"Kak Reno jangan bercanda ya!" Akhirnya Ara angkat bicara setelah lima menit terdiam usai mendengar pernyataan Reno.
"Aku serius, Ra! Aku tidak pernah main-main dengan yang namanya perasaan. Aku mencintaimu karena Allah, Ra. Takdir Allah yang mempertemukan kita."
Ara meneteskan air matanya. Lagi-lagi ia merasakan sesak di dada. Kenapa mendengar pernyataan anugrah terindah dari Allah itu justru terasa menyakitkan baginya.
"Kak Reno belum sadar ya? Yang Kak Reno cintai itu Zura, bukan Ara. Zura yang lemah lembut, Zura yang feminim, Zura yang cantik. Bukan Ara!"
"Ra, kamu itu Zura. Tidak ada bedanya. Aku memang belum sadar. Belum menyadari kalau aku sudah menyukaimu sejak dulu, Ara. Aku menyukai masakan kamu. Aku menyukai kamu yang pemberani. Aku menyukai kamu saat kamu mengejekku yang sedang cengeng. Tapi kita dulu masih kecil, masih remaja labil. Sangat mudah menyalah-artikan perasaan sendiri."
Ara lagi-lagi terdiam. Dalam batinnya ia meminta maaf pada Zura. Sungguh, bukan Zura yang sebenarnya menjadi alasan kegundahannya. Namun rasanya sungkan untuk mencetuskan nama Violet kakaknya.
Ara merasa lelah. Lelah menghadapi konflik batin yang tengah dideritanya ini. Rasanya ingin ia menumpahkan seluruh perasaannya pada pria itu. Begitu mudahnya pria itu meluluh-lantakkan pertahanannya. Bukan, bukan salah Reno. Memang pertahanannya saja yang lemah.
Namun untuk masalah yang menyangkut masa depan, Ara tidak mau mengambil resiko. Terlalu banyak waktu dalam hidupnya terbuang hanya untuk terperangkap dalam ketakutannya. Ia harus menghadapi ini semua, pasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Takdir.
Ara sudah membuat keputusan, ia mengumpulkan segenap keberaniannya. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat hingga terluka.
"Kak, Ara...Ara juga mau jujur sama Kak Reno. Ara juga punya perasaan yang sama dengan Kak Reno. Ara juga sayang Kak Reno. Ara...cinta sama Kak Reno." Ara meremas-remas tangannya di pangkuan.
Salsa yang sejak tadi menguping di sebelahnya pun tercengang mendengar Ara yang berani menyatakan perasaannya.
Sementara Reno di seberang sana tak henti-hentinya menyunggingkan senyum lebar. Hatinya bersuka cita, perasaannya telah berbalas. Hatinya yang tadinya terombang - ambing bagai perahu kora-kora, kini telah melandai dengan tenang.
"Tapi Kak..." Ara menghentikan sejenak kalimatnya.
"Kenapa, Ra?" Reno merasa kembali was-was, seperti akan ada petir menggelegar di kepalanya.
"Ara...Ara punya permintaan."
"Tell me!"
"Tolong jangan lamar, Ara! Bukan...bukan sekarang waktunya. Tapi nanti...Kak Reno boleh melamar Ara jika memang nanti takdir mempertemukan kita kembali."
Dan benar saja, Reno merasa bagai tersambar petir mendengar permintaan Ara. Perahu kora-kora itu kembali bergejolak.
"Maksud kamu?"
"Kak Reno tidak perlu mencari keberadaan Ara. Biarkan takdir Allah yang bekerja."
----
"Apa ini, Sit?" Reno menerima amplop yang disodorkan Sitta di atas meja kerjanya.
"Maaf ya, Ren." Sitta yang masih dalam posisi berdiri, menundukkan kepalanya. Kedua tangannya saling meremas, merasakan cemasnya.
Reno pun membuka amplop itu lalu mengeluarkan kertas yang terlipat di dalamnya.
"Surat pengunduran diri?" Reno terkesiap membaca surat itu.
"Gue benar-benar minta maaf, Ren. Tapi, gue sudah berpikir masak - masak. Gue harus meninggalkan Mayala." Kepalanya masih tertunduk. Tak berani melayangkan pandangan pada Reno yang sudah pasti sekarang sedang memberinya tatapan dingin.
"Why?"
"Ren, gue...gue punya banyak alasan untuk itu. Tapi alasan utamanya karena...gue merasa tidak pantas berada di sini. Pekerjaan ini gue dapatkan karena azas manfaat. Gue menjual nama Tante Danish untuk mengancam lo memberikan pekerjaan ini ke gue. Pekerjaan ini bukan gue dapat dari hasil usaha gue sendiri."
"Sit..."
"Ren, biar gue selesaikan omongan gue." Sitta mengangkat sebelah telapak tangannya memberi isyarat pada Reno. Reno pun menghentikan kalimatnya. Lalu mempersilahkan Sitta melanjutkan pembicaraannya.
