Di depan pintu masuk bandara Ngurah Rai, Reno dan Ara saling bungkam. Masing-masing berkutat dengan pikiran mereka yang sedang mencari solusi.
Saat awal bertemu tadi, Ara sudah menyampaikan pada Reno semua cerita dari pertemuannya dengan Sitta kemarin sore.
Sitta memang sengaja meminta Ara yang menyampaikan berita itu langsung ke Reno. Ia memang ingin membatasi diri dari Reno, karena sekarang pria itu sudah menjadi calon suami perempuan lain. Khawatir akan timbul fitnah nantinya jika ia masih saja berhubungan dengan Reno.
Kini Ara akan melepas kepulangan Reno ke Jakarta. Dan Ara merasa, sebelum Reno kembali ke ibukota, ia harus segera menceritakan perihal permintaan Tante Danish itu pada Reno. Masalah ini harus diselesaikan secepatnya.
Setelah mendengar ceritanya itu, ekspresi wajah Reno langsung berubah. Ia merasa bodoh telah lalai melupakan urusan yang satu itu. Ia bahkan belum mengabari Tante Danish tentang semua kejadian yang menimpa Sitta dan keluarganya. Selama beberapa tahun ini, Reno menahan diri untuk tidak mengabarkan berita-berita tidak mengenakkan pada Tante Danish, karena khawatir berdampak buruk bagi kesehatannya. Ia bahkan belum mengabari Tante Danish tentang ayahnya yang sudah tiada. Atau tentang salah satu restorannya yang terancam ditutup akibat salah manajemen.
Tapi sekarang, untuk masalah yang satu ini, ia tidak bisa menahan diri. Tidak mungkin jika ia mengadakan pernikahan dengan Sitta hanya karena memenuhi permintaan ibu angkatnya itu.
Namun Reno merasa bersyukur tidak menghadapi masalah ini sendirian. Ada Ara yang sekarang ini mendampinginya.
Tapi sayangnya, pikiran Ara pun sedang buntu. Sehingga dari tadi mereka berdua hanya saling memandang dalam diam.
Dan Reno merasa tidak betah dengan situasi ini. Di dalam hatinya ada rasa cemas jika Ara marah pada dirinya. Reno pun berniat untuk menginisiasi pembicaraan.
"Ehm...Ra, kamu marah ya?" Reno menatapnya dengan raut penuh kecemasan.
"Marah? Marah kenapa?" Ara mengernyitkan dahinya.
"Ya karena aku enggak pernah cerita masalah ini. Dan akhirnya kamu malah tahu ceritanya dari Sitta."
"Ara enggak punya hak untuk marah, Kak. Itu cerita masa lalu Kak Reno, di mana Ara belum menjadi bagian dari cerita itu. Lagipula kalau Ara berada di posisi Kak Reno, mungkin Ara akan melakukan hal yang sama. Ara tahu sulitnya untuk menolak permintaan orang yang telah banyak berjasa pada kita. Inginnya hutang budi segera dibalas tuntas." Ara berkata dengan bijak.
Reno tersenyum pada calon istrinya itu. Jawaban istrinya itu membuatnya lega, bahkan menaikkan kadar rasa cintanya terhadap Ara.
"Ra, asli kamu tuh jadi jago bikin aku semakin...." Reno tidak bisa melepas zina matanya dari Ara.
"Semakin apaan?"
"Semakin ngebet nikah! Sekarang aja yuk ke Surabaya, nyusul Mas Digo, terus kita ke KUA!"
"Iihhh...apaan sih? Selesaiin dulu ini masalahnya. Main nikah aja! Entar kalo kita udah nikah terus ternyata Kak Reno juga harus nikahin Mbak Sitta karena wasiat Tante Danish gimana? Ara enggak mau lho dipoligami!"
"Ya ampun, Ra! Boro-boro mikirin poligami. Ngajakin kamu nikah aja perjuangannya udah kayak ngadepin tentara sekutu."
"Apaan siiih? Lebay deh, Pak! Emangnya Bapak pernah ikut perang jaman Belanda?" Ara terkekeh pelan. Setidaknya suasana diantara mereka sudah lebih cair. Reno pun tersenyum lega.
"Naaah gitu dong, ketawa. Kan enak dilihatnya. Enggak tegang kayak tadi. Jantungku udah hampir copot lho melihat kamu yang merengut terus daritadi."
"Ya gimana enggak merengut, Ara 'kan juga kepikiran kalau..." Semakin lama volume suaranya semakin rendah hingga akhirnya Ara menghentikan kalimatnya.
"Kalau apa?" Reno menatapnya serius, menuntut Ara memberikan kejujuran padanya.
"Kalau...kalau..."
"Ara! Spill it out!"
"Ya kalau ternyata Kak Reno dan Mbak Sitta terpaksa harus menikah demi memenuhi keinginan Tante Danish." Ara menyentak. Terselip rasa kesal di dalam kalimatnya.
Reno menggelengkan kepalanya. Andai saja ia bisa merangkul Ara saat ini, pasti sudah dilakukannya. Inginnya ia bisa memberikan kenyamanan agar Ara tidak resah seperti sekarang.
"Ra, aku dan Sitta enggak akan mungkin menikah, dan tidak akan pernah. Aku sudah menjatuhkan pilihan padamu. Cuma nama kamu yang terlantun di setiap munajatku pada Allah. Jadi stop berpikiran yang tidak-tidak! I promise i'll fix this! Hari ini aku pulang ke Jakarta, mengurus semua pekerjaanku dulu. Mungkin untuk dua hari. Insyaa Allah, lusa aku berangkat ke Sidney. Aku akan mencoba meluruskan segalanya dengan Tante Danish. Tolong percaya sama aku, Ra! No matter what, just trust me!" Reno berkata dengan tegas.
Ara memejamkan matanya. Dalam hati ia mempercayai setiap ucapan Reno. Dan ia yakin skenario Allah akan indah pada waktunya. Jika manusia sudah berniat untuk menyegerakan kebaikan, insyaa Allah pasti akan dipermudah jalannya. Ara meyakini hal itu.
"Iya, Ara percaya dengan Kak Reno."
