"Hahaha...gue enggak tahan buat ketawa, Ren." Reihan mengeluarkan gelak tawa yang terlalu menggelikan di perutnya.
"Jangan ngejek lo! Gue udah engap-engapan nahan emosi di depan si Sitta. Kayaknya itu perjuangan paling berat seumur hidup gue. Mana dia main cupika-cupiki melulu, astaghfirullah!" Reno bergidik ngeri jika mengingat apa yang ia perbuat kemarin dengan Sitta. Reno meraup wajahnya dengan kasar.
Bukannya menghentikan tawanya, kadar kegelian Reihan justru semakin bertambah mendengar curhatan Reno. Sedangkan Reno hanya memutar bola matanya melihat kelakuan sahabatnya itu.
"Tapi, Sob setidaknya lo udah berhasil menjalankan misi. Mission accomplished! Enggak sia-sia 'kan pengorbanan lo?" Reihan yang sudah berhasil menenangkan dirinya, menepuk pundak Reno..
"Alhamdulillah. Untungnya langsung sukses. Enggak kebayang kalo kemarin gagal terus gue harus lebih lama lagi akting jadi Lee Min-Ho." Reno mengelus dadanya lega.
"Ashyedaaap! Jadi Lee Min-Ho? Gaya lo, Ndro!"
"Gue bukan Indro. Nama gue Reno!"
"Yaelah, becandaan doang ma-meen! Yang jelas sekarang urusan lo sama si wanita demit udah kelar. Waktunya menjalankan next mission!" Mata Reihan mengarah ke Reno, satu sisi alisnya dinaikkan.
-----
"Apa Kak?? Lo cerita sama Kak Reno?" Sena membelalakkan kedua matanya mendengar penuturan Sitta yang sedang asyik mengikir kuku kakinya dengan santainya di atas ranjang.
"Iya, gue cerita.Tenang, Sen! Gue udah berhasil menaklukkan dia. Sekarang dia udah tekuk lutut sama gue."
Sena mengepalkan kedua tangannya. Sungguh ia tak percaya wanita yang dicintainya ini bisa sebegitu bodohnya.
"Kak, lo enggak curiga sama dia? Bertahun-tahun dia reject Kak Sitta. Terus sekarang baru sehari dia baikin, Kak Sitta percaya gitu aja?" Sena mulai meradang emosi.
Sitta menengadahkan kepalanya menatap Sena yang sedang berdiri di hadapannya, dengan tatapan polosnya.
"Hmmm...ya mungkin dia udah dapet yang namanya hidayah, terus baru menyadari gimana gigihnya perjuangan gue selama ini, terus ternyata dia jadi suka sama gue. Bisa aja 'kan? Lagian gue udah pernah bilang sama lo, cinta datang karena terbiasa." Sitta mengakhiri kalimatnya dengan senyuman menggoda.
"Damn!"
Lagi-lagi iman Sena sedang diuji.
Melihat orang yang selama ini dianggapnya kakak berpenampilan mengenakan tanktop dan short-pants, rambut panjangnya yang tergerai, wajahnya yang menggoda, membangkitkan gairah yang sejak SMP sudah ditahannya.
Tapi mengingat kebodohan yang dilakukan kakaknya ini, pikirannya lebih panik memikirkan konsekuensi yang harus ia terima nantinya.
Sena membalikkan badannya, ia berjalan mondar-mandir, mencoba menggunakan otaknya untuk memikirkan rencana yang tepat.
"Lo ngapain sih mondar-mandir kayak nyetrika baju kusut? Jengah gue lihatnya!"
"Gue lagi mikir. Gimana kalo sampai...aaargghhh!" Sena mengacak-acak rambut ikalnya yang mulai gondrong.
"Apaan sih? Lebay banget!" Sitta mencibir sikap adiknya itu.
Sena berjalan mendekati Sitta hingga wajah mereka sedikit berjarak.
"Ini gara-gara lo juga!" Tak sadar Sena membentak Sitta di depan wajahnya.
"Apaan sih lo? Jangan kurang ajar sama gue!" Sitta mendorong badan Sena menjauh. Tiba-tiba Sitta merasakan aura ketakutan muncul saat menghadapi adiknya itu. Mendadak adiknya terasa seperti orang asing baginya.
Yang tidak disangkanya, Sena kembali berjalan mendekatinya lalu mendorong Sitta hingga terbujur di atas ranjang. Sena berada di atasnya, memenjarakannya dengan kedua tangan menopang badan.
"Apaan sih lo, Sen? Jangan gila ya!"
Sitta kembali berusaha mendorong Sena, namun Sena bergeming. Tenaganya lebih kuat.
"Gue emang udah gila, Kak! Gila karena lo! Lo yang bikin gue gila!" Sena mengeluarkan semua beban yang dirasanya selama ini. Menurutnya sudah saatnya kakaknya ini mengetahui segala rahasia terpendam yang dijaganya selama ini.
"Maksud lo apa?" Sitta berteriak membentaknya.
Sena terkekeh pelan, senyum culas hadir di wajahnya.
"Lo belum ngerti juga? Lo enggak nyadar apa yang udah gue lakuin selama ini buat lo? Gue udah berkorban banyak buat lo! Semua yang gue lakuin sama lo, karena gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo, Kak!" Sena berteriak, tak menyadari tetes air matanya mengalir jatuh di wajah kakaknya.
Sitta menutup mulutnya yang menganga, yang baru saja dikatakan adiknya itu tidak dapat dicerna oleh akal sehatnya.
Kali ini Sitta berhasil mendorong tubuh Sena, pertahanannya sedang lemah. Sitta merasa mual mendengar pernyataan adiknya.
"Sen! Lo adek gue! Dan gue...gue kakak lo! Sadar, Sen!" Sitta menghardik adiknya itu.
"Lo bukan kakak gue! Setidaknya...bukan kakak kandung gue..." Sena menundukkan kepalanya, suaranya mulai melirih lemah.
