Chereads / Ketika Ungu Menjadi Biru (Completed Story) / Chapter 24 - 24. Jawaban Yang Dinanti

Chapter 24 - 24. Jawaban Yang Dinanti

"Kak Renooo!" Ara menyebut nama itu dengan lirih. Suaranya tercekat di kerongkongan. Tangisnya pun pecah seketika. Ia terduduk di lantai. Tangannya yang tengah mengepal, memukul-mukul lantai. Dadanya terasa nyeri, sakit. Ara memprotes sang takdir. Ini namanya bukan menjemput takdir, tapi menjemput ajal.

Salsa memeluk Ara dari belakang, mencoba memberinya kekuatan. Ia membantu Ara untuk bangkit berdiri.

Salah satu perawat muncul dari balik bilik dengan tirai tertutup. Melihat Ara yang sedang berdiri lemah dirangkul oleh Salsa, perawat itu pun menghampiri mereka.

"Maaf, Anda keluarga dari Bapak ini? Soalnya tadi kami tidak menemukan kartu identitasnya. Bapak ini korban tabrak lari. Saat di perjalanan sudah meninggal."

Mendengar penjelasan sang perawat, membuat Ara semakin lemas. Tangisnya semakin nyaring. Ia memutar balik badannya untuk memeluk Salsa. Dibenamkan wajahnya di bahu Salsa.

"Maaf, Suster...boleh saya lihat wajah jenazahnya? Hanya untuk memastikan saja." Salsa meminta pada sang perawat. Batinnya berbisik, menyuruhnya untuk tabayyun terlebih dahulu. Sang perawat pun menganggukkan kepalanya.

Perlahan dibukanya selimut yang menutupi bagian kepala itu. Setelah terlihat dengan jelas, wajah mayit itu, Salsa mendesah lega.

"Alhamdulillaaah." Salsa melebarkan senyumnya.

Mendengar ucapan Salsa, Ara melepas pelukannya sembari mengangkat kepalanya.

"Mbak Salsa! Kak Reno meninggal kenapa ngucap alhamdulillah?" Ara memprotes.

"Ra, coba kamu balik badan terus lihat wajahnya baik-baik."

"Enggak mau! Ara enggak kuat, Mbak! Ara enggak kuaaat!" Ara menolak dengan menahan isak tangis.

"Coba lihat dulu! Percaya sama aku!" Salsa mencoba meyakinkan Ara.

"Iihhh...Mbak Salsa jahat! Tega banget sih! Aku bisa pingsan!" Dipegangnya kepalanya telah merasa pusing.

"Ra, apa Reno itu berkumis tebal? Hidung pesek? Kepala botak? Punya tattoo di leher? Umurnya 40-an?" Salsa mendeskripsikan wajah mayit yang sedang dilihatnya.

"Hah?" Ara pun segera membalikkan badannya, matanya tertuju pada jenazah itu. Ia membelalak terkejut menemukan fakta ternyata jenazah itu bukanlah Reno. Sontak hatinya terasa lega. Segera dihapusnya air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Ara pun menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali untuk menjawab pertanyaan Salsa.

"Ya Allah...alhamdulillah bukan Kak Reno." Belum pernah ia sebahagia ini melihat jenazah.

"Maaf Sus, kalau pasien yang namanya...siapa nama lengkapnya, Ra?" Salsa mengalihkan pandangan ke Ara.

"Kananta Moreno, Sus. Kami mencari pasien yang namanya Kananta Moreno, korban kecelakaan juga. Di mana ya, Sus?"

"Ooh...yang itu. Sudah masuk ruang rawat inap di paviliun Amerta. Nanti bisa ditanyakan sama perawat yang bertugas di sana."

Setelah berterima kasih dengan Sang Perawat, Ara dan Salsa pun bergegas menuju paviliun yang dimaksud. Tibanya di sana mereka langsung menanyakan kamar tempat Reno dirawat.

Setelah mendapat informasi, Ara dan Salsa berjalan menuju kamar berstandar VIP itu. Salsa mengetuk pintu kamar itu dua kali, lalu membuka pintunya. Ara yang terlebih dahulu masuk ke ruangan berbau antiseptik itu. Ia pun mengucapkan salam.