-----
Sudah seminggu sejak keberangkatan Reno ke Sidney, namun Ara sama sekali belum mendengar kabar dari pria itu. Beberapa hari ini pikirannya tidak fokus pada pekerjaannya. Beberapa kali Ara melakukan kesalahan saat input data ke tabulasi. Bahkan ia melakukan salah perhitungan di cost-management hingga mengakibatkan kepala cabang perusahaan itu yang disebutnya sebagai Bos Besar memberinya SP1.
Namun keluarnya surat peringatan itu tak membuatnya lantas jadi fokus bekerja. Tetap saja hari ini ia membuat kesalahan-kesalahan lainnya. Untung saja hari ini sang Bos Besar tidak berada di kantor, karena sedang terbang ke Beijing menemani istrinya berobat.
Ara kembali mencoba menghubungi nomor ponsel Reno. Ditempelkannya ponsel itu di sebelah telinga kanannya. Lagi-lagi, teleponnya tidak diangkat oleh Reno. Pesan di Whatsapp pun hanya tertera status sudah dibaca. Namun Reno tidak membalas pesan-pesannya.
Setiap kali ia dilanda kegelisahan seperti ini, Ara selalu mengingat kata-kata Reno untuk terus percaya padanya apapun yang terjadi. Dan Ara selalu menanamkan rasa percaya itu dalam benaknya, meskipun sulit.
Namun Ara sudah membiarkan kegelisahan melandanya selama seminggu ini. Perasaannya pun bercampur-aduk. Sepertinya sudah saatnya ia mencari tahu apa yang sedang terjadi di Sidney. Tapi Ara bingung, mencari tahu kemana? Ara pun memutar otaknya untuk berpikir. Ia merebahkan diri ke atas kasur di kamar kosnya.
Dan tiba-tiba saja pikirannya melambung pada Sitta. Mungkin saja Sitta mengetahui bagaimana kabarnya Reno di sana. Atau kalau perlu, ia akan mengajak Sitta untuk menyusul Reno ke sana.
Ara pun mencari nomor kontak Sitta yang sudah tersimpan di ponselnya. Ia menekan tombol panggilan. Hanya terdengar nada panggil yang monoton, namun panggilan itu otomatis terputus sendiri karena tidak diangkat oleh Sitta. Ara mencoba tiga kali lagi namun hasilnya sama. Ara pun semakin merasa tidak karuan.
Tiba-tiba pikirannya tertuju pada Faisal. Ia ingat dosen pembimbingnya itu juga merupakan sepupu dari Reno. Ara pun kembali melakukan panggilan, kali ini yang dipilihnya nomor kontak Faisal. Ara menunggu nada panggilnya terjawab, namun ternyata hasilnya sama saja. Faisal pun tidak mengangkat panggilan telepon dari Ara.
Ara menghembuskan napasnya dengan kasar. Ingin rasanya ia berteriak saking frustasinya. Namun cepat-cepat dilantunkannya kalimat istighfar di dalam hati. Kembali diingatnya pesan Reno agar jika sedang berhadapan dengan masalah, dirinya tidak mudah terbawa emosi dan terhasut oleh bisikan setan yang memang senang menggoda manusia. Emosi hanya akan mengaburkan akal sehat.
Ara perlu kembali menjemput akal sehatnya. Ia perlu pengalihan. Ara pun terbangun lalu berjalan menuju meja kerjanya untuk mengambil kamera DSLR-nya yang tersimpan di dalam laci meja. Lalu menggamit tas ransel kecilnya. Ia berjalan keluar dari kamar kosnya.
Saat sampai di depan jalan raya, sebuah mobil berhenti tepat didepannya. Kaca di sebelah kanan belakang pun terbuka, terlihatlah wajah pria yang sudah seminggu ini membuat pikirannya resah.
"Assalamu'alaikum. Mau kemana, Ra?"
"Kak Reno?" Ara terkejut, mulutnya menganga lebar.
"Ayo, balik ke kosan!" Reno keluar dari dalam mobil. Lalu memberi isyarat agar Ara mengikutinya. Reno membimbingnya untuk berjalan masuk kembali ke dalam rumah kos-nya. Ara yang masih terbengong-bengong pun mengikutinya.
Tiba di depan pintu kamar Ara, Reno bersandar pada dinding sembari menyedekapkan kedua tangannya. Pria itu terlihat lelah, pipinya semakin tirus
Ara masih terpaku menatap pria itu.
"Ra, kamu bengong?" Dilambai-lambaikannya tangannya di depan wajah Ara. Lalu Ara pun tersadar.
Tiba-tiba wajah Ara berubah menjadi cemberut. Dipalingkannya wajahnya dari Reno.
"Iya, aku tahu kamu marah. Nanti aku jelasin semuanya di jalan. Sekarang kamu bereskan baju-baju kamu, ikut aku ke Jakarta. Aku tunggu di sini." Reno masih bersikap santai.
"Hah? Maksudnya? Ara ikut pulang ke Jakarta? Enggak bisa, Kak. Ara masih punya kerjaan. Ara juga belum izin cuti. Pokoknya enggak bisa! Lagian enak aja baru datang udah nyuruh ini itu." Ara kembali membuang wajahnya.
"Iya aku tahu, aku ngerti marahnya kamu. Tapi masalahnya sekarang kita dikejar waktu. Kita harus buru-buru. Pesawatnya berangkat sejam lagi!" Reno mengeluarkan dua tiket pesawat dari dalam saku jaket denimnya.
Ara pun terkesiap melihat lembaran tiket itu. Sekarang kepalanya dipenuhi pertanyaan.
"Ini sebenarnya ada apa sih, Kak? Kenapa enggak ngomong-ngomong dulu sih sama Ara? Lagian Ara tadi udah bilang, enggak bisa, Ara belum izin kantor."
"Enggak usah mikirin urusan kantor. Sudah diurus sama Faisal. Sekarang buruan packing!" Reno berucap dengan entengnya.
Ara menghentakkan sebelah kakinya kesal. Ia pun langsung masuk ke kamarnya dan mengemas beberapa pakaiannya. Ara mendongkol dalam hati. Ia masih ingat seminggu yang lalu Reno berucap tidak mau menjadi suami yang otoriter dan keinginan Ara akan menjadi prioritasnya.
Sekarang? Reno justru bersikap sebaliknya, bertindak otoriter dan tidak menganggap omongannya.
"Packing-nya jangan sambil marah-marah dong, calon makmum." Reno berdiri di depan pintunya.
