Duar!!
Suara tembakan terdengar lagi, sangat keras menembus ke atas, udara menjadi kotor karena bubuk mesiu. Lucas menatap ke arah sumber suara itu, Shawn sudah mengacungkan senapan lagi. Ia barusan menembak snniper yang menembaknya. Ia tersenyum getir merasakan rasa nyeri di dadanya yang menggilas paru parunya. Ia tertembak di dada kananya, menembus jauh ke dalam rusuknya. Tapi ia masih memeluk Rachel, melindungi wanita itu kalau kalu snniper itu melesatkan tembakan lagi.
Shawn berlari tergopoh gopoh mendekati Lucas yang kesakitan. Ia langsung melempar senapannya itu ke tanah tanpa pikir panjang.
" Mari Tuan ... "
Shawn hendak membantu Lucas untuk berdiri dan masuk ke dalam mobil, tapi gerakannya terhenti.
" Bantu aku membawa Rachel, aku bisa berdiri sendiri. Cepat .... "
Lucas dengan susah payah membawa Rachel ke dalam mobil di bantu dengan Shawn. Ia melihat Tuanya tak kalah parah dengan Rachel, tapi laki laki itu justru mengutamakan keselamatan Rachel.
" Pergi ke rumah sakit Damian, cepat! Kita akan aman di sana. Bawa semua bodyguard yang terluka juga ke sana. Kita aman di sana .... "
Lucas memberi perintah, seketika itu pula aba aba di berikan. Mobil melaju pesat melesat dengan kecepatan tinggi. Hampir sepuluh mobil mewah berwarna hitam melaju berurutan, di dalamnya banyak laki laki gagah berjas hitam yang terluka. Di mobilnya, Lucas tengah memegangi dadanya. Kemejanya sudah di rembasi darah segar. Wajahnya tak kalah pucat karena kehilangan banyak darah. Tapi tangan satunya lagi masih sibuk untuk menghentikan pendarahan di perut Rachel.
" Lebih cepat Shawn .....! " Lucas berteriak dengan nada panik, satu jam. Rachel hanya punya waktu satu jam atau nyawanya akan melayang. Dan Lucas akan memilih nyawanya saja yang menghilang dari pada kehidupan di tubuh Rachel yang di ambil.
Dalam waktu dua puluh lima menit. Hanya dalam waktu singkat itu mobil sudah sampai di rumah sakit, perjalanan jauh yang terasa lebih jauh di batin Lucas. Setiap detik baginya sangatlah menyesakkan. Berusaha menahan sakit di dadanya juga di hatinya.
Rumah sakit di gegerkan dengan rombongan sepuluh mobil hitam yang langsung di ikuti dengan puluhan laki laki berdarah darah dari dalam mobil tersebut. Luka ringan, berat, bahkan ada yang kritis. Tapi yang paling menghebohkan rumah sakit adalah Lucas. Ia yang langsung turun dari mobil dan mengambil tandu untuk Rachel. Tubuhnya sendiri tidak dalam kondisi untuk mengkhawatirkan orang lain.
Rachel langsung di bawa ke ruang gawat darurat.
" Dia di racuni ....! " Lucas menghentikan dokter yang hendak masuk ke dalam dan menangani Rachel.
" Rachel di racuni ....? " Dion terpaku dengan perkataan Lucas barusan, ia baru saja melihat tubuh Rachel di bawa masuk dengan banyak darah dan laki laki di depannya ini mengatakan kalau Rachel di racuni?
" Selamatkan dia, kumohon ..." Mata Lucas berkabut, pandangannya tetap ke arah Rachel yang langsung mendapatkan bantuan nafas buatan dan oksigen. Dion langsung menganggukan perkataan Lucas. Tanpa perintah dari siapapun, ia pasti melakukan yang terbaik untuk
Rachelnya.
