Hingar-bingar dentuman musik di dalam ruangan mengalun sesuai arahan sang DJ, merayu para pengunjungnya untuk turut menggoyang-goyangkan badan mengikuti hentakannya.
Para pengunjung, mulai dari yang muda hingga yang masuk usia senja, yang setengah mabuk setengah sadar di bawah pengaruh alkohol pun berekspresi. Melepaskan segala penat dan beban hidup di pundak, melampiaskannya dalam putaran musik sang DJ.
Di sudut ruangan diskotik tersebut terlihat empat sekawan yang telah terpisah sekian tahun berkumpul kembali di tempat itu. Sena, Rafi, Tasya dan Devi adalah nama-nama mereka.
Sena yang menginisiasi pertemuan ini. Mencoba mempertemukan mereka kembali di tengah kesibukan masing-masing.
Tasya yang sekarang sibuk mengurus salon kecantikan juga tempat relaksasi dan spa, Devi yang sibuk menjadi ibu-ibu sosialita karena bersuamikan pengusaha batubara yang berumur dua kali lipat umur mereka, Rafi yang sibuk menjadi dokter umum, dan Sena yang hanya sibuk menghambur-hamburkan harta orangtuanya demi kepuasan pribadi.
Mereka mengangkat gelas berisi minuman keras itu tinggi-tinggi untuk bersulang, merayakan kembali berkumpulnya geng mereka.
Tasya dan Devi sedari tadi sibuk membicarakan hal yang tak luput dari dunia mereka, fashion dan kecantikan. Gaya hidup glamor sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Sementara Rafi sibuk menerima telepon dari perawat jaga di rumah sakit yang mengabari kondisi pasien. Sedangkan Sena, hanya mengamati kesibukan teman-temannya itu.
Menurutnya teman-temannya sudah tidak se-asyik dulu lagi. Yang parahnya, walaupun mereka tengah berkumpul, Sena tetap merasakan kesendiriannya. Sepertinya hanya dia yang tidak memiliki kesibukan berarti seperti teman-temannya itu.
Sena menghisap dalam-dalam batang rokok yang dari tadi terkepit di antara jari tangannya.
"Raf, lo enggak minum?" Sena menegur Rafi yang sedang sibuk menutul ponselnya. Ia bertanya-tanya, temannya itu tadi ikut bersulang tapi tidak ikut menenggak minumannya.
"Sorry, Bro! Gue sudah insyaf dari barang haram itu. Sekarang gue terapin hidup sehat. No smoke, no drink, no drug! Matiin tuh rokok lo!" Rafi mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir asap yang sengaja dikepulkan Sena di depan wajahnya.
"Gaya lo! Enggak asyik banget sih, Pak Dokter! Terus tadi ngapain lo ikutan toast sama kita-kita?" Tasya mencibir Rafi yang menurutnya sok alim itu.
"Cuma menghormati kalian aja. Lagian malu sama profesi. Gue harus jadi contoh buat orang awam, terutama para pasien."
Penjelasan Rafi disambut dengan teriakan "huuu" oleh teman-temannya.
"Iya deh, Pak Dokter. Gue manut kata lo! Tapi nanti...kalo gue udah tobat." Devi yang sudah setengah mabuk berujar.
"Ehm...folks, sebenarnya ada yang mau gue omongin nih!" Sena membuka pembicaraan lebih serius.
"Mau ngomong apaan lo? Jangan-jangan...lo mau nikah? Ckckck...Sen, Sen...lo kerja aja belum? Nah, anak bini lo mau dikasih makan apa?" Tasya yang memang bersifat ceplas-ceplos tanpa ba-bi-bu langsung menyambar, yang diikuti dengan tawa cekikkan oleh Devi.
"Beneran lo mau nikah?" Ditambah Rafi yang menganggap serius celotehan Tasya.
"Apaan sih? Siapa juga yang mau ngomongin soal nikah? Makanya tunggu gue kelar ngomong! Main nyamber aja kayak petir."
"Terus...lo mau ngomong apa?" Tasya kembali menyambar.
"Lo pada masih inget dong sama si Ara?" Sena mendekatkan wajahnya di antara teman-temannya yang duduk mengelilinginya di sofa yang melingkar itu.
"Ara? Si buntelan karung beras itu?" Devi memastikan.
"Iiihhh...ngapain sih ngomongin si genderuwo itu? Udah gendut, sok preman lagi, nyebelin banget!" Tasya mengingat masa lalu.
"Ara? Dia 'kan udah kabur entah kemana. Kenapa dia?" Rafi mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi selalu tertuju pada ponsel di genggamannya sepenuhnya.
"Setidaknya nyebut nama dia jadi bikin perhatian lo-lo pada teralih ke gue. Dari tadi gue berasa jadi obat nyamuk semprot." Sena mencibir teman-temannya.