Ara melirik tajam ke arah Reno. Namun Reno di depan sana justru tertawa melihat sikapnya, yang justru menaikkan level kekesalan Ara.
Setelah menyiapkan bawaannya, Reno langsung masuk ke dalam kamar untuk menjinjing tas dan koper bawaan Ara.
"Bantuin kok cuma bawain tas doang! Sekalian kek tadi bantu berkemas." Sindir Ara disertai nyinyiran.
Reno yang tadinya sudah berjalan ke arah pintu, membalikkan badannya lalu melangkah mendekati Ara hingga wajah keduanya hanya berjarak sedikit. Ara pun menahan napasnya. Ia terlihat takut.
Hanya sesaat kedekatan itu terjadi, lalu Reno langsung mengambil langkah mundur. Ara yang tadi sempat mengalami palpitasi jantung akhirnya menghirup napas cepat, ia butuh asupan oksigen.
"Astaghfirullah! Aku tuh bawaannya pingin nerkam kamu sampai ke kasur, Ra. Bahaya 'kan kalau sampai kejadian hal-hal yang sangat diinginkan? Jadi jangan coba mancing-mancing ya! Imanku belum kuat." Reno menaikkan sebelah sudut mulutnya. Lalu dengan sikap tak acuh kembali berjalan keluar.
Ara kembali menghirup napas dalam-dalam. Ia baru saja menyadari kalau akan menikahi seorang pria yang 'berbahaya'.
Ara akhirnya berjalan keluar dan mengunci pintu kamar kos-nya.
Sesampainya di dalam mobil yang dikemudikan oleh seorang driver itu, Ara memberanikan diri menatap pria disampingnya itu.
"Mobil udah jalan nih! Perasaan...tadi ada yang bilang mau cerita di jalan." Ara menyindir untuk menagih ucapan Reno tadi.
Akhirnya Reno mulai membuka suara untuk membeberkan semuanya.
"Enggak usah pake disindir juga aku mau cerita."
Mendengar jawaban Reno, Ara memutar bila matanya.
"Jadiii...waktu aku tiba di Sidney, aku langsung ke rumah sakit tempat Tante Danish dirawat. Tante Danish memang sudah terlihat lemah. Beliau menanyakan keberadaan Sitta, lalu memintaku segera menikahi Sitta. Tapi untungnya, sebelum berangkat ke Sidney, aku sudah merencanakan sesuatu. Aku telepon Sitta dan juga Faisal. Aku minta bantuan Faisal untuk rencanaku ini. Jadi Sitta dan Faisal menyusul terbang ke Sidney sehari setelahnya."
"Memangnya untuk apa Kak Reno minta bantuan Pak Faisal?" Ara mengerutkan dahinya bingung.
"Begitu Faisal dan Sitta tiba di Sidney, aku minta mereka langsung datang ke rumah sakit. Sampai di sana, Sitta menjelaskan pada Tante Danish kalau sekarang kami berdua sudah berpisah dan punya pasangan masing-masing. Sitta mengakui kalau Faisal adalah calon suaminya. Dan dia bilang ke Tante Danish kalau aku akan segera menikahi kamu."
"Mbak Sitta dengan Pak Faisal? Itu beneran atau setting-an?"
"Kamu kebanyakan nonton infotainment ya?" Reno memicingkan matanya. Rasanya ingin sekali mencubit pipi calon istrinya itu.
"Iihhh...serius nanya ini!"
"Ehm...sebenarnya Sitta memang sedang suka sama Faisal. Cuma Faisal lagi usaha pedekate sama perempuan lainnya."
"Hah? Jadiii...yang waktu itu Mbak Sitta pernah bilang lagi suka sama cowok lain...itu maksudnya Pak Faisal?"
Reno mengangkat kedua bahunya untuk menjawab pertanyaan Ara.
"Jadi...Pak Faisal mau disuruh pura-pura jadi calon suami Mbak Sitta?"
"Faisal bersedia membantu demi kita. Tapi, aku sendiri enggak ngerti motifnya yang sebenarnya." Reno kembali mengangkat bahunya.
"Terus...gimana Tante Danish pas dengar penjelasannya Mbak Sitta?" Ara kembali menuntut Reno melanjutkan ceritanya.
"Tante Danish memang sempat terlihat kecewa. Tapi, alhamdulillah beliau bisa menerima keputusan kami berdua. Bahkan Tante Danish bilang enggak sabar mau ketemu kamu. Dan setelah itu, anehnya kondisi kesehatan Tante Danish justru berangsur membaik, walaupun belum benar-benar pulih."
Ara bersyukur dalam hatinya. Benar saja, Allah mempermudah jalan mereka berdua. Kini Ara bisa bernapas dengan lega. Tiba-tiba Ara tersadar akan sesuatu.
"Terus...kenapa selama seminggu ini Kak Reno tidak angkat telepon Ara? Pesan WA Ara juga enggak dibalas. Cuma status read doang! Tau enggak sih gimana keselnya Ara???" Ara kembali pada mood-nya semula yang jengkel pada Reno.
"Kalau aku jawab, kamu percaya enggak?" Reno menatapnya dengan teduh.
"Jawab apa?"
"Waktu mau terbang ke Sidney, aku lupa bawa HP. Ketinggalan di apartemen. Baru sadar saat sudah check-in di bandara."
"Hah? Serius?" Ara melebarkan matanya.
Reno menganggukkan kepalanya untuk menjawab.
"Kok bisa sih ketinggalan?"
"Ya namanya juga orang lagi banyak pikiran."
Ara mencibir bibirnya. Meskipun terselip perasaan lega di hatinya. Setidaknya kegelisahan yang dirasanya sejak seminggu ini lenyap sudah.
"Terus sekarang mana HP-nya? Tadi Ara juga nelpon sama WA lho! Tapi enggak direspon juga tuh!"
"Ra, aku naik penerbangan dari Sidney yang langsung ke Bali, lho. Makanya ini aku jemput kamu dulu biar kita sama-sama ke Jakarta."
"Hah? Jadi ini Kak Reno baru datang dari Sidney?"
"Yup!"
"Terus...ngapain kita ke Jakarta?"
"Nikah!"
"Hah? Kak Reno jangan main-main!"
