Ting!
Pintu lift terbuka. Ara segera menekan kembali tombol lift hingga pintunya menutup. Lalu ia menekan tombol B. Tadi Ara telah tidak sengaja mendengarkan percakapan antara Reno dan Sitta, hingga ke bagian di mana Reno menawarkan untuk mengantarkan Sitta ke apartemennya yang berada di Pakubuwono. Jadi saat ini mereka pasti berada di lantai basement.
Ia mengingat kawasan apartemen mewah itu. Seluruh ingatan Zura telah menyatu di otaknya. Lalu Ara memutar otaknya, jika pria itu memiliki apartemen mewah, kenapa sekarang justru tinggal di apartemen yang bisa di bilang rusun kelas menengah keatas ini? Ara mencoba menepis segala dugaan, apapun alasannya bukan menjadi urusannya.
Ting!
Pintu lift terbuka. Dan kini pria itu berdiri tepat di depannya. Ada beberapa orang penghuni yang juga berdiri di samping dan belakang Reno.
"Ara? Kamu...?"
Ara melangkah keluar, berpapasan dengan para penghuni lainnya yang melangkah masuk ke dalam lift. Pintu lift menutup di belakangnya pun menutup.
"Ini, Kak! Lupa, tadi juga sebenarnya mau mengembalikan kunci mobilnya." Ara memberikan kunci itu. Reno pun mengambilnya.
"Hmmm...lupa? Karena ada Sitta jadi lupa?"
"Ihhh...enggak ada hubungannya sama Mbak Sitta. Ya udah, gitu aja. Ara mau balik lagi."
"Ara, tunggu!"
Ara membalikkan badannya tapi tangannya segera ditarik oleh Reno. Ara terkesiap, ia menoleh ke tangannya yang sedang dalam genggaman Reno. Ini pertama kalinya pria itu menyentuhnya. Reno pun menyadari hal itu. Ia cepat-cepat melepas genggamannya.
"Maaf...ehm..." Hanya itu kata-kata yang dapat keluar dari lisannya, sisanya tercekat di kerongkongannya.
"Ada apa?" Ara buru-buru bertanya, ia sedang berusaha menstabilkan debaran jantungnya.
"Itu...kuenya benar buat Violet?" Reno menunjuk ke arah box yang sedang ditenteng oleh tangan kanan Ara.
"Ya 'kan tadi sudah bilang. Udah ah, nanti kelamaan dibawelin Mbak Vi." Ara membalik badan lagi. Ia menekan tombol lift.
"Ehm...setahuku Violet enggak doyan kue yang manis-manis, apalagi cake yang seperti kue ulang tahun begitu." Kembali Reno menunjuk ke arah cake berukuran 10 x 20 cm itu.
"Hmmm...hapal banget ya sama seleranya mantan." Ara menyindirnya.
"Ya hapallah. Kenapa? Cemburu?"
"Iihhh...GR banget sih! Ngapain cemburu? Kak Reno bukan siapa-siapanya Ara juga." Ara melengos.
"Ya udah, maunya dijadikan apa?" Reno menantangnya. Momen menggoda Ara seperti ini sudah lama dirindukannya.
"Ren, sudah ketemu kunci mobilnya?" Dari arah belakang terdengar suara Sitta memotong pembicaraan.
Lagi-lagi Reno menghela napas. Sungguh, timing yang tak tepat! Diperhatikannya ekspresi wajah Ara yang telah berubah. Padahal tadi ia sedang menikmati detik-detik perubahan warna wajah Ara yang terus meningkat kadar kemerahannya.
"Ehm...sudah kok, Mbak. Tuh, sudah di tangan Kak Reno. Saya duluan ya."
Ting! Pintu lift terbuka. Saved by the elevator! Ara pun segera masuk ke dalamnya. Ia sengaja menengadahkan wajah ke atas untuk menghindari tatapan Reno yang terlihat kecewa.
----
"Hah? Mas Reno nganterin Sitta nginap di Pakubuwono??" Sherin terkejut mendengar cerita Ara.
Ara sedang terduduk lemas. Ia menopang dagu di atas meja makan. Di pandanginya cake ulang tahun yang telah dibelinya di cafe tadi, sebelum matanya menemukan keberadaan Reno dan Sitta di sana.
