Chapter 20 - 20. Cemburu

Ara tengah sibuk berfoto-foto dengan teman-teman satu jurusannya, termasuk juga Sherin. Mereka baru saja selesai melaksanakan prosesi wisuda.

Ara yang kini telah menjadi sarjana teknik merupakan Ara yang berbeda. Ia menjadi pribadi yang lebih percaya diri, lebih ramah, dan menyenangkan.

Tiga bulan telah berlalu sejak insiden penyekapan yang dilakukan oleh Sena, Rafi, Tasya, dan Devi. Kini keempatnya tinggal menunggu sidang putusan oleh majelis hakim, yang kemungkinan besar akan menjatuhkan vonis hukuman belasan tahun penjara bagi mereka. Bukti-bukti yang ada sudah cukup memberatkan bagi mereka berempat.

Namun di antara mereka, kemungkinan hanya Devi yang akan dijatuhi hukuman lebih ringan. Pasalnya hanya Devi yang mengaku bersalah, bahkan menyerahkan bukti rekaman penganiayaan yang mereka lakukan pada Ara tujuh tahun yang lalu. Devi bahkan meminta maaf atas perlakuannya pada Ara. Ara sendiri sudah memaafkannya sebelumnya. Ia mengerti Devi hanya ikut-ikutan karena tidak ingin dimusuhi oleh teman-teman se-geng-nya itu. Namun konsekuensi dari perbuatannya, ia telah digugat cerai oleh suaminya yang pengusaha itu. Devi sendiri tidak memperdulikan hal itu, ia memang tidak pernah mencintai suaminya, ia hanya menikah karena keterpaksaan.

Yang dicintainya hanya Rafi, sayangnya Rafi hanya memanfaatkannya sebagai tempat pelampiasan nafsu bejatnya semata. Sementara Rafi, sudah pasti ia menerima konsekuensi dari ikatan profesinya. Gelarnya sebagai seorang dokter dicabut. Rafi semakin depresi meringkuk di dalam sel tahanan. Bahkan keluarganya beberapa kali mengusahakan agar pengacara mereka mendapatkan ijin kunjungan dari psikiater.

Tasya, dia harus kehilangan bisnis usahanya di bidang kecantikan itu. Terungkap fakta bahwa tempat usahanya itu didirikan dari money-laundry uang hasil korupsi ayahnya yang ternyata seorang anggota dewan di daerah, sehingga ayahnya pun menjadi penghuni tahanan. Salonnya pun menjadi sitaan KPK.

Sena, hingga mati ia bersumpah tidak akan pernah mengakui kesalahannya. Dendam kesumat yang tersimpan di hatinya begitu besar. Ayahnya yang seorang pengacara terkenal pun bahkan tidak sanggup menolongnya terbebas dari jeruji penjara. Bukannya menyadarkan putranya itu akan kesalahan yang diperbuatnya, ia justru berusaha menyuap majelis hakim, yang mengakibatkannya ikut tertangkap dan meringkuk di balik jeruji.

Kini Ara dapat menghirup napas dengan lega. Ia sudah berdamai dengan masa lalunya yang kelam. Bahkan Dokter Lisa sudah menyatakan ia telah sembuh dari DID-nya. Seluruh keluarganya, dan juga Sherin sahabatnya bernapas lega ketika mendengar kabar menggembirakan itu. Terkecuali Reno, ia sengaja menyimpan rapat kabar ini dari Reno. Entah kenapa, ia masih bingung harus bagaimana menghadapi pria tersebut.

Kini waktunya menikmati hidup dan menyongsong masa depan yang terbentang di hadapannya. Ini saatnya membuka lembaran baru.

Setelah menyelesaikan sesi berfoto ria dengan teman-teman dan para dosen, Ara menghampiri keluarga besarnya yang tengah menunggunya di aula gedung kampus. Ada Digo, Violet, Fadil, dan keponakan baru mereka Salman yang telah berusia hampir empat bulan. Ara segera memeluk kakak-kakaknya. Kemesraan yang tengah dirasakan keluarga tersebut menjadi pemandangan yang mengharukan bagi sesosok manusia yang berjarak hanya beberapa langkah dari mereka.