"Aku serius, Ra. Akad nikah kita akan dilangsungkan besok pagi."
***
Petala jingga menoreh guratan senja di muka bumi
Mengiringi jatuhan tetes embun di musim semi
Kuncup itu bermekaran dalam sunyi
Menguak kisah terselubung jeri
Puspa merah jambu mengelopak di bawah cakrawala
Tertiup sayup udara terhembus dari tenggara
Tertengadah kepala menyalang senja kesumba
Mengulik mimpi yang tlah lalu bersama sang mahajana
Ah...surga dunia
Rupamu menjerat pesona setiap manusia
Menggantikan gulita hati dengan pelita
Membingkai cinta di setiap kisah mahabbah
Ah...kusuma pembawa harapan
Warnamu melukiskan keselarasan
Menyingkirkan setiap hamparan kesemuan
Melenyapkan duka yang tak terperikan
Ah...sakura
Cantikmu bercengkerama dengan alam
Menjadi saksi musnahnya sang nestapa dalam temaram
Dan kini kudapat katakan...kisah itu pun tak lagi kelam
By: Author
-----------------------------------------------------------
"Saudara Kananta Moreno bin Yudho Prawiro, saya nikahkan dan kawinkan adik saya yang bernama Azura Andhara binti Alwan Baskara kepada engkau, dengan mas kawinnya berupa emas seberat 25 gram, tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Azura Andhara binti Alwan Baskara dengan mas kawinnya tersebut, tunai!"
"Sah!"
Ucapan hamdalah disertai lantunan do'a-do'a terdengar dari dalam aula rumah besar itu.
Beberapa detik kemudian sang pengantin wanita, yaitu Ara yang sejak sebelum prosesi akad dimulai ditempatkan di ruang terpisah, kini dituntun keluar oleh Sherin untuk menghampiri Reno yang sekarang telah sah menjadi suaminya.
Setelah berdiri berhadapan dengan Reno, Ara mencium tangan Reno takzim. Ini pertama kalinya ia menyentuh tangan pria yang baru saja sah menjadi imamnya. Hati keduanya saling bergetar, rasa haru dan bahagia meliputi sepasang pengantin baru itu.
Sementara Reno masih menatap Ara dengan terkesima oleh penampilannya yang memukau, dengan kata lain 'manglingi'.
Setelah keduanya menyelesaikan administrasi buku nikah dan sesi foto, mereka pun berdiri berdampingan untuk menerima ucapan selamat dari keluarga, saudara, sahabat, dan kerabat lainnya.
"Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakumaa fii khair." Faisal mengucapkan do'a untuk keduanya ketika bersalaman dengan Reno, yang langsung di-aamiin-kan oleh Reno dan Ara.
"Terima kasih ya, Bro! Terima kasih banyak untuk bantuan lo, Cal." Reno merangkul sepupunya itu sembari menepuk punggungnya.
"Bro, jaga Ara baik-baik. Dia tanggung-jawab lo sekarang! Treat her well!"
"Pasti!" Reno menarik senyum lebar. Ara yang juga sedang bersalaman dengan Sitta pun ikut tersenyum sumringah.
"Semoga kalian berdua menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warrohmah. Aku ikut bahagia buat kalian berdua." Sitta pun ikutan memeluk Ara.
"Aamiin. Terima kasih banyak, Mbak Sitta! Terima kasih untuk semuanya. From now on, we are sisters!" Ara mengacungkan jari kelingkingnya untuk ditautkan dengan jari kelingking Sitta. Sitta pun menyambut ucapan Ara itu dengan kembali mendekapnya. Sitta benar-benar merasa bahagia karena Ara dan Reno akhirnya bisa bersatu.
Setelah bersalaman dengan beberapa orang lainnya, terlihat seorang wanita berumur 50-an menggunakan kursi roda yang didorong oleh seorang pria asing berambut abu-abu dari belakangnya. Meskipun terlihat lemah dan pucat, riasannya menonjolkan wajahnya yang masih terlihat cantik di usia senja.
"Ara, kenalkan ini Tante Danish." Reno mengenalkan Ara pada ibu angkatnya itu.
Ara menunduk hingga sedikit berjongkok untuk mensejajarkan kepalanya dengan Tante Danish.
"Perkenalkan Tante, saya Ara." Ara pun meraih tangannya untuk dicium dengan takzim. Lalu mencium kedua pipinya.
"Ternyata pilihan Reno tepat. Kamu sangat cantik, Ara. Dari parasmu terlihat, kamu orang yang baik. Jika saja Maya, ibunya Reno masih hidup dan melihatmu, pasti dia akan membanggakan kamu sebagai menantunya. Tolong jaga Reno baik-baik ya. Saya yakin kamu akan menjadi istri yang sholehah."
"Aamiin. Terima kasih, Tante. Terima kasih sudah menyempatkan hadir di sini. Insyaa Allah, kami berdua akan saling menjaga satu sama lain. Do'a kami juga untuk Tante agar semakin sehat dan bisa pulih secepatnya." Ara menggenggam kedua tangan Tante Danish dengan erat. Ia mencoba memberi semangat pada wanita itu, sekaligus berterima kasih.
Pernikahan ini memang sengaja dilakukan mendadak karena permintaan Tante Danish. Wanita paruh baya itu bersikeras agar Reno secepatnya menikah. Meskipun dalam kondisi yang belum pulih benar, Tante Danish berkeras hati ingin terbang ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Reno.
"Tante janji akan sembuh secepatnya. 'Kan sebentar lagi mau nimang cucu." Tante Danish tergelak. Ucapan Tante Danish sontak membuat wajah Ara memerah malu.
"Tunggu saja, Tante. Malam ini juga siap produksi!" Reno menaik-turunkan alisnya, menampilkan senyum jahil. Mendengar perkataan Reno, wajah Ara berubah tegang.
Dan sesi salam-salaman itu pun berlanjut hingga satu jam setelahnya. Lalu diikuti dengan acara makan-makan dan ramah-tamah.
Siangnya dilanjutkan dengan acara walimatul 'urs untuk para tetangga sekitar. Acara ini diadakan sekaligus untuk menghindari fitnah yang muncul nantinya jika tiba-tiba mereka melihat Reno membawa pulang seorang wanita ke rumah itu.
