====== Sebuah renungan, tentang jodoh yang sudah di takdirkan dan di gariskan. Tak perlu gelisah, apa lagi resah~
Karena jika saatnya tiba, ia akan datang menghampirimu. Tak perlu mencari hati yang lain, karena hatimu sendiri yang akan menuntunmu padanya.
Dan jika saat itu tiba, rengkuh ia dengan sepenuh jiwamu. Jangan lepaskan, atau sakiti. Karena ia yang akan melengkapimu
======
Mobilmelaju tenang di jalanan pagi, tak terlalu ramai juga tak terlalu lengang. Semua orang tengah bersantai karena ini akhir pekan, kebanyakan orang pasti tengah bermalas malasan di rumah. Tapi Lucas harus pergi di akhir pekan, ia tak mau Rachel berada
di apartemen tanpa siapaun yang menemani. Akan lebih aman jika Rachel berada di rumah sakit dan melakukan hal yang ia sukai.
Mobil masih berjalan santai, Lucas sudah bersiap pergi. Ia tak punya waktu banyak, musuh musuhnya sudah beraliansi. Philip salah satunya, ia musuh dalam selimut yang sudah di siapkan jauh jauh hari untuk menyerangnya. Sekarang, hanya harus mencari tempat yang aman untuk Rachel jika ia tengah jauh darinya.
" Kamu mau ku jemput pulang nanti? Atau Shawn yang akan menjemputmu ...? " Lucas masih terpaku ke jalanan, tangannya masih mengendalikan kemudi mobil dengan tenang. Tapi ia berbicara seolah ia sedang duduk santai tanpa takut akan menabrak
sesuatu. Konsentrasi Lucas bisa terbagi untuk berbagai hal tanpa menyusahkannya.
" Aku akan pulang sendiri saja ... " Rachel tertunduk, sejak kemarin, di tambah lagi kejadian tadi pagi. Perubahan sikap Lucas masih sulit untuk di cerna otaknya. Bahkan, sekarang pun masih sulit di percaya. Lucas tengah di sampingnya, berbicara sopan dan santai. Tanpa nada ancaman ataupun nada memerintah malahan terdengar penuh dengan perhatian.
" Jangan ...! " Lucas membentak, ia langsung menyadari kalau ucapannya membuat Rachel sedikit ketakutan lagi. " Maksudku, jangan pernah pulang sendirian. Ingat kejadian malam itu, aku tak ingin ada apa apa padamu. Panggil Shawn saja untuk mengantar dan menemanimu di apartemen nanti. Ingat ...? " Lucas menekan perintahnya, ia tak bisa mengawasi musuhnya dan juga menjaga Rachel secara bersamaan. Kalau ia memilih salah satu, ia bisa lengah dan kehilangan Rachel. Karena tak ada yang tau kalau sekarang kelemahannya, adalah Rachel.
Rachel masih kurang mengerti, sebenarnya apa yang tengah Lucas khawatirkan. Apa yang Lucas rencanakan dengan menjaganya dengan ketat dari orang orang asing. Toh, takan ada yang menyakitinya. Selama ini memang begitu, tapi sekarang. Akan ada banyak mata yang menyakiti Rachel. Karena gadis itu, adalah kelemahan Lucas.
" Baiklah, ehm apa kamu ingin ku buatkan dendeng nanti ketika kamu pulang ...? " Rachel teringat ucapan Lucas, ia menyukai dendeng dan dia juga menyukai dendeng. Bukan ide buruk jika membuatkan Lucas makanan kesukaanya, karena itu sama saja memanjakan diri sendiri.
Lucas tersenyum samar, ia langsung menutupi senyum tipis itu dengan pandangan tajamnya. Menatap lurus ke depan seolah bola matanya tak berkedip saat mendengar tawaran Rachel barusan. " Aku akan pulang pukul lima sore nanti, siapkan aku dendeng kalau begitu. Aku akan memakannya dengan senang hati ... "
" Baik kalau begitu ... " Rachel tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih. Entah kenapa, mendapatkan perlakuan lembut dari Lucas membuat sisi hatinya senang dan memaksanya untuk tersenyum tanpa henti. Mereka terus melaju tanpa kenal waktu, melewati jalanan yang sudah tak lenggang seperti saat keluar dari apartemen. Jalanan sudah mulai ramai. Mereka juga sudah sampai di rumah sakit. Hari ini Damian mengatakan kalau Ibu Rachel juga sudah sadar, momen tepat untuk berkunjung ke rumah sakit.