"Ecieee...ada yang ngambek dicuekin." Tasya mengejeknya.
"Eh...eh...kembali ke laptop! Terus maksud lo apa nyinggung-nyinggung soal dia?" Devi semakin penasaran.
"Jadi folks...she's back in town! Gue udah nemuin dia."
"Sumpe lo?" Tasya dan Devi menutup mulut mereka yang ternganga.
Sementara Rafi berwajah tegang. Nama Ara mengingatkannya akan kejahatan masa lalunya.
"Enggak percaya? Gue ada fotonya nih!" Sena mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Tasya, Devi, dan Rafi mendekat pada Seno, fokus mereka tertuju pada ponsel milik Sena.
Mereka bertiga membeliakkan mata tanda tidak percaya.
"Ahhh...itu sih bukan si karung beras! Beda gitu." Tasya menampik dengan tangannya.
"Iya Caca betul, itu sih bukan dia. Enggak ada mirip-miripnya." Devi menyetujui pendapat Tasya.
"Yakin lo ini Ara? Bisa aja sih ini dia, hari gini apa sih yang enggak bisa dipermak?" Rafi mengangkat kedua bahunya.
"Lo kira celana jeans dipermak! Tapi bisa aja sih. Hari gini oplas kan lagi nge-trend." Tasya menimpali.
"Jangan-jangan waktu itu dia kabur ke Korea lagi, buat oplas sama sedot lemak. Jadi iri deh gue!" Devi memperhatikan bagian perutnya yang sudah berlipat.
"Ssstttt! Penonton harap tenang! Mau dengar cerita gue enggak?"
Sena merebut perhatian teman-temannya. Kini perhatian mereka terfokus padanya.
Sena pun bercerita panjang lebar pada teman-temannya mengenai ia yang awalnya mendapat instruksi dari Sitta kakaknya untuk mencari tahu soal Zura.
Demi perempuan yang diam-diam dicintainya itu, Sena pun rela melakukan apa yang menjadi titah sang ratu di hatinya, yaitu Sitta.
Sena mengintai bahkan membuntuti setiap pergerakan Zura, bahkan ia sampai rela menginap di dalam mobilnya hanya untuk mengamati keluar masuknya Zura dari apartemen.
Setiap detail yang ia peroleh selalu dilaporkannya pada Sitta, bagaikan prajurit melapor pada Sang Komandan.
Sampai akhirnya ia mengikuti Zura yang saat itu dalam kondisi tidak sadarkan diri dibawa oleh Reno hingga ke rumah sakit. Saat itu Sena mengikuti Reno dari belakang dengan motornya.
Di rumah sakit, terkuak kebenaran yang mengejutkannya. Sungguh tadinya ia tak percaya kata-kata yang masuk di indra pendengarannya, cerita yang keluar dari mulut Digo dan sosok yang ia dengar bernama Fadil. Lalu ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Saat itu, ia menunggu Sherin yang sedang menemani Ara di dalam kamar untuk keluar. Dewi Fortuna berpihak padanya. Tak lama kemudian Sherin keluar dari kamar Ara untuk menemui suster yang berada di pos perawat.
Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang menurutnya diberi oleh sang dewi keberuntungan, Sena pun segera masuk ke dalam kamar Ara. Ia mendapati Ara saat itu sedang terlelap dalam tidurnya. Ia mendekati Ara untuk mengamati wajah itu dengan cermat.
Ia masih ingat dengan jelas, bekas luka yang ia tinggalkan saat menendang lengan Ara dengan sepatu Dr. Martens-nya. Secara perlahan ia menyingsingkan lengan baju Ara, menjaga setiap gesekannya agar tidak membangunkan sang pasien yang tengah nyenyak agar tidak terjaga dari tidurnya.
Dan ia dapat melihat dengan jelas, bekas-bekas penganiayaan terpampang di kulit mulus Ara.
Setelah mendengar cerita Sena yang meyakinkan, kegelisahan sontak menerpa mereka.
Bahkan Devi kembali melakukan kebiasaan buruknya jika sedang panik, menggigiti kuku tangannya.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Kita harus melakukan sesuatu! Gimana kalo dia beneran ngelaporin kita sekarang?" Tasya memijat pelipisnya yang memang sudah pusing sejak tadi karena pengaruh alkohol.
Rafi mendesah napas berat. Ia sangat cemas. Saat ini karirnya sedang menjadi pertaruhan. Ia tidak akan membiarkan kejahatan masa lalu merusak kebahagiaan masa depannya.
"Gila! Benar-benar gila! Gue enggak mau cerita ini jadi kasus. Bisa hancur karir gue!"
"Si Pak Dandan itu masih hidup enggak sih? Sogokan bokap lo dulu kurang enggak?" Devi semakin kuat menggigiti kuku-kukunya hingga patah.