Sebelum masuk waktu Ashar, para tamu pun mulai pamit pulang. Terkecuali Digo, Violet, Fadil, Faisal, Reihan, Sherin, Sitta, serta Salman keponakannya. Sebenarnya Ara juga berharap Salsa bisa hadir di acara pernikahannya ini, sayangnya ia belum sempat mengabari atasannya itu karena Reno menjemputnya dadakan kemarin sore.
Ara sendiri tidak menyangka bahwa pernikahannya bisa berlangsung secepat ini. Namun Ara tak kuasa menolak ketika Reno menceritakan perihal permintaan Tante Danish. Apalagi mengingat ibu angkat suaminya itu memaksakan diri terbang ke Jakarta di tengah kondisi kesehatannya yang mengkhawatirkan.
"Ehm...jadi pengantin baru mau honeymoon ke mana nih?" Sherin bertanya sembari mengedip-ngedipkan kedua matanya.
"Belum mikirin itu, beib! Ini aja dadakan. Lagian, gue masih punya urusan kerjaan." Ara menjawab santai sembari mengajak bermain Salman yang duduk di pangkuannya.
"Enggak usah khawatir, Ra. Saya sudah bilang ke teman saya, kalau kamu cuti menikah dua minggu." Faisal menanggapi dengan santai.
"Hah? Beneran Pak? Terus? Boleh?" Ara melebarkan matanya.
"Boleh, dong! Sudah, tenang aja. Nikmati masa bulan madu kalian dua minggu ke depan."
"Pasti dong! Jadi, mau kemana, sayang?" Reno melirik pada Ara yang duduk disebelahnya. Tangannya hendak merangkul Ara, namun Ara langsung menggeser duduknya hingga berjarak. Ia pun sengaja mendudukkan Salman di tengah-tengah mereka. Wajahnya mengisyaratkan agar Reno tidak memperlihatkan kemesraan mereka di depan orang-orang.
"Sabar, Ren! Main habek aja! Nanti tunggu kita pulang, baru deh tuh lo puas-puasin di kamar sampai jumpalitan!" Reihan dan yang lainnya tertawa melihat aksi Reno yang berujung penolakan oleh istrinya.
Hingga ba'da maghrib, kelimanya baru pamit pulang satu persatu. Digo yang paling terakhir meninggalkan rumah itu. Kakak pertama Ara itu memberikan wejangan terlebih dahulu pada adiknya mengenai hak dan kewajibannya sebagai seorang istri dalam agama Islam. Ara pun menanamkan dalam pikiran dan hatinya apa saja pesan yang sudah dilontarkan oleh Digo itu.
Kini mereka menempati rumah orangtua Reno. Reno sudah menyatakan bahwa untuk sementara mereka akan tinggal disini sampai nantinya Reno menemukan rumah yang sesuai untuk keluarga baru mereka. Ara pun menyetujui permintaan suaminya itu.
Ara yang sudah berganti baju kini sedang membersihkan wajahnya yang masih penuh dengan riasan di depan cermin.
Reno memandangi istrinya itu dari belakang.
"Kenapa ngeliatin?" Ara yang menyadari sedang ditatap oleh suaminya pun akhirnya bertanya.
"Boleh dong ngeliatin sepuasnya. 'Kan sudah halal." Reno melebarkan senyumnya yang memang sudah tersemat di wajahnya dari tadi.
"Emang kenapa ngeliatin Ara terus?" Ara mendengus.
"Mataku sedang mengagumi keindahan istriku."
Mendengar jawaban suaminya, Ara menoleh ke belakang. Ditatapnya suaminya yang sedang tersenyum lebar.
"Gombal deh, Kak!" Ara mencebik.
"Sayang...'kan sekarang statusku sudah jadi suami, panggilannya diganti dong." Reno berjalan mendekati istrinya dari belakang. Disentuhnya kedua bahu Ara yang tertutup hijab instant. Wajah Ara pun kembali tegang. Ada rasa gugup, takut, khawatir menerpanya.
"Ma-maksud-nya?" Ara bertanya dengan terbata-bata. Degup jantungnya bertalu kencang. Pandangannya masih menatap pada cermin, tidak berani menoleh ke arah suaminya.
"Jangan panggil aku 'Kak' lagi." Reno merendahkan wajahnya hingga pipi keduanya bersentuhan.
Wajah Ara memerah total. Irama jantungnya berlonjakan. Cepat-cepat dipikirkannya sesuatu. Ara pun bangkit dari duduknya, sengaja agar jarak mereka tidak sedekat tadi.
"Ehm...Kak, eh itu, emmm...'kan sunnahnya setelah akad, diikuti dengan sholat dua roka'at ya. Sholat yuk!" Tanpa menunggu jawaban Reno, Ara bergegas masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar itu untuk mengambil wudhu. Sekaligus untuk melarikan diri dari suaminya. Ara berlama-lama di dalam kamar mandi, berusaha menenangkan dirinya yang mendadak tegang.
Reno hanya bisa menghela napasnya. Ia memang berencana akan mengajak Ara menunaikan sholat sunnah pengantin, tapi menunggu kegiatan bersih-bersih riasan istrinya itu selesai. Namun ia menyadari Ara sedang berusaha menghindari kedekatan yang sedang dibangunnya.
Selesai keduanya bergantian mengambil wudhu. Reno pun untuk pertama kalinya menjadi imam sholat untuk istrinya. Selesai menunaikan sholat dua roka'at keduanya melanjutkan dengan sholat Isya. Usai mengucapkan salam yang mengakhiri sholat, dengan gugup Ara meraih tangan Reno untuk diciumnya.
Reno pun menempelkan telapak tangannya di pucuk kepala Ara sembari membacakan do'a untuk istrinya.
Allahumma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha 'alaihi. Wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaihi.
Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa. (HR. Bukhari)
Ara mengangkat kepalanya memandang suaminya dengan penuh cinta. Kini rasa gelisah yang tadi menerpanya telah menghilang.
Reno pun memandang Ara penuh makna. Tatapannya menyiratkan cinta dan kasih sayang sepenuhnya untuk Ara. Tangannya terangkat untuk membuka mukena yang tengah membungkus kepala dan badan Ara. Dipandangnya istrinya itu yang tidak mengenakan hijab. Dilepasnya ikat rambut Ara hingga rambutnya yang panjang tergerai.
