"Ra, sudah siap semuanya?" Digo bertanya pada Ara yang masih sibuk mengingat-ingat jika ada barang-barangnya yang terlupa dikemas ke dalam koper.
"Sepertinya sudah semua sih, Mas. Gampanglah, nanti kalau ada yang ketinggalan, dipaketin aja." Ara memikul tas ranselnya. Tangan kirinya menenteng tote-bag berukuran besar. Kedua koper besarnya telah diseret keluar oleh Digo.
"Beib, gue masih sedih nih." Sherin menghapus sisa-sisa air mata di pipinya. Padahal sejak tadi malam ia sudah menghabiskan waktu semalaman untuk obrolan antar sahabat sebelum berpisah. Tapi, tetap saja Sherin masih merasa berat harus berpisah dengan sahabatnya itu.
"Ya ampun, Sher jangan begini dong. Ntar gue tambah berat nih pisah sama lo." Ara kembali mendekap erat sahabatnya itu.
Rencananya siang ini Ara akan terbang ke Bali, tepat seminggu setelah ia bertemu dengan Faisal. Kebetulan anak dari pemilik perusahaan PT. Tractor Raya merupakan sahabat Faisal di bangku SD hingga SMP. Sahabatnya itu memang sebelumnya sedang mencari orang yang tepat untuk mengisi lowongan pekerjaan di bagian purchasing. Dan Faisal merekomendasikan Ara pada sahabat masa kecilnya itu.
"I'm gonna miss you sooo, beibh!" Sherin masih enggan melepas kepergian Ara.
"Me too, darling! Iihhh udah sih, jangan cengeng gini! Malu tuh sama Mas Digo." Ara melirik ke arah kakaknya yang sedang sabar menunggu di depan pintu.
Sherin yang menyadari omongan Ara, langsung cepat-cepat membersihkan wajahnya yang sembab.
"Ehm...sudah siap?" Digo yang sedang bersedekap dengan badan bersandar di dinding menatap dengan tak sabar.
"Iya, udah! Yuk, Sher!" Ara menggandeng tangan Sherin keluar dari apartemen.
Mereka pun berjalan beriringan masuk ke lift hingga tiba di pelataran parkir lantai basement.
Sebelum masuk ke mobil, Sherin kembali menanyakan sesuatu yang sejak kemarin ditahannya.
"Ra..."
"Hmmm?"
"Lo yakin enggak mau ngabarin Mas Reno? Udah seminggu lho kalian enggak komunikasi. Eh...lbh tepatnya, lo yang memutuskan komunikasi."
"Sher, gue..." Ara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Gue butuh waktu untuk jauh dari dia. Kalau ada dia, gue enggak bisa fokus sama hidup gue. Gue belum yakin sama perasaan gue, dan gue belum yakin dengan perasaan dia. Lagian, masih banyak hal yang harus gue kejar."
"Tapi 'kan enggak harus sampai ganti nomor handphone juga, Ra. Kasian sepupu gue itu! Apalagi lo melarang gue buat ngasitau soal kepergian lo ke Bali. Kalau dia nanya, gue bingung harus jawab apa."
"Sherin benar tuh! Harusnya kamu coba bicara dulu sama Reno." Digo ikut menimpali.
"Mas, Ara 'kan sudah cerita semuanya ke Mas Digo. Ara butuh menjauh dari dia, Mas. Jadi...tolong Mas Digo juga rahasiakan ini dari Kak Reno ya." Ara memelas permohonan pada kakaknya.
Digo hanya mengangkat bahunya. Ia sendiri pun tidak bisa menjamin jika suatu hari ia tidak keceplosan bicara. Ia sendiri hanya bisa pasrah mendengar permintaan adiknya itu. Di satu sisi, ia mengerti alasan Ara melakukan semua ini. Di sisi lain, ia juga tidak ingin adiknya itu terkesan melarikan diri dari masalah yang seharusnya dihadapinya.