" Sebaiknya anda juga langsung melakukan penanganan untuk luka di dada anda .. "
Dion hanya mengatakan demikian, ia langsung masuk dan menutup pintu, operasi darurat untuk mengeluarkan peluru di tubuh Rachel, hasil lab darah untuk penawar racun Rachel. Otaknya di penuhi dengan Rachel sampai ia belum menyadari, kalau laki laki di depannya adalah
saingannya.
Lucas masih terdiam di depan ruang operasi darurat Rachel, rasa nyeri di dadanya terabaikan begitu saja. Tapi ia menyadari kedatangan orang lain. Damian mendekatinya.
" Biarkan aku merawatmu dulu, atau peluru di dadamu akan bersarang selamanya di sana .... "
Damian menarik Lucas pergi, tapi tubuh Lucas tak bergerak. Ia masih terdiam di depan pintu.
" Dia akan baik baik saja, kamu bisa mengandalkan Dion ... " Damian berusaha meyakinkan sahabatnya yang tengah di landa kekhawatiran itu. Wajahnya pucat. Akhirnya Lucas beralih dan mengikuti langkah Damian.
Lucas terduduk di sofa ruang kerja Damian, ia menolak operasi besar. Ia hanya mau mengeluarkan peluru yang bersarang di dadanya. Tubuhnya kini sudah di balut dengan perban antiseptik. Kaki Lucas tak kalah mengenaskan, luka parah dan Lucas masih keras kepala tak ingin
melakukan operasi.
" Jadi, apa yang terjadi sebenarnya ...? "
Damian tengah membereskan peralatannya, membuang semua peralatan medis sekali pakai. Jangankan suster rumah sakit, Damian juga kaget saat melihat Lucas yang mengambil tandu dan Rachel yang di usung di atasnya.
" Musuh. Philip yang menjadi kaki tangannya, ia di ancam ..."
Lucas mengambil kemeja baru yang di berikan Shawn beberapa saat sebelumnya. Mengenakan kemeja itu asal dan langsung bergegas.
" Lalu kemana Philip ...? " Damian berceloteh, ia mengenal Philip. Lucas terhenti, ia tak jadi beranjak pergi.
" Philip tewas ... "
Damian terdiam. Ia tak bisa berkata kata. Philip salah satu orang yang dekat dengan Lucas. Ini bukan saat yang tepat baginya untuk membicarakan kematian Philip di tengah kekacauan ini.
" Aku akan pergi dulu Damian ... "
" Kau mau kemana...? lukamu baru saja di obati dan kamu mau pergi? "
Lucas tertunduk gelisah, matanya menerawang keluar pintu.
" Aku mau melihat keadaan Rachel ... "
Lucas langsung berjalan dan mengabaikan Damian. Tubuhnya sedikit goyah. Ia belum terbiasa dengan gip di kakinya itu. Tapi itu tak menghalangi langkahnya untuk berjalan ke ruangna Rachel, ia masih ingat betul ruang operasi Rachel. Laki laki tampan itu, dengan luka di dada dan
kakinya. Wajah yang kuyu, rasa sakit yang menusuk, dan rambut yang acak acakan. Takan ada yang tau kalau dia adalah seorang pebisnis dan musisi yang sangat terkenal. Ia mungkin hanya terlihat seperti orang yang putus asa. Berjalan di lorong rumah sakit sendirian.
Lucas berjalan terus dan terhenti di sana. Lampu masih menyala, operasi masih berjalan dan rasa khawatir Lucas semakin membuncak. Ia terduduk di kursi di belakangnya. Tanganya menggengam erat jemarinya. Menghilangkan kegugupan. Ia terus menatap pintu lekat lekat dan
berdo'a.
" Tuhan, andai kau ada. Andai kau disana mendengarkan permohonanku ini .... "
Lucas berkata lirih, mendesah berat dan menghembuskan nafas dengan kasar. Ia merasa bodoh saat meminta kepada Tuhan. Iamemiliki segalanya di muka bumi. Itu membuatnya merasa sia sia saja meminta sesuatu kepada Tuhan. Tapi sekarang Lucas melanjutkan perkataanya
itu.