"Assalamu'alaikum." Suaranya memecah suasana kegembiraan itu.

Semuanya menoleh ke arah Reno yang baru saja tiba. Ia terlihat menggenggam sesuatu yang disembunyikan di belakang punggungnya.

Satu-persatu menjawab salam Reno.

Reno berjalan mendekati sang tokoh utama hari itu, Ara. Ara terlihat gugup, ia menundukkan pandangan. Belum pernah ia merasakan segugup ini saat berhadapan dengan pria itu. Dadanya berdegup kencang. Ditariknya napas dalam-dalam.

"Selamat ya." Reno tersenyum manis padanya sembari mengulurkan rangkaian buket bunga mawar yang tadi disembunyikan di belakangnya. Ara pun terkesiap melihat rangkaian bunga indah itu. Wajahnya memperlihatkan kebahagiaan sekaligus kepanikan. Ditahannya senyum yang tadinya mengembang sesaat.

"Terima kasih." Ara menerima buket  indah itu. Ia menghirup aroma semerbaknya.

"Ehm...wangi ya?" Reno bertanya padanya. Ara tersipu malu, terlihat wajahnya mulai memerah. Ara hanya menganggukkan kepalanya pelan. Wajahnya masih tertunduk malu.

"Aroma cinta itu, makanya wangi." Reno mengulas senyum. Ara terkesiap mendengarnya, mentalnya tidak siap. Ia terlihat salah tingkah.

"Hah? Eh...iihhh...apaan sih? Receh banget!" Ara memalingkan wajahnya, menyembunyikan wajahnya yang terlalu memerah.

"Enggak usah malu gitu. Udah cantik, entar makin cantik, lho."

"Iiihhh...apaan siiih? Kesini cuma mau obral receh?" Ara mencoba mengelak rayuan itu, tapi sia-sia. Ia sendiri menyukai rayuan pulau kelapa tersebut.

"Biar obral tapi suka 'kan?"

"Iiihhhhh...GR banget siiih! Tau ah!" Ara pun membalik badan membelakangi Reno. Ia justru kaget menyadari jika ia dan Reno sudah menjadi layar tancap film romantis bagi keluarganya. Mereka semua tertawa melihat tingkah Ara yang malu-malu kucing itu.

Reno sendiri pun tak bisa menahan tawanya. Ia merindukan masa-masa ini, masa-masa menjadikan Ara manusia baper.

Reno segera menghampiri kumpulan keluarga itu, menyalami Digo dan Fadil. Lalu ia meminta izin Violet untuk diperbolehkan menggendong Salman yang terlihat menggemaskan dengan pipi bakpao-nya itu.

Diam-diam Ara memperhatikan keakraban pria itu dengan keluarganya, terutama tatapan teduhnya terhadap Salman sang keponakan. Sontak secercah kehangatan menelisik merasuk hatinya. Tanpa disadari, Ara tersenyum menyaksikan pemandangan itu.

"Ehm...ada yang senyam-senyum nih." Ternyata sudut mata Reno melirik ke arah Ara.

"Yeee...orang senyum sama keponakan sendiri. Kepedean banget sih jadi orang!" Ara memberengutkan bibirnya.

"Lhooo...memangnya aku bilang senyumnya sama aku? Itu sih kamu sendiri yang GR." Reno mengejek Ara.

Sungguh rasanya Ara ingin kabur saja dari tempat ini. Jengkel, kesal, sebal...tapi suka, bagaimana dong?

----

Mereka telah kembali pulang ke apartemen setelah menyelesaikan prosesi acara wisuda. Reno pun turut serta mengikuti langkah keluarga harmonis itu, disusul oleh Sherin yang telah memohon izin kepada kedua orangtuanya.