Ara memang sengaja merahasiakan keberangkatannya ke luar pulau ini dari Reno. Bahkan ia mengganti nomor ponselnya, sengaja agar Reno tidak dapat lagi menghubunginya. Bukan ia mau memutus tali silaturahmi, hanya saja ia benar-benar membutuhkan waktu untuk fokus dengan masa depannya. Dekat-dekat dengan pria itu hanya akan membuatnya kehilangan arah.
Digo segera masuk ke mobil lalu menyalakan mesinnya. Ara ingin menyusul namun lagi-lagi ditahan oleh sahabatnya.
"Ra, gue boleh nanya sesuatu enggak? Sebenarnya sudah lama gue ingin menanyakan, tapi gue tahan. Tapi sekarang, gue merasa harus bertanya sama lo. Dan gue pingin lo jawab dengan sejujur-jujurnya!"
"Tanya apa?" Ara mengernyitkan dahinya.
"Lo...sebenarnya lo cinta 'kan sama Mas Reno?" Sherin menatapnya dalam. Ia butuh kepastian dari sahabatnya itu.
"Lo kenapa sih ngebahas masalah itu lagi?" Ara merasa terganggu dengan pertanyaan sahabatnya.
"Ra, tatap mata gue! Jawab pertanyaan gue dengan jujur!" Sherin menatapnya tajam, pandangannya mencari jawaban.
Ara pun memberanikan diri menatap lurus ke manik mata sahabatnya itu. Kali ini tidak ada yang ingin ia sembunyikan dari Sherin.
"Iya, gue cinta sama Kak Reno!" Akhirnya kata-kata itu tercetus dari bibirnya.
"Gue cinta sama dia, Sher! Gue terlalu cinta, sampai-sampai gue merasakan sakit yang teramat dalam saat melihat dia dengan Mbak Vi, saat melihat dia dengan Sitta." Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Perasaan yang selama ini dipendamnya, akhirnya bisa ia tumpahkan pada sahabatnya itu.
"Mungkin...ini yang namanya cemburu. Dan gue takut cemburu ini menjadi berlebihan. Gue...gue takut cuma gue aja yang merasakan seperti ini. Gue takut...Kak Reno masih menyimpan rasa cinta untuk Mbak Vi, atau bahkan untuk Mbak Sitta. Gue enggak tahu! Gue cuma takut...ini semua cuma permainan dia aja. Gue takut kecewa, Sher...gue takut!" Kini kedua pipi Ara tengah berlinang air mata. Ada sedikit perasaan lega karena sudah berhasil menumpahkan sebagian emosinya.
Sontak Sherin memeluk erat sahabatnya itu. Ia tak peduli jika pun hijabnya dibasahi oleh air mata Ara. Ia hanya ingin menenangkan perasaan sahabatnya.
"Ra, gue kenal Mas Reno hampir seumur hidup gue. Gue tahu banget dia itu tipe orang yang enggak suka mempermainkan perasaan orang lain. Dia benar-benar cinta sama lo, Ra. Lo harus percaya omongan gue." Sherin berusaha meyakinkan Ara. Ia juga tak ingin Ara terlalu resah dengan perasaannya sendiri.
"Gue percaya sama lo, Sher. Gue cuma belum yakin dengan diri gue sendiri. Time will tell, Sher! Kalau memang dia jodoh gue, bagaimanapun caranya, kita berdua pasti akan bertemu. Gue percaya Allah sudah menetapkan takdir-Nya untuk kita semua."
Sherin menghela napasnya. Ia menganggukkan kepalanya, berusaha memahami jalan pikiran Ara. Dia benar, semua ketetapan hidup manusia telah tertulis di lauh mahfuzh. Tugas manusia hanyalah berdo'a, ikhtiar dan tawakkal, yakinlah apa yang menjadi ketetapan-Nya, itulah yang terbaik untuk hamba-Nya.
Sherin melepaskan pelukannya. Ara pun masuk ke dalam mobil. Ia ikhlas melepas kepergian Ara. Yang menjadi pikirannya sekarang, ada amanah dari Ara yang harus dijalankan. Ia tidak boleh memberitahukan pada Reno di mana keberadaan Ara setelah ini. Ara sendiripun tidak mengetahui jika saat ini Reno sedang berada di Bali untuk menghadiri seminar pengusaha kuliner.