Dilihatnya Sitta yang sedang berdiri di sana, tengah bercengkerama dengan Reno yang duduk di atas brankar.

Sitta dan Reno segera melempar pandangan ke Ara, yang diikuti oleh Salsa di belakangnya.

Sitta pun memundurkan langkahnya. Ia memberi isyarat pada Ara untuk maju mendekati Reno. Ara terlihat malu - malu dan salah tingkah. Sementara Reno menyambutnya dengan senyuman penuh makna.

Salsa hanya maju hingga ke tengah ruangan. Diamatinya wajah Reno, ternyata memang pria yang tampan. Pantas saja jika Ara gundah - gulana memikirkan pria itu. Namun Salsa merasa wajahnya terasa familiar. Ia mencoba mengetuk ingatannya.

"Ara..." Reno yang duluan memanggil, karena Ara menghentikan langkahnya di tengah ruangan. Ada rasa malu, gelisah, sekaligus lega menghinggapi ruang hatinya.

"Kak Reno...a-apa kabar?" Ara menundukkan wajahnya. Sungguh rasa malunya tak terbendung. Hanya dengan menatap pria itu saja, wajahnya sontak berreaksi memerah. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat.

"Ehm...kamu menanyakan kabarku pasca kecelakaan, atau kabarku yang selama enam bulan ini ditinggal kamu?"

"Eh...yaaa...terserah yang mana aja!" Ara salah tingkah. Wajahnya masih menunduk. Sungguh tak berani ia menatap pria itu. Wajahnya terlalu menyihir, menggoyahkan batin Ara.

"Hmmm...kalau pasca kecelakaan, aku baik-baik saja. Alhamdulillah, Allah masih sayang sama aku. Masih memberiku kesempatan untuk bernapas. Cuma tangan yang terkilir dan sedikit luka di kepala akibat benturan. Kalau pasca ditinggal kamu...rasanya hidup segan, mati tak mau." Reno mengumbar senyum manisnya. Memikat ketiga perempuan yang berada di ruangan itu.

"Apaan sih? Lebay! Receh banget!" Ara memalingkan wajahnya ke samping. Rasanya ia menyesali tadi sudah sempat menumpahkan tangisannya untuk pria yang ternyata terlihat segar bugar itu.

"Ehm...Tapi suka 'kan?" Reno kembali menggodanya. Kebiasaannya yang sejak dulu tidak pernah berubah.

"Iihhh...GR banget sih!" Ara memanyunkan mulutnya.

"Halah! Pake sok gengsi kamu, Ra! Tadi siapa yang nangis-nangis ngeliat mayat yang disangkanya Reno?" Kali ini suara Salsa yang terdengar. Sontak Ara memelototkan matanya ke Salsa. Ara memberi kode untuk melarang Salsa membuka suara.

"Hah? Ara nangis-nangis lihat mayat? Gimana ceritanya?" Kini Sitta yang terkejut mendengar cerita itu.

"Maksudnya?" Reno mengerutkan dahinya, bertanya penasaran.

"Jadi gini, tadi itu..." Ara langsung berlari menghampiri Salsa lalu membekap mulutnya hingga Salsa tak bisa bersuara. Ara berusaha mencegah temannya yang sebocor baskom itu agar tidak menceritakan peristiwa memalukan tadi.

Namun Salsa bisa melakukan perlawanan. Ia berhasil melepas telapak tangan Ara yang menutup mulutnya. Dan dengan cepat Salsa menceritakan kejadian memalukan di ruang IRD itu.

Sontak Sitta dan Reno tertawa geli mendengar cerita itu.

Wajah Ara bersemu merah. Jelas sudah, level malunya mencapai tingkat paling tinggi. Dalam hati, ia merutuki Salsa yang sudah berhasil membuat dirinya menjadi bahan tertawaan.

"Ya ampun, Ra...lihat deh mukamu kayak apa sekarang. Gitu aja ngambek!" Lagi-lagi Salsa menertawakannya. Ara memejamkan matanya, berharap di saat - saat seperti ini ia kembali memiliki Zura untuk menggantikan posisinya.

"Thanks ya, Ra untuk perhatiannya. Aku jadi semakin yakin." Reno tersenyum menyiratkan wajahnya yang menyimpan sejuta bahagia.