"Apa lo bilang? Bukan kandung? Maksud lo apa sih? Sen, jangan mengarang indah ya! Gue enggak terima kalo lo ngerjain gue!" Sitta masih belum dapat mencerna maksud Sena.
"Gue serius! Kita bukan saudara kandung!" Sena kembali menaikkan volume suaranya.
"Lo...lo tau darimana? Terus...lo anak siapa? Gue...anak siapa?" Sitta mulai dilanda kebingungan.
"Waktu SMP, gue dengar Mami Papi ribut-ribut di kamar. Gue dengar mereka nyebut-nyebut nama lo. Mami bilang...dia pingin lo angkat kaki dari rumah, katanya...lo cuma anak...Kak, gue enggak sanggup nerusinnya." Sena menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tak sanggup menyakiti hati Sitta.
"Sen, cerita sama gue! Gue mau dengar apa yang lo dengar waktu itu!" Sitta berusaha menelan rasa pahit yang tiba-tiba melandanya.
"Tapi Kak..."
"Cerita!"
Sena menghirup napas dalam-dalam. Ia menyesali sudah terbawa emosi sehingga melontarkan cerita pahit bagi Sitta.
Namun sekarang sudah terlambat. Lebih baik kakaknya itu mengetahui yang sebenarnya.
"Gue dengar Mami bilang lo cuma... anaknya pembantu yang diperkosa supir. Gue yang anak kandung mereka." Sena akhirnya mengeluarkan kata-kata yang sudah lama tercekat di kerongkongannya.
Sitta terpaku, tak butuh waktu lama bagi sang air mata jatuh mengaliri pipinya. Nalarnya tidak ingin mempercayai cerita Sena itu, tapi semua masuk akal baginya.
Sejak lama ia merasa sebagai punuk merindukan bulan, ia merindukan kasih sayang Maminya. Entah sejak kapan Sitta mulai menyadari kalau Maminya itu selalu memperlakukannya dengan dingin, bahkan tidak bersahabat. Bahkan Papinya itu pun jarang berkomunikasi dengannya, namun setidaknya perlakuannya lebih baik daripada Maminya.
Beda halnya dengan Sena, kedua orangtuanya terlihat menyayangi Sena, terutama Maminya. Dulu pernah ia melayangkan protes kepada Maminya hanya karena ingin merasakan dipeluk seperti Sena yang sering dipeluk oleh Maminya itu. Tapi protesnya itu membuahkan tamparan dari Maminya.
Sejak saat itu, ia ingat jarang berbicara dengan Maminya. Setiap keperluan yang dimintanya selalu dibicarakan dengan Papinya.
Dan kini...ia dihadapkan oleh fakta bahwasanya ia hanya anak hasil pemerkosaan. Sontak isak tangisnya menggema di dalam kamarnya.
Sena yang tidak tega, segera mendekap erat kakaknya itu. Derai air matanya pun jatuh mengiringi isakan Sitta.
"Tenang, Kak. Ada gue! Lo masih punya gue yang sayang sama lo."
"Enggak! Lepasin!" Sitta mendorong Sena kasar hingga terjungkir dari atas ranjang.
"Kak, gue tulus sayang sama lo. Gue udah cinta sama lo sejak dulu, Kak. Dan ini cinta antar pria dengan wanita, bukan antar kakak-beradik. Dan cinta ini enggak terlarang, Kak."
"Diaaam! Gue enggak pernah suka sama lo! Dari dulu gue benci sama lo! Gue...gue...gue selalu iri sama lo! Lo yang disayang mereka...lo...Gue benci sama lo!" Sitta berteriak kencang mengeluarkan segala amukan emosinya, bahkan melemparkan semua bantal guling ke arah Reno.
"Keluar dari kamar gue! Keluaaaarrr!"
Sena yang sibuk menangkis lemparan yang terarah padanya akhirnya berusaha bangkit.
"Kak...gue cinta sama lo! Gue bisa membujuk Mami Papi kalo lo mau."
"Keluaaarrr!" Sitta mengerahkan segenap tenaganya untuk berteriak.
Sena pun segera berjalan keluar kamar, lalu menutup pintu dengan bantingan. Meninggalkan Sitta yang masih sibuk dengan tangisnya.
Reno menuruni tangga menuju lantai satu rumahnya. Akal sehatnya sedang tidak berfungsi. Malam ini ia hanya ingin keluar, melampiaskan segala amarah yang sudah merasukinya. Dan menurutnya tempat pelampiasan yang paling tepat baginya adalah...Ara.
Seperti kala itu...
----
Ara yang sedang berlatih presentasi untuk sidangnya minggu depan, mendengar suara bel pintu apartemennya berbunyi.
Tebakannya mungkin Sherin yang datang. Tadi sahabatnya itu memang mengabari akan berkunjung ke apartemennya untuk membantunya latihan presentasi sekaligus menyiapkan kisi-kisi materi.
Saat akan melangkah dilihatnya ponselnya bergetar. Ternyata ada pesan masuk dari Digo kakaknya. Ia pun segera membalas pesan Digo lalu kembali berjalan keluar kamar.
Diliriknya jam dinding di ruang TV, masih jam 14.45. Padahal tadi Sherin mengabari akan datang sore hari. Mungkin saja sahabatnya itu datang lebih awal.
Ara berjalan dengan cerianya menyambut kedatangan sahabatnya, dibukanya pintu apartemen.
"Hai She...mmmhhhh...mmmhhh." Seseorang yang berdiri di luar pintu membekapnya dengan saputangan. Ara mencoba melepaskan tangan itu dari wajahnya hingga ia mencakarnya. Namun seseorang memukulnya dari belakang hingga badannya limbung.