Jika memang takdir berniat mempertemukan mereka, maka bagaimana pun caranya mereka pasti akan bertemu.
***
Reno dan Reihan sedang melakukan proses check-in di bandara Ngurah Rai. Ia akan terbang kembali ke Jakarta, setelah tiga hari berada di Bali mengikuti seminar bersama Reihan.
Sekilas Reno melihat sosok perempuan yang menyerupai Ara sedang mengikuti langkah seorang porter yang mendorong trolley berisi koper-koper. Perempuan itu mengenakan kacamata hitam, sehingga seluruh wajahnya tidak terlihat dengan jelas.
"Ren, mampir ke cafe situ dulu yuk. Haus nih!" Reihan mengajaknya ke tempat yang ditunjuknya. Reno pun mengikutinya dari belakang. Namun tatapannya tetap mengikuti kemana sosok itu berjalan.
"Rei, lo duluan ya. Nanti gue menyusul!" Reno menepuk sahabatnya lalu berlari. Ia berusaha mengejar sosok itu.
Pandangannya kehilangan sosok itu. Ia berlari menapaki arah yang tadi dilewati sosok itu. Akhirnya ia menemukan sosok itu di luar bandara, seperti sedang menunggu seseorang. Cepat-cepat ia mengejarnya lalu memanggil namanya.
"Ara?"
Sosok itu berbalik lalu membuka kacamata hitamnya. Perempuan itu menoleh pada Reno.
"Maaf, saya salah orang." Reno cepat-cepat memohon maaf lalu undur diri.
Reno menghela napasnya kecewa. Merutuki dirinya yang bodoh. Tentu saja perempuan itu bukan Ara. Mana mungkin ia bertemu dengan Ara di Bali. Ia pun berjalan menuju cafe yang tadi ditunjuk oleh Reihan. Sepertinya ia juga membutuhkan kopi untuk menjernihkan pikirannya. Ia berjalan melewati toilet, tak menyadari berpapasan dengan seorang perempuan berhijab biru muda yang berjalan ke arah berlawanan dengannya.
Perempuan itu berjalan ke arah pintu keluar bandara untuk menyusul seorang wanita muda lain yang telah menunggunya, wanita yang tadi sempat ditegur oleh Reno.
"Maaf kelamaan menunggu, Mbak Salsa. Tadi antrian di toilet lumayan panjang." Ara tersenyum pada wanita yang bernama Salsa itu. Salsa menenggerkan kacamata hitamnya di pucuk kepalanya yang ditutupi oleh hijab.
"Iya, enggak apa-apa." Ia tersenyum memaklumi.
"Oh iya, Ra...masa tadi ada cowok ganteng yang manggil saya dengan nama kamu. Pas aku buka kacamata, baru dia minta maaf. Katanya salah orang." Salsa menceritakan pengalaman anehnya tadi.
"Cowok ganteng? Siapa, Mbak?" Ara mengernyitkan dahinya penasaran.
Salsa pun mengangkat kedua bahunya menandakan ia tak mengenal pria tersebut.
"Pokoknya ganteng deh! Padahal tadi pingin tuh aku ajak kenalan. Sayang orangnya langsung ngeloyor pergi." Salsa memasang mimik kecewa.
Ara pun tertawa mendengar pengakuan teman barunya itu. Salsa juga merupakan karyawan baru di kantor cabang perusahaannya di Bali. Sebelumnya Salsa sudah bekerja selama dua tahun di perusahaan cabang Jakarta, lalu dipindahkan ke Bali karena permintaan dari cabang di Denpasar. Dan mereka pun terbang dalam satu pesawat dari Jakarta.
"Mungkin yang dimaksud Ara yang lain kali, Mbak. Saya enggak punya kenalan di Bali. Lagian nama Ara 'kan lumayan pasaran." Ara menyeringai lebar.
"Iya kali ya." Salsa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Oh iya, mobil jemputannya sudah datang, Mbak?" Ara melirik jam tangannya. Ia lupa memajukan waktu di jam tangannya. Lalu ia menyetel jam tangannya untuk dimajukan satu jam lebih cepat.
