Chereads / Ketika Ungu Menjadi Biru (Completed Story) / Chapter 25 - 25. Masalah Baru

Chapter 25 - 25. Masalah Baru

Reno bersiap-siap untuk keluar dari rumah sakit, setelah tadi sore dokter mengabarkan bahwa tidak ditemukan luka cidera serius dilihat dari hasil rontgen-nya. Reno pun mengantongi izin resmi dari sang Dokter untuk diperbolehkan pulang.

Sherin sepupunya pun ikut membantunya berkemas-kemas. Sherin baru saja tiba tadi pagi di Bali. Ia telah mendapat izin cuti dari kantornya selama dua hari. Dan kedatangan Sherin pun mendapat sambutan luar biasa dari Ara, sahabatnya. Sore ini, Sherin sengaja mampir ke rumah sakit untuk membantu kepulangan sepupunya itu.

"Ra, gue masih enggak percaya deh kalau lo bakal nikah sama Mas Reno. Beneran, sampai sekarang gue masih ngerasain euforianya." Sherin memperlihatkan kegirangannya.

"Duh, Sher! Gue aja tadinya enggak yakin sama keputusan yang gue ambil ini. Ehm...tapi yaaa...daripada sepupu lo ini kelamaan nge-jomblo, ya udah deh gue terima." Ara melirik jahil ke arah Reno yang sedang mengemas pakaiannya masuk ke dalam tas jinjingnya.

"Oohhh...jadi ceritanya terpaksa nih terima lamaranku." Reno memicingkan matanya.

"Ya-ya...abis kalau enggak Ara terima, nanti Kak Reno depresi. Ditinggalin enam bulan aja bilangnya hidup segan mati tak mau." Ara balas mencibir.

"Ehm...mungkin iya depresi, tapi setidaknya aku enggak bakal salah nangisin jenazah orang." Reno menyindir Ara dengan kejadian tiga hari yang lalu.

"Iiihhhh...Kak Renooo!" Ara memprotes dengan memajukan bibirnya. Malu, karena hal itu terus yang diungkit-ungkit. Mau menjahili malah dijahili.

Sherin dan Salsa pun tertawa melihat sikap keduanya. Sherin sendiri sudah mengetahui cerita tentang Ara yang menangisi jenazah korban tabrak lari yang ternyata bukan Reno, dan tentu saja Salsa yang bercerita padanya tadi.

"Oh iya, Sherin memangnya sekarang kerja dimana?" Salsa bertanya pada Sherin, sosok yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu itu.

"Kebetulan satu perusahaan dengan Mas Digo juga, tapi untuk di  kantor pusat di Jakarta." Sherin menjelaskan dengan singkat.

"Ehm...ehm...eciyeee yang satu perusahaan sama gebetan." Ara menyikut lengan Sherin yang diikuti dengan ledekan.

"Enggak 'eciyeee' juga kali, Ra. Mas-lo 'kan udah pindah ke Surabaya." Sherin memutar bola matanya.

"Lho, Mas Digo gebetannya Sherin? Yaaah, hilang dong kesempatanku. Alamat mundur ini sih." Salsa menimpali dengan pura-pura menampilkan mimik kecewa.

"Hah? Mbak Salsa naksir kakakku juga?" Ara membelalakkan matanya kaget.

"Yah, Ra...namanya juga aji mumpung. Ada cowok ganteng di depan mata enggak boleh disia-siakan. Kali aja jodoh, ngarep boleh toh? Tapi karena sudah ada Sherin, aku mundur deh. Nyari mangsa lainnya aja." Salsa menaik-turunkan alisnya. Meskipun terlihat kecewa, Salsa berusaha menanggapi dengan santai.

"Tenang, Sa! 'Kan aku sudah bilang, punya calon yang perfect buat kamu." Reno melirik jam tangannya, mengingat seharusnya yang ditunggunya itu sudah datang sejak tadi sore.

"Mana? Katanya orangnya mau datang sore ini, tapi sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya tuh! Eh, Ren...kamu tau enggak? Waktu ketemu kamu di bandara dan kamu salah menyangka aku sebagai Ara, aku 'tuh mikir jangan-jangan kamu pangeran berkuda yang sudah Allah siapkan buat aku. Ternyata...malah pangeran salah alamat." Salsa tertawa lepas seakan ceritanya itu adalah sesuatu yang lucu, padahal memang itu yang dirasakannya.