***
Ara perlahan mencoba membuka kedua matanya. Penglihatannya buram, ia memicingkan pandangan, mengerdip-ngerdipkan matanya berkali-kali hingga penglihatannya tidak lagi samar. Kepalanya terasa pusing, nyeri, syarafnya dirasa berdenyut-denyut.
Ia berada di sebuah ruangan gelap, dengan tangan dan kaki terikat, dan posisi badan menelungkup ke bawah. Kepalanya tertoleh ke samping kanan, menghadap dinding. Tercium aroma oli menguar dari seisi ruangan. Baunya pun menyengat indra penciuman Ara.
Samar-samar terdengar suara percakapan dari belakangnya.
"Lo gila ya Raf, kalo dia mati gimana? Gue enggak mau ikutan terlibat lagi!" Terdengar suara seorang perempuan yang mengindikasikan kepanikan.
"Cemen banget sih lo, Dev! Takut? Lo dengar 'kan tadi kata Rafi? Dia masih hidup. Kita tunggu aja sampai dia sadar. Tapi gue enggak keberatan juga sih kalo dia beneran mati." Seorang perempuan lagi terdengar tertawa cekikikan.
"Tenang, dia masih hidup. Kita tunggu si Sena. Gue enggak ngerti apa rencana dia selanjutnya. Ca, coba lo cek dia udah siuman belum." Kini suara seorang lelaki yang terdengar menanggapi.
Lalu terdengar suara langkah kaki mendekat ke tubuh Ara. Ara yang menyadari pergerakan tersebut, kembali menutup matanya.
Kini kaki yang menggunakan sepatu dengan heels 5 cm itu berada tepat di hadapan wajahnya yang tertelungkup. Tak lama kaki itu kembali menyingkir dari hadapannya.
"Masih pingsan tuh, Dok. Si Sena lagi kemana sih?"
---
"Ada perlu apa lo sama gue? Malam-malam gini ngajak ketemu." Sena mengunyah batang korek di sudut mulutnya. Posenya menantang lawan bicaranya.
"Easy, Bro! Di sini banyak orang. Lo enggak mau cari ribut di depan mereka 'kan?" Reno menarik senyum sinisnya.
Saat ini pukul 23.30, mereka berdua mengadakan pertemuan di Taman Cattleya. Sejam sebelumnya Reno menghubungi Sena, setelah mendapat informasi nomor ponselnya dari Sitta.
"Jadi apa mau lo?" Sena kembali menanyakan tujuan awal Reno memanggilnya ke tempat itu.
"Lo tahu kalo Ara diculik?" Reno bertanya dengan tenang, menahan tangannya yang sejak tadi sudah gatal ingin melayangkan pukulan ke wajah pemuda di hadapannya itu.
"Ara? Siapa tuh?" Sena pura-pura tidak mengenal nama itu.
Kepura-puraannya itu disambut dengan tawa oleh Reno.
"Enggak usah pura-pura lo. Gue sudah tahu semuanya." Reno mencibir.
"Maksud lo apa? Ooh...yang kemarin itu Kak Sitta cerita sama lo?" Gantian sekarang Sena yang tertawa lepas.
"Hahaha...lo mau-maunya dikibulin sama Kak Sitta. Dia bohong sama lo! Dia cuma mau cari bahan pembicaraan aja, biar makin dekat sama lo! Kak Sitta sudah mengakui itu ke gue!"
"Gue mengakui apa Sen?" Tiba-tiba Sitta datang berjalan dari balik pohon.
Kehadirannya sungguh tak diduga oleh Sena. Bahkan oleh Reno. Tadi Reno sudah berpesan padanya agar bersembunyi di balik pohon hingga saatnya Reno memanggilnya untuk keluar.
"Kak...Sitta?" Sena tergagap. Sontak ia diterpa kebingungan.
"Lo belum jawab gue! Gue mengakui apa sama lo? Kalo cerita gue ke Reno soal lo yang menganiaya Ara dulu itu hanya cerita karangan belaka?" Perlahan langkah demi langkah Sitta jejakkan mendekat ke samping Reno. Ia ingin menunjukkan di pihak siapa sekarang ia berada.
"Kak...lo? Ini...apa maksud lo?" Sena masih terpaku.
"Jawab pertanyaan gue!" Sitta menghardik adik angkatnya itu.
"Lo...lo belain dia? Lo sadar enggak sih? Si Ara itu saingan lo!" Telunjuk Sena terangkat menunjuk pada Reno.
"Jadi, benar 'kan lo tahu Ara? Lo yang nyulik Ara 'kan?" Kini Reno menarik satu sisi sudut mulutnya ke atas.
"Sen...please! Bebasin Ara! Ini semua enggak benar! Perbuatan lo enggak benar!" Sitta kembali berusaha menyadarkan Sena.
"Lo...lo mengkhianati gue, Kak! Gue cinta sama lo! Tapi lo mengkhianati gue? Memangnya apa yang lo dapat dari menolong cowok brengsek seperti dia? Lo tahu 'kan dia cuma mempermainkan lo? Lo sadar 'kan?" Sena menggeram menahan amarahnya.
Tiba-tiba tangisan Sitta kembali terisak. Kenapa rasanya begitu sakit berada di posisi ini? Yang ia ingat, ia ingin mulai melakukan suatu kebaikan. Tapi kenapa rasanya sesakit ini. Ia mencengkeram bajunya.
"Sen...gue...hiks...gue sudah menyadari semuanya sekarang. Gue ingin menjadi manusia yang lebih baik, Sen. Sudah cukup selama ini hidup gue diselimuti rasa iri dan dengki. Gue sudah enggak mau menjadi tokoh antagonis. Gue enggak mau mendendam seumur hidup. Gue...gue mau berubah." Sitta menundukkan kepalanya, menyembunyikan kepalanya yang dipenuhi bulir air mata.
Reno tersenyum mendengar pernyataan Sitta. Do'anya semoga Allah memaafkan segala dosa dan kesalahan perempuan di sampingnya itu. Karena ia sendiri pun sudah mengikhlaskannya.