"Masyaa Allah, bidadariku benar-benar cantik." Reno membelai lembut pucuk kepala istrinya. Ia menghirup dalam-dalam wangi rambut Ara yang beraroma mawar. Aroma itu merasukinya.
Ara tersenyum malu. Ia kembali berusaha menenangkan detak jantungnya yang berderap kencang.
Reno mengangkat kedua tangannya untuk menyentuh pipi Ara. Sentuhan itu meruangi hati Ara dengan penuh kehangatan.
Perlahan Reno mendekatkan wajahnya dengan wajah Ara hingga kedua dahi mereka saling bersentuhan. Napas keduanya terdengar menderu. Ara memejamkan matanya. Perlahan, bibir Reno mengecup dahi istrinya. Lalu berpindah mengecup kedua pipi Ara yang mulus. Tangan Ara meraih kedua telapak tangan Reno untuk digenggam.
Di dalam hati keduanya melantunkan bacaan do'a untuk melindungi mereka dan keturunan mereka nantinya dari godaan setan.
Reno memejamkan matanya, kembali didekatkan wajahnya dengan wajah Ara hingga tak berjarak. Ia memberikan Ara kecupan-kecupan lembut penuh kasih. Ara merasakan sensasi yang aneh dalam dirinya. Napasnya mulai mendesah, mengikuti permainan Reno yang sedang menuntunnya menikmati indahnya mahligai cinta.
Reno mengangkat tubuh Ara ke atas ranjang. Ia memposisikan diri di atas Ara, matanya memandang Ara penuh cinta kasih. Dan Reno kembali lanjut menyentuh istrinya. Ia menikmati permainan cinta yang telah dihalalkan oleh Allah untuk hamba-Nya lewat pernikahan.
Derai hujan di luar jendela mengiringi deru napas keduanya. Bumi malam hari yang basah menjadi saksi penyatuan dua insan itu. Keduanya mensyukuri nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada mereka.
***
Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid yang berada tidak jauh dari rumah itu. Rungunya terusik, Reno pun terbangun. Dilihatnya jam beker digital di atas nakasnya. Jam 04.05. Hampir masuk waktu Subuh.
Reno melihat ke sampingnya, ada Ara yang sedang terlelap dengan tubuh terbungkus selimut. Diingatnya kejadian tadi malam yang menguras tenaganya, istrinya itu pun pasti merasakan kelelahan. Diusapnya rambut Ara yang tergerai berantakan, ia memainkan helai demi helai rambut itu. Kepalanya menunduk untuk mengecup dahi istrinya. Reno tersenyum bahagia.
Reno berbisik di telinga istrinya itu untuk segera bangun. Ara pun menggeliat geli, saat matanya terbuka, terlihat wajah Reno yang sedang mengamatinya. Ara masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang tadi terbang ke alam mimpi indah.
"Sudah bangun, sayang?" Reno mengulas senyum manis untuk istrinya yang terlihat menggoda itu. Ara tersenyum balik pada suaminya. Beberapa detik kemudian mimik wajahnya berubah kaku. Timbul rona-rona merah di pipinya. Lalu Ara menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Terngiang kejadian malam tadi di ingatan Ara. Ara berusaha memejamkan matanya, menahan malu yang menyerang.
Reno pun tertawa melihat sikap istrinya itu.
"Sayang, mandi yuk! Siap-siap mau Subuh." Reno mengusap lembut tangannya yang keluar dari selimut. Ara seketika menarik tangannya kembali masuk kedalam selimut.
"Kak Reno aja duluan!" Ara menjawab dengan malu-malu.
"Mandi bareng juga boleh." Reno iseng menggodanya.
"Kak Renoooo!" Masih dengan selimut yang membungkusnya, Ara menendang-nendang kakinya di ranjang.
"Ya udah, aku mandi duluan." Reno pun beranjak bangun berjalan menuju kamar mandi.
Ketika terdengar suara pintu kamar mandi ditutup, Ara pun membuka selimutnya. Ia menghirup oksigen dalam-dalam, napasnya megap-megap. Ara pun segera memungut pakaiannya yang tersebar di lantai. Niatnya untuk segera mengenakan pakaian lengkap sebelum Reno keluar dari kamar mandi.
Namun sebelum niatnya itu terlaksana, pintu kamar mandi telah terbuka. Pandangan mereka bertemu. Tersuguhkan pemandangan Ara yang masih terbungkus selimut setengah badan, dan Reno yang hanya berbalut handuk di pinggang.
Sontak Ara berteriak dan menutup kedua matanya. Sungguh ia merasa malu dengan situasi ini.
Reno pun berjalan mendekatinya. Ia menarik telapak tangan Ara untuk membuka penglihatannya. Namun Ara tetap memaksakan agar matanya terus terpejam.
"Sayang, buka matanya!" Reno berkata dengan nada lembut.
Ara pun hanya membuka matanya sebelah untuk sekedar mengintip. Ditemukannya Reno yang sedang memandangnya penuh senyum.
"Enggak usah malu. 'Kan sudah saling lihat." Reno mengecup dahinya.
Ara pun memberanikan diri membuka kedua matanya. Lalu kepalanya menunduk.
"Ya tetap aja malu." Suaranya terdengar lirih.
"Kamu kalau kayak gini bikin aku jadi gemes. Jadi pingin..." Reno sengaja memutus kalimatnya.
Ara langsung menengadahkan kepalanya dan memandang curiga.
"Pingin apa?"
"Pingin lagi!"
"Iiihhh...Kak Renooo!" Ara mencubit lengan Reno.
Reno sempat mengelak, lalu mencuri cium cepat di bibir Ara. Ara yang tak siap pun tercenung. Reno segera berjalan menuju lemari untuk mengambil alat cukurnya yang terlupa tadi.
"Tapi nanti! Dilanjut setelah Subuh ya." Reno tertawa menyeringai lalu segera berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Meninggalkan Ara di sana yang kembali menyelusup masuk ke dalam selimut.
---
"Jadi, kapan kamu mau manggil aku dengan sebutan lain?" Reno menyuapi Ara sesendok bubur ayam yang tadi sudah dibelinya di depan kompleks perumahan. Kini mereka sedang menyantap semangkuk bubur ayam berdua, biar terkesan romantis seperti kata tetangga mereka kemarin.
