mencoba percaya pada pasien yang baru ia temui. Ini tidak buruk, suatu saat jika pasien yang satu ini meminta sesuatu lagi padanya, maka akan lebih mudah bagi Vero untuk menolak.
~II~
"Dokter Vero diserang!" Angel berdiri sambil memperhatikan layar ponsel.
"Aku merasa tidak ada yang bisa dipercaya, aku baru aja keluar dari TKP dan kamu sudah mendapatkan informasi tentang aku. Dunia ini kejam," Vero sudah berdiri di belakang Angel.
"Mereka membicarakanmu di grup BBM," Angel menyerahkan ponselnya pada Vero. Namun, Vero tidak menggubris itu. Ia menarik kursi di depan meja kerja Angel, "Aku butuh konsultasi dengan Psikolog," ujarnya.
Angel berpaling ke Vero, ia memperhatikan laki-laki itu dari ujung rambut hingga kaki. Vero yang tampak lebih berkeringat, tapi tidak ada luka di tubuhnya.
"Apa masalahmu? Apa kamu terobsesi dengan lebih dari satu perempuan?" tanya Angel.
"Apa?"
Angel tersenyum sinis.
"Kalaupun iya, itu wajar," ujar Vero terlihat lebih santai.
"Apanya yang wajar?" Angel hampir berteriak. Ia mengambil tumpukan map dan memukuli Vero dengan benda itu. "Bilang sama aku, sudah berapa perempuan yang nelpon kamu. Mereka pasti senang banget karena denger kamu belum menikah,"teriaknya.
"Cuman tujuh. Satu dokter dari rumah sakit umum...,"
Angel melempar map kembali ke atas meja dan menyandarkan pantatnya ke sisi meja. Ia memalingkan wajahnya dari Vero dan mencoba menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Vero tidak melanjutkan kata-katanya, buatnya telpon itu tidaklah serius dan seharusnya Angel percaya padanya. Namun, nampaknya ia harus percaya pada teori perempuan yang akan selalu meminta penjelasan atas hal yang membuat perasaan mereka tidak nyaman.
Vero berdiri dan memeluk Angel, "Aku benar-benar butuh psikolog-ku, aku merindukannya," ujar Vero dengan satu kecupan di kepala Angel.
"Aku juga butuh seorang psikiater."
"Katakan! Apa masalahmu?"
"Pacarku sangat tampan. Butuh usaha keras dan waktu yang lama untuk membuatnya menyatakan cinta kepadaku. Sekarang, dia bermain-main dengan perempuan lain. Harusnya aku percaya padanya karena kami sudah berkomitmen untuk bersama. Tapi, tetap saja aku merasa takut. Apa saranmu?"
"Psikiater sering menggunakan obat penenang untuk mengatasi kecemasan seseorang."
"Maksud kamu aku perlu penenang?"
"Bukan. Gunakan dosis sepuluh kali lipatnya dan suntikkan saja pada pacarmu itu. Jantungnya mungkin akan berhenti, dia pantas mendapatkan itu. Aku akan membuatkan resep untukmu!"
Angel tertawa. "Tidak. Aku tidak akan melakukan itu."
"Kenapa?" tanya Vero.
"Karena aku sangat mencintainya."
Vero merinding ketika Angel membisikkan kata-kata itu di telinganya. Ia kira, perempuan itu terlalu berani untuk mempermainkan perasaannya padahal mereka hanya berdua di tempat 4x4 meter dengan pintu yang tertutup.
"Aku sudah menyuruhmu membunuhku. Jangan menyesal jika terjadi sesuatu padamu!" Vero tidak melepaskan pandangannya pada Angel. Jari telunjuknya menyentuh lembut wajah hingga bibir Angel.
"Apa yang akan terjadi?" tanya Angel terbata-bata. Sepertinya Vero telah membuatnya gugup.
"I'm sorry," kata Vero melumat bibir Angel. Ia menarik tubuh Angel lebih rapat padanya.
Angel, Vero menyebutnya cinta. Tapi, apakah benar ini yang akan ia lakukan. Mendorongnya ke dinding. Menahan perempuan itu di bawah hasratnya yang besar. Jakarta, membuatnya beban di hatinya bertambah dan Vero merasa tidak salah jika ia akhirnya mencari sesuatu untuk mengurangi rasa stress itu. Meski Angel tidak menolak, tapi Vero tahu Angel mulai merasa tidak nyaman. Merasa tidak nyaman dengan ciuman yang ia berikan, dengan sentuhan, desahan napas dan keringat Vero.