"Maksud lo apa, Kak? Please Kak, jangan membodohi gue! Ini enggak lucu!" Sena membentaknya.
Sitta menengadahkan kepalanya, menatap Sena dengan tajam di tengah isak tangisnya.
"Sen...lo udah lihat gue begini, lo masih anggap ini sandiwara? Gue serius!"
"Ini gila! Lo gila, Kak!" Sena menjambak rambut ikalnya hingga kuncirannya terlepas.
"Lo yang gila, Sen! Lepasin Ara sekarang juga! Atau lo akan menyesal!" Reno menghardiknya, kedua tangannya tengah mengepal, bersiap-siap melayangkan bogem mentah ke wajah Sena. Tapi masih ditahannya.
Sena kembali tertawa keras di tengah kondisi depresinya, hingga urat-urat lehernya tertarik.
"Menyesal kata lo? Gue enggak pernah menyesal menyiksa bahkan melecehkan dia! Cewek gendut itu pantas mendapatkannya. Hanya dia cewek yang berani melawan gue di sekolah. Cuma dia cewek yang berani menghina gue! Gue sudah kasih peringatan sama dia untuk tidak pernah ikut campur. Tapi apa? Setiap kali gue berurusan dengan orang lain, dia selalu ikut campur! Sok menasehati gue! Sok jadi ustadzah! Sok mendikte gue! Dia juga yang melaporkan setiap perbuatan gue ke guru-guru dan kepala sekolah. Dia melaporkan gue ke kakak-kakaknya! Tukang ngadu! Cemen!"
"Lo yang cemen! Beraninya keroyokan! Beraninya sama perempuan! Berlindung di bawah ketiak orangtua! Bisanya menghamburkan duit orangtua! Dasar pemalas! Pecundang!"
Reno mengembalikan kata-kata Sena.
"Diaaaammmm!!! Tunggu pembalasan gue!" Sena berteriak sekuat tenaga. Lalu berlari menuju motor trailnya yang terparkir di pinggir taman.
"Senaaa!" Sitta memanggil Sena yang tengah berusaha kabur dari situasi yang menyesakkan itu. Namun teriakannya itu tidak digubris. Sena sudah kembali melaju di jalanan.
"Sit, terima kasih banyak ya. I owe you a lot! Gue sudah dapat rekamannya." Reno menepuk pundak Sitta. Kembali ia mendapatkan tambahan bukti baru.
"Ren, kita harus segera menyusul. Takutnya Sena melampiaskan marahnya ke Ara." Kini Sitta terlihat khawatir. Ia tidak bisa membayangkan apa yang sanggup diperbuat adiknya itu pada gadis yang pernah dibencinya.
"Iya lo benar. Lo tahu tempatnya, Sit?"
Sitta menganggukkan kepalanya, menjawab pertanyaan Reno. Mereka pun segera berjalan menuju mobil Reno.
***
"Sen, lo kemana aja sih?" Tasya melihat Sena yang berjalan cepat memasuki ruangan yang sedang mereka tempati saat ini. Namun pertanyaannya itu diacuhkan oleh Sena. Sena berjalan cepat menuju ruangan tempat Ara disekap.
"Sen! Seeen!" Tasya turut mengejar langkah Sena dari belakang. Rafi dan Devi yang sedang berada di dalam kamar usai melakukan perbuatan terlarang, saat mendengar teriakan Tasya langsung bergegas membenahi pakaian mereka. Lalu turut beranjak keluar.
Sena melangkah cepat melewati dua ruangan. Ia sedang berada di puncak emosinya. Ia siap menumpahkan semua letupan yang sejak tadi bergemuruh di dadanya.
Ia melihat sosok Ara yang masih belum sadar dari pingsannya. Sena segera mengambil ember berisi air dari sudut ruangan, menumpahkan seluruh isinya di atas kepala Ara.
Ara yang memang sudah tersadar sejak tadi pun megap-megap dibuatnya. Terpaksa ia menampakkan siumannya itu.
"Aaarrrggghhhh!" Tumpahan air dingin tersebut sontak membuat tubuhnya merinding kedinginan.
"Bangun lo!"
"Bangun! Gue tahu lo udah bangun!" Kembali Sena menendangi tubuhnya seperti dulu kala. Berkali-kali serangan kaki itu diterima olehnya.
Ara berteriak-teriak mengaduh kesakitan. Badannya sudah pasti lebam saat ini. Ketiga orang lainnya yang baru saja berada di ruangan itu hanya menonton adegan tersebut. Ada yang menyeringai mengindikasikan kata mampus, ada yang merinding karena rasa takut, ada pula yang berekspresi datar.
"Ka-lian...? Mau...a-pa-lagi ka-lian?" Ara bertanya dengan terbata-bata. Menahan nyeri dan dingin yang menyerang sekujur tubuhnya.
"Jadi lo ingat sama kita?" Sekali lagi tendangan Sena di kakinya membuat Ara kembali mengaduh.
"Gue salah apa sama kaliaaan??" Ara berteriak nyaring.
"Diaaammm! Enggak usah banyak bacot lo! Lo cuma sampah!" Sena kembali meneriakinya sembari menarik hijabnya yang sudah setengah terlepas dari kepala. Kinj rambutnya berurai.
"Sen, jadi ini rencana lo? Cuma kembali mukulin dia lagi?" Rafi yang sedang bersedekap bertanya dengan nada tak acuh.
"Gue bakal bikin dia sadar siapa dia itu sebenarnya! Kalo perlu gue siksa dia sampai mampus!" Sena sudah siap mengangkat batang besi yang tergenggam di kedua tangannya. Lalu datang tangan lain mencegahnya.
"Sen! Jangan! Lo gila ya? Lo mau bunuh dia? Gue enggak suka rencana lo ini!" Tangan Devi menahannya melayangkan pukulan.