" Aku akan mencintainya lebih dari apapun di dunia ini, aku takan menyakitinya aku berjanji ... " ucapan itu terlontar begitu jelas dengan halus dan sedikit penekanan, cinta. Ia benar menekan kata itu. beberapa jam yang lalu. Ia takut takan pernah bisa mengatakan rasa cintanya.
Sekarang ia juga menakutkan hal yang sama.
" Ambil saja semua kebahagiaanku. Asal jangan ambil dia dari sisiku .... "
Kata kata itu bagaikan mantra untuk membujuk yang berkuasa di atas sana, merayu Tuhan. Lucas tak pernah memohon, karena ia menganggap itu sia sia. Tapi melihat betapa putus asanya Lucas sekarang ini. Menunjukan keajaiban yang tak pernah ia pahami, keajaiban do'a yang
ia anggap sia sia selama in, ternyata nyata. Ada.
Lucas terlonjak saat pintu terbuka. Dua orang dokter berjalan keluar di ikuti beberapa perwat lainnya.
" Bagaimana keadaan Rachel ...? "
Lucas beranjak dari kurisnya mendekati dokter yang masih mengenakan masker itu. wajahnya tertutup dan hanya memperlihatkan bola mata yang menatapnya tajam.
Dion. Dia tengah menatap tajam Lucas di balik maskernya. Ia menatap laki laki yang telah menyertakan Rachel dalam bahaya yang hampir saja merenggut nyawa perempuannya itu.
" Dia baik dan tidak baik baik saja dalam saat yang bersamaan .... "
Dion berbicara dengan profesionalitas yang tinggi. Megnabaikan emosinya untuk memukul Lucas. Sebagai orang yang mencitnai Rachel. Dion begitu rendah diri, ia bisa melihat kalau laki laki di depannya ini beribu ribu kali lebih mencintai Rachel di bandignkan dengannya.
" Maksud anda ...? " Lucas teringat racun yang berada di dalam tubuh Rachel " Apa racun itu masih tersisa di darah Rachel..? apa dia butuh banyak dara? Kalau begitu gunakan darahku ... "
Lucas bertanya dengan emosi yang naik turun, ia tau tak mungkin baginya yang kekurangan banyak darah melakukan donor darah. Tapi ia tak menghiraukannya.
" Dia baik baik saja, racun itu berhasil di bersihkan. Operasi berjalan lancar, tapi setiap luka itu meninggalkan jejak ..... " Dion terhenti sejenak dan ia mengingat berita buruk yang ia temui di meja operasi. Ini akan sangat menyakiti Rachel.
" Bisakah kita membicarakan ini di ruangan saya ...? "
Dion melepas maskernya, ia kini bertatapan dengan Lucas dengan cara yang sesunggunya. Ia menatap manik manik mata Lucas. Pria tampan yang ia lihat tempo hari. Dion langsung menyadari, ia tak bisa memenangkan hati Rachel dari cinta pertamanya, ataupun dari Lucas.
Mereka berjalan beriringan, dengan kediaman yang membungkus mulut masing masing. Dion menyerah, di meja operasi ia menyerah. Selama operasi, kesadaran Rachel timbul dan menyebutkan satu nama. Bukan namanya, tapi nama Lucas. Dan saat itu juga Dion tau posisinya
akan tetap sama. Takan berubah. Hanya teman untuk Rachel. Takan ada di ruang hati yang lain. Tetap terkunci di sana sebagai seorang teman.
Dion mengambil laporan hasil operasi barusan, mengamati setiap laporan itu dengan sangat teliti dan kemudian menghembuskan nafas dengan kasar dan berat.
" Saya teman Rachel dari kecil .... "
Lucas ber oh dengan pernyataan Dion barusan, laki laki di depannya ini mengulurkan laporan operasi ke tangannya. Ia menerima laopran itu dengan tangan kanannya dan langsung melihat sampul laporan itu. Tak ada bahasa yang di mengerti Lucas sama sekali.