"Assedaaap! Pangeran berkuda! Mohon maaf, pangerannya udah ketemu sama Cinderella nih!" Reno melirik pada Ara yang sedang membereskan kue-kue di atas meja untuk dibawa pulang. Namun Ara terlihat tak terpengaruh dengan ucapan pria itu.

"Mbak Salsa harus optimis dong! Pasti Allah sudah menyiapkan jodoh terbaik buat Mbak Salsa." Ara menyemangatinya dengan menaikkan kepalan tangannya.

Saat itu juga terdengar suara ketukan pintu dari luar. Tak lama sang tamu yang berdiri di luar membuka pintu lalu mengayun langkah masuk ke dalam ruangan itu. Semua tatap mata tertuju padanya.

"Assalamu'alaikum!" Ia tersenyum kepada semua orang disana. Dan mereka semua kompak menjawab salamnya. Lalu pandangannya terpaku pada seorang wanita yang tengah duduk di sofa. Wanita itu pun tak kalah terkejut melihat kemunculan pria itu.

"Salsa?"

"Rei-han?"

Sherin, Reno, dan Ara melihat keduanya yang saling bersitatap penuh ketegangan.

"Lho, kalian sudah saling kenal?" Reno bertanya penasaran.

Sejenak Salsa bergeming kaku, benaknya bertanya-tanya kenapa pula takdir kembali mempertemukan mereka di tempat yang tak disangka-sangka seperti di sini? Setelah tersadar dari keterkejutannya, Salsa membuang wajahnya. Rasanya ingin ia segera berlari keluar dari ruangan itu. Namun Reihan tengah berdiri di sana menghalangi akses menuju pintu.

"I-iya, kami sudah kenal, Ren. Kok...ka-kamu bisa di sini, Sa?" Setelah menjawab Reno, pandangan Reihan kembali teralih pada Salsa yang tengah membalik badannya.

"Ya suka-suka aku dong. Mau ada dimana, kek! Urusanku!" Salsa menjawab dengan ketus.

"Sa, kamu kemana aja selama ini? Aku hampir gila nyariin kamu!" Dengan cepat, Reihan menghampiri Salsa di sofa. Ia membungkuk di hadapan Salsa. Namun kembali Salsa membalikkan badannya ke arah sebaliknya. Ia menghindari bertatap-muka dengan Reihan dan enggan menjawab pertanyaan Reihan.

"Salsa! Lihat aku! Tolong jawab aku!" Reihan menaikkan intonasi bicaranya. Ia menuntut sebuah penjelasan dari wanita itu.

"Cih! Hampir gila? Enggak usah hiperbola! Ini buktinya masih seratus persen waras kok!" Salsa mencetus dengan jutek.

"Sebentar...sebentar! Kalian ini...Rei, sebenarnya apa hubungan kalian berdua?" Reno meminta penjelasan pada Reihan. Sementara Ara dan Sherin hanya mampu menyaksikan pembicaraan sepasang manusia itu dalam diam.

"Ren, lo ingat wanita yang pernah gue ceritakan waktu itu? Wanita yang pernah ninggalin gue begitu saja. Wanita yang membuat gue menjadi penjahat kelamin seperti sekarang. Wanita itu Salsa, she is my wife!"

"Ralat! Was a wife! To be exact, an ex-wife! Kita sudah cerai!" Salsa beranjak dari duduknya. Ia meraih sling-bagnya lalu menyampirkan ke bahunya. Salsa sudah bersiap angkat kaki dari ruangan itu.

"Ra, aku permisi balik duluan! Ren, maaf...kalau ini cowok yang mau kamu jodohin ke aku, sorry deh! Bukan levelku! Aku balik duluan. Assalamu'alaikum!" Salsa dengan cepatnya membuka pintu lalu berjalan keluar. Ditumpahkannya air mata yang sejak kedatangan Reihan tadi sudah ditahannya.

"Salsa! Salsa!" Reihan pun berusaha mengejarnya, setelah ia pamit pada Reno.

Reno, Ara, dan Sherin masih terpaku di posisi mereka masing-masing. Mencoba mencerna apa yang baru saja mereka saksikan.

Tak lama dalam kondisi itu, mereka kembali melanjutkan kesibukan masing-masing.

Setelah meninggalkan ruang rawat inap itu, Reno dibantu oleh Sherin mengurus biaya dan administrasi rumah sakit. Sementara Ara memesan taksi online dengan ponselnya.