"Harusnya tadi lo omelin dia, Ra! Awas aja tuh Mas Reno! Entar gue omelin habis-habisan dia!" Sherin meninju telapak tangannya untuk menunjukkan kemarahannya.
"Enggak usah ikut-ikutan lebay deh, Sher. Ngapain juga mesti marah sama dia? Hak gue apa coba?" Ara berusaha menyembunyikan kejengkelannya. Diam-diam dalam hati ia merasakan kegundahan yang luar biasa. Ara juga tidak mengerti perasaan macam apa yang sedang dirasakannya saat ini. Perasaan sama yang timbul saat dulu ia melihat Violet berpelukan dengan seorang Kananta.
"Hak lo apa? Helloooow...lo nyadar kan kalau sepupu gue itu cinta mati sama lo?" Sherin melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ara yang sedang menatap kosong.
"Hah? Ngomong apaan sih lo? Dia enggak pernah ya menyatakan cinta sama gue. Tapiii...tau ah! Gue juga enggak ngerti maksud dia apa. Kadang bikin gue ke-pede-an, kadang bikin gue grogi, kadang bikin gue kesel, sebel, jengkel seperti sekarang. Gue enggak ngerti!" Ara menjatuhkan kepalanya di atas meja. Dagunya ditempelkan di permukaan meja.
"Itu namanya cinta, Ra. Berarti kamu sudah jatuh cinta sama Reno." Violet menjawabnya. Ia baru saja keluar dari kamar Ara setelah menidurkan Salman.
Hari ini memang Violet, Fadil, dan Sherin berrencana menginap di sana. Fadil tidur sekamar dengan Digo, sementara para wanita dan Salman tidur di kamar Ara. Untung saja mereka memiliki extra-bed di apartemen.
"Apaan sih, Mbak Vi? Siapa juga yang jatuh cinta!" Ara memalingkan wajahnya yang tengah cemberut, menyembunyikan rasa malunya.
"Ya kamu-lah! Enggak usah ngeles gitu deh. Sudah keliatan, kok. Ya enggak, Sher?" Violet berusaha mendapat persetujuan Sherin.
Sherin menganggukkan kepala sembari tertawa kecil.
Dalam hati Ara membenarkan pernyataan kakaknya. Sepertinya memang ia sudah jatuh cinta dengan seorang Kananta Moreno, bahkan mungkin sejak dulu benih-benih itu sudah ada. Dan sekarang rasa itu perlahan muncul ke permukaan. Bukannya ia tidak mau mengakui perasaannya, hanya saja banyak faktor yang membuatnya bimbang.
Ia takut perasaannya ini hanya bertepuk sebelah tangan. Ia takut jika Reno hanya bermain-main dengan perasaannya saja. Belum lagi mengingat pria itu adalah mantan pacar kakaknya, ia tidak tahu-menahu apakah keduanya masing-masing sudah saling menuntaskan perasaan di masa lalu. Bagaimana jika diam-diam di lubuk hati terdalam, mereka masih sama-sama saling mencintai? Dan bagaimana jika ternyata mereka berdua saling menahan rasa hanya demi menjaga perasaanย Fadil?
Ditambah lagi dengan kehadiran seorang Sitta. Dengan jelas ia tadi mendengarkan pembicaraan mereka berdua di cafe. Diam-diam ia menaruh iba pada perempuan itu. Ia juga sempat melihat memar-memar di wajah Sitta. Yang jelas saat ini perempuan itu sedang membutuhkan dukungan moril dari Reno. Ara sendiri merasa berutang budi pada perempuan yang pernah mencari gara-gara dengannya beberapa bulan lalu itu. Karena bantuan perempuan itu, Sena dan teman-temannya bisa mendekam di penjara.
Dan Ara menyadari benar bagaimana perasaan Sitta terhadap Reno. Perempuan itu tergila-gila dengan Reno.
Ia tak pernah menyangka dapat merasakan kegelisahan tingkat tinggi seperti sekarang ini hanya karena seorang pria.
"Woiii, bengong aja!" Sherin menyikutnya. Menyadarkannya dari lamunannya.
"Mikirin apa sih? Mas Reno?"ย Sherin kembali meledeknya.
"Iihhh...dia lagi dia lagi yang diomongin. Ngomongin yang lain aja deh!" Pikiran Ara mulai suntuk. Rasanya tidak bagus bagi kesehatannya jika terus-terusan memikirkan Reno. Ia ingin mengalihkan pikirannya.