"Dan gue mau jujur sama lo!" Sitta memejamkan matanya, menarik napasnya perlahan.
"Gue...gue sudah melakukan korupsi! Gue menggelapkan omset restoran. Gue..."
"Iya, gue sudah tahu itu. Gue juga sudah memaafkan lo. Dan gue juga tahu semenjak Sena ditangkap, lo sudah berubah menjadi orang yang lebih baik. Dan sekarang gue percaya, lo enggak akan melakukan hal-hal buruk seperti itu lagi ke depannya. Bahkan, gue berniat memberi lo posisi baru. Jadi, surat pengunduran diri ini...gue tolak!"
Sitta menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. Selama ini ia merasa sudah menjadi orang yang hina, sudah terlalu banyak merugikan pria di hadapannya ini. Tapi apa? Reno dengan mudahnya memberinya maaf, bahkan memberinya kepercayaan. Sungguh, Sitta merasa tak pantas menerima kebaikannya yang bertubi-tubi. Apalagi, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Sitta masih mengharap Reno mau belajar mencintainya.
"Ren...tolong hormati keputusan gue! Gue benar-benar enggak pantas menerima kebaikan dari lo. Gue sudah jahat sama lo selama ini."
"Sit, everybody deserves a second chance. Termasuk elo, Sit! Semua manusia pada dasarnya dilahirkan menjadi orang baik. Dan gue percaya, lo akan menjadi orang yang lebih baik lagi seiring berjalannya waktu. So please, put this thing away from me!" Reno menyerahkan kembali surat itu ke tangan Sitta.
Everybody deserves a second chance! Kalimat itu terngiang-ngiang di benaknya. Benarkah Sitta berhak mendapatkan kesempatan kedua? Apakah itu juga berlaku untuk urusan percintaannya dengan Reno?
Sitta masih bergeming di posisinya. Ia tak berani menatap Reno yang sedang berjalan mendekatinya. Jantungnya berdebar kian kencang. Kebaikan Reno semakin membuatnya salah tingkah. Salahkah ia jika sampai detik ini masih mengharap perasaannya terbalas oleh Reno?
"Sitta, lo akan menjadi Direktur di cabang perusahaan tekstil yang baru."
"Hah?"
-----
Reno sedang menghabiskan waktunya duduk di cafe yang berada di lantai satu gedung apartemen tempat tinggalnya.
Sepulang kerja, ia memutuskan untuk mampir ke cafe ini, tempat yang mengingatkannya pada pertemuan ketiganya dengan Ara, gadis yang dulu sangat menjengkelkan baginya.
Ia menyesap habis kopi Americano di hadapannya sambil menghela napasnya sesaat.
Matanya menyusuri pemandangan kolam renang di hadapannya. Airnya tenang, setenang hidupnya saat ini, tanpa riak gelombang yang mampu menggerakkan sel-sel kehidupannya.
Dua hari yang lalu, Reno bertemu dengan Sherin. Entah apa yang menjadi pertimbangan Sherin sehingga akhirnya memutuskan untuk menceritakan curahan perasaan yang Ara ungkapkan kepada Sherin sebelum kepergiannya. Bagaimana Ara menghadapi pergolakan batin akibat rasa cemburu terhadap Violet, kakaknya .
Saat ini batin Reno berkubang dengan segala rasa sesal. Bodohnya ia sebagai seorang pria yang pernah mengabaikan segala pertanda yang telah dikirimkan Allah untuknya.
Wanita itu...ia yakin yang telah ditakdirkan Sang Maha Pemilik Takdir untuknya.
Reno masih mengingat dengan jelas kata-kata terakhir yang diucap oleh Ara. Untuk membiarkan takdir Allah bekerja. Menunggu hingga sang takdir mempertemukan mereka kembali.
Tapi Reno merasa sang takdir tidak berpihak kepadanya. Sudah lewat enam bulan dari masa percakapan terakhir mereka di telepon saat itu. Hingga detik ini pun Reno belum mengetahui keberadaan Ara.
Pandangan Reno mengitari ruangan, ia baru tersadar bahwa ia seorang saat ini pengunjung cafe tersebut.
Seorang pelayan wanita yang sudah berganti baju bebas dari seragam kerja berjalan menghampirinya.
"Mas, maaf sebenarnya cafe sudah tutup sejak sejam yang lalu. Mas sedang menunggu seseorang?" Suara sang pelayan cafe menyadarkannya dari lamunan.
Segera ia melirik ke arah jam tangannya. Jam digitalnya menunjukkan angka 22.05.
Reno sudah menghabiskan 2 jam waktunya hanya untuk duduk termenung merutuki hidupnya.
Ia segera bangkit beranjak dari kursinya dan memohon maaf pada sang pelayan karena telah menghambat jam pulang kerjanya.
Reno pun berjalan keluar dari cafe tersebut. Lalu masuk ke dalam lift. Ditekannya tombol angka 9, lantai tempat apartemennya berada.