"Sebentar lagi sampai katanya. Eh, Ra kita makan dulu yuk. Laper nih!" Salsa mengusap-usap perutnya yang sedang keroncongan.
"Makan di mana, Mbak? Nyari yang halal dekat-dekat sini selain fast-food di mana ya?"
Salsa tampak berpikir sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat pusat kuliner jajahannya saat berwisata ke Bali bersama teman-teman kampusnya empat tahun yang lalu.
"Hmmm...oh iya, aku ingat. Ada warung besar semacam warteg gitu, macam lauknya banyak, dan sudah pasti halal. Namanya Warung Nikmat. Ada di Bakung Sari, dekat-dekat Kubu Anyar gitu kalau tidak salah." Salsa menjelaskan dengan detail.
"Duh Mbak, enggak usah ngomongin nama jalan di sini sama saya. Saya enggak bakalan ngerti. Ini pertama kalinya saya ke Bali, lho. Saya ngikut aja deh, yang penting halal."
Tak lama mobil jemputan dari kantor pun tiba. Mereka segera memasukkan bawaan ke bagasi mobil. Setelah menaiki mobil, mereka minta diantarkan ke Warung Nikmat pada sang supir kantor.
Sementara Reno dan Reihan masih menunggu panggilan masuk ke dalam pesawat di ruang tunggu.
Sudah seminggu ini ia mencoba menghubungi ponsel Ara namun selalu jawabannya tidak aktif. Ia telah menghubungi Sherin dan Digo, namun mereka seperti mengelak memberitahukan kabar Ara.
Kegelisahan Reno pun turut dirasakan oleh Reihan. Sungguh malang sahabatnya itu karena dibuat galau oleh cinta.
"Sabar, Bro! Bentar lagi 'kan sampai di Jakarta. Lo bisa langsung nyamperin apartemennya, cari tahu langsung keberadaannya." Reihan merangkul pundak sahabatnya itu.
"Setelah kejadian di parkiran itu, gue sudah beberapa kali coba menemui Ara. Tapi selalu saja dia tidak bersedia ditemui. Kakaknya juga melarang gue, meminta gue menghargai permintaan adiknya. Telepon gue juga enggak diangkat, Rei."
"Ckckck...enggak nyangka gue nasib lo bisa gini-gini amat karena cinta. Sing sabar ya, Bro!" Reihan menepuk-nepuk pundaknya sembari terkekeh.
"Lo ngeledek gue, Rei?" Reno menatap sahabatnya itu datar.
"Iyalah, ngeledek lo itu bagai asupan makanan bergizi buat gue."
"Sya'ul lo!" Reno berpura-pura akan menonjok sahabatnya.
"Weiitttsss...sabar, Bro! Gue masih jomblo nih!"
"EGP!"
"Eh, Ren gue baru ingat. Lo 'kan pernah cerita si Faisal itu dosennya Ara. Coba aja minta bantuan dia."
"Wah, cerdas lo! Gue baru ingat nih obrolan Mas Digo sama Ara soal tawaran si Ical. Gue lupa mau nanyain soal itu sama dia."
Reno langsung membuka layar ponselnya, mengetik pesan yang ditujukan untuk Faisal.
***
"Apa, Cal? Lo ngasih Ara lowongan kerja? Dimana?" Reno mendesak sepupunya itu.
"Sorry, Bro! Kalau soal lokasinya, gue enggak bisa bilang. Ini permintaan Ara ke gue. Dia enggak mau lo tahu soal keberadaannya." Faisal menepuk pundak Reno yang duduk di sampingnya.
Reno tertunduk, memijat pelipisnya yang tidak pening itu. Sungguh ia tidak mengerti kenapa Ara menjauh darinya, bahkan terkesan menghindarinya. Tidak memberikan sama sekali kesempatan kepada Reno bahkan hanya untuk berkomunikasi via telepon.