Violet justru tertawa melihat gelagat adiknya itu. Tapi ia sangat mengerti kegundahan yang dirasakan Ara. Dia pernah mengalaminya.
"Oh iya, tadi belum dijawab tuh yang pertanyaan Mas Digo." Violet pun mengganti topik pembicaraan.
"Pertanyaan yang mana?" Ara terlihat bingung.
"Yang soal tawaran Mas Faisal." Violet mengingatkannya.
"Ooohhh...itu!"
"Oh iya, Pak Faisal ternyata teman kuliahnya Mas Digo ya? Emangnya Pak Faisal nawarin apa, Ra?" Sherin menatap serius pada sahabatnya itu.
"Lowongan pekerjaan."
"Wow! Pekerjaan apa? Di mana?"
"PT. Tractor Raya. Untuk cabangnya di Bali."
"Wuidiiih...sedaaap! Yaahhh...kok lo doang yang ditawarin? Gue enggak? Padahal gue juga kalau ditawarin kerja di perusahaan besar gitu enggak nolak lho. Kesempatan langka!"
"Gue juga mau banget kalau berduaan sama lo, Sher. Tapi emangnya bokap nyokap lo ngasih izin kerja keluar pulau?"
"Eh...hehehe...iya sih! Pasti enggak bakal dibolehin. Maklum, anak perawan satu-satunya." Sherin menyeringai.
"Jadi, kamu mau terima tawaran itu?" Violet menatap adiknya dalam.
"Belum tahu, Mbak. Ara masih bingung. Menurut Mbak gimana?" Ara menegakkan badannya di kursi.
"Hmmm...ya semua terserah kamu sih. Tapi menurut Mbak, mending kamu terima tawaran itu. Selain dapat pengalaman kerja di luar pulau, kamu juga bisa sambil menikmati hidup di sana. Mbak aja sudah lama ingin jalan-jalan ke Bali belum kesampaian. Dan pertimbangan lainnya, kemarin Mas Digo cerita ada kemungkinan akan dipindah-tugaskan ke Surabaya. Mbak khawatir kalau membiarkan kamu tinggal di sini sendiri. Tapi kalau mengajak kamu tinggal bareng mertua Mbak, juga enggak mungkin. "
"Apa Mbak? Mas Digo mau ke Surabaya??" Sherin langsung bangkit dari duduknya. Ia setengah berteriak. Saking terkejutnya mendengar berita itu. Ara dan Violet spontan melempar pandangan ke arah Sherin.
"Eh...ng...hehehe..." Sherin merasa malu sendiri dengan responnya yang berlebihan, ia kembali ke posisi duduknya. Untung saja Digo dan Fadil sudah beristirahat di kamar. Kalau sampai teriakannya terdengar Digo, entah di mana mukanya mau disimpan.
Sontak Ara dan Violet menertawakan tingkah Sherin. Mereka paham betul kenapa Sherin seperti itu.
"Ecieee...yang kaget dengar berita gebetan mau pergi jauh." Gantian sekarang Ara yang meledeknya. Violet pun menambah volume tawanya.
"Iiihhhh...Araaaa!!!" Sherin mencubiti pinggangnya. Ara mengaduh kesakitan sekaligus kegelian. Tapi Ara tak tinggal diam, ia membalas cubitan Sherin. Lalu mereka pun berkejar-kejaran mengelilingi ruangan apartemen diiringi dengan canda tawa.
Violet hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah keduanya. Sungguh indahnya masa muda. Sayangnya ia melewatkan masa-masa bercanda ria seperti ini dengan teman-temannya. Apalagi melihat kondisinya yang telah lumpuh. Tanpa disadari setitik air mata jatuh dari sudut matanya. Cepat-cepat ia hapus tetesan itu. Ia segera menepis segala pikiran buruk yang bisa menjatuhkan mentalnya. Tidak, ia tak mau lagi terjerembab dalam palung kesedihan.
Cepat-cepat dialihkan pikirannya ke sesuatu yang lain. Matanya menangkap penampakan cake di atas meja makan. Cake yang batal diberikan oleh Ara untuk Reno. Sitta memanggil Ara untuk menyimpan cake tersebut ke dalam kulkas. Terpikir sebuah rencana di benaknya.