Kesendiriannya di dalam lift, merangsang ingatannya untuk mengenang kembali peristiwa 1 tahun yang lalu. Pertemuannya dengan Ara, yang dirancang oleh-Nya, hingga menuntunnya menemukan cinta sejati.
Reno kembali tersadar saat pintu lift terbuka di lantai 9. Tiba-tiba ia mengurungkan kembali niatnya untuk melangkah keluar. Ditekannya kembali tombol panah tutup, lalu menekan tombol angka 10.
Hatinya sedang penasaran. Sekali lagi ia ingin mencoba peruntungan, menuruti kata hatinya yang sedari tadi mendesak kakinya untuk melangkah kesana.
Tibanya di lantai 10 ia melangkahkan kakinya menuju apartemen Ara. Cukup lama ia berdiri mematung di depan pintu tersebut hanya untuk berkutat dengan dirinya sendiri.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menekan bel pintu apartemen itu. Semenit...2 menit...3 menit ia menunggu tapi pintu tak kunjung terbuka. Ia mencoba peruntungan sekali lagi, menekan bel sekali...2 kali lagi, tapi pintu tetap tidak terbuka.
Reno mengacak rambutnya gusar, entah pikiran bodoh apa yang membawanya kesini. Hampir setiap hari ia melakukan hal yang sama selama seminggu ini, mencoba peruntungan berkunjung ke apartemen bernomor 1006 itu, tapi hasilnya tetap nihil.
Tentu saja tidak ada seorang pun yang membukakan pintu itu. Ara sudah enam bulan meninggalkan kota itu, dan Digo pun sudah pindah tugas kerja ke Surabaya sejak 5 bulan yang lalu
Batinnya merindukan sosok Ara. Ia menyadari kebodohannya selama ini. Dulu ia terpaku pada masa lalu. Membiarkan perempuan lain menjajah hatinya. Lalu telat menyadari perasaannya sendiri. Hingga membiarkan wanita yang dicintainya menghadapi kesakitan sendirian.
Penyesalan ini begitu menyesakkan dadanya. Tak ingin rasanya terlalu lama berkubang dalam kegundahan hati. Ia harus melakukan sesuatu.
Diraihnya ponselnya. Ia pun melakukan panggilan cepat ke nomor ponsel Faisal.
"Assalamu'alaikum, Cal. Tolong bantu gue! Lo harus bantu gue, Cal!"
----
Ara berjalan-jalan menyusuri Sunset Road. Ia benar-benar sedang menikmati kesendiriannya. Berhubung sebagian besar karyawan di kantornya merupakan masyarakat Bali, hari ini kantornya tutup dikarenakan sedang berlangsungnya rangkaian hari raya Pagerwesi yang dirayakan umat Hindu di Bali.
Awan yang sedikit mendung memberi kesejukan baginya. Menawar hawa panas yang menyerang kulitnya. Selama enam bulan ini, Ara menemukan hobi baru, yaitu fotografi. Kemanapun berjalan-jalan, tak lupa selalu mengalungkan kamera DSLR-nya. Terlalu banyak spot-spot bagus di Bali yang sayang untuk dilewatkan.
Hobi barunya ini dimulai secara tak sengaja saat ia berkunjung ke Taman Nasional Bali Barat. Saat itu ia dan teman-teman kantornya sengaja berlibur untuk menikmati wisata di Teluk Brumbun. Dan ia pun menikmati pesona alamnya, belum lagi melihat burung Jalak Bali yang langka itu. Sungguh ia mensyukuri nikmat yang Allah berikan lewat penglihatannya.
Ara fokus mengambil jepretan pemandangan manusia yang berlalu lalang di sekitar jalan itu. Dan tiba-tiba seseorang menabraknya dari samping.
Brukkk! Ara sempat limbung namun ia berhasil menemukan keseimbangannya. Orang yang menabraknya berusaha meminta maaf. Sesaat ia ingin menegur orang itu karena tidak memperhatikan jalan. Namun ia terkesiap menemukan sosok itu. Apalagi dengan penampilan barunya. Sosok itu pun sama tercengangnya dengan Ara.
"Ara?"
"Mbak Sitta?
***
"Mbak Sitta, dalam rangka apa ke Bali?" Ara menyeruput orange juice-nya. Setelah bertabrakan di jalan tadi, Sitta dan Ara memutuskan untuk melanjutkan pertemuan mereka di Sunset Point.
"Sekarang aku kerja di sini." Sitta menjawab dengan senyuman.
"Yang benar, Mbak?" Ara terkejut mendengarnya. Bukan apa-apa, otaknya sedang menarik benang kesimpulan. Ia tahu jika Sitta bekerja di restoran milik Reno. Jika sekarang Sitta bekerja di Bali, artinya...
"Iya, sudah sejak tiga bulan yang lalu." Lagi-lagi Sitta tersenyum.
"Itu berarti...Kak Reno..." Suara Ara semakin lirih.