Setelah semua urusan administrasi selesai, mereka segera meninggalkan rumah sakit dengan taksi online menuju hotel tempat Reno dan Sherin menginap.

Tadi Sherin sudah meminta Ara untuk ikut menginap bersamanya di hotel. Karena besok Sherin sudah harus balik terbang ke Jakarta. Sehingga waktu malam ini akan mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk memupus rasa rindu antar sahabat setelah enam bulan berpisah. Dan tentu saja Reno menyetujui permintaan ide sepupunya itu. Karena itu artinya, Reno bisa berada lebih dekat dengan Ara.

Setelah sampai di hotel, Reno mengajak mereka makan malam bersama di restoran hotel tersebut. Ia pun menaruh barang-barang bawaannya terlebih dahulu ke kamarnya, sementara Ara dan Sherin menunggu di dalam restoran. Setelah itu Reno pun menyusul mereka ke restoran yang berada di lantai 1 hotel itu.

"Kalian sudah pesan makanan?" Reno bertanya pada keduanya. Ara dan Sherin sama - sama mengangguk.

Reno pun melihat menu yang ada lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman.

"Mas Reno, jadi Mas Rei itu sudah pernah nikah ya? Berarti dia duda?" Sherin membuka pembicaraan.

"Iya, dia duda. Tapi dia sendiri tidak pernah menyetujui proses perceraian itu. Soalnya dia bilang, cinta banget sama istrinya." Reno menjawab sekenanya. Sebenarnya Reno mengetahui detail masa lalu sahabatnya itu. Namun ditahannya lidahnya untuk tidak sembarang mengumbar aib orang lain.

"Lha terus...kalau cinta kenapa bisa cerai?" Sekarang giliran Ara yang bertanya penasaran.

"Aku juga tidak tahu. Biarlah itu jadi urusan mereka. Kita do'akan saja semoga mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara baik-baik." Reno berusaha mengakhiri topik pembicaraan itu. Bahaya kalau melanjutkan perbincangan itu bersama para wanita, bisa-bisa ujungnya ghibah dan menambah kadar kepo mereka.

Ara dan Sherin pun tak membantah.  Mereka meng-aamin-kan omongan Reno dalam hati.

Sontak pikiran Ara mulai sibuk. Tiba-tiba sedikit rasa cemas merasuki dirinya. Cemas, bagaimana jika nantinya pernikahannya berujung prahara juga? Bagaimana jika ia ataupun Reno tidak bisa menjaga izzah pernikahan?  'Toh semua kemungkinan itu pasti ada.

Pikirannya melambung jauh. Segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi dalam pernikahan pun terlintas dibenaknya. Ara bergidik ngeri sendiri membayangkan segala kemungkinan buruk itu.

Lamunannya pecah ketika seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka.

"Kamu mikirin apa, Ra?" Reno menatapnya penuh tanya.

"Hah? Eng-enggak kok, enggak mikirin apa-apa." Ara berusaha menampik.

"Aku bisa tahu lho, Ra kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu." Reno masih menatapnya serius.

"Iiih...Kak Reno sok tahu banget sih! Emangnya situ peramal?" Ara membalas dengan jutek.

"Kalau aku peramal, ngapain aku nanya kamu lagi mikirin apa?"

"Ara lagi laper! Jadi mikirin makanan yang enak-enak!" Ara menjawab sekenanya.

"Ra, jangan bohong! Lo tuh enggak punya bakat jadi pembohong. Pikiran lo gampang kebacanya." Sherin menyahutnya.

"Yaelah, ibu satu ini juga ikut-ikutan. Tak semudah itu membaca pikiranku, Marimar." Ara menjawab dengan gaya dialog ala telenovela.

"Kalau begitu katakan padaku apa yang mengganggu pikiranmu kali ini, Maria Mercedez." Kali ini Reno yang menjawab dengan terkekeh geli.

"Kak Reno, enggak cocok!" Ara memanyunkan mulutnya yang sedang sibuk mengunyah.

"Makanya cerita. Kan tadi siang sudah bilang, no more hiding!"

Ara pun menghembuskan napasnya kencang. Diletakkannya kembali sendok yang tadi digenggam.

"Kak Reno..."

"Hmmm..."

"Gimana kalau..."

"Kalau apa?"

"Kalau...nanti...ternyata..." Ara menghentikan kalimatnya, ia menundukkan kepala.

"Ternyata apa?"