"Semakin yakin apa?" Ara tidak mengerti maksud perkataan Reno.

Tiba-tiba kembali terdengar suara ketukan pintu. Tak lama pintu itu terbuka, lalu muncul Digo memasuki ruangan.

"Hah? Mas Digo?" Ara terperangah melihat kemunculan kakaknya.

"Assalamu'alaikum, semuanya." Digo mengucapkan salam selamat yang langsung dijawab oleh keempat manusia di ruangan itu.

"Mas Digo ngapain kesini?" Ara bertanya dengan heran.

"Mau menjadi wali kamu, tuh ada yang mau melamar kamu. Kemarin malam Reno mengabari aku. Lha, kok sekarang malah dirawat." Kakaknya menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya teralih pada Reno.

"Aku yang meminta Mas Digo terbang kesini hari ini juga, Ra. Aku sudah tidak mau menunda - nunda lagi. Aku yakin takdir sudah mempertemukan kita sekarang." Reno kembali menatap penuh arti.

"Ma-maksud Mas Digo?" Ara tertunduk malu, ia pura-pura bertanya. Sesungguhnya ia mengerti dengan jelas maksud pria itu. Karena ia sendiri kemarin yang meminta Sitta untuk menyampaikan pada pria itu bahwa ia telah siap dilamar.

"Azura Andhara, di hadapan semua orang yang hadir di ruangan ini, izinkan aku untuk melamar kamu." Reno melempar tatapan serius.

Seketika aura ruangan itu berubah. Ara pun diserang ketegangan. Jantungnya berdetak tak karuan. Berbagai macam rasa tercampur aduk di hatinya. Pria ini memang benar - benar seorang penakluk wanita. Mendengar ucapannya itu saja, perasaannya sudah naik turun bagai menaiki roller-coaster. Ia hanya bergeming di posisinya.

Digo menggamit tangan adiknya, menuntunnya untuk berjalan mendekati brankar.

"Mas Digo, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk hadir di sini. Mohon maaf, jika permintaan saya ini terlalu mendadak. Tapi...saya sudah tidak bisa menunggu lagi, Mas. Saya yakin segala sesuatu yang baik, apalagi yang menyangkut ibadah, harus disegerakan."

"Tidak apa, Ren. Kebetulan juga pekerjaan saya sedang tidak terlalu banyak. Alhamdulillah saya punya kesempatan dan rizki untuk hadir ke sini."

"Alhamdulillah, Mas. Sepertinya Allah mempermudah jalan saya. Saya tidak mau berlama-lama mengotori hati dan pikiran saya untuk memikirkan wanita yang belum halal bagi saya."

Digo mengangguk-anggukkan kepalanya. Menyetujui perkataan Reno.

"Oleh karena itu, jika Mas Digo sebagai wali dari Ara, berkenan memberikan restu...saya Kananta Moreno, ingin melamar Azura Andhara, adik Mas Digo, untuk menjadi istri saya. Pendamping hidup saya. Bidadari saya, yang insyaa Allah akan berjalan berdampingan dengan saya untuk bersama-sama menjemput surganya Allah di hari akhir nanti."

Digo merangkul pundak adiknya yang kini hanya tertunduk dalam diam. Ekspresi wajahnya sulit dilukiskan dengan kata-kata.

"Kalau saya pribadi, insyaa Allah memberikan restu kepada pria mana pun yang berniat baik melamar dan sanggup menjadi imam yang baik dan bertanggung-jawab dalam membimbing dan menafkahi adik saya ini. Tapi untuk keputusannya, saya serahkan pada Ara. Gimana Ara?" Digo menolehkan pandangan pada Ara yang masih menunduk terpaku. Tiga menit berlalu dalam hening. Ara masih terdiam.

"Ra, Reno menunggu jawaban kamu." Digo kembali menegurnya.

Perlahan Ara mengangkat wajahnya hingga tatapannya bertemu dengan kakaknya sesaat, lalu kepalanya kembali menunduk.

Dihirupnya napas tiga kali dalam-dalam sebelum akhirnya memantapkan hatinya.

"Bismillah. Dengan memohon ridho dari Allah, Ara terima lamaran Kak Reno."