Sitta cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah tidak bekerja untuk Reno. Aku sudah mengundurkan diri dari restoran." Mendengar pernyataan Sitta ini, membuat Ara ternganga. Cepat-cepat ia membekap mulutnya yang menganga lebar. Sitta tertawa melihat tingkah Ara.
"Enggak usah kaget gitu. Biasa aja kali ah!" Sitta menyeruput latte-nya.
Diingatnya kembali peristiwa tiga bulan yang lalu itu, hari di mana Sitta merasakan pupusnya asa.
*Flashback on
"Sitta, lo akan menjadi Direktur di cabang perusahaan tekstil yang baru."
"Hah?" Sitta tercengang mendengar kabar promosinya itu.
"Iya, lo yang akan menjadi Direkturnya. Semenjak Ayah meninggal sebulan yang lalu, gue merasa kewalahan menangani semua pekerjaan. Gue butuh bantuan. Selain Reihan, gue pikir...lo bisa jadi orang yang tepat." Reno tersenyum padanya. Membuat Sitta semakin bingung dengan perasaannya.
"Ren, boleh gue bertanya?"
"Silahkan!"
"Apa maksud lo memberikan jabatan itu untuk gue?"
"Ya karena...gue merasa lo mampu." Reno menjawab dengan tidak yakin. Bukan, bukan itu alasan sebenarnya.
Sitta menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Jangan bohongi gue, Ren! Kita sama-sama tahu kemampuan gue. Gue cuma lulusan SMA! Gue tidak bisa lulus kuliah karena di DO akibat ulah gue di kampus. Dan gue, bukan orang yang otaknya jenius seperti lo. Pekerjaan gue sebagai manajer pun tidak beres. Jadi, tolong beritahu gue alasan sesungguhnya!" Kali ini Sitta mengangkat wajahnya. Ia memberanikan diri menatap manik mata kecoklatan itu. Ingin mencari jawaban jujur di dalamnya.
Reno setengah duduk di meja kerjanya. Kedua tangannya bersedekap di dada. Ia balas menatap Sitta dalam-dalam.
"Jawaban apa yang lo harapkan dari gue?" Reno menantangnya.
"Jawaban jujur, Ren! Kenapa lo lakukan ini semua buat gue? Kenapa lo membiarkan gue menempati apartemen mewah lo? Bahkan mempersilahkan gue membawa mobil mewah lo, sedangkan lo...lo cuma mengendarai mobil butut lo itu. Dan sekarang...lo memberikan gue jabatan direktur? Untuk apa, Ren? Untuk apa semua itu, Ren? Tolong...tolong jangan biarkan gue berharap lebih banyak. Jangan biarkan gue salah paham dengan semua ini." Sitta menggigit bibir bawahnya, menahan nyeri yang menjangkit di dadanya. Bulir-bulir airmata telah menetes di pipinya.
Reno menghela napasnya. Ingin rasanya memeluk Sitta, sungguh ia tak tega melihat seorang wanita menangis. Tapi, ditahannya keinginan itu. Sitta benar, ia tidak boleh membiarkan Sitta terlalu berharap padanya. Ia mengerti arah pembicaraan ini akan bermuara kemana.
"Sit, gue minta maaf jika kebaikan yang gue lakukan ini mengakibatkan lo jadi salah paham. Gue benar-benar minta maaf untuk itu. Gue memang punya tujuan untuk semua ini. Gue ingin menunjukkan bagaimana caranya melakukan kebaikan dengan segala hal yang kita punya. Gue ingin menunjukkan bagaimana caranya memaafkan orang lain yang sudah menyakiti kita. Gue ingin menunjukkan bagaimana caranya bangkit dari keterpurukan."
Reno kembali berjalan mendekati Sitta yang sedang menyimak perkataannya.
"Gue ingin, lo bisa menjadi orang yang lebih baik lagi, Sit. Dan agar lo tahu bahwa lo punya gue, sahabat baru lo yang siap membantu lo kapan saja dibutuhkan." Reno memasukkan kedua tangannya ke saku celana denimnya.
Sitta melengoskan pandangan. Ia mengutuk dalam hati. Mengutuk kebodohannya yang terlena terlalu jauh oleh perasaannya. Kemudian Sitta tertawa, tawanya terdengar menyedihkan.
"Sahabat! Jadi itu status gue sekarang. Okay, fair enough!" Tawanya semakin menyedihkan.
"I am so pathetic! Betapa beruntungnya Ara yang mendapatkan hati lo. Selama ini, gue menyimpan harap. Setidaknya gue bisa mendapat sedikit tempat di hati lo. Dan lo akan terbiasa mencintai gue. Tapi ternyata...harap gue itu salah tempat." Tawanya pun reda berganti dengan isak tangis kesedihan.
"Sitta, please...jangan nangis lagi. Jangan membuat gue merasa bersalah." Reno berkata dengan lirih. Ia tak tahu harus bagaimana. Baginya, lebih mudah mengerjakan soal kalkulus daripada harus berhadapan dengan emosi wanita.