Mobil memasuki parkiran rumah sakit dan berhenti dengan mulus. Rachel terlalu bereuforia dan hampir keluar tanpa melepas sabuk pengaman terlebih dahulu. Akhirnya kepalanya terbentur pintu mobil sangat keras.
" Ah...! " Rachel mengelus jidatnya yang sangat sakit karena terbentur besi pintu dengan sangat keras.
" Perempuan bodoh, berhati hati lah lain kali dan jangan ceroboh ... " Lucas melepaskan sabuk pengaman Rachel dan mendekatkan dirinya ke arah Rachel. Perhatian berlebihan yang di dapatkannya dari Lucas ini membuat jantung Rachel berpacu dengan sangat cepat. Laki laki tampan itu tengah mendekatinya dengan tatapan mengobservasi dan tangan yang tiba tiba terulur dengan sendirinya.
" Untung tak terlalu lebam ... " Tiba tiba Lucas mengecup kening itu, membuat peredaran darah Rachel seperti terhenti untuk beberapa saat yang membuat Rachel membeku dan terpaku dengan sendirinya. Tapi Lucas malah tersenyum dengan sangat menawan padanya, ini justru membuat jantung Rachel seperti meloncat loncat di trampolin.
" Hati hati lah, dan jangan ceroboh lagi seperti ini lain kali ... " Lucas menekan tombol merah dan pintu mobil terbuka otomatis " Kita bertemu lagi makan malam nanti ... "
" Ah? Eh... iya iya. Sampai jumpa nanti malam ... " Rachel tergugup dan keluar dari mobil dengan otak yang sedikit linglung. Lucas di depannya ini, bukan Lucas yang sebelumnya. Tapi pribadi Lucas mana yang sekarang ini? Rachel mengelengkan kepala.
Menepis semua pikirannya. Ini hanya ilusi. Lucas tak mungkin seperti sekarang ini tanpa alasan. Ini mungkin hanya untuk membuatnya menepati janji satu minggu. Ya, ini untuk waktu tenggang satu minggu itu. Bukan untuk hal lainnya.
Rachel langsung beranjak pergi, mobil Lucas sudah berderu sejak tadi dan meninggalkan Rachel sejak tadi. Ia sendirian melewati basement dan menuju ke lobi rumah sakit. Ia tak menyadari kalau sejak tadi ada mata yang mengawasinya dari kejauhan. Mata
yang mengintai diam diam.
Rachel masih berada di dalam lift, ia belum melihat kondisi Ibunya karena kemarin Lucas melarangnya untuk keluar dari apartemen. Tapi sekarang malah Lucas sendiri yang mengantarkannya ke rumah sakit. Lucas benar benar punya emosi yang sulit di tebak, dan takan bisa di tebak mungkin. Pintu lift terbuka dan Dion sudah menyambutnya di depan sana. Tatapan aneh Dion yang justru menjadi pusat perhatian Rachel.
" Kenapa kamu menatapku seperti itu ... ? " Dion masih menatap Rachel dengan tatapan yang aneh, ya tentu saja. Sejak kemarin ia tak melihat kedatangan Rachel. Tapi kemarin ia menemukan buket bunga segar di ruangan Ibu Rachel. Siapa lagi yang masuk ke kehidupan Rachel? Ini akan mempersulit Dion untuk mengambil hati Rachel. Dan itu sudah terlihat jelas hari ini ketika Rachel keluar dari mobil seorang laki laki yang mengecup kening wanita di depannya saat ini.
" Tidak, kamu terlalu berlebihan. Kamu kemarin tidak kesini, kamu sedang sibuk melakukan sesuatu ...? " Dion menghampiri langkah Rachel yang keluar dari lift. Rachel nampak kebingungan. Ia tak bisa menceritakan apapun kepada Dion. Tapi Dion seperti
biasa, memberikan banyak perhatian yang tak mungkin terbalas olehnya.