"Ckckck...kalian udah kayak cacing kepanasan aja. Tenang...gue udah punya rencana!" Sena tertawa pelan, otaknya sedang mengagendakan sesuatu.
"Yakin lo? Rencana apa? Kasitau!" Devi mendesaknya.
"I'm listening!" Rafi mendekatkan wajah tegangnya.
Sena tersenyum picik.
"Gue bakal bikin dia menderita untuk kedua kalinya."
***
"Sudah siap Mbak Ara? Tarik napas dulu perlahan." Arahan Dokter Lisa untuk Ara yang sedang terbaring di atas sofa yang dwifungsi sebagai kasur itu.
Saat ini Ara ditemani oleh Sherin berada di klinik kecil tempat Dokter Lisa menjalankan prakteknya. Sherin menunggu di luar ruangan, hanya Ara yang masuk ke dalam ruangan berukuran 4 x 5 meter itu.
Ini keempat kalinya ia menemui dokter spesialis kejiwaan itu.
Yang pertama saat pertama kali konsultasi di rumah sakit bersama Digo. Pertemuan yang kedua terjadi sekitar tiga minggu yang lalu di klinik ini juga. Saat itu Dokter Lisa menjalankan serangkaian tes, wawancara dan menentukan diagnosa. Pertemuan yang ketiga saat Ara melakukan sesi psikoterapi yang pertama. Saat itu Dokter Lisa ingin memancing Zura untuk keluar, namun tidak berhasil. Sepertinya sosok Zura enggan keluar di hadapan sang dokter.
Hari ini rencananya Dokter Lisa akan melakukan hipnoterapi. Dokter Lisa ingin Ara berhadapan dengan masa lalunya.
"Rilekskan badan dan pikirannya, Mbak Ara." Dokter Lisa tengah duduk di sofa single yang berseberangan dengan Ara.
Ia mengarahkan beberapa langkah untuk menuntun Ara setengah tertidur. Ara pun memejamkan matanya. Dokter Lisa menjadikan kesadarannya yang tadinya berada di gelombang alpha masuk menuju gelombang theta.
"Saya ingin berbicara dengan Mbak Ara. Apakah saya berbicara dengan Mbak Ara sekarang?"
"Ya, saya Ara."
"Mbak Ara, kita kembali ke masa di mana anda adalah seorang gadis berusia 14 tahun. Anda adalah siswa kelas X SMA." Dokter Lisa mencoba memberinya sugesti dengan perlahan.
"Hari ini tanggal 15 Juli 2009. Anda baru saja selesai mengikuti pelajaran terakhir. Apa yang Mbak Ara lakukan setelahnya?"
"Saya...saya keluar kelas, menuju kamar mandi karena ingin buang air kecil."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Saya...saya melihat mereka berempat berdiri di depan kelas sebelah."
"Siapa mereka berempat?"
"Siswa-siswi yang ditakuti di sekolah."
"Dan anda berjalan melewati mereka, anda terus berjalan?"
"Ya, saya melewati mereka. Tapi...mereka mengikuti saya. Saya merasa takut."
"Mbak Ara, saat itu anda berani. Anda sudah berhasil melewati mereka. Anda tidak takut pada mereka. Dan saat ini anda juga berani menghadapi mereka."
Ara yang masih terpejam tampak mengernyitkan dahinya, wajahnya menunjukkan keraguan.
"Mereka mengikuti saya. Mereka mendorong saya masuk. Mereka berempat masuk dan mengunci pintu. Mereka..." Rasa takut itu mulai merasukinya. Ia merasa tidak aman.
"Ingat, Mbak Ara seorang pemberani. Apa yang Mbak Ara lakukan saat ini untuk menghadapi mereka?"
"Mereka mendorong saya. Tidak, bukan! Anak cowok itu, anak cowok dengan rambut keriting itu, dia mendorong saya hingga menabrak dinding."
"Lalu apa yang Mbak Ara lakukan?"
"Saya bangkit lalu balas mendorongnya. Cewek itu...dia yang namanya Caca, dia langsung menendang perut saya hingga saya terjatuh...lalu menampar saya berkali-kali." Ara menunjukkan raut ketakutan yang selama ini terpendam. Napasnya mulai tidak beraturan, jantungnya berdetak lebih cepat.
Dokter Lisa tetap memandunya untuk terus bertahan dalam situasi masa lalu, memberikan sugesti-sugesti positif pada Ara.
Ara pun melanjutkan ceritanya.
"Cowok yang satunya, dia mengenakan sweater hitam, dia...dia menginjak kepala saya dengan sepatunya. Lalu...cowok keriting tadi, dia menendang-nendang saya berkali-kali. Sepatunya menendang-nendang lengan saya. Cewek yang satu lagi, rambutnya panjang, dia punya tanda lahir di lehernya, dia...dia merekam saya dengan HPnya. Sakiiit! Sakiiit! Ya Allah...sakiiit! Badan saya sakit!"