Sejenak Vero menahan diri. Ia memperhatikan Angel sekali lagi. Tapi, jeda waktu itu justru digunakan Angel untuk menarik blazer hitam untuk menutupi tubuhnya.
Vero yang terengah, ia tersenyum sinis memperhatikan kekasihnya itu, "Kamu takut?" tanyanya.
Angel diam.
"Secara teori, hasrat seperti ini tidak akan menghilang sampai aku ejakulasi," sekali lagi Vero terkekeh.
Angel terperangah, sulit membedakan apakah Vero sedang serius atau bercanda sekarang. Bagaimana mungkin laki-laki itu membuat lelucon mengerikan. Vero yang seperti ingin memperkosa dirinya. Angel hampir tidak mengenali orang itu.
Vero kembali menghampiri Angel, namun tidak ada yang terjadi kecuali Vero yang mengancingkan kemeja Angel. Ia kemudian mengambil kemejanya sendiri yang tergeletak di lantai. Selesai merapikan diri, Vero meraih jas putih dan keluar dari ruangan Angel begitu saja.
Tangan Vero bergetar sesaat setelah merapatkan pintu ruang Angel. Matanya memerah, hanya saja tidak banyak yang menyadari itu. Vero terlalu pintar untuk menyembunyikan ekspresi wajah dan perasannya. "Aku memalukan! Sangat memalukan! Jahat dan tidak beradab!" pikiran itu terus berputar di kepalanya. Sesuatu yang membuat Vero ingin mengurung dirinya sendiri segera.
~II~
Keesokan harinya,
"Laki-laki adalah makhluk yang teramat mengerikan, hasrat itu tidak akan berakhir sampai ejakulasi," Angel terus saja kepikiran soal itu. Ia tidak yakin kalau Vero serius dengan kelakuannya. Tapi, jika serius... "kasihan sekali," desahnya gusar.
....
"Ada apa menelponku?" tanya Vero tidak bersemangat.
"Kejam sekali! Apa kamu sudah melupakanku?" sasar Angel.
Vero diam sejenak. Ia memperhatikan jam tangannya, kemudian menatap langit yang mulai jingga di luar.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" Angel terdengar lebih lembut. "Kata perawat di IGD kamu izin sakit dua hari ini. Kenapa tidak memberi kabar?"
"Soal kejadian kemarin aku minta maaf," Vero segera mengalihkan pembicaraan. Bagaimana pun ia merasa buruk atas sikapnya yang kurang ajar.
"Ayo, kita bertemu! Aku tidak bisa bilang tidak apa-apa soal kejadian kemarin. Aku tetap butuh penjelasan."
...
Vero benar-benar tidak bersemangat. Matanya sayu menatap hamparan lautan yang menghitam. Sudah hampir satu jam ia duduk di ujung dermaga tanpa menyematkan harapan apa pun di benaknya. Termasuk soal apakah Angel akan datang ke pantai itu.
"Kamu sering ke sini?" tanya Angel yang mengambil tempat di samping Vero.
"Ini tempat yang sempurna untuk menenangkan diri," kata Vero belum menoleh pada Angel.
"Emmm," tanggap Angel seadanya.
"Kamu mau dengar penjelasan apa? Soal kenapa aku melakukan hal buruk itu? Pikirkan bahwa kamu belum mengenalku seutuhnya, mungkin aku bisa lebih kasar dan jahat."
"Aku hanya heran kenapa kamu tiba-tiba berhenti?"
Vero berpaling ke Angel, perempuan yang memperhatikan riak air yang berkilau ketika terkena cahaya dari lampu kapal.
"Vero orang yang kuinginkan. Aku benar-benar berharap bisa melewatkan malam pertamaku dengannya. Aku mungkin merasa takut, tapi aku ingin belajar menerima rasa sakit dan menikmatinya, asalkan itu dengannya. Itulah yang ada dalam pikiranku. Tapi, kemudian, dia tiba-tiba berhenti, dan seakan-akan punya beban, ia meninggalkanku. Apa aku terdengar jalang?" tanya Angel lagi.
Vero menggenggam tangan Angel dan mengecupnya sekali, "Maafkan aku," katanya sambil menatap Angel penuh. "Will you marry me?" tanya Vero kemudian dengan suaranya yang berat.
Senyum Angel mengembang, "Of course!" jawabnya.
~II~