"Ternyata...kita berakhir dengan perceraian seperti Mbak Salsa dan Mas Reihan?" Ara memberanikan diri menatap pria itu. Ia sangat ingin tahu pendapat calon suaminya itu.

Reno meletakkan garpu dan pisau yang digunakannya untuk menyantap tenderloin steak di hadapannya.

"Ra, enggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Jodoh, maut, dan rezeki itu hak prerogatifnya Allah. Manusia enggak ada yang tahu bagaimana takdirnya. Tugas manusia hanya ikhtiar dan tawakkal terhadap ketetapan Allah. Jadi, daripada membiarkan pikiran kita dirasuki segala macam kecemasan yang belum tentu juga kejadian, lebih baik fokus sama tujuan awal kita, menggapai ridho Illahi. Kita sama-sama saling introspeksi, saling memperbaiki diri, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan berusaha menerapkan nilai-nilai ibadah dalam pernikahan kita nantinya. Aku sudah bilang 'kan kalau aku ingin kita sama-sama menjemput surganya Allah."

Setelah mendengar penuturan Reno, batin Ara menjadi lebih tenang. Calon suaminya itu mampu menenangkan batinnya yang tengah bergejolak. Spontan Ara pun tersenyum lega. Sepertinya calon suaminya ini sudah menjadi pria yang lebih baik dan bijaksana.

"Uhuk...uhuk! Tolong sadar diri ya, ada jomblowati nih di tengah-tengah kalian.," Sherin pura-pura batuk untuk mengecoh mereka berdua.

"Makanya Sher, ayo gercep! Kasih sinyal yang kencang ke Mas Digo!" Ara menepuk sebelah pundak Sherin.

"Hmmm...jadi sama Mas Digo belum ada kemajuan?" Reno memicingkan matanya penuh tanya pada sepupunya itu.

"Iihhh...kalian ini pada kepo tingkat Monas! Emangnya kemarin-kemarin kalian juga gercep?"

"Kalau aku sih, iya." Reno menirukan jargon salah satu juri ajang kompetisi menyanyi di televisi.

"Mas Reno bukan gercep! Tapi kebanyakan tebar pesona, menurut para pembaca cerita ini."

"Ya ampun, kalian ini emang sepupu ya! Enggak jauh beda." Ara memutar bola matanya.

"Iihh...beda dong, Ra. Aku cewek, Mas Reno cowok!" Sherin memajukan bibirnya.

"Crispy banget deh, Sher." Ara mencubit pipi Sherin dengan gemas. Sherin pun meringis kesakitan. Namun ia tidak membalas perbuatan sahabatnya itu. Sudah lama mereka berdua tidak bercengkerama seperti ini. Sherin cukup mengelus pipinya yang sedikit nyeri itu, lalu lanjut melontarkan pertanyaan yang sebelumnya terlintas di pikirannya.

"Eh, kalian berdua sudah ngomongin belum setelah nikah mau tinggal bersama di mana? Maksudnya, 'kan sekarang Ara kerja di Bali, Kak Reno di Jakarta. Nah, terus abis nikah gimana? Rencananya apa? Ara yang resign atau Kak Reno yang ikut pindah ke sini?" Sherin menoleh pada Ara dan Reno bergantian.

Kedua pasangan itu akhirnya saling bersitatap. Mencoba mencari jawaban di mata masing-masing. Mereka sendiri lupa belum membahas masalah yang satu itu. Padahal masalah ini salah satu yang krusial untuk dikompromikan.

Ara sendiri merasa keberatan jika ia harus mengalah dengan keluar dari pekerjaan yang baru dijalaninya selama enam bulan. Sedangkan Reno, tidak mungkin meninggalkan kantor grup perusahaannya di Jakarta hanya agar istrinya dapat tetap bekerja di pulau dewata itu.

Tapi lagi-lagi mereka dihadapkan oleh kenyataan untuk mengambil keputusan yang harus disepakati bersama.

Apakah Ara yang harus mengalah berhenti dari pekerjaannya? Atau Reno yang mengalah ikut pindah ke Bali? Ataukah mereka harus menjalankan hubungan jarak jauh?

***

Ara melihat Sherin yang sudah terlelap di sampingnya. Padahal tadinya sahabatnya itu sudah merencanakan ladies-night  dengan ajang curhat begadang semalaman suntuk untuk mereka berdua jalankan. Namun sepertinya sahabatnya itu merasa kelelahan.