"Tarik napas, Mbak Ara. Tarik napas! Ingat, Mbak Ara kuat. Mbak Ara bisa menghadapi mereka."
"Cewek bernama Caca itu, dia...dia menarik tangan saya. Memaksa saya untuk memegang...ya Allah...saya hina! Cowok keriting itu...dia...dia...jari-jarinya...dia...jangan...tolong, jangan! Jangan Sena!"
"Mbak Ara! Mbak Ara! Dengarkan suara saya, dengarkan saya!" Dokter Lisa mendekati Ara. Ia terduduk di samping Ara, mencoba mengendalikan Ara.
"Tolooong...lepasss! Tidaaak! Jangan! Jangan buka baju gue! Tidaaaakkkk!!!"
Dokter Lisa memulai hitungan, ia melepaskan Ara dari hipnotisnya.
Ara bangun terduduk meremas kencang jilbabnya. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitnya. Matanya membuka membelalak lebar. Kedua tangannya gemetar. Kepalanya pun ikut bergetar. Sekali lagi, bunyi memekakkan itu meyakiti pendengarannya. Ia kembali lepas kendali, Ara berteriak kencang. Ia tidak kuat menahan sakitnya, dirasanya ingin enyah saja dari kehidupan. Pandangannya memudar, lalu gelap.
----
Reno sedang berada di kantor Mayala Group. Tepatnya di lantai 20 salah satu gedung terbesar di ibukota. Sejak selesai rapat tadi, matanya kerap tertuju pada ponselnya. Setiap terdengar bunyi notifikasi, ia selalu bersemangat untuk melihatnya. Tapi lagi-lagi rasa kecewa itu harus ditelannya bulat-bulat.
Ia yang berharap mendapat setidaknya kiriman satu ketikan kata dari wanita yang dirindunya sebulan ini.
Reno menyugar rambutnya, penglihatannya tertuju pada etalase langit yang terpampang dari jendela gedungnya. Lagi-lagi angannya mengembara ke sosok yang dirindukannya, ingin rindu itu segera terobati.
Suara ketukan di pintu ruangannya menggema.
"Pak Reno, maaf ini ada..."
Dug!
"Haaai sayang! Do you miss me?"
Nadine sang sekretaris membuka pintu ruangannya, lalu tiba-tiba begitu saja wanita yang paling dibenci Reno itu muncul dari belakangnya, dengan tak acuhnya menabrak Nadine yang berdiri tepat di depan pintu hingga terjatuh.
Nadine pun segera membenahi posisinya. Jengkel pastinya jika harus menerima kunjungan wanita iblis itu di kantor atasannya. Toh dilihatnya pun atasannya itu tidak menyukai keberadaan wanita yang bernama Sitta itu, tapi kenapa wanita itu kerap gencar mendekatinya? Dan kenapa juga Bosnya itu tidak segera memecatnya? Karena sudah menjadi rumor di sekitar kantor jika wanita itu kerap melakukan pemalsuan laporan dan menilap pemasukan di restoran.
Ah, ia tidak mau terlalu memusingkan wanita siluman itu. Ia hanya berharap atasannya itu nantinya mendapatkan jodoh terbaiknya. Bosnya berhak atas itu.
Nadine menutup pintu ruangan dengan wajah sebal.
"Kamu...ngapain kesini?" Reno memperhalus lisannya. Lagi-lagi ia harus berpura-pura bersikap baik pada wanita jadi-jadian ini. Ada suatu misi dibaliknya. Semua demi perempuan yang sedang didambanya.
"Ya kangen kamulah, sayang." Sitta mengecup pipi kiri dan kanannya. Meskipun ia menggeram dalam hati, Reno membiarkannya. Ia tidak boleh cepat tersulut.
Sitta yang memperhatikan sikap Reno yang tidak menolak dirinya seperti biasanya, merasakan kejanggalan.
"Tumben kamu enggak nolak dicupika-cupiki. Ada angin apa?" Sitta tampak berpikir.
"Disini adanya angin AC." Jawabnya sedikit datar.
"Iihh...sok jayus sih kamu. Ren, bentar lagi waktu makan siang nih. Makan bareng yuk? Yuk? Yuk?" Sitta menggelendot manja di lengannya.
Reno menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. Lagi-lagi ia meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak tersulut emosi. Sepertinya saat ini ia iri dengan kelebihan yang dimiliki Ara. Andai saja ia punya alter-ego yang sewaktu-waktu bisa muncul saat harus berhadapan dengan titisan Mak Lampir di sampingnya ini.