---

Malam ini, Ara sedang gelisah di kamar-kosnya. Terbayang peristiwa tadi siang. Beberapa kali ia membenamkan wajahnya ke bantal, haru bercampur malu memenuhi perasaannya. Berkali-kali ia tersenyum sendirian, bahagia ini begitu menghanyutkannya. Namun ada sedikit ragu di batinnya. Bolehkah Ara larut dalam kebahagiaan ini? Sementara, ia masih perlu mengulik tanya dari Violet, ada hal penting yang harus dikonfirmasi olehnya.

Ponselnya bergetar di atas kasur, Ara pun meraihnya. Terlihat notifikasi pesan masuk dari aplikasi whatsapp. Dibukanya pesan itu, Ara pun tersenyum tersipu malu setelah membaca nama sang pengirim pesan.

Calon Imam : Assalamu'alaikum, calon istri

You : Wa'alaikumussalam, calon imam

Calon Imam : Masyaa Allah 😍

You : 😊

Calon Imam : Bergetar deh hati ini

You : Receh melulu deh 🙄

Calon Imam : Aku ngga nyimpen receh, say

You : Hush! Belum halal udah jualan sayur aja

Calon Imam : Maaf, ngga nahan. Duh...jd pgn buruan halal. Besok aja gmn?

You : Iihh...situ ngebet?

Calon Imam : Banget!

You : Banyakin puasa

Calon Imam : Td aku lagi shaum, lho. Batal deh gara-gara kecelakaan 😞

You : Alhamdulillah, tingkatin ibadahnya ya, calon imam 😊

Calon Imam : Insyaa Allah. Kamu jg ya 😊

You : Iya, insyaa Allah. Trus knp ini mlm2 malah wa? Hrsnya istirahat biar cpt sembuh.

Calon Imam : Senengnya diperhatiin. Dari dulu kek 😌

Calon Imam : Aku ngga bisa tidur. Kamu sendiri knp blm tidur?

You : Abis nyelesaiin PR dari kantor. Ini baru mau tidur

Calon Imam : Oo. Ya udah, selamat istirahat Calon Makmum 😊

You : Met istirahat jg, Calon Imam

Calon Imam : Kayaknya lebih seneng kalo dgr kamu yg ngomong langsung 'calon imam' 😌

You : Kak Renooo.. jgn sukanya godain Ara terus knp siiih!!! 😖

Calon Imam : Knp? Malu? 😏

You : Iiiihhh...tau ah! Udah ah, Ara mau bobok! Assalamu'alaikum

Calon Imam : Wa'alaikumussalam, ya Calon Makmum ❤

Ara pun meletakkan ponselnya di meja. Ia bersiap-siap mengambil wudhu sebelum tidur. Malam ini sepertinya dirinya akan bermimpi indah.

Ara berdo'a penuh harap dalam hatinya, semoga keputusannya ini benar. Semoga Reno memang jodoh yang ditetapkan oleh Allah untuknya.

***

"Kak Reno, kok maksa pulang sih? Itu tangan masih di-gips gitu. Kepala masih di perban. Dokter juga bilang tunggu hasil rontgen keluar." Ara memberengut sebal.

"Aku enggak apa-apa, Ra. Aku cuma ingin pulang, biar bisa cepat-cepat mengurus segala sesuatunya."

"Ngurus apa?" Sejurus mata Ara memandang.

"Our wedding!" Reno mengerjapkan matanya.

"Iihhh...yang itu bisa diurus nanti. Sekarang yang prioritas urusan kesembuhannya Kak Reno." Ara menampik sekenanya.

"Justru buat aku, yang paling prioritas ya urusan per-ni-ka-han ki-ta!"

Reno berkata dengan penekanan.

"Nikah kok masih diperban-perban." Ara mencibir dengan bibirnya.

"Kepala sama sebelah tangan boleh diperban. Tapiii...ehm...yang satu itu 'kan enggak." Reno melirik nakal.

"Iihhh, Kak Reno! Berani mesum, timpuk bantal nih!" Ara sudah siap siaga meraih bantal di atas brankar.

"Yeee...kamu tuh yang mesum! Emang aku ngomongin apa? Maksudku 'kan...tangan sebelahnya lagi enggak diperban." Reno meledeknya.

"Halah, sengaja ambigu! Bisanya ngeles aja!" Ara memasang muka bete-nya.