"Cukup, Ren! Tolong, jangan berlaku baik ke gue lebih dari ini. Stop it right there! Please, just let me go! Tolong...terima surat resign gue!"
*Flashback off
Sitta mengulum senyum mengingat kala itu. Untung saja akhirnya Reno menyetujui permintaannya untuk mengundurkan diri.
Dan untungnya lagi, selepas itu, Sitta mendapat tawaran kerja sebagai manajer cabang restoran Italia milik temannya yang baru saja buka di Seminyak. Kesempatan emas baginya, ia dapat menjauh dari seorang Reno. Pelan-pelan Sitta belajar melupakan Reno dan melanjutkan hidupnya. Justru setelah menjauh dari Reno, Sitta jadi menyadari bagaimana perasaannya yang sesungguhnya terhadap Reno.
"Jadi...Mbak Sitta sudah bekerja di tempat lain?" Ara bertanya penasaran.
Terselip sedikit rasa kecewa di sudut hatinya. Ia sempat berpikir bahwa Reno juga sedang berada di Bali. Ara sempat mengira akhirnya sang takdir mempertemukan mereka. Namun kali ini, ia harus menelan pil pahit.
"Iya, Ra. Aku sekarang kerja di restoran milik teman di Seminyak. Kalau kamu?" Sitta memandang Ara dengan tatapan penuh selidik.
"Emmm...sama seperti Mbak Sitta. Ara juga kerja di Bali." Ara menjawab lirih dengan ragu-ragu.
"Hmmm...jadi selama enam bulan ini kamu ngumpet di Bali toh?" Sitta mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.
"Ara enggak ngumpet, Mbak. Ara cuma menunggu takdir mempertemukan kami." Ara memainkan sedotan di gelasnya. Mengaduk-aduk isinya yang tinggal sedikit.
Sitta menghela napasnya dalam. Sebaiknya ia bicarakan saja semuanya.
"Ra, takdir juga harus dijemput. Bukan cuma ditunggu. Kalau kamu nungguin terus tapi enggak ada usaha apa-apa, mau nunggu sampai kapan? Sampai karatan?"
Ara terdiam mendengar ocehan Sitta, mencoba mencerna kata-kata itu.
"Iya Mbak, Ara juga tahu itu. Sebenarnya...Ara ingin melihat sejauh mana Kak Reno mau berjuang, berusaha menjemput takdir itu."
"Ya ampun, Ara! Gimana takdirnya mau sampai ke kamu, 'kan jalannya kamu blokir! Reno tuh sudah berusaha kemana-mana lho mencari tahu keberadaan kamu, mencari nomor ponsel barumu. Sampai-sampai dia minta bantuanku untuk mencari informasi tentang kamu. Bahkan, Reno pernah terpikir untuk nekat melaporkan kamu sebagai anak hilang ke polisi, biar mereka ikutan nyariin kamu katanya. Belum pernah aku melihat dia segalau itu selama ini."
Lagi-lagi Ara terperanjat mendengar cerita Sitta. Benarkah Reno sudah berusaha sedemikian rupa?
Sitta menarik tangan Ara untuk digenggamnya.
"Ra, percaya sama aku. Dia benar-benar tulus cinta sama kamu. Melebihi cintanya dulu ke Violet. Aku saksinya, Ra."
Ara menarik tangannya keluar dari genggaman Sitta. Ada keraguan dalam hatinya.
"Ra, Reno sendiri yang cerita ke aku. Kalau dulu sepertinya...ia salah mengartikan perasaannya terhadap Violet."
"Menyalah-artikan bagaimana maksud Mbak Sitta?" Ara mengernyitkan dahinya.
"Jadi...sebenarnya, Reno dulu pernah merasa ditelantarkan oleh kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya kerap ribut, bahkan diambang perceraian, hingga ibunya melarikan diri ke Singapura. Sejak itu, Reno sering mengurung diri di kamarnya, atau menghabiskan waktu diluar. Katanya saat itu rumah Violet menjadi tempat pelariannya. Dan saat Violet memberi perhatian lebih padanya, kesepiannya terobati."
Ara menyimak dengan baik cerita yang dipaparkan oleh Sitta.
"Hingga saatnya ia mengetahui ternyata cerita perceraian orangtuanya itu hanya rekayasa semata untuk menyembunyikan fakta bahwa ibunya sedang menjalani kemoterapi di Singapura. Dan Reno pun telat mengetahui berita itu. Karena itu, ia sangat terpukul selepas ibunya meninggal. Dan saat itulah Violet datang, Violet menjadi penyelamat hidupnya."
"Saat mengetahui Violet akan menikah dengan Fadil, Reno marah, kecewa. Bukan karena rasa cemburu. Tapi karena merasa dikhianati. Reno tidak bisa menerima segala bentuk pengkhianatan. Reno yang salah mengartikan perasaannya terhadap Violet selama ini. Ia butuh Violet bukan sebagai orang yang dicintainya, tapi sebagai sahabat yang selalu ada untuknya kapanpun ia butuhkan. Reno mengajariku itu."