"Bro, give her some space! Mungkin dia butuh waktu sendiri untuk memulai hidupnya. Lo sendiri tahu 'kan sudah cukup lama dia terpenjara oleh kepribadian lainnya. Menyimpan deritanya sendirian. Biarkan dia menikmati hidupnya dulu, mencari jati dirinya. Dan lo, juga fokus dengan hidup lo." Faisal menuturkan nasehatnya.
Reno ingin mengelak apa yang dikatakan Faisal. Tapi ia tak memiliki alasan untuk itu. Apa yang dikatakan sepupunya itu benar adanya. Meski berat baginya, tetap saja Reno harus belajar menahan gejolak emosinya.
"Iya, Cal...lo benar! Gue harus menghargai privacy-nya. Thanks ya, Bro! Terima kasih juga lo sudah membantu Ara selama ini." Giliran Reno yang balas menepuk bahu Faisal.
Faisal pun tersenyum penuh kelegaan melihat sepupunya itu sudah tenang. Setelah sebelumnya Reno datang ke rumahnya dengan wajah penuh amarah.
"Ehm, Ren...lo tahu kabarnya Sherina sekarang? Dia sudah mendapat pekerjaan?" Faisal bertanya dengan gugup.
"Sherina? Maksud lo Sherin?" Reno mengerutkan dahinya.
"Iya, Sherin yang anaknya Om Danu. Gue lebih suka manggil dia Sherina. Mirip nama artis. Wajahnya juga mirip-mirip." Faisal mengulum senyum.
"Hah? Wah...wah...wah, jangan bilang lo naksir Sherin ya?" Reno terkejut dengan prasangkanya sendiri.
"Hmmm...enggak tahu juga sih. Yang jelas gue kagum sama dia sejak kecil. Kalau ketemu, pasti melihat dia sedang beramal baik. Dulu waktu acara ulang tahun Pakde, gue lihat dia lagi ngasih makan kucing yang terlunta-lunta di depan rumah lo. Terus waktu ketemu di acara resepsi Mas Prabu, gue lihat dia menolong anak kecil yang merengek minta es krim. Di kampus pun gue sering melihat dia menolong teman-temannya, terutama Ara. Mungkin gue kagum dengan kebaikannya." Reno mendengarkan curhatan Faisal dengan seksama.
"Kenapa lo enggak coba dekatin dia?" Reno menatap sepupunya itu serius.
"Pedekate? Buat apa? Ngajak pacaran? You know i'm not that kind of guy! Umur gue sudah bukan umur main-main lagi!" Faisal semakin memicingkan matanya.
"Bukan begitu maksud gue, Bro! Hmmm...pendekatan yang gue maksud itu...hmmm...Nah, kalau dalam islam namanya ta'aruf 'kan?" Reno tampak berpikir.
"Lo sendiri kenapa enggak ta'aruf sama Ara?" Faisal balik bertanya.
"Gimana mau ta'aruf? Dia-nya aja menghindar melulu dari gue. Gue sudah berkali-kali bilang mau melamar dia, tapi enggak pernah direspon. Atau malah dijutekin."
"Hmmm...lo cuma bilang mau melamar? Tapi lo belum pernah benar-benar melamar 'kan, Bro? Terus, apa lo sudah pernah menyatakan perasaan ke Ara? Pernah enggak?" Gantian giliran Faisal yang menatapnya dengan serius.
Reno terdiam sejenak, ia memutar memorinya. Memang seingatnya, Reno belum pernah sama sekali menyatakan bagaimana perasaannya yang sebenarnya kepada Ara. Reno hanya sering menggodanya saja.
"Sepertinya memang belum pernah. Tapi 'kan gue sudah menyatakan mau melamar dia, bahkan gue sering menyebutnya calon istri. Memangnya itu masih kurang untuk menunjukkan keseriusan gue?"
Faisal menepuk dahinya setelah mendengar argumen Reno.
"Pantes saja Ara kesal sama lo! Kalau gue jadi dia, mungkin gue sudah jambak-jambakkin rambut lo sampai botak!" Faisal menoyor Reno pelan.
"Lho, memangnya apa salah gue?" Reno melebarkan matanya.