Ara pun menerima suapan suaminya itu dengan lahapnya. Bubur ayam cinta rekomendasi tetangga mereka ini memang enak. Semenjak sesi bercinta mereka yang memang berlanjut selepas Subuh, Ara mulai terbiasa dengan kedekatan yang dibangun oleh suaminya itu. Pelan-pelan ia mulai menghancurkan benteng pertahanan yang sudah dibangunnya dengan kokoh sejak lama.
"Memangnya, mau dipanggil dengan sebutan apa?" Ara bertanya dengan nada sedikit manja.
"Ya terserah kamu, asal bukan 'Kak'. Aku ini suamimu. Bukan kakakmu, Sayang." Reno kembali menyodorkan suapannya ke mulut Ara.
"Iya, Sayang!" Tak sengaja kata itu keluar dari mulut Ara. Ara sendiri terkejut mendapati dirinya memanggil 'Sayang' pada suaminya. Sementara Reno, lebih terkejut lagi.
"Apa? Coba diulang!" Reno mendekatkan wajahnya pada Ara. Pandangannya terus melekat pada Ara. Sementara Ara yang sedang kedapatan malu, memalingkan wajahnya.
"Enggak ada siaran ulang!"
"Sayang! Ayo, ulang!"
"Iih...maksa sih!"
"Sayang, menyenangkan suami itu pahalanya luar biasa, lho." Reno menyengir tipis.
Kalimat Reno mengingatkan Ara akan pesan-pesan Digo tadi malam. Ara pun menolehkan wajahnya menghadap Reno yang duduk di sebelahnya.
"Iya, Sayangku! Jadi, terserah aku mau manggil apa?" Ara memberanikan diri mendekatkan wajahnya dengan Reno.
Reno menganggukkan kepalanya yang sedang tersenyum cerah. Hatinya berbunga-bunga mendengar panggilan dari istrinya itu.
"Hmmm...sebenarnya...Ara pinginnya manggil 'Mas'. Tapiii...itu 'kan panggilannya Zura." Ara menundukkan kepalanya. Terselip sedikit rasa cemburu terhadap alter-egonya yang telah lama menghilang.
"Zura? Sayang, Zura itu ya kamu. Kamu itu ya Zura. Pada dasarnya kalian itu orang yang sama. Hmmm...jadi kamu cemburu sama diri kamu sendiri?" Reno menaikkan sebelah alisnya, yang semakin menambah kadar ketampanannya menurut Ara.
"Eh? Eng-enggak! Ngapain cemburu sama Zura!" Ara mencebikkan bibirnya.
"Oh iya, kayaknya sekarang kamu sudah enggak psikoterapi lagi ya? Kamu...sudah sembuh?" Reno tampak sedang berpikir.
Ara terkesiap. Ia lupa belum pernah memberitahukan perihal kesembuhannya pada Reno. Dulu ia memang sengaja menyembunyikan kabar baik itu dari Reno, karena Ara masih belum jelas dengan perasaannya terhadap Reno, ataupun perasaan Reno terhadapnya. Saat itu ia memang berniat menjauh dari Reno, tidak ingin Reno terlibat terlalu jauh dalam kehidupannya. Sekarang kondisinya sudah berbalik. Jadi memang sebaiknya ia memberitahu suaminya itu segala hal yang berkaitan dengan dirinya.
"Ara minta maaf, belum memberitahu Kak...eh, M-Mas Reno. Sebenarnya, Ara sudah lama sembuh. Tak lama setelah kejadian...di...bekas bengkel itu." Ara berkata dengan lirih.
"Sembuh karena terapi? Atau..."
"Ara bingung gimana ceritanya. Ara sendiri juga enggak ngerti. Yang jelas, waktu itu Ara seperti sedang bermimpi, berbicara dengan Zura dan Jaiyana. Mereka...seperti memperlihatkan kilasan ingatan di pikiran Ara. Ara mampu mengingat semuanya berkat bantuan mereka. Mereka yang menguatkan Ara. Mas Reno benar, mereka...adalah Ara." Tak terasa bulir-bulir air mata mulai menetes di kedua sudut matanya. Setiap mengingat masa-masa itu, Ara selalu terpancing untuk menangis.
Reno menarik Ara untuk masuk ke pelukan di dadanya, ingin rasanya memberikan rasa nyaman bagi Ara. Ara pun melingkarkan kedua tangannya di pinggang Reno. Reno mengecup pucuk kepalanya. Ia ingin istrinya itu merasakan betapa besar cintanya, betapa ia ingin melindunginya. Sungguh, Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia. Tak pernah terlintas di pikiran keduanya akan saling berjodoh di masa ini.
"Sayang..." Reno memanggil Ara yang masih betah dalam dekapannya. Ia membelai lembut rambut istrinya.
"Hmmm..."
"Kayaknya aku punya panggilan baru buat kamu."
Mendengar ucapan suaminya, Ara setengah melepas diri dari pelukannya, ia memandang tepat di manik mata Reno.
"Panggilan baru? Apa?"
"Biru." Reno mengembangkan senyumnya.
"Hah? Dari Ara kok jadi Biru?" Ara sepenuhnya melepas pelukannya.
"Sayang, nama Azura itu artinya biru langit. Kecantikan bidadariku ini seindah langit biru. Jadi, kamu adalah Biru-ku." Reno menatap istrinya dalam.
"Kalau begitu, Mas Reno adalah matahari-nya Ara. Tanpa sang matahari, langit tidak bisa menampakkan birunya."
Ara menengadahkan kepalanya, ia memberanikan diri mencium pipi suaminya. Yang langsung disambut Reno dengan memagut bibirnya. Napas Ara tersengal-sengal. Reno melepas ciumannya.
"Ehm...Biru Sayang, lanjut di kamar lagi ya."
"Hah?"
---
"Ra, aku bakalan kangen lho!" Salsa memeluk erat Ara yang sudah siap meninggalkan kamar kosnya. Air matanya telah mengalir membasahi pipinya.
"Aku juga bakalan kangen berat sama Mbak Salsa." Ara melepaskan pelukannya yang sudah berlangsung cukup lama. Sementara di depan pintu, Reno sudah setia menunggunya sambil mengetuk jam tangannya, mengisyaratkan pada Ara jika mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengejar jadwal pesawat.