Ara mengambil ponselnya yang terletak di atas meja ruang tamu. Ia mengirimkan sebuah pesan pada Reno. Setelah menerima balasan, Violet tersenyum lalu menggerakkan kursi rodanya menuju ke kamar Ara.
Ara memperhatikan gerak-gerik kakaknya itu. Dengan rasa penasaran, ia bergeser mendekati ponsel kakaknya. Lampu backlight layarnya masih menyala. Tak lama ada pesan baru masuk tertera di laman notifikasi.
Kananta : Ok! See you tomorrow ๐
***
Ara menatap plafon apartemennya. Sejak tadi matanya enggan menutup walaupun kantuk telah menerpa. Diliriknya Sherin yang sedang tertidur lelap di samping kanannya. Lalu pandangannya beralih sedikit di atas Sherin. Ia melihat Violet yang tengah tertidur sambil mendekap Salman di atas ranjangnya. Ara dan Sherin menempati extra-bed yang digelar di atas karpet.
Pikirannya masih menerawang pada pesan dari Reno di ponsel kakaknya. Ada apa antara Reno dengan Violet? Apa mereka sedang merencanakan pertemuan rahasia? Cepat-cepat digelengkan kepalanya. Segera ditepisnya pikiran bodoh itu. Tidak mungkin kakaknya melakukan hal-hal yang melanggar syari'at.
Terdengar dering notifikasi dari ponselnya. Ara pun meraih ponselnya dari atas nakas.
Ia membuka pesan whatsapp yang muncul di layar ponselnya. Dilihatnya nama pengirimnya. Mas_Ganteng? Lalu dilihatnya history percakapan dengan nama tersebut. Seketika matanya membelalak. Ini pasti kerjaan Zura sebelumnya. Ara langsung terbangun ke posisi duduk.
Mas_Ganteng : Assalamu'alaikum, Ara. Sudah tidur?
You : Wa'alaikumussalam. Belum. Ada apa?
Mas_Ganteng : ๐
You : ๐
Mas_Ganteng : ๐
You : ๐
Mas_Ganteng : ๐ ya deh, nyerah ๐ณ
You : Emangnya perang?
Mas_Ganteng : Rasa-rasanya. Abisnya dingin bgt.
You : Emangnya musim salju?
Mas_Ganteng : Pinginnya sih musim semi. Biar bisa lihat sakura bermekaran sama kamu ๐
You : Tengah mlm jualan receh ngga laku! To the point aja, ada apa?
Mas_Ganteng : Galak bnr. Kamu msh marah ya? ๐
You : Marah? Knp jg marah?
Mas_Ganteng : Sitta!
You : Mksdnya?
Mas_Ganteng : Ya td kamu marah krn aku ketemuan sama Sitta.
You : Apa urusannya Ara marah?
Mas_Ganteng : You tell me
You : I can tell nothing
Mas_Ganteng : Jgn bohong, Ra. Dosa!
You : Ara ngga bohong! Kalo Ara marah, ngapain msh bls wa Kak Reno?
Mas_Ganteng : Ngga tau ๐คทโโ๏ธ
You : Ya udah. Udah dijwb kan pertanyaannya. Ara mau tidur
Mas_Ganteng : Ra....
You : Hmmm
Mas_Ganteng : Ra...
You : Apaan??
Mas_Ganteng : aku kangen
Ara meletakkan ponsel di pangkuannya. Ia meremas dada kirinya. Lagi-lagi debaran jantungnya tidak stabil. Ada lonjakan kegembiraan sekaligus serangan nyeri. Rasa yang selama ini ia simpan membuncah di dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelenyar rasa itu. Dipandanginya layar ponselnya yang masih menyala. Ia tidak membalas ketikan terakhir.
Mas_Ganteng : Ra...
Mas_Ganteng : I know you're still there ๐
Mas_Ganteng : Raaaaaa...
Kembali, Ara menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Sebenarnya pria ini maunya apa sih? Diraih kembali ponsel tersebut dari pangkuannya. Ia pun kembali mengetik.
Mas_Ganteng : Sayang....
You : Ya?
Ara tercengang. Ketikannya terkirim bersamaan dengan ketikan Reno yang masuk. Kesannya...
Mas_Ganteng : Ooo...jd dipanggil sayang dulu baru mau jwb?