"Apa salah lo?? Brooo, yang namanya cewek butuh yang namanya kepastian. Kalau cuma sekedar ngomong 'mau melamar' atau nyebut 'calon istri' ke cewek mana saja juga bisa. Langsung lamar! Lamar Ara di depan Indi, kakaknya! Bilang kalau lo cinta sama dia karena Allah! Yakin seratus persen langsung halalan thoyyiban!" Faisal mengoarkan opininya dengan semangat.
"Tapi 'kan gue juga butuh kepastian dari dia, Cal. Ara enggak pernah mau menunjukkan perasaannya ke gue. Kalau ujug-ujug aye ditolak? Begimane nasib aye, bang?"
"Bro, be gentleman dong! Kayak Salman Al-Farisi, Umar bin Khattab, Zubair bin Awwam. Mereka semua, pria yang tingkat kesolehannya tidak diragukan lagi, pernah ditolak lamarannya, Bro! Nah elo, yang ibadah masih ala kadarnya, malu ditolak?"
Jleb! Sepupunya ini, memang kalau sudah berargumen, bisa bikin orang lain terjerembab malu.
"Nge-jleb amat sih, Cal! Bukan malu...tapi..."
"Tapi enggak mau ditolak? Jangan maksa! Perasaan itu enggak bisa dipaksa, Ren! Lo aja enggak mau 'kan dipaksa menikahi si-siapa tuh namanya? Ck...yang suka lo bilang 'dedemit'? Siti ya? Oooh...baru ingat gue, Sitta!"
"Enggak usah bahas itu lagi, Cal! Lagian orangnya sudah taubatan nasuha! Eh..bentar, tadi 'kan lagi ngomongin masalah lo suka sama Sherin. Kok jadi balik lagi ke cerita gue? Wah...pinter lo membalikkan omongan!"
Faisal terbahak-bahak melihat sepupunya yang baru sadar akan arah pembicaraan yang berbelok.
***
Ara baru saja menempati kamar kos barunya yang berlokasi dekat dengan pasar Badung di Denpasar. Ia pun sudah berkenalan dengan tetangga-tetangga kamar kosnya. Kebanyakan dari mereka karyawan dan mahasiswi asal kabupaten lain. Ada yang berasal dari Gianyar, Tabanan, Singaraja, dan Negara. Dan Ara bersyukur karena tetangga sebelahnya adalah seorang muslimah seperti dirinya asal Jember.
Kamar Ara terletak di lantai dua, sedangkan Salsa menempati kamar kos di lantai satu. Rumah kos yang mereka tempati ini merupakan hasil pencarian salah satu karyawan di Denpasar, alasannya karena tidak terlalu jauh dengan kantor mereka jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Maklum saja, di kota itu sebagian besar masyarakatnya menggunakan motor sebagai moda transportasi. Tidak ada yang namanya angkutan umum, kecuali ojek atau taksi online.
"Ara, gimana kamarnya?" Salsa nongol tepat di depan pintu kamarnya yang memang masih terbuka. Ara baru saja selesai membersihkan dan menata kamarnya.
"Masuk, Mbak Salsa! Lumayanlah, Mbak! Mau kamarnya kayak apa juga, saya senang-senang aja. Soalnya baru kali ini saya merasakan yang namanya jadi anak kos. Rasanya merdeka banget!" Ara tertawa lepas. Salsa pun melangkah masuk lalu mendudukkan diri di atas kasur.
"Masa sih? Eh, Ra ngomongnya enggak usah pakai bahasa 'saya-saya' ah! Kesannya formal banget."
"Heee...Ara 'kan baru kenal sama Mbak Salsa. Lagian Mbak Salsa 'kan posisinya atasan Ara, enggak enaklah ngomong pakai 'aku-kamu'." Ara menunduk malu, menunjukkan rasa hormatnya.
"Ya'elah, Ra! Santai aja sama aku sih! Aku juga bukan presdirnya perusahaan. Oh ya, jadi lupa 'kan! Tadi aku ke sini mau pinjam sisir. Hihihi...sisirku ketinggalan di Jakarta. Kayaknya besok harus beli sisir nih." Salsa tersenyum jahil.