"Mau makan dimana?" Reno memejamkan matanya, tak percaya jika kalimat tanya itu bisa keluar dari lisannya.
"Hah? Serius? Beneran? Iiihh...sweet banget kamu sekarang." Sitta mencubit lengannya dengan manja.
"Jangan-jangan...oh nooo...kamu udah mulai cinta sama aku? Ya ampun, Ren...kenapa enggak dari dulu sih pintu hati kamu terbuka? Ahh...aku jadi melted..." Dan Sitta terus-menerus mengoceh tanpa henti. Setiap lisan yang keluar dari Sitta serasa ketukan palu godam di kepalanya. Ia membayangkan telinganya saat ini hanya mendengar cuitan burung.
"Jadi, mau makan dimana?" Reno berusaha untuk tidak menggubris celotehan Sitta yang terlalu percaya diri itu.
"Dimana ya...? Hmmm...eh, di Italian resto punya temanku yuk?"
"Fine! Show me the way!" Reno melenggang terlebih dahulu meninggalkan Sitta yang masih terbang ke langit ketujuh. Sitta segera mengejar untuk menyamai langkah Reno. Digamitnya lengan Reno. Reno pun membiarkannya.
Kesempatan emas baginya. Kini Reno tidak lagi menolak atau pun menghardiknya. Ia ingin memamerkan kemesraan ini pada setiap karyawan di kantor Mayala bahwa atasan mereka sudah berhasil ia taklukkan.
Mereka pun melewati setiap pasang mata yang menatap heran dan penuh kekecewaan. Sungguh banyak dari mereka yang tak rela sang atasan jatuh ke pelukan ular berbisa ini.
Beruntungnya Sitta, hari ini Reno membawa Porsche Macan hitamnya. Ia tak lagi harus merasakan ketidaknyamanan mobil butut sang pria.
Tanpa dipersilahkan masuk, Sitta sudah terlebih dahulu menempatkan dirinya di samping kursi kemudi. Lagi-lagi Reno harus menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengumpulkan sang kesabaran yang sejak tadi sudah terpecah-pecah.
Reno pun memposisikan dirinya di belakang kemudi. Ia mulai melajukan mobil mewahnya keluar gedung menuju jalan raya.
Sitta memberikan petunjuk rute yang harus diambil pada Reno layaknya seorang navigator.
Ternyata destinasi tujuan mereka berada di dalam mall yang tidak terlalu jauh lokasinya dari kantor Reno. Ternyata tadi Sitta sengaja mengarahkan Reno memutari jalan. Sengaja katanya, agar ia lebih lama merasakan berkendara di dalam mobil mewah itu. Mendengar penuturan Sitta yang disertai tawa cekikikan itu meningkatkan level emosinya.
"Kamu duluan kesana! Aku nyusul." Reno hampir saja membentak Sitta.
Cepat-cepat ia stabilkan intonasinya yang sempat naik.
"Enggak mau ah! Maunya bareng kamu." Sitta mengusap pipi kiri Reno. Jika biasanya Reno akan segera menampik tangan itu, saat ini Reno lagi-lagi membiarkannya.
"Nanti aku nyusul. Mau telpon Reihan dulu. Ada urusan kerjaan yang harus diomongin. Nggak lama."
"Hmmm...oke deh. Tapi bener ya enggak lama. Aku tunggu lho! Oh iya, kamu mau makan apa? Aku pesenin dulu aja." Sitta membuka pintu mobil. Sebelum bangkit keluar, kepalanya diputar kembali ke arah Reno.
"Apa aja terserah." Reno mengambil ponsel di saku kemejanya. Perhatiannya sepenuhnya tercurah untuk gadget itu.
"Ok! Ingat ya tempatnya, lantai tiga sebelah foodcourt."
Setelah Sitta menutup mobil lalu berjalan masuk ke dalam gedung mall, Reno menghembuskan napas lega berkali-kali. Namun hembusan napasnya terengah-engah. Ia ingin meledakkan sang emosi. Kedua alisnya berkerut, bola matanya menjurus tajam, bibirnya mengecil. Telapak tangannya tengah mengepal. Sang setir pun menjadi pengganti samsaknya.
Setelah dirasa cukup melampiaskan amarahnya, Reno melakukan panggilan di ponselnya.
Yang dihubungi tidak lain adalah sahabatnya, Reihan. Reihan-lah pencetus ide untuk berpura-pura dekat dengan Sitta.
Tiga hari yang lalu, Reno mengajak Reihan mengunjungi Pak Danang, satpam yang dulu bekerja di sekolah Ara. Ia juga yang menjadi saksi kunci dari penganiayaan yang dialami Ara.
Sesampainya di rumah Pak Danang, seorang wanita berusia 30-an menyambutnya, menuntunnya untuk masuk ke dalam ruangan bertirai kain perca yang disebutnya sebagai kamar.