Di apartemen 0610 itu, mereka semua berkumpul di tengah meja makan untuk menikmati makan malam bersama. Lagi-lagi kali ini Ara yang dipaksa menjadi koki. Dan lagi-lagi yang dimasak adalah menu andalan nasi goreng pedas ala Ara.

"Ra, jadi...kamu sudah mempertimbangkan tawarannya Faisal?" Digo bertanya pada adik bungsunya itu.

"Hmmm...belum tahu, Mas. Ara masih bingung." Ara lanjut melahap makanannya. Untuk saat ini ia sedang tidak ingin memikirkan hal yang menjadi pertanyaan kakaknya itu.

"Ical menawarkan apa, Mas?" Reno bertanya penasaran pada Digo.

"Ituuu...dia nawarin..."

"Mas!" Ara menghentikan kalimat Digo. Ia memberi kode dengan matanya.

Digo pun mengerti maksud Ara, ia mengurungkan niatnya.

"Bukan apa-apa kok, Ren. Ayo ditambah lagi nasi gorengnya." Digo mengalihkan pembicaraan. Sikapnya ini justru semakin menambah rasa penasaran Reno.

Reno hendak menanyakan lebih lanjut kepada Ara namun tiba-tiba ponselnya berdering. Reno segera melihat nomor yang tertera di layar. Ia pun memutuskan mengangkat panggilan tersebut.

"Assalamu'alaikum. Iya. Tapi sekarang enggak lagi di situ. Ada apa? Oke, tunggu di situ ya." Reno segera menghentikan aktivitas makannya. Ia menenggak air putih dari gelas di sampingnya, lalu pamit undur diri dari keluarga itu. Ia beralasan bahwa ada temannya yang datang bertamu.

Ia pun segera beranjak keluar menuju apartemennya. Ara terlihat kecewa dengan kepergiannya. Tapi ia tak mau ambil pusing, ia sedang ingin menikmati kebersamaan ini.

Tak sengaja tatapannya beralih pada Digo. Diam-diam ia memperhatikan kakaknya mencuri pandang ke arah sahabatnya yang sedang sibuk mengunyah makanan. Ia pun tersenyum melihat gelagat kakaknya itu.

"Ehm...Mas Digo!"

"Ah...eh..i...iya. Kenapa, Ra?" Digo terkejut mendengar panggilan Ara. Karena sejak tadi fokusnya hanya tertuju pada gadis yang duduk di seberang Ara.

"Mas Digo mau tukar tempat duduk? Biar lebih leluasa." Ara sengaja ingin menggoda kakaknya. Sherin yang mendengar sontak mengeluarkan respon.

"Eh...Ja-jangan, Ra. Lo jangan pindah."

Digo terperangah mendengar respon Sherin. Harusnya ia yang merasa malu ditegur secara tak langsung seperti itu oleh adiknya. Namun ia hanya bisa mengulum senyum.

"Emang kenapa gue enggak boleh pindah duduk?" Ara menantang Sherin. Ia pun hanya ingin menggoda temannya ini.

"Ya...karena...ka-karena...'kan gue masih mau ngobrol banyak sama lo." Sherin berpikir untuk mencari-cari alasan yang melintas di kepalanya.

"Dari tadi lo diam aja tuh. Enggak ada ngajak gue ngobrol."

Dug! "Awww!" Ara memelototkan matanya ke arah Sherin, memprotes tindakannya yang menendang kakinya di bawah meja makan. Namun Sherin balas memelototi Ara, ia sedang memberi kode.

"Kenapa, Ra? Ada yang sakit?" Violet berreaksi mendengar aduhan Ara.

"Enggak, Mbak Vi. Ini...emmm...kaki, enggak sengaja nendang kaki meja." Ara berbohong melindungi temannya. Ia menatap tajam pada Sherin. Namun Sherin justru berusaha menahan tawanya.

Selesai makan, Ara dan Sherin pun sibuk dengan urusan cuci-mencuci di dapur. Mereka berbincang lepas, membicarakan rencana mereka di masa depan.