"Oh, itu ada di atas meja rias, Mbak. Ambil aja." Ara mengeluarkan baju-bajunya dari dalam koper untuk disusun ke dalam lemari.
Salsa pun menutup pintu kamar, Ara. Membuka hijabnya, lalu menyisir rambutnya yang masih sedikit basah setelah dikeringkan dengan hair-dryer. Tiba-tiba ponsel Ara berdering. Sebuah panggilan masuk dari Faisal tertera di layar. Ia pun segera mengangkat panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, Ara apa kabar?"
"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah baik, Pak Faisal."
"Sudah di kos-an?"
"Alhamdulillah, sudah Pak. Sudah ketemu sama Mbak Salsa juga." Ara melirik ke arah Salsa yang masih sibuk menyisir rambut panjangnya.
Lalu disambut Salsa dengan suara berbisik, "siapa?"
Ara memberi isyarat dengan tangannya bahwa ia akan menjawab pertanyaan Salsa nanti.
"Syukur kalau begitu. Kamu belum mau istirahat? Besok sudah mulai kerja 'kan?"
"Sebentar lagi, Pak. Masih beresin baju-baju ke lemari." Lalu di seberang sana terdengar suara seorang pria berdeham.
"Ehm...oh ya, Ra...emmm...maaf sebelumnya, tapi ada seseorang yang mau bicara dengan kamu." Belum selesai Faisal bicara, ponselnya sudah direbut oleh seseorang di sampingnya.
"Hah? Siap..." Belum selesai Ara bertanya, sudah terdengar suara salam dari sana.
"Assalamu'alaikum, Ara. Apa kabarnya?" Suara pria itu menyentak benak Ara. Wajahnya pun berubah tegang. Tangan kirinya yang tadi sibuk menata baju, kini terkulai.
Ara terdiam, lidahnya kelu, kerongkongannya tercekat, netranya membeliak lebar. Sungguh hasratnya merindukan suara itu, namun akal sehatnya mengelak.
"Ara? Kamu masih di situ 'kan?" Suara itu memanggilnya sekali lagi.
Salsa yang bingung melihat perubahan mimik Ara yang mendadak kaku, bergegas menghampiri Ara. Ia duduk melantai di sampingnya.
Ia menyenggol lengan Ara untuk menanyakan ada apa dengan teman barunya itu. Ara pun hanya melirik dalam gemingnya, tak tahu harus bicara apa. Didekatkannya telinganya pada ponsel di genggaman Ara.
Di seberang sana terdengar suara desahan napas yang berat, karena menahan kerinduan yang kian dalam.
"Oke, mungkin kamu belum siap untuk bicara sama aku. Aku berusaha untuk mengerti itu. Aku juga tidak mau memaksa kamu."
Ara masih betah dalam diamnya, namun tangannya terasa gemetar, detak jantungnya semakin labil, nyeri itu kembali datang menghampiri dadanya.
"Ra, tolong jangan salahkan Faisal. Dia hanya membantu aku untuk bisa menyampaikan sesuatu yang penting ke kamu. Tenang saja, aku masih belum tahu nomor barumu ini, bahkan aku belum tahu di mana kamu berada. Tidak ada seorang pun yang mau memberitahuku soal itu. Dan aku menghormati itu."
Kali ini Ara menunduk lemas, ia menyadari bahwa ia telah berlaku tidak adil pada pria itu.
"Jadi...Kak Reno mau bicara apa?"
Reno menghela napas lega, akhirnya ia mendengar juga suara yang tengah dirindukannya itu.
"Ra, aku ingin memberi kepastian ke kamu."
"Kepastian apa?"
"Bagaimana perasaanku sama kamu."
Ara kembali terdiam, ia menelan ludahnya bulat-bulat ke dalam kerongkongan. Debaran jantungnya semakin hebat. Telapak tangannya terasa dingin.
"Aku...sayang...kamu, Ara. Aku, Kananta Moreno, sudah jatuh cinta padamu, Azura Andhara! Dan kalau kamu bersedia, kalau kamu izinkan, besok aku akan melamar kamu pada Mas Digo."
***