"Calon makmum, jangan galak-galak dong sama calon imam. Senyum yang lembut gitu, biar adem lihatnya." Reno mencontohkan dengan senyum manisnya.

"Iya, Ara emang galak! Enggak adem dilihat! Ya udah Kak Reno cari aja calon makmum lain yang lembut, yang adem dilihat!" Ara merajuk kesal.

"Ya ampuuun, my bakpao keju. Lagi PMS ya? Salah melulu dari tadi." Reno menepuk dahinya.

"Ngatain bakpao keju lagi, kita batal nikah! FYI, Ara udah enggak gendut lagi ya!" Kedua mata Ara membelalak lebar.

Yang justru disambut dengan tawa hangat oleh Reno.

"Kok malah ngetawain sih? Iiihhh...Kak Renooo! Nyebeliiiiin!" Ara memberengutkan bibirnya.

"Tuh 'kan salah lagi. Duduk sini! Aku mau cerita." Reno menepuk-nepuk permukaan kasur di depannya.

"Cerita apa? Jangan modus, lho!" Ara mengangkat jari telunjuknya.

"Jangan su'udzhon sama calon imam!" Reno memberi isyarat dengan matanya agar Ara duduk di posisi yang sudah ditunjuknya tadi. Ara pun menurutinya dengan malas.

"Jadi...ehm, apa kamu tahu makanan kesukaanku?" Reno merubah suasana menjadi serius.

"Tau kok! Nasi goreng sama siomay 'kan?" Ara menjawab dengan tak acuh. Pandangannya dialihkan ke samping.

"Masyaa Allah...calon istriku pintar. Kok tau?" Reno merasa gemas.

Ara membalikkan pandangannya saat akan menjawab, lalu seketika dia menyadari sesuatu.

"Wahhh...jebakan batman! Ara enggak mau jawab!" Ara kembali membuang muka. Sontak wajahnya memerah malu. Ara sudah kembali dapat mengingat masa lalunya. Ia selalu ingat setiap kali Violet kerap menceritakan apa-apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh Reno.

Reno pun tertawa melihat aksi calon istrinya itu. Pikirnya, alangkah indahnya kalau mereka berdua memang benar-benar sudah halal, pastinya Reno bebas melakukan apapun pada Ara jika sedang gemas begini.

"Ya sudah, enggak mau jawab juga enggak apa-apa. Yang penting kamu sudah tahu walaupun...sudah tahunya dari dulu." Reno menggodanya.

"Iihh...situ sok teyu banget sih, Bang!" Ara mencibirnya.

"Teyu dong! Kamu suka sama aku dari dulu 'kan?" Reno mencondongkan badannya, menatap Ara dengan seksama.

"Kepedean deh!"

"Enggak usah malu-malu, calon bidadari. Soalnya aku juga mau cerita." Reno melebarkan senyumnya.

"Cerita apa?" Ara menanggapi dengan nada jutek. Menutupi rona merahnya yang muncul akibat efek kata-kata 'calon bidadari'.

"Aku baru ngerti sekarang, kenapa dulu sering ngatain kamu bakpao keju."

Mendengar ucapan Reno, Ara pun membalikkan badannya menghadap pria itu.

"Kenapa?"

"Karena aku suka banget sama bakpao keju, melebihi sukaku pada siomay dan nasi goreng. Dan aku suka bakpao keju karena kamu." Reno menawan Ara dengan senyum manisnya. Ara pun kembali memalingkan wajahnya yang seketika semerah tomat, ritme jantungnya mengalun cepat.

"Kak Reno enggak usah ngobral gombal deh!"

"Aku serius, Ra. Sebenarnya dulu aku sering merhatiin kamu. Ngeliat kamu diam-diam ngintipin aku sama Violet dari balik dapur, atau dari balik pintu kamarmu di atas. Terus kamu pura-pura mondar-mandir di depan aku dan Violet cuma untuk sekedar nguping pembicaraan. Terus, aku sering memergoki kamu lagi ngeliatin aku, tapi habis itu kamu sok buang muka karena malu. Kayak sekarang ini nih!"

Ara mengangkat sebelah tangannya untuk menutup mulutnya yang menganga karena terkejut mendengar celotehan Reno. Syok mengetahui kalau Reno menyadari semua tindakannya dulu di masa kecil.

