Rachel menarik nafas dalam dalam, ia tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Ia terbangun dengan Lucas yang lagi lagi memeluknya dengan sangat erat pagi ini. Jantungnya bahkan masih terlalu panik sampai sekarang. Ia sudah berada di rumah sakit sekitar tiga puluh menit yang lalu, tapi pikirannya masih mengingat kejadia pagi tadi.
" Kamu sakit ...? " Dion langsung duduk di samping Rachel yang tak langsung masuk ke ruangan Ibunya, malah berhenti dan duduk diluar sambil memegangi dadanya. Itu malah membuat Dion khawatir karena takut terjadi apa apa.
" Apa aku harus membayar biaya rumah sakit kalau kamu yang memeriksaku ...? "
" Ya mungkin kamu harus membayar dua kali lipat karena aku Dokter yang di sukai banyak suster rumah sakit ini, bagaimana ..? kamu sanggup membayarku kalau aku mau mendiagnosis sakitmu itu ...? " Dion tertawa melihat Rachel yang memanyunkan bibirnya karena mencibir masalah biaya rumah sakit.
" Aku rasa aku lebih cocok dengan obat apotek atau puskesmas saja ... " Rachel tersenyum masam menjawab penawaran Dion itu. Dion akan menyebalkan dalam beberapa hari dalam seminggu dan akan lebih menyebalkan dari biasanya kalau ada sesuatu yang tengah di sembunyikan dari Rachel.
" Jadi, aku bisa mengobrol denganmu nanti? Di kantin kalau kamu sudah selesai menengok Mamamu dan aku sudah selesai memeriksa pasienku ..? " Dion mengedikan bahu dan menatap Rachel.
" Aku akan menemuimu di kantin, aku juga harus cepat cepat pulang hari ini. Dokter Damian mengatakan kalau kondisi Mamaku baik baik saja sampai pasca operasi berhasil di lewati setelah seminggu. Apa aku bisa menolak ajakanmu kalau aku tengah bahagia seperti ini ... ? " Rachel bangkit dari kursinya dan berjalan memasuki pintu ruangan. " Aku akan di kantin jam satu siang nanti, aku akan menuggu kamu selesai dengan pasienmu oke ...? "
Dion mengangguk dan Rachel langsung masuk ke dalam ruangan. Laki laki itu kini bangkit dan berjalan menuju ke ruangannya. Ia memasuki lift dan menuju ke lantai satu, lorong lorong rumah sakit terlihat sunyi sekarang. Sebenarnya Dion berbohong, ia tak
lagi memiliki pasien di rumah sakit ini. Ia masih sering kemari karena urusannya belum selesai dan masih banyak yang harus di katakan kepada Rachel. Mungkin Rachel tak sadar, ia tak lagi memakai jas Dokter rumah sakit. Ia memakai pakaian formal biasa tanpa alat medis di tubuhnya, stetoskop misalkan. Dion hanya memakai kemeja santai biasa dan celana panjang hitam.
Ia membuka pintu ruanganya itu dengan pelan, semua buku buku di raknya sudah kosong dan tertata rapi di kardus. Siap di kirim pergi dalam waktu seminggu ini, ia hanya butuh satu orang untuk di ajak berpamitan. Rachel. Dion berjalan mendekati mejanya, mengambil bingkai fotonya dengan Rachel saat ia memenangkan olimpiade sains di usia lima belas tahun. Saat ia baru pertama kali masuk universitas. Rachel tersenyum ke arah kamera dengan tangan Dion yang mengacungkan piala penghargaan.
Dion tersenyum mengingat kenangan lamanya bersama Rachel, ia kemudian memasukan bingkai foto itu ke dalam kardus lain yang masih belum terisi penuh. Ia duduk menyandarkan punggung ke kursi, menarik nafas dalam dan berat. Melihat ke sekeliling
ruangan dengan binar mata yang lemas.
.
.
.
.
.
.
" Kenapa kamu seperti orang yang baru di PHK ...? " Rachel duduk di kursi panjang sambil menyeruput jus mangga sudah tersisa setengah gelas. Ia masih memperhatikan Dion yang duduk diam sejak tadi tanpa mengajaknya berbicara, benar benar aneh. Dion mengajaknya kesini untuk mengobrol sedangkan dia sendiri sibuk melamun.
" Kamu ingat beberapa hari yang lalu aku izin cuti dan pulang ke rumah ...? " Rachel mengangguk mengiyakan, mulutnya masih menyeruput jus mangga dengan sedotan. Ia ingat, Dion pulang ke rumah orang tuanya beberapa hari tanpa kabar sampai ia mengira Dion hilang di culik.