Ara yang belum merasa ngantuk pun tergerak untuk membuka mushaf kecil yang selalu dibawanya dalam backpack-nya. Ia telah berwudhu sebelumnya.

Ara mencium kitab suci itu lalu membaca ta'awudz. Ia melanjutkan tilawahnya kemarin yang terhenti di juz 4. Ara pun mulai membuka halaman untuk membaca lanjutan dari QS. An-Nisa'. Lisannya melantunkan rangkaian huruf hijaiyah itu dengan tartil. Hatinya meresapi indahnya kalam Illahi.

Hingga matanya membaca isi ayat 34:

Ar-rijālu qawwāmụna 'alan-nisā'i bimā faḍḍalallāhu ba'ḍahum 'alā ba'ḍiw wa bimā anfaqụ min amwālihim, faṣ-ṣāliḥātu qānitātun ḥāfiẓātul lil-gaibi bimā ḥafiẓallāh, wallātī takhāfụna nusyụzahunna fa'iẓụhunna wahjurụhunna fil-maḍāji'i waḍribụhunn, fa in aṭa'nakum fa lā tabgụ 'alaihinna sabīlā, innallāha kāna 'aliyyang kabīrā

Terjemahan:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa' : 34)

Sontak mengalir air mata dari kedua pelupuk matanya. Ara merasa tersentil saat membaca terjemahan ayat itu. Sejak terlontarnya pertanyaan Sherin mengenai keputusannya dan Reno setelah menikah nanti saat makan malam tadi, batin Ara kembali tak tenang. Egonya berkata kalau ia tidak akan pernah mau menyetujui jika nantinya Reno memintanya untuk berhenti kerja di Bali dan ikut bersamanya kembali ke Jakarta menjadi seorang ibu rumah tangga.

Ara merasa kebebasannya sebagai seorang wanita akan terjajah, jika ia hanya menuruti apa kata suaminya. Itu artinya, ia tidak akan bisa melakukan apapun sesukanya, bahkan mungkin tidak akan bisa mengejar cita-citanya. Walaupun sebenarnya Ara masih belum jelas benar cita - cita apa yang sebenarnya ia kejar. Namun egonya begitu besar, membisikkan padanya jika nantinya setelah menikah kebebasannya sebagai seorang individu akan terrenggut.

Dan sekarang ayat ini sungguh menamparnya. Sebagai seorang istri tentu saja ia harus menuruti titah seorang suami. Jaminan surga seorang istri terletak pada ketaatannya dengan sang suami. Ara mengingat kembali pesan ustadz dari kajian yang ia ikuti di salah satu masjid di daerah Renon beberapa waktu lalu.

Ustadz itu berkata jika bagi seorang wanita yang telah menikah, ridho Allah terletak pada ridho sang suami. Nerakanya istri adalah ketika ia durhaka kepada suaminya. Bahkan ustadz itu menyampaikan isi satu hadits:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya, disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami atas mereka (para istri). (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Dengan jelas hadits tersebut menekankan betapa pentingnya bagi seorang istri untuk tunduk dan patuh pada suaminya. Karena semenjak akad pernikahan diucapkan, disitulah dimulai tanggung jawab seorang laki-laki terhadap wanita yang telah halal baginya, termasuk memikul dosa yang diperbuat oleh wanita itu.

Ara mengakhiri tilawahnya. Ia menutup wajahnya yang telah basah dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis sesenggukan. Jika tadi dirasanya betapa beratnya menjadi seorang istri, kini ia pun membayangkan betapa beratnya menjadi seorang suami yang menanggung semua dosa-dosa istrinya. Bayangkan saja bagaimana nantinya hukuman sang suami di hari akhir ketika dimintai pertanggung-jawaban karena tidak mampu membimbing istri dan anak-anaknya. Ara bergidik ngeri membayangkannya.

Batinnya berharap, semoga saja Reno nantinya menjadi imam yang benar-benar baik, bertanggung-jawab, dan mampu menuntunnya dan anak-anak mereka nantinya menuju kebaikan dan jalan yang diridhoi Allah.

Ditengah tangisnya yang mulai mereda, terdengar suara notifikasi pesan masuk dari ponselnya. Ara pun mengusap wajahnya yang basah lalu segera meraih ponselnya dari atas nakas. Dibukanya aplikasi whatsapp, lalu dibacanya pesan yang telah masuk.

Calon_Imam : Assalamu'alaikum, calon istri

You : Wa'alaikumussalam, calon suami

Calon_Imam : Sdg apa? Sherin udah tidur?