"Lo yang gila, Dev! Mending dia mati sekarang! Lo mau dia lapor kemana-mana?" Tasya ikut menimpali, ia tidak setuju dengan tindakan Devi.
"Tapi Ca, selama ini dia enggak melakukan apa-apa. Kita hidup aman 'kan selama ini. Terus, ngapain kita harus melakukan ini lagi ke dia?" Devi kembali memberi alasan.
Rafi bergeser mendekati Devi.
"Dear, lo benar. Kita sejauh ini memang hidup aman, tapi yang selanjutnya? Kita enggak akan tahu apa yang terjadi? Nama baik gue sebagai dokter bisa terancam. Lo tahu 'kan gimana berprestasinya gue sejak SMA yang berhasil loncat kelas? Hingga kuliah kedokteran menjadi mahasiswa paling cepat lulus? Apa gue rela prestasi-prestasi itu ternodai dengan masa lalu kelam kita?"
Dan empat sekawan itu disibukkan dengan perdebatan antar argumen mereka masing-masing.
Kini Ara mulai merasakan sakit di kepalanya. Suara-suara percakapan di sekelilingnya terdengar dengan jelas. Potongan-potongan yang sering muncul secara tiba-tiba di kepalanya, kini semua menyatu dengan jelas. Ia mengingatnya dengan jelas. Ia mengingat tindak kekerasan yang terjadi padanya tujuh tahun yang lalu.
Badannya menggigil gemetar. Kepalanya terasa sangat nyeri, syarafnya berdenyut dengan cepat, telinganya berdenging hebat. Tubuhnya terasa kaku, sulit untuk digerakkan. Ara berteriak, ia tak bisa lagi menahan sakitnya. Bola matanya membelalak ke atas seiring dengan kepalanya yang terangkat ke atas.
Ara melihat sosok dirinya berdiri di hadapannya. Bukan, itu bukan dirinya. Ia sangat jelas mengetahui sosok itu, dia adalah Zura.
Zura tersenyum padanya, ia mencoba berbicara pada Ara. Zura membisikkan sesuatu padanya. Lalu ia sedikit menjauh.
"Zura, kamu mau kemana? Harusnya kamu keluar, bantu aku menghadapi mereka. Aku tidak sanggup menghadapi mereka sendirian!"
"Ara, kamu bisa menghadapi semua ini. Ingat yang baru saja aku katakan. Kamu bisa, Ara."
"Zura, aku takut. Tolong, jangan tinggalkan aku! Mereka jahat sama aku. Aku tidak mau berhadapan dengan mereka sendirian. Tolong aku, Zura!" Ara memohon pada Zura dengan terisak.
"Aku tidak pernah meninggalkan kamu, Ara. Kita ini satu. Aku adalah bagian dari kamu. Kamu adalah bagian dari aku. Kita bisa menghadapi mereka bersama-sama." Zura tersenyum manis, memberikan energi baru pada Ara.
"Kamu janji tidak akan meninggalkan aku, Zura?" Ara terlihat terengah-engah ketakutan.
"Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Ara. Ingat kata-kata Dokter Lisa? Kamu berani, Ara! Bukan kamu...tapi kita. Kita berani, Ara! Kita kuat! Dan kita...enggak sendirian." Zura lagi-lagi menyemangatinya dengan tersenyum, seperti ada energi baru yang ditransfernya pada Ara.
Tiba-tiba potongan memori masuk di pikiran Ara. Ternyata benar, apa yang tadi Zura bisikkan padanya. Di tengah sakit yang dirasakannya, bibirnya menyeringai. Ara kembali memejamkan matanya.
Sementara keanehan yang terjadi pada Ara, menjadi suguhan pemandangan yang membuat empat sekawan itu ternganga, bahkan bergidik ngeri.
"Itu...si buntelan karpet kenapa? Kok ngomong-ngomong sendiri? Kayak ngomong sama siapa? Jangan-jangan....hiiii..." Tasya bergidik ngeri.
"Iya, itu...apa kerasukan ya? Tempat ini emangnya ada setannya?" Devi pun turut merasakan kengerian. Didongakkannya kepala untuk melihat sekeliling ruangan. Badannya mulai merinding.
"Jangan-jangan..." Rafi ingin mengeluarkan hipotesa tapi diurungkannya.
"Penakut ya lo pada! Dia bukan kerasukan! Dia punya kepribadian ganda!" Sena mendengus.
"Hah??" Tasya, Rafi, dan Devi kembali tercengang mendengar informasi yang dibeberkan oleh Sena.
Sembari menggeret batang besi di tangannya, Sena kembali bergerak mendekati Ara yang kini sedang memejamkan mata.
Tiba-tiba Ara membuka matanya dengan lebar. Matanya terpaku pada sepatu keds yang terpampang sejajar dengan kepalanya. Didongakkannya kepalanya ke atas. Ia hapal benar dengan wajah yang sedang menyeringai itu.
"Hai, Sen! Apa kabar?" Ara mencoba menyunggingkan senyum ramah.
"Harusnya lo menanyakan kabar diri lo sendiri! Apa kabar badan lo? Kurang sadis ya gue?" Sena terkekeh, ia mengetuk-ngetukkan batang besi ke lantai yang hanya terbuat dari rataan semen.
Ara pun ikut terkekeh. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Apa kabar badan gue? Nyeri dong pastinya. Masa lo enggak tahu?" Ara kembali terkekeh.
Sena dibuat bingung dengan respon Ara.
"Heh, lo nantangin gue? Hah?" Sena mendongakkan dagu Ara dengan ujung batang tersebut. Bagian ujungnya yang tajam, menggerus dagu Ara hingga meninggalkan luka.
"Gue enggak nantangin lo! Kayak orang enggak nyadar diri aja. Udah jelas gue kalah jumlah, kalah tenaga, kalah posisi pula. Bisa apa gue dengan posisi tengkurap diikat kayak kepiting begini?"