'Tuh 'kaaan...kalau sudah begini malunya hingga langit ke delapan. Entah sudah semerah apa wajahnya sekarang. Ara memukul - mukul gulingnya. Kesal, jengkel, tapi senang. Antara ingin senyum atau cemberut. Diliriknya Sherin dan Violet, untung saja keduanya masih terlelap. Ia kembali menutul ponselnya.
Mas_Ganteng : Ya udah mulai skrg aku panggil sayang ya โบ
You : Kak Reno maunya apa sih? Jgn iseng deh!
Mas_Ganteng : Maunya kamu, Ra. Aku serius!!!
You : Serius apaan?
Mas_Ganteng : Serius mau melamar kamu.
"Hah??" Ara refleks berteriak saking terkejutnya membaca ketikan Reno. Lalu cepat-cepat ia kembali melirik ke sampingnya. Untung tidak ada yang terbangun.
You : Kak Reno jgn bercanda! Ngga lucu!!!
Mas_Ganteng : Aku serius!
You : Kak, tolong jgn mainin perasaan Ara! Ara capek diginiin! Ara ngga kuat!
Mas_Ganteng : Ya ampun, Ra...aku hrs bagaimana biar kamu percaya?
Sebenarnya Ara sendiri juga tidak tahu jawabannya. Kalau Ara bilang langsung lamar, bisa-bisa Reno benar-benar nekat melamar. Ara sendiri masih merasa takut, takut merasakan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Sepertinya Ara perlu waktu untuk menjauh dari pria tersebut. Agar isi kepalanya bisa berpikir dengan jernih. Mungkin menerima tawaran Faisal bisa menjadi ide yang bagus baginya.
You : Ara mau tidur. Assalamu'alaikum.
Ara mematikan layar ponselnya. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu sebelum tidur. Agar batin dan pikirannya lebih tenang.
----
Pagi ini Ara sedang bersiap-siap di kamarnya. Hari ini rencananya ia akan bertemu dengan Faisal. Ia akan memberikan jawaban sekaligus menitipkan CV dan resume.
Samar-samar didengarnya suara sepasang manusia sedang tertawa terbahak-bahak, asalnya dari ruang tamu. Ara menebak-nebak suara siapa itu. Digo sudah berangkat kerja sejak jam enam pagi. Fadil, kakak iparnya itu sedang mengajak Salman jalan-jalan di bawah menggunakan stroller. Sherin sudah pamit pulang bersamaan dengan Digo. Tinggal ia dan Violet saja yang masih berada di apartemen itu. Lalu yang diluar itu, pasti Violet. Namun sedang berbicara dengan siapa?
Pelan-pelan dibukanya pintu kamar. Ia berjalan berjinjit, mencoba mengintip dari balik dapur.
"Ren, inget enggak waktu aku kasih kamu bekal burger terus kamu jadi diare?" Violet mengingat masa lalu.
"Ampun deh Vi! Melilit banget perutku waktu itu." Reno pura-pura meringis kesakitan.
"Ya maaf, Ren. 'Kan waktu itu aku iseng-iseng nyoba bikin sendiri. Aku minta tolong Ara bikinin, tapi dia nolak. Ya udah, aku nekat cuma berbekal nyontek resep di tabloid. Demi gebetan!" Violet tertawa terbahak-bahak. Sungguh malu jika mengingat usahanya di masa lalu.
"Ehm...tapi kalau sekarang sudah jago dong?"
"Iihhh..kamu tuh, Ren. Tanya aja sama Fadil yang jadi kelinci percobaan." Violet tersipu malu.
Dan perbincangan nostalgia itu pun terdengar oleh kedua telinga Ara. Tiba-tiba dadanya terasa sesak, sakit nyeri, perih, entah bagaimana semua rasa tidak mengenakkan itu bersatu-padu di hatinya. Baru saja tadi malam pria itu membuatnya terbang, sekarang ia merasa terhempas jatuh ke dalam perut bumi.
Ara berusaha bertahan dari sakit yang melanda di dalam dadanya. Ia melirik jam tangannya, ia harus buru-buru mengejar waktu. Karena Faisal tidak punya waktu lama untuk bersua dengannya.
Tapi jika ia keluar apartemen, terpaksa harus melewati sepasang manusia yang sedang bahagia mengenang masa lalu itu. Ditariknya napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan perasaannya yang mendadak kacau-balau. Ia mulai menapakkan langkah, dipasangnya wajah datarnya.