You : Baru sls tilawah. Iya, Sherin udah tdr. Ada apa, Kak Reno?

Calon_Imam : Masyaa Allah, calon istri sholehah 😍

You : Aamiin

Calon_Imam : Ada yg mau diomongin nih

You : Iya ada apa?

Calon_Imam : Mmm...yg td ditanyain sama Sherin pas mkn mlm. Sptnya kita hrs membahas soal itu

Ara menghembuskan napasnya pelan. Batinnya sudah menebak pasti Reno mau membicarakan masalah itu. Sebelumnya pikirannya dipenuhi dengan egonya yang bergejolak, tapi kini tidak lagi. Ia sudah mantap dan yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. Tangannya kembali mengetik di ponselnya.

You : Jd gmn, calon suami?

Calon_Imam : Kalo kamu maunya gmn? Mksdnya, apa kamu mau ttp krj disini? Atau ikut tinggal bersamaku di jkt?

You : Sbg seorg istri nantinya sudah sepantasnya mengikuti kehendak suami a.k.a MANUT BOJO. Kemana suami melangkah, disitu istri mengekor 😋

Calon_Imam : Jd mksdnya kamu mau nurut kalo misal aku blg berhenti krj & ikut dgnku ke jkt?

You : Yes, Pak! 😊

Calon_Imam : Ah si ibu ini...bikin saya melted 💓

You : Emgnya es batu meleleh 🙄

Calon_Imam : Momen romantis buyar 💔🤦‍♂️

You : Ah si bpk, gitu aja nyerah. Usaha lg dong!

Calon_Imam : Hmmm...lg minta dirayu nih?

You : Nanti aja, kalo udah halal

Calon_Imam : Untung diingetin kalo blm halal. Kalo ngga, bisa kebablasan. Udah galfok nih 😋

You : 🤦‍♀️Kembali ke laptop! Jd intinya...apapun keputusan yg diambil sama Kak Reno, Ara manut

Calon_Imam : Tp aku bukan laki2 otoriter, Ra. Aku butuh pendapatmu.   Makanya td aku tanya kamu maunya gmn. Buatku, keinginanmu itu jd prioritas.

Ara mengembangkan senyumnya. Ia bersyukur calon suaminya bukan orang yang egois. Sekarang ia bisa ikhlas dengan keputusan apapun yang diambil suaminya nanti.

You : Keinginanku cuma 'together 'till jannah' ❤

Calon_Imam : Ya Allah...Masyaa Allah! Kok skrg kamu jago bikin aku deg2an ya. Kalo gini ceritanya, kita nikah minggu dpn!!!

You : WHAT??? 😱😱😱

------

Ara melihat jam tangannya. Sudah dua puluh menit ia menunggu di cafe, tapi yang ditunggu belum datang juga.

Tadi siang Sitta menghubunginya. Ia mengatakan kalau ada hal penting yang ingin dibicarakannya. Bahkan di telepon tadi suara Sitta terdengar lirih dan menyimpan kegelisahan. Membuat Ara semakin bertanya-tanya hal penting apa yang mau dibicarakannya.

Ara kembali menyeruput strawberry-milkshake di hadapannya. Kedua tangannya memainkan sebuah game escape-challenge yang sudah terrakit di ponselnya.

"Ra, maaf ya aku telat. Tadi aku ada meeting dadakan." Sitta tiba-tiba muncul di hadapannya dengan napas tersengal. Sepertinya ia baru saja menghabiskan energinya untuk tiba dengan cepat di cafe itu. Sitta langsung mengambil duduk di hadapan Ara.

"Eh, iya enggak apa-apa, Mbak. Ara lagi santai juga, kok! Pesan dulu, Mbak." Ara mempersilahkan Sitta untuk membaca buku menu.

Sitta pun membaca sekilas. Lalu memanggil seorang pelayan yang sedang berjalan melewati meja mereka. Ia hanya memesan lemon-squash saja.

"Jadi...ada apa ya, Mbak?" Ara tak sabar untuk bertanya. Sejak tadi ada rasa tak enak meliputi batinnya.

Sitta menghirup napas dalam - dalam beberapa kali sebelum bicara pada Ara. Di kepalanya sudah tersusun narasi yang akan disampaikan olehnya.

"Jadi begini, Ra...kamu pernah dengar soal Tante Danish?" Sitta menatapnya dalam.