" Ehm, kemarin? Kemarin aku sibuk berlatih Biola ... " Rachel mengabaikan kontak mata dengan Dion, tak ingin Dion lebih curiga lagi.
" Sampai melukai tanganmu seperti ini ...? " Dion meraih tangan Rachel yang memerah karena kecelakaan kecil kemarin, ia langsung menarik tanganya dari pegangan Dion.
" Ehm ini, kecelakaan kecil. Karena ini aku bisa libur sebentar dan kesini. Kenapa kamu menjadi menyebalkan seperti ini Dion ..? ayo, ke ruangan Mamaku. Bagaimana dia kemarin? Apa sekarang dia sudah bangun dan aku bisa menemuinya ..? " Rachel
berjingkrak kecil mengingat Ibunya sudah sadar hari ini. Banyak hal yang ingin ia ceritakan kepada Ibunya. Apalagi mengenai asal usul Biola Ayahnya yang sangat luar biasa itu. Keceriaan Rachel itu menarik sisi Dion yang lain. Gadis ceroboh di depannya ini masih sama saja seperti dulu.
" Ayo, Dokter Damian bekerja keras untuk operasi Mamamu. Dia baru saja melakukan pemeriksaan rutin setelah Mamamu sadarkan diri ... "
.
.
.
.
.
Mereka berdua berjalan menyelusuri lorong dan sampai di ruangan pojok itu. Wanita di dalam sana sudah beringsut membalikan badan dan tak sengaja bertatapan dengan perempuan di luar jendela yang menatapnya dengan tatapan kelegaan yang tak tergambarkan.
" Rachel .... " Lina berucap dengan penuh susah payah, kesadarannya baru saja kembali hari ini dan tiba tiba menjadi sulit baginya untuk menggerakan anggota tubuhnya sendiri karena efek obat bius saat operasi yang masih tersisa.
Rachel tak tinggal diam, dia langsung masuk ke ruangan dan sedikit berlari kecil. Suara langkahnya menggema di lorong lantai dua yang sepi ini, ruangan VIP tak seruwet ruangan biasa. Rachel langsung masuk dan mendekati ranjang Ibunya. Wanita hebat itu sudah bangun. Menatapnya dengan senyuman yang lebih baik. Tak ada kesakitan berlebihan seperti sebelumnya. Kelegaan dan kebahagiaan muncul di hati Rachel. Membuatnya menyadari kalau keputusannya tak sepenuhnya salah.
" Mama, jangan bangun dan berbalringlah ..... luka operasi tak sembuh hanya dalam hitungan hari ... " Rachel menopang tubuh Ibunya untuk kembali berbaring di ranjang rumah sakit. Lina hanya menuruti perkataan Rachel, ia terlalu bahagia ketika bertemu kembali dengan Rachel. Malam itu, ketika tiba tiba Dokter barunya yang bernama Dokter Damian mengatakan kalau ia bisa di operasi saat itu juga. Itu adalah keputusan yang berat. Ia takut kalau tak bisa membuka mata lagi. Tapi hari ini, ia bernafas dan masih bisa memeluk puteri satu satunya itu.
" Mamamu sangat senang, maka dari itu rasa sakit ini bukan apa apa lagi ... " Lina tersenyum senang dan lega. Beban hidupnya untuk Rachel sudah hilang. Rachel tak perlu bekerja keras hanya untuk menyembuhkannya. Ia sembuh sepenuhnya tanpa harus membebani Rachel. Anda Dokter Damian tak merahasiakan pendonor rahasianya itu, ia pasti sudah berterimakasih seribu kali kepada orang yang mau membiayai rumah sakitnya ini.
" Mama, janga banyak bicara. Aku tidak suka orang sakit belaga seperi orang sehat. Jadi, biarkan anak perempuanmu ini mengurusmu saja. Oke? " Rachel membaringkan kembali tubuh Lina yang sudah memberontak untuk bangkit lagi. Ia menatap Dion
dengan tatapan berterimakasih.