" Sekarang kamu mau memberitauku kalau kamu pamit pulang? Kalau begitu kenapa kamu murung ..? " Rachel menjauhkan gelas jus mangga yang sudah tandas itu, jus mangga Dion masih penuh tak tersentuh. Topik orang tua Dion memang hal yang kurang menyenangkan untuk di bicarakan. Mereka selalu mengekang Dion untuk melakukan apa yang tak Dion sukai. Bukan karena Dion jenius mereka bisa mengatur keinginan Dion. Tapi Dion terlalu penurut, ia merelakan mimpi terbesarnya untuk orang tuanya.
" Rachel, aku akan pergi ... " Dion berbicara dengan nada lemas, ia berbalik dan menatap Rachel dengan susah payah.
" Iya aku tau, kalau begitu pulanglah beberapa hari lagi dan aku akan memasakan makanan kesukaanmu nanti ... "
" Aku akan ke luar negeri ... " Rachel terpaku, mematung ketika mendengar apa yang Dion bicarakan.
" Maksud kamu? Luar negeri untuk apa ...? " Rachel tak bisa menerima ini semua, ia tak mau berpisah dengan Dion sekarang. Ia tak bisa berpisah dengan Dion yang sudah menjaganya selama ini, menjadi keluarga untuknya dan kaka yang melindunginya.
" Aku pulang karena aku diminta untuk melanjutkan bisnis dan sekolah di sana .. " Dion tertunduk lesu, ia tak mau melanjutkan bisnis keluarga. Tapi ia juga anak satu satunya tak ada sanak keluarga lain yang bisa mengambil alih masalah bisnis ini. Sama seperti yang di rasakan Lucas saat ia mengambil alih bisnis di usia yang bahkan lebih muda dari Dion sekarang ini.
" Kamu meninggalkanku? Berapa lama ..? " Rachel sudah membendung air mata, berpisah dengan Dion itu menyakitkan.
" Aku bisa mengajakmu dan Mamamu, orang tuaku takan keberatan kamu ikut denganku ... " Dion meraih tangan Rachel dan menggenggam tangan kecil itu mencoba meyakinkan Rachel atas usulnya. Tapi Rachel terdiam, bukan berarti ia akan merepotkan Dion selamanya.
" Tak bisa Dion, aku tak mau mrepotkanmu dengan kehadiranku dan Mamaku. Kamu di sana untuk belajar bisnis dan lainnya. Aku akan menjadi pengganggu, aku bukan siapa siapamu ... " Rachel melepas pegangan Dion pada tanganannya.
" Kalau begitu kamu bisa menjadi keluargaku, menikahlah dengaku ... "
Rachel kaget dengan ide Dion untuk menikahinya, selama ini Dion tau ada laki laki lain yang selalu di nantinya. Bagaimana mungkin ia menikahi Dion kalau ada orang lain di hatinya yang belum juga pergi. Rachel menjauhkan tangannya dari Dion yang sudah bergerak ingin meraih tangan Rachel lagi.
" Kamu tau aku tak bisa .... kamu tau itu kan ..? " Rachel menatap Dion dengan nelangsa, bagaimana mungkin laki laki di depannya ini berpikiran untuk menikahinya. Ia tak mencintai Dion seperti cinta untuk sepasang kekasih. Tapi kaka.
" Cinta pertamamu ... ? " Rachel menganggukan kepala mendengar pertanyaan Dion.
" Lalu, siapa laki laki yang selalu mengantar dan menjemputmu ke sini ...? apa kamu mencintainya juga ..? "
Ini bukan pertanyaan yang di harapkan, sejak kapan Dion mulai memperhatikan dengan siapa ia pergi. Ini pasti karena Lucas yang terlalu mencolok dengan mobil mewahnya itu.
" Dion, dia itu Lucas. Aku bekerja, bermain Biola untuknya, kami .... " Rachel menggantung kalimatnya, bukan karena apa. Tapi ikatannya dengan Lucas bukan karena Biola. " Kami tak ada apa apa, dia mengantarkanku karena peduli. Itu saja ... "
" Kenapa aku melihat kamu bahagia sekali saat berada di dekatnya? Atau mungkin dia cinta pertamamau, maka dari itu kamu nyaman berada di sampingnya ..? "
Rachel terdiam membisu dengan rentetan pertanyaan Dion, ia tak pernah berpikiran kalau Lucas adalah sosok cinta pertamanya. Bayangan mereka benar benar berbeda satu sama lain. Tapi apa aku terlihat bahagia saat bersama Lucas? Bagaimana mungkin.
" Dion, dia bukan cinta pertamaku. Bagaimana mungkin dia itu laki laki itu, Lucas bukan laki laki itu. Aku sudah menemukan cinta pertamaku, dan itu bukan Lucas ... "
" Kalau begitu, berarti sekarang orang yang kamu cintai Lucas ...? " terjangan pertanyaan ini membuat Rachel diam, ia tak mencintai Lucas. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta dengan Lucas. Itu takan mungkin. Dion berpikir terlalu jauh. Ini bukan Dion yang ia kenal.