Ia menemukan lelaki paruh baya yang terbaring lemah di atas dipan yang hanya beralaskan tikar. Badannya kurus, kulitnya mencetak dengan jelas tulang-belulang yang hanya sedikit terbungkus daging. Wajahnya pucat, tirus, matanya tercekung ke dalam. Lelaki itu adalah Pak Danang.
Batinnya tersentuh, tak tega melihat pemandangan yang disuguhkan lelaki berusia 50 tahun itu. Mengingatkannya pada sosok sang ayah yang juga tengah sakit-sakitan.
Dengan lembut dan tanpa paksaan, Reno menanyakan pada Pak Danang perihal apa yang ia ketahui tentang insiden yang menimpa Ara.
Sontak Pak Danang menangis, ia tersedu-sedan mengenang peristiwa itu. Ia mengemis permintaan maaf. Disebutnya ia tengah khilaf saat itu, karena kondisi yang memaksanya.
Saat itu ia mengetahui persis siapa saja empat pelaku penganiayaan itu. Salah satunya adalah anak kepala sekolahnya, lalu pemimpinnya adalah anak pengacara terkenal. Dua orang lainnya juga merupakan anak-anak dari pengusaha kaya. Pak Danang dengan segenap tenaga yang dihimpunnya menyebutkan satu persatu nama para pelaku.
Saat hendak melaporkan kejadian itu pada pihak berwenang, kepala sekolah yang juga ayah dari seorang pelaku mengancam akan memecatnya bahkan memastikan ia tidak akan bisa bekerja sebagai satpam dimanapun nantinya.
Sementara seorang pengacara yang juga ayah salah satu pelakunya mengancam akan melaporkannya atas tindak kejahatannya dulu sebelum bertobat sebagai pencopet jalanan.
Dan saat itu Pak Danang sedang membutuhkan uang yang cukup banyak untuk biaya operasi istrinya yang terkena tumor otak, tidak mungkin ia melepaskan pekerjaannya. Apalagi ia memiliki catatan kasbon di koperasi sekolah.
Sang pengacara yang mengetahui kesulitan yang sedang dihadapi Pak Danang pun menawarkan kesepakatan yang menggiurkan. Ia bersedia menanggung biaya pengobatan termasuk biaya operasi istri Pak Danang. Bahkan ia menjamin Pak Danang tidak akan dikeluarkan dari sekolah, malah akan mendapat kenaikan gaji.
Pak Danang waktu itu bimbang, batinnya sangat ingin menolong Ara. Tapi istrinya juga membutuhkan pertolongan. Bagai dihadapkan dengan buah simalakama. Akhirnya Pak Danang menyetujui kesepakatan itu, ia berjanji akan menyimpan rahasia busuk itu rapat-rapat.
Namun di kehidupan saat ini sesal tinggallah sesal. Ia menyesali, bahkan merutuki keputusan salah yang diambilnya itu. Istrinya tetap tak berhasil diselamatkan, meninggalkannya dan anak-anaknya.
Ia menyadari kesalahannya itu. Terang saja Yang Maha Kuasa memanggil istrinya kembali ke pangkuanNya. Yang ia gunakan untuk pengobatan istrinya itu jelas uang haram. Sepeninggal istrinya itupun ia kerap sakit-sakitan, hingga akhirnya tak mampu lagi mencari nafkah.
Pak Danang kembali berlinang air mata mengingat masa-masa kelam itu. Permintaan terakhirnya sebelum menutup mata hanyalah ingin diberi kesempatan umur lebih untum bertemu dengan Ara. Ia ingin memohon pengampunan dari gadis itu.
Reihan yang juga berada di sana dan hanya menjadi pendengar pun merasakan amarah yang bertubi-tubi menyerang sukmanya. Ia mengetahui persis siapa Sena Ardiwijaya, pemimpin geng yang disebut oleh Pak Danang.
Sepulang dari rumah Pak Danang, Reihan terpikirkan suatu rencana. Ia mengajukannya pada Reno. Awalnya Reno tidak menyetujui rencana yang jelas membuatnya muak itu. Tetapi saat itu nalarnya sedang tidak berjalan dengan baik. Dan opsi mengikuti rencana Reihan sepertinya yang terbaik untuk saat itu.
Reno segera menutup panggilannya. Sudah cukup perbincangan yang ia lakukan dengan Reihan. Reihan kembali meyakinkan Reno untuk mengikuti rencana yang sudah diaturnya.
Reno beranjak keluar dari area parkir untuk masuk ke dalam mall. Ia ingat lokasi resto yang disebutkan oleh Sitta. Ia pun segera menuju kesana.
Di sana Sitta sudah menyambut kehadirannya dengan senyuman manjanya. Reno segera memposisikan dirinya duduk di sebelah Sitta sesuai permintaan.