"Ra! Sher!" Suara Violet memanggil mereka berdua dari arah dapur. Mereka pun datang menghampirinya yang masih sibuk menyusui di ruang makan.

"Ada apa, Mbak?" Ara bertanya pada kakak perempuannya itu.

"Ini kayaknya kunci mobil Reno deh. Tadi Mbak lihat di atas kursi. Mungkin jatuh dari kantongnya atau dia lupa."

"Oh iya, benar. Itu kunci mobil Porsche Mas Reno. Gantungan kuncinya hadiah ulang tahun dari aku." Sherin menjawab.

"Astaghfirullah!" Sherin menepuk dahinya kencang. Ia baru saja teringat sesuatu.

"Hari ini 'kan ulang tahunnya Mas Reno." Sherin berkata pada dirinya sendiri.

"Oh iya benar, tanggal 27. Aku juga baru ingat." Violet menimpali.

"Ya terus kenapa kalau hari ini ulang tahunnya? Orangnya juga biasa aja tadi." Ara menjawab sok cuek.

"Iihhh...nih anak! Bikin gemes aja. Kamu enggak mau ngucapin apa gitu ke dia?" Violet merasa gregetan dengan adiknya ini. Ia menyadari kalau Ara juga memiliki perasaan pada mantannya itu, hanya saja gengsi untuk mengakui.

"Ngucapin apa? Selamat jadi orang yang makin tua, bentar lagi ubanan, gitu?" Ara menjawab dengan sedikit kesal. Sepertinya kakaknya ini sedang berusaha memancingnya.

"Araaa! Rasanya Mbak pingin ngulek-ngulek kamu deh!"

"Emangnya Ara cabe diulek-ulek?"

Violet makin geram melihat tingginya gengsi adiknya itu untuk menunjukkan perasaannya. Ia kembali sibuk menepuk-nepuk paha Salman yang sempat terganggu dari nyenyaknya akibat volume suara umi-nya.

"Ya ampun, Ra. Gengsi banget cuma ngucapin selamat ulang tahun sama sepupu gue itu." Sherin menertawakannya.

"Emangnya lo enggak gengsi sama Mas Digo?" Ara membalasnya yang disambut Sherin dengan refleks menginjak kaki Ara. Ara memgaduh untuk kedua kalinya. Kakinya kembali menjadi korban kekerasan Sherin.

Sherin panik jika omongan Ara terdengar oleh Digo yang sedang asyik menonton siaran sepakbola bersama Fadil.

Violet hanya tersenyum lebar melihat tingkah kedua gadis perawan itu. Ia sendiri menyadari bagaimana tatapan Sherin saat memandang Digo.

"Ya udah, Ra! Nih, kamu anterin kuncinya ke apartemen Reno!" Violet mengulurkan kunci dengan gantungan kunci figurin Spiderman itu. Ia melihat gantungan kunci itu, Spiderman. Ia teringat akan tokoh heroik kesayangannya itu.

"Kok aku, Mbak? Kenapa enggak..."

"Sorry, enggak bisa. Gue lagi pingin puas-puasin main dengan Salman. Gemessshhh deh sama pipinya." Sherin memotong omongan Ara. Dia mencubit kecil pipi Salman berkali-kali.

Ara mengerti sahabatnya itu hanya mencari alasan.

"Iya tuh, Ra. Biar Sherin main-main dulu sama Salman." Violet membenarkan omongan Sherin.

"Mbak Vi sadar enggak sedang menjerumuskan adeknya ke dalam kubangan dosa? Dia 'kan hidup sendiri. Kalau Ara kesana, nanti pihak ketiganya setan."

"Enggak inget, Ra? Tadi 'kan dia bilang ada tamu. Lagian cuma ngembaliin kunci doang 'kan? Bukannya nginep. Nih balikin!" Violet memaksa Ara mengambil kunci tersebut.

Kali ini dia sudah kehabisan alasan. Akhirnya diterimanya kunci tersebut. Ia pun segera keluar apartemen dengan wajah ditekuk kesal.