Kemarin Ara sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Pak Bos Besar. Tak disangkanya atasannya itu ternyata pria dewasa yang cukup cengeng. Ia menangis saat menerima surat pengunduran diri Ara. Alasan pengunduran diri Ara adalah karena ia telah memutuskan untuk ikut tinggal bersama Reno di Jakarta, walaupun suaminya itu membebaskan pilihannya.
Dan kini giliran Salsa yang menangis melepas kepergian Ara. Berat memang, tapi Ara merasa akan lebih berat jika harus tinggal terpisah oleh jarak dengan suaminya. Ia sudah merasakan beratnya terpisah selama sebulan setelah dua minggu menghabiskan waktu bersama. Sehingga Ara langsung mengambil keputusan untuk berhenti bekerja di pulau dewata itu. Dan tentu saja keputusannya itu disambut gembira oleh Reno
Setelah prosesi perpisahan yang cukup menguras emosi keduanya itu, Ara dan Reno segera menuju ke bandara menggunakan mobil sewaan. Selama di perjalanan Ara tiba-tiba merasakan kepalanya pusing, pandangannya mulai berkunang-kunang, isi perutnya bergejolak seperti minta dikeluarkan. Ara pun memijat pelipisnya. Reno yang melihatnya pun terlihat khawatir.
"Sayang, kamu kenapa? Ada yang sakit?" Reno mengelus kepalanya.
"Enggak tahu nih, kok kepalaku pusing banget. Mas, mobilnya tolong berhenti dulu." Ara memberi aba-aba cepat dengan tangannya. Dengan cepat Ara meraih kresek kosong dari dalam saku ranselnya. Ia pun mengeluarkan semua isi sarapan tadi pagi dari perutnya.
Reno pun menjadi sangat khawatir.
"Sayang, kamu masuk angin? Mukamu pucat."
"Enggak tahu, Mas. Sudah tiga hari ini perut rasanya eneg, mual, suka tiba-tiba pusing. Padahal Ara udah makan banyak, malahan nafsu makan kayak nambah banget.
"Hamil kali, Pak!" Sang driver yang duduk di depan ikut berujar.
Ara dan Reno sontak saling bersitatap.
Reno pun langsung meminta sang driver putar balik untuk segera menuju ke rumah sakit.
Ara sempat memprotes perintah suaminya itu, karena itu artinya mereka akan tertinggal pesawat. Namun Reno tidak mengindahkan protesnya itu. Ia lebih mengkhawatirkan kondisi Ara, apalagi jika memang benar istrinya itu tengah mengandung calon buah hati mereka.
Sesampainya di rumah sakit, Reno mendaftarkan Ara untuk diperiksa oleh dokter kandungan. Mereka pun menunggu hampir satu jam lamanya. Sepertinya sedang banyak ibu hamil yang konsul di poli itu hari ini. Selama menunggu, sudah dua kali Ara bolak-balik kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Badannya terasa semakin lemas. Ara berjuang menahan rasa mual dan pusing yang mendera, namun pandangannya mulai terasa buram. Ara pun terjatuh tepat di depan perawat yang sedang lewat.
----
"Selamat ya, Pak. Ibu Azura positif sedang mengandung enam minggu. Tapi sepertinya kondisi Ibu Azura sedang lemah, bisa jadi karena kelelahan. Dilihat dari hasil cek darah juga Hb-nya terlihat rendah, dan ada indikasi dehidrasi. Dugaan saya sepertinya Ibu Azura mengalami Hyperemesis Gravidarum atau HG. Biasanya disebabkan karena faktor hormonal. Saya sarankan untuk seminggu ini bed-rest total dulu. Jangan terlalu capek. Juga banyak minum air putih, makan buah dan sayur-sayuran, tak perlu banyak-banyak. Yang penting frekuensinya sering. Saya sudah berikan resep suplemen, anti mual dan vitamin untuk ibu hamil. Sebulan lagi bisa kontrol kembali. Semoga Ibu Azura dan calon bayinya sehat selalu." dr. Renita, Sp.OG menjelaskan pada Reno yang sedang berdiri di samping brankar. Reno berterima kasih pada Dokter Renita sebelum sang dokter keluar dari ruang IGD itu.
Sementara Ara sedang terbaring lemah di atas brankar dengan tangan yang terhubung dengan selang infus.
Mendengar pernyataan sang dokter, Ara tersenyum bahagia. Meskipun badannya terasa lemah dan tersiksa, namun sakit itu tak sebanding dengan kebahagiaan yang sedang dirasakannya. Dengan senyum mengembang, Ara mengusap-usap perutnya yang masih terlihat rata.
Reno yang tak kalah bahagia, menunduk untuk mengecup lama kening Ara.
"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a." Reno mengucap syukur atas nikmat dan anugerah yang telah Allah limpahkan kepadanya dan Ara.
"Aamiin ya Allah. Kita akan punya bayi, Mas." Ara mengharu biru.
"Iya, tolong dijaga baik-baik ya, Sayang. Tadi dengar sendiri 'kan kata dokter." Reno membelai lembut pucuk kepala Ara yang terbungkus jilbab.
"Iya, Mas. Pokoknya Ara akan jaga baik-baik buah hati kita." Ara berjanji pada Reno. Ia menggenggam erat tangan suaminya. Reno pun mencium buku-buku jari Ara.
"Mas, sini deh! Ara mau bilang sesuatu." Ara meminta Reno mendekatkan diri padanya.
"Kenapa, Sayang?" Reno mendekatkan wajahnya dengan wajah Ara.
Ara sedikit mengangkat kepalanya untuk berbisik di telinga Reno.
"I love you, my dear husband, my sunshine. " Ara mendaratkan kecupan di pipi Reno.
Reno terpaku, lalu ia pun menyunggingkan senyumnya.
"I love you too, my dear wife, my blue-sky. I love you so much. I love you until jannah." Reno mencium Ara dengan penuh rasa cinta..
Dan kisah cinta mereka berdua tidak berakhir sampai di sini. Allah telah menuliskan banyak takdir untuk mereka jalani di kehidupan ini. Bagaimana pun takdir itu bekerja, Ara dan Reno akan tetap menjalaninya dengan penuh kecintaan pada Allah Al-Waduud, Yang Maha Mencintai, sumber dari segala cinta.
****
THE END