Tak lama hidangan makanan dan minuman yang sudah Sitta pesan diantarkan ke meja mereka. Saat akan mulai menyantap spaghetti saus pesto dipiringnya, Reno terpaku dengan kedua sosok yang terpindai oleh matanya. Mereka mengambil tempat di meja yang berseberangan dengannya. Sesaat mereka belum menyadari keberadaan Reno, lalu kemudian...netra mereka saling bersitatap.
"Mas Reno?" Teriak salah seorangnya. Dia adalah Sherin. Seorang lainnya tentunya...
"Ara?"
***
Reno beranjak dari tempat duduknya, berjalan menghampiri Sherin dan Ara yang telah menempati kursi. Mata Sitta membeliak lebar menemukan sosok yang dikenalnya sebagai Zura. Ia meremas kencang serbet yang berada di samping piringnya.
"Ara?" Reno berwajah sendu, sungguh ia merindukan bidadarinya. Tidak, ia mengerti harus menahan diri. Kesehatan Ara sekarang menjadi prioritasnya, apalagi saat ini ia tengah bersama Sitta. Wanita itu pasti tidak akan membiarkannya mendekati Ara. Segera kembali dipalingkan wajahnya. Ia pun bersiap membalik badan.
"Kak...Kak Reno..." Ara menundukkan wajahnya.Terlihat wajahnya yang lebih pucat, matanya yang sembab, tampak sisa-sisa tangis di pelupuknya. Ara menahan diri, matanya hanya berkaca-kaca.
Reno pun kembali menghadap mereka. Sherin yang mengerti kondisi Ara segera menarik Reno menjauh. Ia menarik Reno hingga ke samping pintu masuk restoran.
"Mas Reno! Ingat 'kan pesan Mas Digo? Jangan temui Ara dulu!"
"Aku hanya ingin tahu kabarnya. Kenapa dia terlihat murung seperti itu? Seperti habis menangis."
"Ara baru saja mengalami guncangan hebat selesai hipnoterapi. Sepanjang jalan tadi dia nangis. Aku yang lagi nyetir sampai bingung dibuatnya. Akhirnya aku ajak kesini, Zura 'kan...eh maksudnya Ara, dia suka spaghetti, siapa tahu terhibur."
Reno menunduk lemah seusai mendengar penuturan Sherin. Ia tak sanggup lagi membiarkan Ara bergelut dengan masa lalunya yang kelam. Matanya melirik ke arah Ara yang masih tertunduk di kursinya, mencoba menyembunyikan tetes-tetes airmatanya yang kembali mengalir.
"Oke Sher, aku akan pindah makan di tempat lain." Saat Reno hendak melangkah, lagi-lagi tangan Sherin kembali menahannya.
"Mas, ada lagi yang Mas Reno harus ketahui. Tadi Sherin mendapat beberapa catatan dari Dokter Lisa. Dalam proses hipnoterapi itu ada dua nama yang secara tak sadar disebut oleh Ara. Ada yang namanya Caca, dan Sena."
" Ya aku sudah tahu soal Sena. Caca? Siapa Caca?" Reno mengernyitkan dahinya.
Giliran Sherin yang mengernyit bingung, dari mana sepupunya ini tahu soal Sena?
"Sherin enggak kenal, Mas. Yang jelas teman satu sekolahnya Ara dulu. Terus Dokter Lisa bilang, ternyata dulu selain mengalami penganiayaan, Ara juga mengalami pelecehan seksual. Dokter Lisa menyarankan kita untuk mencari tahu lebih banyak soal pelakunya. Harus segera diusut!"
"Iya, Mas tahu. Mas juga sedang mengusahakan. Kamu percayakan sama Mas kalau soal itu." Reno menepuk kecil kepala sepupunya yang terbalut hijab putih itu.
Sherin pun menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati ya, Mas. Oh ya, perempuan yang dari tadi melototin Ara itu, aku enggak suka ya kalo Mas Reno sama dia. Mana bajunya kurang bahan banget." Sherin memajukan mulutnya.
"Tenang, dia cuma bagian dari rencana Mas." Reno tersenyum pada Sherin, mengisyaratkan padanya untuk tidak memprotes lebih lanjut.
Reno kembali berjalan menuju meja yang ia dan Sitta tempati. Dilihatnya Sitta sedang menyayat potongan daging steak disertai dengan amukan emosi. Reno yang melihat sikap Sitta menjadi terpikirkan sebuah modus.
"Sit...kamu marah?"
"Ya iyalah marah!" Sitta melempar pisau dan garpu digenggamannya ke atas piring. Pandangannya menatap Reno tajam. Sudut-sudut bibirnya menekuk ke bawah.