Sena makin tidak sabar mendengar ocehan Ara.
"Kurang ajar lo ya berani ngejawab gue!" Sena bersiap melayangkan batang besi tersebut tepat ke atas tubuhnya.
"Bentar, Cuy! Sabar...mau main pukul aja! Kasih kesempatan gue dong! Tolong berdiriin gue dulu." Ara dengan santainya menghentikan Sena yang akan memulai aksinya.
"Apa?" Sena terperangah, tidak mengerti maksud gadis tersebut.
"Udah Sen, langsung bunuh aja! Enggak usah ngulur-ngulur waktu!" Tasya setengah berteriak.
"Woy, elo pada kalo mau bunuh orang juga pake adab dong! Kasih gue posisi yang bagus 'kek. Kasih gue permohonan terakhir 'kek." Ara kembali berbicara. Logatnya sedikit berbeda.
"Dia kenapa sih jadi aneh gitu?" Devi pun turut dibingungkan mendengar Ara yang dari tadi berceloteh dengan tenangnya. Berbeda dengan Ara yang sebelumnya.
"Oke, sebelum lo mati, gue mau kasih hadiah buat lo. Lo boleh punya satu permintaan." Sena meringis cengengesan.
"Beneran nih? Asyiiik...terima kasih, Pak Bos!" Ara bersorak kegirangan.
Empat sekawan itu memandangnya dengan terpaku, sikapnya semakin aneh.
"Sen, jangan-jangan jadi gila tuh dia!" Tasya berprasangka.
"Bisa jadi sih. Malah lebih bagus kalo dia jadi gila!" Rafi ikut menimpali lalu terkekeh.
"Yassalaaam...gue dikata orang gila! Tega banget teman-teman lo, Pak Bos!"
"Buruan cepat! Bilang apa mau lo sebelum lo meregang nyawa?"
"Tolong lepasin ikatan kaki gue!"
Ara pun mengucapkan permintaannya.
"Hah?"
"Lo dengar 'kan? Permintaan terakhir gue, tolong lepasin ikatan kaki gue."
"Enggak bisa! Lo mau kabur 'kan? Jangan pikir gue bodoh!" Sena membentaknya.
"Ckckck...emang bodoh kali, Pak Bos. Lihat dong, tangan gue masih terikat di belakang begini. Gimana caranya gue buka pintu buat kabur? Lo lihat sendiri 'kan itu pintu tertutup?" Ara menjelaskan situasinya.
"Terus buat apa lo minta dilepasin ikatan kaki?" Sena kembali menghardiknya. Sepertinya sudah habis kesabarannya.
"Buat berdirilaaah. Setidaknya posisi gue lebih terhormat saat mati." Ocehan-ocehan Ara terdengar aneh bagi mereka berempat. Seperti bukan Ara yang sedang berbicara.
Sena pun menimbang-nimbang. Benar juga sih yang dikatakan Ara, dia tidak mungkin kabur. Toh tangannya terikat di belakang, pintu-pintu semua tertutup, pintu depan pun terkunci. Cewek itu juga bukan ahli meloloskan diri seperti para magician. Dulu saja tanpa perlu diikat, ia tidak bisa kabur dari dalam kamar mandi.
"Oke, gue kabulin permintaan lo! Jangan macam-macam." Sena mengancamnya.
"Dev, tuh lo lepasin kakinya." Sena menginstruksikan pada Devi yang berdiri tak jauh dari letak kaki Ara. Devi pun melaksanakan perintah sahabatnya itu.
"Akhirnya terlepas jugaaa..." Ara tersenyum riang.
"Bang, tolong bantuin berdiri dong!"
Ara menyerunya.
Sena yang sedang dilanda kebingungan ini pun akhirnya membantu Ara untuk bangkit berdiri dengan susah payah.
Ara tersenyum lebar. Sakit yang mendera tubuhnya tidak terasa.
"Makasih ya, Bos."
"Sekarang lo udah siap mati 'kan?" Sena terkekeh. Diambilnya pisau stainless steel yang tergeletak di atas meja dalam ruangan bekas bengkel tersebut.
"Bos, sebelumnya maaf-maaf nih! Saya mau kenalan dulu boleh?"
"Hah? Lo jangan gila ya!" Sena kembali meradang, ia semakin tidak mengerti permainan Ara.
Ara tertawa keras, tawanya membahana seisi ruangan.
"Gue enggak gila, Booosss! Kita memang belum kenalan. Nama gue...Jaiyana! Gue, atlet karate pemilik sabuk hitam Dan 10."
***
Reno dan Sitta bergegas berlari menuju rumah usang bekas bengkel yang telah lama dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya. Diikuti oleh ketua RT pemukiman itu, dan disertai oleh beberapa orang aparat kepolisian.
Seorang aparat menggedor-gedor pintu depan, namun tidak ada jawaban. Akhirnya sang aparat mendobrak paksa pintu itu. Mereka pun bergegas memasuki rumah tua itu, menggeledah setiap ruangan yang ada.
Terdengar suara-suara teriakan dari ruangan paling belakang rumah itu. Mereka semua pun menuju kesana. Ada pintu kayu menuju sebuah tempat seperti gudang di sudut paling belakang rumah yang memanjang itu.
Seorang aparat membuka pintu tersebut.
"Jangan bergerak!" Seorang polisi menodongkan senjata di tangannya.
Namun pemandangan yang tersaji, mencengangkan mereka semua. Sena dan Rafi tengah tersungkur di lantai. Wajah mereka babak belur, bahkan Rafi sedang meringis kesakitan.
Sedangkan Ara disana berdiri menampilkan seringai senyumnya yang menakutkan, dengan kedua tangannya membekuk Tasya dan Devi yang bernapas terengah-engah seperti kehabisan tenaga.
"Pak, tangkap mereka semua! Mereka orang jahatnya. Saya korbannya!" Ara menyapa salah seorang aparat.