"Ingat yaaa...apartemennya nomor 0927!" Violet setengah berteriak padanya yang baru saja akan membuka pintu.

Sebelum masuk ke dalam lift, Ara berpikir sejenak. Di tahannya tombol lift selama dua menit, sembari menunggu pikirannya mengambil keputusan. Akhirnya ia memutuskan untuk mampir di cafe bawah terlebih dahulu sebelum mampir ke apartemen Reno.

***

"Maaf gue ganggu waktu lo, Ren. Gue...gue enggak tau lagi mau mengadu sama siapa..." Sitta yang sedang terisak sedu-sedan menjadi fokus pemandangan para pengunjung cafe. Sejak bertemu dengan Reno di depan pintu masuk cafe, Sitta terus menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, bahkan terkesan menutupi wajahnya.

"Enggak apa-apa, Sit. Lo tenangin diri dulu. Kalau sudah siap baru cerita." Reno berusaha menenangkannya.

Sitta pun menumpahkan seluruh air matanya hingga sepuluh menit kemudian ia merasa sedikit lega, lebih tenang. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum memulai ceritanya.

"Mami...ngusir gue dari rumah. Dia bilang sudah muak dengan gue. Mami menumpahkan seluruh kemarahannya ke gue. Mami mukulin gue!" Sitta kembali terisak. Ia mengangkat wajahnya. Terlihat memar-memar bekas pukulan di wajahnya.

"Astaghfirullah! Lo...lo enggak apa-apa, Sit? Kita ke rumah sakit sekarang! Gue antar!" Reno bangkit berdiri.

Namun Sitta menahannya, memintanya untuk kembali duduk. Ia menolak perintah Reno.

"Gue enggak apa-apa, Ren. Nyokap udah biasa nampar gue sejak kecil. Tapi dulu, selalu ada Sena yang membela gue. Bagaimanapun gue membenci Sena, dia yang selalu ada buat menolong gue. Tapi sekarang..."

"Jadi, lo sudah benar-benar angkat kaki dari rumah itu?" Reno melirik pada dua koper berukuran besar di sebelah Sitta.

Sitta menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak punya tujuan. Pikirannya sedang buntu. Tak pernah terbayangkan olehnya jika akhirnya nasibnya akan seperti ini.

"Sorry sebelumnya, apa lo sudah mencari keberadaan ibu kandung lo?"

"Ibu kandung gue sudah meninggal.   Mbok 'Yem sudah menceritakan semuanya sama gue. Dia mengenal ibu kandung gue, namanya Masyitah. Waktu itu mereka bekerja bersama-sama sebagai ART. Setelah insiden yang terjadi dengan ibu gue...supir yang memperkosa ibu gue...dia dipecat oleh Nenek karena tidak mau bertanggung-jawab. Dulu ibu gue merupakan orang kesayangan Nenek, sempat mau diangkat sebagai anak oleh Nenek, tapi keluarga besar tidak setuju."

Sitta kembali menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. Ia berusaha mengendalikan diri agar tangisnya tidak kembali tumpah.

Reno berusaha menjadi pendengar saja. Ia memberi kesempatan pada Sitta untuk menyelesaikan ceritanya.

"Ibu gue yang waktu itu menyadari dirinya sedang mengandung, sempat berkeinginan untuk berhenti dan pulang kampung. Tapi dilarang oleh Nenek. Nenek berjanji pada ibu gue nantinya akan mengangkat anak yang dikandungnya sebagai cucunya. Lalu ternyata...saat melahirkan gue, ibu gue mengalami pendarahan hebat, dia meninggal. Dan saat itu, Nenek yang meminta Papi Mami untuk mengangkat gue sebagai anak. Karena mereka sudah menikah bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai anak. Yang jelas, Papi Mami sudah pasti menolak. Tapi Nenek memaksa mereka, mungkin dengan ancaman tidak mendapat warisan, entahlah. Karena yang gue tahu memang rumah yang gue tempati itu awalnya milik Nenek."