"Reno mengajariku banyak hal. Dan akhirnya aku mengerti. Kami berdua sama. Sama-sama manusia kesepian. Dan kami membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orang lain."
"Tapi Mbak..."
"Ra, Reno itu pria yang baik dan bertanggung - jawab. Dan sekarang, aku bisa mengatakan kalau dia sudah menjadi pria yang soleh. Aku buktinya. Dia lho yang menyadarkanku untuk berhijab seperti sekarang." Sitta tersenyum lebar. Ia merasa lega sudah menceritakan semuanya pada Ara.
Ada sedikit rasa takjub mendengar cerita Sitta tentang Reno. Namun masih ada ragu yang meruangi hatinya.
"Tapi...bagaimana dengan perasaan Mbak Sitta? Lalu...perasaan Mbak Violet ke Kak Reno? Kalian berdua masih mencintai Kak Reno 'kan?"
"Ra, aku bisa bilang kalau aku sendiri sudah menyalah-artikan perasaanku terhadap Reno selama ini. Aku hanya terobsesi dengannya. Bukan obsesi karena cinta, tapi karena haus akan perhatiannya. Dan sekarang aku sudah move-on. Enggak ada lagi yang namanya galau karena Reno. Bahkan...sekarang aku sedang menyukai pria lain." Sitta tersenyum lebar.
"Wah, serius Mbak?"
Sitta mengangguk dengan sumringah di wajahnya. Memang, saat ini sudah ada nama pria lain tertulis di hatinya.
"Kalau Violet...dia 'kan kakakmu, Ra. Sebaiknya kamu tanyakan sendiri ke orangnya langsung untuk lebih pastinya. Tapi, aku merasa yakin kalau Violet sudah tidak memiliki rasa sama sekali terhadap Reno."
Ara mundur menyandarkan badannya ke kursi. Sekarang hatinya lebih lega setelah mendengar penjelasan Sitta. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Sitta. Violet sudah hidup bahagia dengan Fadil dan putra tampan mereka, Salman.
"Aku lega sudah cerita semuanya ke kamu, Ra. Kamu percaya enggak, kalau pertemuan kita ini merupakan awal dari takdir kamu dan Reno?"
Ara tersentak mendengar pertanyaan Sitta. Ya, memang benar pertemuan mereka kali ini juga bagian dari takdir Illahi. Ia tidak bisa menafikan itu.
"Mbak Sitta, Ara bisa minta tolong?"
"Minta tolong apa, Ra?"
"Tolong...telepon Kak Reno."
***
Reno baru saja memasuki gedung apartemennya. Ia melajukan mobilnya menukik ke arah basement. Untungnya tidak memerlukan waktu yang lama seperti biasanya untuk mencari tempat parkir.
Siang ini ia baru saja mendengar kabar yang menggembirakan dari Sitta. Ia harus cepat-cepat mengurus segala sesuatunya.
Reno melangkah keluar dari mobil lalu berlari memasuki gedung.
Sesampainya di apartemennya, Reno langsung bergegas masuk menuju kamarnya, menarik sebuah koper yang tersimpan di sudut kamarnya, diikuti dengan membuka pintu lemari pakaiannya.
Ia mengemas beberapa pakaiannya ke dalam koper. Saat sedang sibuk berkemas, Reno teringat akan suatu benda yang selama ini tersimpan rapat di dalam lemarinya. Benda yang seharusnya ia singkirkan sejak lama.
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil beledu berwarna ungu dari dalam laci lemarinya. Reno membuka kotak tersebut dan mengeluarkan isinya, yaitu cincin emas putih bertahtakan safir ungu.
Cincin yang seharusnya diberikan kepada calon pemiliknya, Violet, tiga tahun yang lalu. Namun, kini sudah ada cincin bermata lainnya yang melingkar di jari manis perempuan itu. Dan Reno bersyukur akan hal itu.
Ikhlas! Hatinya kini sudah mengikhlaskan takdir yang telah ditetapkan oleh Allahu Al - Muqtadir. Ia harus segera menyingkirkan benda itu seiring dengan telah terhapusnya nama Violet dari dalam hati dan pikirannya.
Ia menggenggam erat cincin tersebut sambil memejamkan kedua netranya, melepaskan napas berat, sebelum akhirnya berucap lirih, "selamat tinggal, Ungu-ku..."
Reno berjalan keluar dari apartemen dengan menjinjing kopernya. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, jari-jari tangannya menutul layar ponselnya, mencari sebuah nomor untuk dihubungi. Ia menunggu hingga panggilan tersambung.
"Ya, Ren?"
"Rei, tolong pesankan tiket pesawat ke Bali untuk gue hari ini."