"Tapi justru yang kamu lakukan itu bikin aku diam - diam memperhatikan kamu juga. Aku pernah iseng bertanya pada Violet, apa makanan kesukaan kamu. Dia bilang kamu suka semua makanan yang ada kejunya, terutama bakpao keju. Waktu itu aku sempat mengejek, apa enaknya bakpao. Karena aku belum pernah makan yang namanya bakpao sejak kecil."

"Hah? Serius Kak Reno belum pernah makan bakpao?" Ara bertanya penasaran.

"Iya, sama sekali enggak pernah. Sampai akhirnya aku minta dibuatkan oleh Ibu-ku karena penasaran. Dan aku minta bakpaonya diisi dengan keju. Pas aku coba, jadilah itu makanan favoritku. Jadi, sekarang kamu ngerti kenapa aku dulu suka ngatain kamu bakpao keju? Karena sepertinya di bawah alam sadarku diam-diam aku sudah suka sama kamu." Reno menatap dengan matanya yang tengah berbinar.

Ara menggigiti bibir bawahnya. Lonjakan kegembiraan menjangkiti hatinya. Ia pun mengulas senyum manisnya. Namun ada setitik perih yang muncul di sana.

"Kamu ingat waktu aku menolongmu saat kamu pingsan di jalan?" Reno kembali melanjutkan ceritanya.

Ara menganggukkan kepalanya sekali.

"Saat itu aku panik enggak karuan. Aku langsung minta Pak Hasyim untuk mengantar kamu ke rumah sakit. Aku juga menelepon Violet. Aku terus-terusan mencoba menyadarkan kamu." Reno memejamkan matanya sejenak, lalu mendesah pelan.

"Jujur waktu itu aku takut kamu kenapa-kenapa. Tapi ketika kamu sudah sadar, aku pura-pura bersikap biasa saja. Karena kamu yang selalu membentengi diri dariku, aku juga berusaha membentengi diriku. Selalu bersikap seolah-olah aku tidak suka sama kamu, Ra. Bahkan kadang dihadapan Violet, aku malah mengejek kamu. Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya...mungkin menjaga perasaanku. Aku bahkan berusaha meyakinkan diriku kalau memang Violet yang aku suka, karena dia sudah banyak menolongku, bahkan selalu ada di masa-masa tersulitku." Reno membuka rahasia masa lalu, saatnya Ara mengetahui perasaannya yang sebenarnya.

Ia butuh meyakinkan Ara. Meskipun Ara sudah menerima lamarannya, Reno dapat merasakan masih adanya keraguan di diri Ara.

"Kak Reno...tahu enggak? Gara-gara ejekan Kak Reno itu, Ara enggak pernah lagi makan bakpao keju. Hari itu saat Ara pingsan, sebenarnya Ara sedang diet ketat, bahkan pulang pergi sekolah dengan jalan kaki. Hanya untuk nurunin berat badan. Selain karena sering di-bully, Ara sering merasa iri sama Mbak Vi. Mbak Vi orangnya feminim, lembut, langsing, cantik. Ara yang gendut, tomboy, galak, kayak preman, enggak ada apa-apanya dibandingkan Mbak Vi." Ara mendesah napasnya kasar.

"Ra, stop it! Kamu cantik, kamu menggemaskan, kamu berani, kamu penolong. Buktinya kamu mau aja kalau disuruh sama Violet buatin bekal untukku. Kamu aja yang terlalu minder."

"Kak Reno enggak perlu ngumbar-ngumbar pujian. Ara enggak selalu nolongin Mbak Vi." Ara memejamkan matanya.

"Sering kali Ara marah tanpa alasan yang jelas ke Mbak Vi, seperti saat Ara pindah ke Bali." Ara menundukkan wajahnya yang mulai sendu.

Reno menatapnya dengan serius, mengangkat sebelah alisnya. Ia menunggu Ara melanjutkan ceritanya.

Sebelum kembali bercerita, Ara menarik napas dalam-dalam. Sepertinya memang ia perlu mencurahkan seluruh perasaannya, agar tidak ada lagi kesalah - pahaman.