" Saya ingin membicarakan hasil operasi ini hanya dengan anda, berdua saja ... " Dion melemaskan ototnya yang tegang di ruang operasi. Ia menatap Lucas lekat lekat.
" Rahasiakan ini dari siapapun, termasuk Rachel .... "
" Apa yang terjadi selama operasi? Bukannya barusan anda mengatakan kalau operasi itu berjalan lancar ...? "
Kecemasan menerpa Lucas. Ada yang salah selama operasi?
" Rachel takan bisa hamil .... "
Dion membabat kata katanya, fakta yang juga sanga menyakitinya. Rachel sangat menyukai anak kecil dan ingin sekali memiliki banyak anak. Kenyataan ini pasti sangat menyakiti Rachel.
" Seperti yang saya katakan, setiap luka meniggalkan jejaknya. Peluru di perut Rachel merusak rahimnya. Akan sulit bagi Rachel untuk hamil kedepannya .... "
Lucas melihat isi laporan di tangannya, hasil scan rahim Rachel terlihat di sana. Ia tak tau apa maksudnya tapi ia yakin kalau yang di katakan dokter di depanya ini bukanlah kebohongan.
" Saya mohon, Rachel sangat menyukai anak anak. Jangan sampai ia mengetahui ini di masa depan ... "
Lucas teringat kembali permohonannya di depan ruang operasi, Tuhan mengembalikan Rachel padanya. Tapi ia mengabulkan permohonan Lucas untuk mengambil semua kebahagiannya asalkan Rachel tetap bersamanya. Tuhan tak salah. Permohonannya yang egois yang menjadi
permasalahan.
Lucas mengusap peluh di keningnya, hari yang sangat berat. Malam yang panjang untuknya dan juga Rachel. Baru pagi tadi ia merancang masa depannya dengan Rachel secara diam diam. Sekarang semuanya jungkir balik hanya dalam satu malam.
" Akan ku rahasiakan ini semua dari Rachel, dan mungkin dokumen ini juga harus musnah juga ... "
Lucas menyerahkan kembali laporan operasi Rachel yang ada di tanganya. Ia tak bisa membayangkan kalau di masa depan Rachel menemukan dokumen itu. ia tak sanggup melihat hati Rachel sakit berkeping keping.
" Saya sangat lega anda mengambil keputusan bijak dengan membicarakan masalah ini berdua dengan saya, terimakasih ... "
Lucas beranjak berdiri dari sofa, ia masih tak pecaya. Tapi tak bisa mengelak juga. Semua yang tertulis itu fakta, ia tak bisa merubahnya.
" Saya pamit undur diri, kalau di perbolehkan. Saya ingin melihat kondisi Rachel ... "
Dion mengangguk, tanda persetujuan. Ia mengambil kembali laporan operasi Rachel.
" Saya juga berterimakasih, telah membawa Rachel secepat mungkin kesini ... "
.
.
.
.
.
Lucas melangkah masuk dengan tenang, langkahnya sangat berhati hati seolah takut akan menganggu istirahat Rachel. Ia sendiri sudah meminta Shawn untuk membungkam mulut orang orang agar tidak membicarakan maslah ini. Ia tak ingin kondisi Rachel sampai terdengar ke
telinga Ibunya. Lucas mendekati tubuh Rachel yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Tak apa, aku cukup hidup berdua denganmu itu sudah sangat cukup bagiku. Bebanku takan berat kalau aku hanya harus membahagiakanmu seumur hidupku. Lucas berbicara pelan, lalu melangkahkan kakinya dan duduk di samping ranjang Rachel. Tangannya menarik jari jari
Rachel yang sudah tak sepucat sebelumnya, hanya saja sekarang dua selang menususk kulit Rachel. Infus dan tranfusi darah. Lucas menusap rambut Rachel dengan lembut.
" Jangan pergi, atau aku takan punya kesempatan untuk mengucapkan cintaku padamu setiap harinya ... "