"Tante Danish? Siapa ya?" Ara mengernyitkan dahinya. Pikirannya coba mengingat-ingat nama itu, tapi sepertinya nama itu tidak tertanam dalam memorinya.

"Reno belum pernah cerita soal Tante Danish?"

Ara menjawab pertanyaan Sitta dengan menggelengkan kepalanya.

"Jadi begini, Tante Danish itu Tante-ku. Tante angkat sebenarnya, berhubung ayah-ku juga hanya ayah angkat. Tapi...Tante Danish juga sahabat dari Ibu-nya Reno." Sitta menjelaskan dengan perlahan, agar Ara dapat mengerti alur ceritanya.

"Dan Tante Danish itu juga ibu angkat dari Reno. Ia merawat Reno setelah ibunya meninggal. Dan beliau tinggal di Sidney, Australia."

Ara mengernyitkan dahinya kembali. Ia baru saja tahu kalau calon suaminya punya ibu angkat. Kembali ia menemukan fakta baru tentang suaminya. Ara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia meminta Sitta melanjutkan ceritanya.

"Jadi selama Reno belajar culinary di Sidney, dia tinggal di rumah Tante Danish. Dan Tante Danish juga yang membantu memberinya modal untuk menjalankan usaha restorannya hingga maju seperti sekarang. Lebih tepatnya, Tante Danish adalah investor terbesar dari bisnis yang Reno jalankan."

Ara mencoba mencerna setiap detail cerita Sitta. Ia masih menyimak kalimat demi kalimat yang diucapkan Sitta dengan seksama.

"Saat aku berkunjung ke Sidney dan mengetahui kalau Tante Danish adalah sahabat ibunya Reno, aku memanfaatkan situasi itu. Aku mencoba memberi kesan pada Tante Danish kalau kami saling menyukai. Sehingga Tante Danish sempat memiliki ide untuk menjodohkan kami berdua."

Ara memasang wajah datar. Ia mulai menebak-nebak kemana cerita ini bermuara.

"Dan saat aku mengetahui kalau Tante Danish menjadi investor di restorannya Reno, aku kembali memanfaatkan kesempatan itu. Aku meminta Tante Danish untuk membujuk Reno agar mau memberikan posisi pekerjaan yang bagus untukku. Dan sangat mudah bagi Tante Danish untuk membujuk Reno, disitulah tercetus perkataan Tante Danish kalau ia berharap Reno mau segera menikahi aku. Dan Reno pun mengiyakan omongan Tante Danish waktu itu. Mungkin karena dia sudah merasa sudah banyak berhutang budi pada Tante Danish."

"Dan kamu tahu cerita selanjutnya. Aku terus-menerus menjual nama Tante Danish untuk memaksa Reno agar mau menikahiku. Maafin aku ya, Ra. Waktu itu aku bodoh, khilaf, egois, jahat. Aku benar-benar jahat! Aku malu pernah menjadi manusia seburuk itu." Sitta menundukkan kepalanya. Digenggamnya erat-erat lengan Ara yang terkulai di atas meja.

Tangan Ara yang sebelah lagi terulur untuk menggenggam tangan Sitta. Ia mencoba memberikan kekuatan bagi Sitta yang tengah menyesali kejahatan masa lalunya.

"Enggak apa, Mbak. Yang penting sekarang Mbak Sitta sudah berubah menjadi orang yang lebih baik. Masa lalu ada untuk diambil hikmahnya, agar kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik di masa depan." Ara mengulas senyum manisnya.

"Terima kasih ya, Ra. Enggak salah Reno milih kamu." Sitta membalas senyumannya. Namun hanya sekilas, tiba-tiba wajahnya kembali sendu.

"Tapi Ra...sekarang muncul masalah baru!" Sitta menghembuskan napasnya kasar.

"Masalah apa, Mbak?"

"Tadi malam, aku baru dapat kabar dari Thomas, suami dari Tante Danish. Dan kabar ini...aku enggak tahu gimana ngomongnya." Sitta menggigit bibirnya kuat-kuat. Matanya memandang risau.

"Ada apa, Mbak?" Ara memandang Sitta dengan penuh tanya. Ia kembali merasakan sesuatu yang tidak enak bergelenyar di dalam hati.

Sitta terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab.

"Tante Danish sekarat, Ra. Dan beliau mengatakan...ingin menyaksikan aku menikah dengan Reno secepatnya."

***

TBC