"Jadi, sebenarnya...pagi hari waktu itu, terakhir kalinya kita bertemu di apartemen...Ara...Ara melihat kebersamaan Kak Reno dengan Mbak Vi. Kalian sedang mengenang masa lalu, di saat tidak ada Kak Fadil di sana. Menurut Ara, itu tak pantas dilakukan oleh kalian berdua, apalagi...kalian punya hubungan di masa lalu. Dan Ara, Ara melihat Mbak Vi seperti menikmati momen itu." Semakin lama suara Ara semakin tenggelam. Ia malu untuk melanjutkan omongan. Gengsinya terlalu besar untuk mengakui sesuatu.

"Hmmm...jadi kamu cemburu waktu itu? Makanya kamu marah dan nampar aku di basement?" Reno menganggukkan kepalanya. Sekarang ia baru mengerti alasan kemarahan Ara saat itu.

"Yaa...ya...enggak tau! Ya...pokoknya gitu deh. Ahh...jadi nyesel ngebahas itu lagi." Ara membuang mukanya kembali. Egonya terlalu mahal untuk mengakui perasaannya.

Reno pun menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Ara yang sok jutek itu. Sepertinya Reno memiliki banyak PR dalam membimbing calon istrinya itu.

"Hmmm...jadi bukan marah karena aku peluk ya?" Reno mengelus dagunya, pura-pura sedang berpikir.

"Hah? Eh...i-itu juga. Apalagi itu, Kak Reno main peluk aja. Bikin Ara tambah emosi!" Ara memutar bola matanya.

"Maafkan aku, Ra. Jujur, aku enggak ngerti bagaimana perasaanmu terhadapku waktu itu. Kamu selalu membangun benteng pertahanan, kamu tidak membiarkan orang lain masuk ke dalam hatimu, termasuk aku. Kamu bahkan selalu menutupi perasaanmu. Ra, please...no more hiding! Tolong belajar untuk percaya padaku, tolong buka hatimu untukku." Reno memandangnya dengan tatapan lembut.

Ara mengerti betul apa yang dimaksud oleh Reno. Ia memang selalu membatasi dirinya, yang merupakan bentuk mekanisme pertahanannya. Mungkin terlalu banyak trauma dan luka lama terpendam di dalam lubuk hatinya yang mengakibatkannya menjadi pribadi yang tertutup seperti itu.

Sepertinya sekarang memang waktunya Ara belajar mempercayai perasaan orang lain, terutama Reno yang telah menjadi calon suaminya.

"Iya, Kak Reno. Ara mengerti. Maafin Ara, karena sudah membatasi diri. Ara hanya takut. Takut terluka, takut kecewa, takut...takut jatuh cinta. Ara harus belajar percaya sama Kak Reno. Ara janji, no more hiding!" Ara tersenyum sumringah.

Reno pun ikut tersenyum melihatnya. Setidaknya satu PR-nya sudah selesai.

"Ehm...ehm...udah kelar sesi curhat antar calon pengantinnya? Bete nih dari tadi cuma jadi obat nyamuk bakar doang. Kalian tuh tega bener ya sama orang jomblo! Aku dari tadi ada di sini cuma dianggap makhluk ghaib." Salsa yang sejak tadi hanya duduk di sofa sambil membolak - balik majalah pun akhirnya angkat bicara, setelah sejak awal perbincangan mereka tadi tidak dipedulikan keberadaannya.

Dan Ara maupun Reno sama-sama terkesiap. Mereka lupa masih ada pihak ketiga di ruang rawat inap itu.  Wajah Ara pun sontak memerah karena malu. Pastinya sejak tadi atasannya itu mendengarkan setiap detail perbincangan mereka.

"Hmmm...Salsa, aku punya teman yang bisa aku kenalin ke kamu." Reno melontarkan ide yang tadi sempat terpikir olehnya.

"Oh ya? Mister Tampan kayak kamu enggak? Soleh enggak? Mapan enggak?" Salsa terlihat bersemangat.

"Sore ini dia mau datang kesini, kok. Kamu bisa nilai sendiri nanti."

"Ah, enggak seru! Aku paling enggak suka sama yang namanya kejutan!" Salsa menutup majalah yang sudah lecek dibuatnya.

"Yakin deh, kalau yang satu ini kamu bakalan suka. I think you two will be perfectly matched for each other." Reno mengumbar senyumnya.

***

TBC