Bagi mereka semua yang terlihat justru kebalikannya, Ara sang pelaku, empat sekawan tersebut adalah korbannya. Namun Reno mengangguk membenarkan kepada sang pimpinan.
Aparat yang ditegurnya segera mendekat dan memborgol Tasya dan juga Devi.
Sena mengambil kesempatan. Dengan segenap sisa tenaga yang ia miliki, ia bangkit lalu berlari dengan kakinya yang pincang menuju pintu keluar di seberang ruangan.
"Jangan lari!" Seorang polisi mengingatkan namun diabaikannya. Ia tetap berusaha kabur.
Dor! "Aaaarrrggghhh!" Sena jatuh tersungkur. Satu timah panas bersarang di antara tulang kering kakinya.
Sang polisi yang menembak pun segera membekuknya.
"Brengseeeekkkkk!" Sena berteriak kencang.
Para aparat segera mengamankan lokasi kejadian. Pak RT yang menjadi saksi pun turut ikut ke kantor polisi untuk memberikan beberapa keterangan dan pernyataan. Sitta merangkul Ara, berniat memapahnya untuk berjalan menuju ambulans yang telah menunggu di luar rumah, namun bantuan tersebut ditolaknya.
Reno mencoba mengerti alasan Ara, ia pun memberikan isyarat pada Sitta untuk menuruti penolakan Ara. Sitta pun menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Ara.
Sedangkan Ara kini beralih menatap Reno dengan tajam.
"Jadi lo yang namanya Reno."
Ara segera mengulurkan jabatan tangan pada Reno. Reno tidak menerima uluran tangan itu. Ia justru membelalak kaget. Karena selama ini dia belum pernah sama sekali bersentuhan fisik dengan Ara ataupun saat berganti kepribadian menjadi Zura.
Ara menurunkan uluran tangannya yang tak berbalas. Ia membetulkan jilbab instan yang tadi sudah kembali dikenakannya sebelum menghajar para empat sekawan.
"Kenalin, gue Jaiyana, atlet karate!"
Sitta dan Reno saling melayangkan tatapan bingung.
"Ja...Jaiyana? Kamu...bukan Ara?" Reno tengah menampik keraguannya.
"Nama gue Jaiyana. Ara dan Zura yang memanggil gue. Mereka membutuhkan pertolongan gue."
"Brengseeeekk! Tunggu pembalasan gue!" Sena berteriak dari kejauhan, sebelum tubuhnya didorong masuk ke dalam mobil polisi.
Tiba-tiba saja Jaiyana merasakan kepalanya pusing, telinganya berdenging kencang, badannya gemetar. Sontak tubuhnya ambruk ke lantai. Ia hilang kesadaran.
----
"Bagaimana kondisinya, Mas?" Reno terduduk di sofa ruang rawat inap rumah sakit.
"Belum ada perkembangan, Ren. Saya bingung harus bagaimana." Digo menyandarkan tubuhnya di sofa. Ia menghela napas kasar.
"Kita harus banyak-banyak berdo'a untuk kebaikan Ara, Mas." Reno pun turut menyandarkan tubuhnya sembari memejamkan matanya. Setidaknya penatnya dapat sedikit berkurang.
Sudah satu setengah hari sejak kehilangan kesadaran, Ara masih belum juga siuman.
Digo dan Reno mengira masalah sudah selesai. Ternyata muncul masalah baru. Ara memiliki alter-ego lainnya bernama Jaiyana. Mereka telah berkonsultasi dengan Dokter Lisa. Dan mereka semua menunggu Ara terbangun dari tidurnya untuk mencari tahu lebih banyak lagi.
"Reno..." Digo memanggil Reno yang tengah terpejam. Reno pun sedikit membuka matanya.
"Terima kasih banyak untuk semua bantuanmu. Saya harap...kejadian ini tidak mengurungkan niatmu untuk menjadikan Ara calon istri." Digo menepuk bahu Reno. Tak disadarinya setetes air matanya mengalir di pipinya. Reno membalasnya dengan tersenyum.
"Tentu saja tidak, Mas. Niat saya masih sama seperti sebelumnya."
----
"Zuraaa! Zuraaa! Kamu dimana?" Ara berdiri di tengah kegelapan sendirian, ia merasakan ketakutan yang luar biasa, hawa dingin pun dirasakan sekujur tubuhnya.
"Zuraaa! Kamu di mana? Aku takuuut!" Ia kembali berteriak.
Tak lama ada seberkas cahaya muncul dari arah depan. Terlihat sebuah siluet ikut berjalan mengiringi cahaya itu. Tidak, bukan sebuah siluet, tapi dua siluet. Siluet tersebut seperti membelah diri.
Perlahan siluet itu mulai terlihat jelas di hadapannya. Ia melihat dua orang kembarannya. Zura, dan satu lagi, seseorang yang sebelumnya membantunya dan Zura, ia yang bernama Jaiyana.
"Zura, kamu dari mana? Aku sendirian dari tadi. Dan kamu? Kamu yang bernama Jaiyana?"
"Iya Ara, dia yang bernama Jaiyana, yang sebelumnya ku ceritakan. Dia yang selalu membantu kita waktu ujian kenaikan sabuk karate." Zura menjelaskan pada Ara. Sementara Jaiyana tersenyum ramah pada Ara.
Memang benar kata Zura, Jaiyana-lah yang membantu mereka jika sedang mengikuti gashuku dan ujian kenaikan sabuk. Pasca insiden tujuh tahun lalu, Digo memang menyuruh Ara untuk belajar bela-diri. Ia pun mendaftar menjadi anggota sebuah Dojo karate di Bandung. Yang tidak Ara dan Zura sadari adalah sosok Jaiyana sering muncul ketika sedang mempelajari ilmu bela-diri tersebut. Bahkan sang mahaguru memuji kemampuannya.