"Mbak Vi, Ara berangkat dulu." Ara melewati ruang tamu, berlalu begitu saja. Tatapannya tegak lurus ke arah pintu, tak sedikitpun ia menoleh atau melirik ke samping.
"Mau kemana, Ra?" Violet bertanya pada adiknya.
"Ada janjian sama teman. Ara buru-buru. Assalamu'alaikum." Ara menjawab dengan datar. Violet pun bingung dengan sikap dingin sang adik, namun ia tetap membalas salam Ara.
"Ra! Aku antar ya?" Reno bangkit dari duduknya.
"Enggak usah!" Ara langsung membuka pintu dan berlalu.
Reno segera pamit pada Violet, setelah meraih box yang tadi diterimanya dari Violet. Ia pun bergegas mengejar Ara.
Reno menyadari Ara sedang berusaha menghindari dirinya. Namun ia bingung kali ini entah apalagi kesalahan yang dibuatnya.
"Ara! Tunggu!" Dilihatnya Ara telah masuk ke dalam lift. Reno pun berlari sekuat tenaga. Untung saja ia masih sempat masuk sebelum pintu lift tertutup.
Mereka tidak hanya berduaan di lift itu, ada beberapa orang penghuni lainnya berdiri memisahkan mereka. Reno ingin mendekatinya tapi posisinya tidak memungkinkan. Sepertinya semua penghuni lift ini tujuannya kalau tidak lantai 1, ya lantai basement. Jadi ia harus bersabar beberapa menit hingga tiba di bawah.
Akhirnya mereka tiba juga di basement. Ara lebih dulu keluar, diikuti oleh beberapa orang lainnya, menyusul Reno kemudian. Dengan cepat Reno menyelak jalan, ia mengejar Ara. Entah bagaimana sekarang bentuk cake yang sedari tadi dijinjingnya setelah koclak sana-koclak sini.
"Ara!" Reno memanggilnya dengan intonasi tinggi seakan ia sedang marah. Namun Ara tetap melangkah cepat. Reno pun berlari lalu mencegat langkahnya. Sekarang mereka berdiri berhadapan.
"Kamu kenapa sih?" Reno menuntut penjelasan darinya.
"Minggir!" Ara setengah membentaknya.
"Enggak! Aku minta penjelasan kamu!" Reno berkata dengan tegas.
"Penjelasan apa sih? Ara sudah telat. Tolong, minggir!" Ara mencoba menyelak, ia mengambil jalur disamping Reno, namun tangannya ditarik oleh Reno. Tanpa sadar Reno memeluknya.
Ara terkesiap, jantungnya berdegup kencang, ia perlu waktu beberapa detik untuk memproses nalarnya. Dengan cepat ia dorong tubuh Reno.
Plak! Tamparan itu melayang di pipi kiri Reno hingga meninggalkan ruam merah.
Kedua pipi Ara telah basah oleh air mata. Napasnya terengah-engah. Semua emosinya tumpah-ruah. Tangisnya pun mengisak, menggema di pelataran parkir itu.
Reno berdiri mematung. Ia tak menyangka perbuatannya itu dapat mengakibatkan Ara sesedih ini. Reno ingin mendekatinya, tapi ditahannya, tangannya hanya terkepal di samping tubuhnya
"So-sorry, Ra...aku enggak bermaksud kurang ajar sama kamu. Aku..."
"Pergi! Pergi dari hadapanku! Pergi!" Ara berteriak sekuat tenaga, tangisnya semakin menjadi.
"Tapi, Ra..."
"Pergiiii!"
Reno menghela napas. Kesalnya sudah naik ke ubun-ubun. Ia kesal tidak hanya pada dirinya sendiri, namun juga pada Ara. Kenapa perempuan itu berusaha membangun benteng terhadap dirinya? Kenapa Ara menahan perasaannya terhadap Reno? Banyak yang ingin ia tumpahkan pada gadis itu, tapi ia tahu sekarang bukan saat yang tepat.
"Okay, aku pergi! Maaf, aku sudah membuat kamu menangis. Aku benar-benar minta maaf." Reno pun membalik badannya, berniat meninggalkan Ara sendiri dalam isak tangisnya. Setelah beberapa langkah, ia kembali memutar badan .
"Ara!"
Mendengar namanya dipanggil, Ara pun menatapnya.
"Terima kasih untuk kuenya!" Dan Reno pun menatapnya dengan senyuman penuh arti.
***
TBC