-----
Reno telah mendarat di Bali kemarin malam. Dan pagi ini ia berrencana untuk mendatangi alamat yang disebutkan oleh Sherin kemarin di telepon. Semangatnya menggebu-gebu. Setelah lama tidurnya tak tenang, akhirnya tadi malam ia benar-benar mampu terlelap.
Sejak kemarin senyum sumringah selalu menghiasi wajahnya. Hingga seorang pramugari di pesawat pun sempat menyalah-artikan senyumnya yang menawan itu. Wajah sang pramugari kian merona, dan ia selalu menghampiri Reno untuk menawarkan bantuan tak penting, sekedar alasan untuk mendekatinya.
Reno pun beranjak keluar dari hotel tempatnya menginap di Kuta. Ia sudah menyewa mobil untuk mempermudah perjalanannya kali ini.
Saat sedang menelusuri sepanjang jalan Imam Bonjol, Reno membuka aplikasi peta di ponselnya. Hanya sebelah tangannya saja yang masih tergenggam di setir. Pandangannya terlalu fokus dengan petunjuk jalan di peta, sehingga tidak melihat kendaraan lain yang mencoba menyalip mobilnya. Saat ia sejurus melihat ke jalan, matanya menyalang lebar, ia tak siap untuk membanting setir.
Bunyi benturan keras terdengar. Kecelakaan itu pun terjadi. Darah segar mengalir. Reno pun terkulai tak sadarkan diri.
-----
Ara kerap melirik jam tangannya. Lalu melongok keluar jendela kantornya. Yang ditunggunya sejak pagi hingga waktu istirahatnya siang ini pun belum kunjung tiba. Padahal Sitta sudah mengabarinya bahwa Reno, pria yang ditunggu-tunggunya itu akan menghampirinya di kantor.
Ara sempat terpikir untuk menanyakan nomor ponsel Reno pada Sitta, namun gengsi di sudut hatinya mengurungkan niatnya.
"Ra, makan siang bareng yuk! Aku lagi pingin bek-gor Surabaya nih." Suara Salsa mengejutkannya.
"Ih, Mbak Salsa...ngagetin deh! Aku pass dulu deh, Mbak. Mbak Salsa maksi bareng yang lain aja ya." Terlihat gurat kekhawatiran di wajah Ara, sehingga membuat Salsa bertanya-tanya.
"Kok tumben? Kamu kenapa, Ra? Lagi ada masalah?" Salsa bertanya penasaran. Matanya menatap penuh selidik.
"Bukan, Mbak ... mmm ... itu ... mmm ... aku udah ada janji." Ara menjawab dengan tidak yakin. Wajahnya semakin memperlihatkan kecemasan.
"Janji? Sama siapa? Perasaan kamu enggak pernah janjian ketemuan sama siapa-siapa. Ehm...kecuali sama kakak kamu yang ganteng itu." Salsa menaik-turunkan kedua alis matanya.
"Iihhh...Mbak Salsa kepo banget sih!" Ara memberengutkan mulutnya.
"Hmmm...aku mencium aroma - aroma mencurigakan nih! Hayooo...janjian sama siapa? Jangan main rahasia-rahasiaan lho!"
"Iiihhh...Mbak Salsa, udah sana! Katanya mau makan bekgor. Entar keburu waktu istirahat habis, lho!"
"Kok ngusir sih? Sekarang aku udah enggak kepingin bekgor! Lebih menarik urusan kamu daripada urusan lidah sama perutku. Ayooo cerita!" Salsa menuntut kejujuran Ara. Ia paling tidak bisa dibuat penasaran.
"Haish...iya iya, aku cerita! Mbak Salsa inget 'kan sama Reno? Cowok yang waktu itu melamar Ara di telepon?"
Salsa menganggukkan kepalanya berkali - kali, menunjukkan antusiasmenya. Cerita cinta Ara menjadi intrik yang menarik bagi Salsa. Sudah lama ia tak mendengar cerita Ara tentang pria itu, mungkin karena telah putus komunikasi. Tapi saat barusan Ara menyebut nama pria itu, lagi-lagi Salsa diserang penasaran tingkat akut.
"Terus, terus...kenapa sama si Reno? Hah? Jangan bilang kamu janjian mau ketemuan sama dia sekarang?" Hampir saja Salsa berteriak histeris. Hatinya melonjak senang mendengar temannya itu akan bertemu dengan pria pujaan hati.
"Sssttt! Mbak Salsa iiihhh...biasa aja deh! Pake teriak segala! Masih ada Bos Besar tuh di ruangan. Entar kena SP1 lagi kayak si Artha cuma gara-gara ngomong heboh."
"Iya maaf, keceplosan. Habis aku ikutan senang sih! Akhirnyaaa ... sang takdir menjemput!" Salsa menurunkan volume suaranya hingga nyaris berbisik. Salsa masih mengekspresikan kegembiraannya dengan menggoyangkan kedua tangannya.
"Apaan sih, Mbak? Lebay banget deh!"