"Dan sekarang...setelah Papi dan Sena di penjara, Mami terlihat stres berat dan melempar semua kesalahan ke gue. Dia bahkan tidak sedikitpun menyalahkan Sena, anak kandungnya. Sekarang...gue enggak tahu harus gimana." Sitta kembali menundukkan wajahnya. Air mata yang tadi sempat ditahannya kembali mengalir.

"Bagaimana dengan Tante Danish? Apa lo sudah menghubungi Tante Danish?"

Sitta menggelengkan kepalanya.

"Belum, Ren. Gue enggak mau merepotkan Tante. Jujur, memang hanya Tante Danish satu-satunya orang yang menyayangi gue, selain Nenek. Tapi lo tahu 'kan kondisi kesehatannya sekarang? Tante sering sakit-sakitan. Dia bahkan belum tahu kabar Papi dan Sena di penjara."

Reno mengangguk-anggukkan kepalanya. Alasan yang diberikan oleh Sitta memang benar. Tante Danish pasti akan sangat terkejut mendengar kabar buruk soal kakak dan keponakannya itu, bisa-bisa berdampak buruk untuk kondisi kesehatannya.

Reno tampak memikirkan sesuatu. Lalu ia merogoh saku celananya, mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil sebuah kartu dari dalamnya. Ia menyerahkan kartu itu kepada Sitta.

Sitta yang mengetahui kartu apa itu, segera menolaknya, ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Ren. Itu apartemen mewah lo. Gue tidak mau tinggal di situ."

"Enggak apa-apa, Sit. Lo boleh tinggal dulu di sana untuk sementara waktu. Ini juga sudah malam." Reno tetap mengulurkan kartu kunci masuk apartemennya itu.

"Tapi Ren..."

"Sudah, ambil saja." Reno memaksanya. Dengan berat hati Sitta mengambil kartu itu. Sudah cukup banyak rasa bersalahnya pada Reno selama ini. Ia merasa tak pantas menerima kebaikan pria itu yang dengan mudahnya telah memaafkan segala kesalahannya.

"Terima kasih banyak ya, Ren. Gue...gue malu!"

"Kenapa?"

"Malu mengingat semua dosa-dosa gue selama ini sama lo, Ren. Tapi..lo tetap memperlakukan gue dengan baik. Maafin gue ya, Ren! Tolong maafin gue." Sitta kembali menangis, menyesali segala perbuatan buruknya.

"Sudah, yang sudah-sudah enggak usah dibahas lagi. Yuk, gue antar ke Pakubuwono." Reno berniat untuk beranjak dari duduknya lalu kemudian secara tak sengaja matanya bersitatap dengan seseorang yang berdiri di seberang mejanya.

"Enggak usah, Ren. Gue naik..." Mata Sitta mengikuti arah pandangan Reno. Ia pun melihat sosok itu.

"Ara?"

"Apa kabar, Mbak Sitta?" Ara mencoba mengulas senyum yang dipaksakan. Baginya senyum itu terasa pahit.

"Alhamdulilah. Lo gimana, Ra?" Sitta berdiri ingin menghampiri Ara, namun ia segera menyadari kondisi wajahnya. Ia segera menundukkan kepalanya, mengumpulkan rambutnya yang menjuntai ke tepi wajah.

"Alhamdulillah, baik juga. Kalau begitu, a-aku duluan ya." Ara segera membalikkan badannya lalu berjalan keluar. Ia meremas box yang sedang ditentengnya.

Reno segera mengejarnya. Ia khawatir Ara salah paham dengan pertemuannya dengan Sitta. Sitta mengikutinya dari belakang. Ia mengerti kecemasan yang melanda Reno detik ini.

"Ara! Kamu...kamu...itu, aku sama Sitta..." Reno gelagapan. Ia bingung bagaimana menjelaskannya.

"Ara cuma disuruh Mbak Violet beli tart-cake. Mendadak Mbak Vi pingin yang manis-manis." Ara memotong omongan Reno yang tak jelas, ia kembali mencoba memaksa tersenyum.