" Rachel, aku menyukaimu..! tidak tidak, aku mencintaimu. Kalau begitu, kenapa kamu tidak memberikanku kesempatan dan ikutlah denganku. Aku berjanji, aku akan menjaga dan merawat kalian berdua ... "
Dion semakin frustasi dengan keadaan yang tak berpihak padanya, ia tak ingin pergi meninggalkan Rachel tapi ia sendiri tak bisa memberontak kepada orangtuanya.
" Tapi, Dion. Kamu adalah kakaku. Itu pandanganku padamu, aku tak bisa berubah menjadi kekasihmu apalagi istrimu. Aku menyayangimu, tapi bukan dengan cara yang sama sepertimu ... "
Mereka sama sama terdiam, diam yang cukup lama dan dalam. Perasaan Dion tercabik cabik dalam satu hari. Bukan rusak dalam sekejap. Dari dulu ia sudah tau kalau dirinya tak punya ruang di hati Rachel, sekarang ia sakit karena memberanikan diri
menyatakan perasanya. Rachel sendiri juga tak tau apa yang harus di lakukan. Pertanyaan bertubi tubi dari Dion membuatnya berpikir dalam. Ia merenungkan perasaanya kepada Lucas. Pandangan Dion akan hubungannya dengan Lucas membuat Rachel berpikir menerwang jauh.
Bagaimana kalau Lucas tetap bersikap lembut seperti ini? Apa ia akan jatuh cinta dengan mudah kepada laki laki itu?
" Rachel, aku akan pergi minggu depan. Kamu yakin tak ikut denganku..? aku takan memaksamu untuk menikah denganku, aku hanya akan menjagamu .... "
" Jawabanku tetap sama Dion, aku tak mau merepotkanmu lebih lama lagi. Aku bisa hidup mandairi nantinya, aku juga akan tetap menganggapmu sebagai orang yang paling kusayangi ... "
Rachel beranjak dari kusrinya, punggungnya terasa berat karena obrolan seriusnya barusan.
" Aku pamit dulu Dion, kabari aku saat kamu hendak pergi. Aku juga ingin mengantarmu pegri minggu depan .... " Rachel berjalan menjauh, mencoba sebisa mungin mengacuhkan Dion yang masih terdiam di belakangnya itu. Ia tak mungkin terus terusan berada di dekat Don dan menyakiti laki laki itu setelah tau perasaan Dion yang sebenarnya kepadanya. Yang bisa di lakukannya sekarang adalah menjauh. Sejauh mungkin dari Dion sampai laki laki itu melupakannya dan menemukan pengganti yang baru.
Rachel pergi ke luar rumah sakit, langkahnya terasa berat meniggalkan Dion di sana. Ia merasa hubungannya dengan Dion seperti sudah berakhir hari ini. Tapi mungkin ini adalah pilihan terbaik. Rachel sudah berjalan mendekati trotoar sebelum sebuah tangan mengehentiaknnya.
" Nona, mari saya antar. Saya sudah menunggu Nona ... " Shawn menepu bahu Rachel dan membuat Rachel berbalik badan menatap laki laki itu.
" Lucas menyuruhmu untuk datang ke sini ...? "
" Tuan khawatir kalau Nona akan menggunakan kendaraan umum, karena bahaya ... " Shawn berjalan mengantarkan Rachel di mana mobil mewah Lucas sudah terparkir di sana. Ia kini seperti tawanan yang tak terlihat, tak memilki jeruji tapi ada batas keras
yang tak bisa di lewati.
" Silahkan Nona .... " Shawn membukakan pintu seperti biasa dengan sopan dan menundukan kepala, bagaimana mungkin Shawn bisa tahan bekerja dengan Lucas dengan sopan santun yang tak berubah itu? benar benar sebuah keajaiban.
" Nona, besok akan berangkat ke rumah sakit pukul berapa? Biar saya antarkan ... "
" Aku tak tau, lihat saja besok. Hari ini Ibuku terlalu banyak bergerak, ia tak mau diam. Mungkin besok dia akan istriahat seharian karena kelelahan. Mungkin aku akan kesana siang hari ... " Siang hari adalah waktu yang tepat untuk menghindari Dion di sana.
" Baikhlah kalau begitu .. "
.
.
.
.
.
.
Rachel memasuki apartemen yang remang remang itu, semua nampak sama seperti saat ia meninggalkan apartemen pagi ini, hanya saja Rachel melihat sosok bayangan yang tengah berjalan mondar mandir. Siluet itu terus mengusik pikiran Rachel, kenapa Lucas bertingkah aneh sekarang ...?
Rachel mendekati siluet itu,mencoba menelusuk sang pemilik tubuh. Mendekatkan diri dan mendapati sosok yang berbeda tengah berdiri di dekat jendela dengan pantulan cahaya senja. Laki laki itu tersenyum masam ke arah Rachel, senyum dan tatapan dingin sedingin es yang berkabut.
" Kamu siapa ...? " itu pertanyaan yang terlontar dari mulut Rachel sebelum semua yang ia lihat menjadi kabur, dan gelap.