"Kamu tuh yang lebay! Pake sok nantangin takdir segala. Udah tau sama - sama cinta, tinggal ijab kabul kelar urusan! Aku yang gregetan tauuuu!" Salsa mencubiti kedua pipi Ara gemas hingga Ara meringis kesakitan.
"Mbaaak! Sakit nih!" Ara mengelus - elus kedua pipinya yang berbekas merah.
"Biarin! Habisnya kamu sih, sok jual mahal! Aslinya? Kangen berat. Padahal ya, kalau waktu itu kamu langsung terima tawarannya, bisa jadi kamu sekarang udah tekdung." Salsa memperagakan gaya ibu-ibu hamil yang dibalas Ara dengan serangan cubitan. Salsa yang memang tergolong lincah, dengan gesit dapat mengelak dari serangan Ara itu.
"Mbak Salsa tuh kebiasaan deh, kalau ngomong remnya suka blong! Lagian udah tahu juga ceritanya. Enggak sesimpel itu, Mbak! Banyak hal yang menjadi pertimbanganku waktu itu." Ara menampik dengan tangannya.
"Terus, kok bisa sekarang ketemuan? Janjiannya gimana? Katanya enggak inget nomor HP-nya." Salsa mencibir dengan memajukan bibir bawahnya.
"Jadi, kemarin itu pas lagi jalan-jalan di Sunset Road, Ara enggak sengaja tabrakan sama orang. Dan orang itu ternyata Sitta, cewek yang aku ceritakan ke Mbak waktu itu. Inget 'kan?"
Salsa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memberi kode agar Ara melanjutkan ceritanya. Dan Ara pun lanjut menceritakan dengan detail hasil pertemuannya dengan Sitta. Salsa menyimak dengan seksama. Lalu di akhir cerita, Salsa menutup mulutnya yang menganga terkejut. Terkesiap karena akhirnya Ara mengambil keputusan yang mengejutkan.
"Ya Allah, Ra...akhirnyaaa! Mamak bangga karena kamu sudah dewasa, Nak! Mamak is so happy!" Salsa mengelus-elus pucuk kepala Ara bagaikan seorang ibu yang menyayangi anaknya.
"Iya, Mak...berkat do'a Mamak selama ini, akhirnya anakmu ini bisa lulus ujian negara. Terima kasih, Mak. Anakmu ini is so happy!" Ara balas mencium tangan Salsa layaknya anak yang takzim pada orangtuanya. Dan ke-absurd-an mereka pun berlanjut diselingi dengan canda tawa. Hingga Ara sejenak melupakan kecemasan yang tadi sempat merundungnya.
Di tengah gelak tawa mereka, tiba-tiba ponsel Ara yang masih terletak di atas meja kerja dalam kubikelnya berdering. Ara segera mengangkat panggilan itu.
Setelah beberapa menit mendengarkan suara di seberang sana, Ara membeku. Tangannya terkulai lemas. Tak digubrisnya suara yang masih memanggil namanya di seberang sana. Salsa ikut merasa panik melihat perubahan sikap Ara yang tiba-tiba,
pandangannya menyalang kosong.
Salsa pun segera meraih ponsel Ara untuk menyapa suara yang tengah memanggil di seberang sana. Salsa pun ikut tercengang mendengar kabar buruk itu. Didengarkannya dengan seksama informasi yang diberikan oleh sang penelepon.
Setelah panggilan ditutup, ia meraih tasnya dari atas meja, lalu menarik Ara yang sedang mengisak tangis untuk segera keluar dari kantor.
---
"Matur suksma, Bli Kadek! Nanti tolong sampaikan izin kami ke Pak Dewa, ya." Sitta mengucapkan terima kasih kepada Kadek, teman kantornya yang sudah mau memberikan mereka tumpangan ke RS. Sanglah.
Sitta segera mengejar Ara yang sudah masuk duluan ke dalam gedung rumah sakit itu.
Ara menanyakan pada bagian informasi tentang pasien kecelakaan yang bernama Kananta Moreno. Ia diminta menunggu sebentar. Selama menunggu, diketuk-ketukkannya jari tangannya di atas meja dengan tak sabar.
"Tadi memang ada pasien kecelakaan, setahu saya tadi masih di ruang IRD (Instalasi Rawat Darurat). Coba di cek kesana." Resepsionis itu menunjukkan arah ruang IRD dengan tangannya.
Ara pun mengucapkan terima kasih lalu berjalan cepat menuju ruangan itu.
Saat masuk ke IRD, matanya menemukan satu brankar dengan manusia yang telah terbujur kaku di atasnya, tertutupkan selimut dari atas kepala hingga ke bawah kaki.
Ara membekap mulutnya yang tengah menganga tidak percaya. Bulir-bulir air mata sontak jatuh dari pelupuk matanya.
"Astaghfirullah! Inna lillahi wa inna ilaihi roji'uun." Sitta muncul di belakang Ara, pun membekap mulutnya yang kaget tidak percaya melihat jenazah yang tengah terbujur di atas brankar.
"Kak Renooo!"
***
TBC