"Violet? Lo...adiknya Violet Damara?" Sitta sedikit terkejut mendengar nama Violet disebut-sebut.

Ara menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Sitta.

"Iya, Sit. Violet kakaknya Ara." Reno kembali menegaskan.

Pikiran Sitta mulai melakukan kalkulasi. Dulu Reno berpacaran dengan sang kakak, sekarang jatuh cinta dengan sang adik? Ternyata selera Reno tidak jauh-jauh. Tanpa sadar, Sitta mengulum senyum.

Ara berpikir, saat ini pasti Sitta sedang menertawakan dirinya di dalam hati. Aneh saja jika dulu pria yang dipanggil Kananta ini menjalin cinta dengan kakaknya, sekarang pria itu berusaha mendekati dirinya. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab kegundahan Ara.

Ia tidak pernah tahu bagaimana sekarang perasaan Reno terhadap kakaknya, atau perasaan kakaknya terhadap Reno. Meskipun Violet sudah berkeluarga dan terlihat saling mencintai dengan suaminya, namun isi hati manusia yang paling dalam, siapa yang tahu.

"Kalau begitu, saya balik duluan ya. Sudah ditunggu cake-nya sama Mbak Vi. Nanti busui keburu sewot." Ara berbohong. Ia hanya ingin segera menyingkir dari hadapan sepasang manusia tersebut. Ara pun segera pamit undur diri lalu melangkah keluar dari cafe. Reno merasa serba salah, bingung harus bagaimana. Ia terlihat gelisah.

Sitta yang melihat gelagatnya itu pun terkekeh pelan menertawakan tingkahnya.

"Enggak dikejar tuh? Entar salah paham, lho." Sitta meledeknya.

"Nanti deh. Sekarang gue antar lo dulu ke Pakubuwono." Reno kembali ke meja yang semula mereka tempati. Ia meletakkan selembar uang berwarna merah, lalu menggeret kedua koper Sitta.

"Eh Ren, enggak usah! Beneran deh,

gue bisa naik taksi online. Mending lo kejar Ara deh. Entar tambah runyam urusannya. Gue cewek lho, jadi gue ngerti perasaan dia."

Namun Reno tidak memperdulikan sergahannya. Ia tetap menggeret koper-koper itu hingga menuju parkiran mobilnya di basement.

Sepanjang jalan Sitta masih berusaha mencegahnya, namun tetap tidak diacuhkan oleh Reno.

"Sit, please stop! Gue sudah bilang akan nganterin lo. Tapi sebelum itu, gue mau bawa lo ke rumah sakit. Ini-ini nih, perlu diobatin!" Reno menunjuk-nunjuk lebam-lebam yang menghias wajah Sitta.

"Yaelah, Ren! Gue udah biasa ditampar Mami. Palingan dikompres es batu doang juga kelar. Enggak usah lebay deh, pake ke rumah sakit segala." Sitta berusaha bersikap santai. Ia tidak mau Reno menjadi terlalu perhatian dengannya. Apa kabar dengan perasaannya dan jantungnya yang meloncat-loncat sejak tadi?

"Nah itu, lo terlalu meremehkan efek tuh memar. Bisa jadi nanti radang, atau infeksi. Jadi untuk amannya mendingan diperiksa sama dokter. Lagian gue enggak punya es batu di apartemen."

"Tapi Ren..."

" No but! Sekarang masuk ke mobil!" Reno merogoh-rogoh saku celananya. Ia mencari-cari kunci mobilnya.

"Ada apa, Ren?" Sitta melihat ekspresi Reno yang kebingungan.

Sementara Ara yang sedang berada di dalam lift, masih berusaha menenangkan hatinya yabg mendadak resah sejak bertemu Sitta tadi di cafe. Ia bersandar pada dinding lift, lalu memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celananya. Tangannya menemukan suatu benda yang seharusnya tadi diberikannya pada Reno. Ia mengeluarkan benda itu. Kunci mobil Reno!

***