" Dion, aku seperti ini juga karenamu. Aku sangat berterimakasih akan itu .... " Lina menatap Dion dan tersenyum senang. Dua anak kecil yang selalu mengobrol dengannya sudah berubahnya dewasa dan bahkan merawatnya. Takdir memang tak bisa di tebak.
" Ini tugas pekerjaan, di luar itu aku akan sangat senang bisa membantu kalin semaksimal mungkin. Rachel juga tak kalah bekerja keras, bekerja keras dengan caranya sendiri. Aku hanya melakukan apa yang harusnya di lakukan, selain itu Rachel yang harus di puji habis habisan .. " Rachel mencubit kaki Dion dan membuat laki laki itu berjingkrak karena kaget.
" Terima saja pernyataan terimakasih Mamaku atau kamu akan ku pukul karena menolaknya Dion ... "
" Aku juga menginginkan ucapan terimaksih darimu, tapi kamu mencubitku. Ini benar benar menyebalkan .. "
Mereka bertiga tersenyum dan tertawa bersamaan. Bagaimanapun pandangan mereka masih sama. Dion dan Rachel yang masih seperti anak kecil di mata Lina. Dan Lina yang sama saja seperti sosok Ibu di mata Rachel dan Dion.
.
.
.
.
.
Rachel masih sibuk membersihkan ruangan Ibunya. Ibunya itu sudah tertidur setelah suntikan dan beberapa obat yang di minumnya beberapa saat yang lalu. Sekarang masih pukul tiga sore, ia masih punya waktu lumayan lama sebelum Lucas pulang dan membuatkannya makan malam. Jadi Rachel memutuskan untuk membersihkan ruangan perawatan Ibunya itu. ia juga menemukan sebuket bunga yang masih segar di dalam vas meja Ibunya.
" Dion pasti terlalu menganggur sampai sampai ia membelikan buket bunga ini ... " Rachel mencium aroma lavender yang masih sangat pekat dan segar dari kelopak bunga itu. Aroma itu yang dari tadi memenuhi udara dan membuat orang orang menjadi
rileks. Lavender.
Ketukan puntu terdengar pelan dan sopan. Tapi senyuman jahil Dion keluar dari balik pintu menatap Rachel yang memunggunginya.
" Rachel ... "
Dion berbisik lumayan keras sampai Rachel membalikan vadan dan melihat Dion yang bertingkah aneh di balik pintu.
" Kenapa kamu harus seperti mata mata dan beridri di balik pintu, ayo masuk .. " Rachel mnaruh kembali buket lavender di tanganya ke dalam vas. Ia menghampiri Dion ke arah pintu.
" Masuklah jika ada yang ingin kamu obrolkan denganku, kenapa harus beridri di situ ... " Rachel menarik Dion untuk masuk, tapi tubuh Dion seperti terpaku dan tak bergerak.
" Aku tidak mau masuk, bisa kamu saja yang mengikutiku keluar? Kita bisa jalan jalan sore. Ehm, di rumah sakit tapi ... " Dion tersenyum . jahil dan senang. Sudah lama ia tak bersantai dengan Rachel, mereka seumuran. Tapi Dion sangatlah cerdas dan mengambil kelas akselerasi beberapa kali sampai ia bisa masuk perguruan tinggi kedokteran di usia lima belas tahun. Sejak saat itu, ia kehilangan momen untuk bermain dengan Rachel.
" Ayo, kita akan jalan jalan kemana ...? " Rachel berantusias dan mendorong kepala Dion keluar dari ruangan.
" Ke kamar mayat mungkin ..? kamu mau ...? " Rachel memukul kepala Dion tak terlalu keras, tapi berhasil membuat mata Dion mengecil.
" Berhenti bercanda denganku masalah kamar mayat ... "
" Ayo ktia pergi, ada hal yang ingin aku katakan padamu. Kamu orang pertama yang akan kuberitau masalah ini ... "
" Kenapa begitu ...? "
" Karena kamu bodoh ... " Kamu terlalu bodoh sampai tak menyadari perasaanku. Atau aku yang terlalu bodoh, tak mengutarkan perasaanku ini.