"Ara, kita berdua ada karena lo. Lo yang membuat kita ada, Ara." Kini Jaiyana yang bersuara.
"Maksud kamu?" Ara mengernyitkan dahinya.
"Jaiyana benar, Ara. Kita berdua adalah sosok ciptaan kamu. Karena kamu terlalu takut menghadapi dunia, Ara. Bagi kamu, dunia terlalu kejam untuk kamu hadapi sendirian. Kamu selalu merasa ketakutan, Ara. Dan ketakutanmu terlalu berlebihan. Bahkan...kamu kesepian." Zura memandangnya lembut.
"Jadi...maksud kalian..." Ara tertunduk sedih.
Dirasanya pikirannya mengelana secara otomatis ke suatu waktu di masa lalunya.
Zura
Saat berumur delapan tahun, Ara berlibur bersama keluarganya ke Malang. Saat itu mereka berwisata ke pantai Tiga Warna di Sendang Biru. Di pantai, Ara bergandengan tangan dengan Mama-nya berjalan menyelusuri pantai. Sementara kakak - kakaknya asyik bermain bola pantai dengan sang Papa.
Mereka berdua menikmati suara deburan ombak, angin laut yang sejuk bertiup, dengan disuguhi birunya langit yang jernih. Saat itu, sang Mama menanyakan padanya apakah Ara mengetahui arti nama Azura dari nama depannya? Ara menggelengkan kepalanya.
Mamanya bercerita saat tengah mengandung dirinya, sang Mama sempat pergi berlibur ke Bali hanya berdua dengan sang Papa. Di liburan itu mereka kerap kali berjalan-jalan menyusuri pantai. Suatu pagi menjelang siang, sang Mama terbaring di atas pasir, dengan kepala tertidur di atas pangkuan sang Papa. Mama-nya pun menatap langit biru yang terbentang luas di hadapannya. Ia merasakan kedamaian, hatinya tenang, segala beban pikirannya terurai. Lalu Mama-nya berkata pada Papa-nya, bagaimana jika memberi nama anak yang ketiga dengan nama warna biru langit? Lalu mereka pun menemukan nama Azura.
Setelah mendengar cerita Mama-nya Ara justru protes, kenapa dia tidak dipanggil Zura saja? Rasanya panggilan Zura lebih indah daripada Ara, dan lebih terkesan sebagai nama perempuan. Lalu Mama-nya mengatakan jika saat masih batita, Ara yang kesulitan menyebut 'Zura' sehingga mereka mengganti dengan panggilan yang lebih mudah yaitu Ara. Dan mereka pun mulai terbiasa dengan panggilan itu.
Namun dalam relung hatinya yang paling dalam, Ara masih menyimpan asa itu. Ia ingin dipanggil dengan nama Zura.
Jaiyana
Hari itu Ara yang tengah menjadi Zura akan menghadapi tes kenaikan sabuk di Dojo-nya. Menurut mahaguru-nya yang dipanggilnya Shihan, kemampuan Ara dalam bela-diri karate masih terbilang lemah, ia sudah dua kali mengalami kegagalan dalam menghadapi tes ini.
Zura sedang menunggu giliran namanya dipanggil. Jantungnya berdebar cemas, rasanya tidak mungkin jika ia gagal untuk ketiga kalinya, entah bagaimana menanggung malu di hadapan anak-anak SMA yang sudah memiliki tingkatan lebih tinggi di banding dirinya.
Di dalam pikirannya ia menggantungkan sebuah harapan. Andai saja ia seorang ahli karate yang memiliki kekuatan setingkat dengan mahaguru-nya yang sudah mencapai Dan X. Andai saja ia memiliki fisik dan mental yang kuat. Angan itu menggebu-gebu di dalam dirinya. Lalu sesaat potongan dari memori Ara saat kecil terlintas di pikirannya. Ara sangat mengagumi guru agamanya saat SD yang bernama Jaiyana. Ara dekat dengan gurunya itu, gurunya pernah memberitahukan padanya bahwa arti namanya adalah kekuatan dalam bahasa arab.
Sekarang Ara mengingat segalanya. Ia tahu siapa itu Zura, dan siapa itu Jaiyana. Mereka adalah pengharapan Ara.
"Sekarang kamu sudah mengerti 'kan siapa kami?" Zura menanyakan padanya. Ara mengangguk lemah.
"Kalian...akan pergi?" Ara terlihat sedih.
"Kami tidak pernah pergi, Ara. Kami adalah bagian dari kamu. Dan kami selalu bersama kamu. Kami ada untuk menyelesaikan masalahmu."
"Zura benar, Ara. Kami selalu ada untuk lo. Dan sekarang saatnya lo menghadapi dunia. No more hiding, Ara! Lo harus berani!"
"Jaiyana benar, Ara. Kamu harus kuat dan berani. Ini saatnya Ara. Ini saatnya."
"Ara, lo harus kuat!"
"Beranikan dirimu, Ara!"
"Ara..."
"Ara..."
Perlahan Ara membuka matanya. Ia merasa sangat lemah, kepalanya terasa berat. Ara menoleh ke samping kanan perlahan, wajah teduh kakaknya sedang bertengger di sana. Digo tersenyum lega, matanya meneteskan bulir-bulir air mata.
"Mas...?" Ara memperhatikan ruangan di sekelilingnya, lagi-lagi ia berada di tempat ini. Lagi-lagi ia melihat kantong infus yang terhubung dengan selang kecil di tangannya.
Ia merasakan nyeri di sekujur badannya, bahkan ngilu merasuk hingga ke tulang-belulangnya.
"Alhamdulillah. Sebentar ya, aku panggil suster dulu." Digo berlari ke luar ruangan.
Sekilas Ara tersenyum kecil.
"Terima kasih untuk segalanya, Zura dan Jaiyana."
"Good bye, Zura."
"Good bye, Jaiyana."
****
TBC