"Ngapain sih mereka disini? Mereka stalking kamu? Terus itu yang namanya Sherin ngapain juga pake narik-narik kamu? Terus kalian ngomongin apa sampe kamunya senyum-senyum gitu? Aku muak melihat mereka!" Sitta menyedekapkan tangan lalu memalingkan wajahnya.
"Kita udahan makannya ya. Aku sudah enggak lapar." Reno melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang lewat.
"Eh...aku 'kan belum selesai makan." Sitta kembali menolehkan wajahnya pada Reno untuk melayangkan protes.
"Nanti aku jelaskan. Aku juga muak berada di sini, kita cabut." Reno mengeluarkan 4 lembar uang 100.000 lalu meletakkannya di atas meja. Sitta yang melihat lembaran uang itu, kembali memprotesnya.
"Ren, itu kebanyakan!"
"Anggap aja sedekah sama teman kamu. Yuk cabut!" Reno segera melangkah keluar restoran. Dari ujung mata ia melirik ke arah Sherin yang mengangguk padanya.
Sekeluarnya dari mall, Reno tidak segera kembali ke kantor. Ia mengantar Sitta pulang ke rumahnya. Dan sekali lagi Sitta terbang ke langit ke tujuh. Belum pernah sebelumnya Reno memperlakukannya seperti ini.
Yang tidak diketahui Sitta adalah Reno yang sedang bersegera mempercepat jalannya rencana.
Mereka pun tiba di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Security yang menjaga pun segera membukakan pagar besar tersebut.
Reno segera melajukan mobilnya melalui jalan paving blok menuju bangunan tempat tinggal Sitta dengan keluarganya.
Reno segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Sitta. Lagi-lagi Sitta dibuat terpana oleh perlakuan Reno terhadapnya. Kali ini ia benar-benar yakin Reno sudah berhasil ditaklukkannya.
Mereka pun memasuki rumah besar yang disokong oleh pilar-pilar tinggi berwarna emas itu.
Sitta mempersilahkan Reno duduk di sofa lalu berlalu ke dapur untuk menginstruksikan pada Mbok 'Yem untuk membuatkan minuman bagi tamu spesialnya. Yang anehnya lagi, Sitta bertutur dengan nada lemah lembut terhadap Mbok 'Yem. Belum pernah seumur hidupnya itu ia melihat perubahan perangai sedrastis ini dari anak majikannya itu.
Sitta pun segera kembali menemui Reno di ruang tamu. Ia mendudukkan dirinya di sebelah Reno.
"Ren, kamu utang penjelasan. Jadi tadi kamu mau ngomong apa?" Sitta merayu dengan manis manja.
"Ehmmm...kamu tahu siapa sebenarnya perempuan bernama Sherin itu?" Reno mencoba menelan kegugupan yang melandanya. Ia harus menjadi aktor yang meyakinkan penontonnya.
"Siapa sih dia? Aku cemburu tau!" Sitta merengutkan wajahnya.
"Ngapain kamu cemburu sama sepupuku?"
"Hah?" Sitta tercengang
"Iya, dia sepupuku. Anaknya Om Danu. Kamu tahu Om Danu 'kan?"
Sitta hanya mengangguk perlahan sambil menatap Reno dengan canggung.
"Kok...kamu enggak bilang waktu itu? Duhhh...tahu gitu 'kan aku bakal baik-baikin dia waktu itu. Aku pikir dia juga fans yang ngejar kamu."
"Jadi kamu cuma bakal baik ke orang kalau tahu mereka itu keluargaku?" Reno menatapnya tajam.
"Eh...eh...enggak. Bukan gitu maksudnya. Nanti aku minta maaf deh sama dia. Maaf ya sayang, aku beneran enggak tahu." Sitta kembali merayunya manja.
"Lalu ada lagi yang mau aku ceritain ke kamu." Reno menatapnya serius.
"Apaan? Cerita aja! Aku senang banget tau kamu mau cerita-cerita sama aku. That's what i've been waiting for all this time." Sitta mengedip-ngedipkan matanya genit.
Kehadiran Mbok 'Yem yang mengantarkan minuman tidak digubrisnya.
"Perempuan yang satu lagi, yang kamu kenal sebagai Zura, aku muak sama dia. Aku benci dia!" Reno mengatakannya seolah-olah rasa bencinya memang ditujukan untuk Ara, padahal ia mendapatkan rasa itu saat ini karena harus berperan penuh perhatian pada perempuan yang justru sangat dibencinya.
"Lho...bukannya kamu suka sama dia? Aduh, kalo denger nama dia disebut-sebut bikin emosi jiwa meledak-ledak." Sitta bersungut-sungut.
"Itu dulu, sebelum aku tahu dia berbohong. Ternyata selama ini dia bohong padaku! Dan aku tidak bisa memaafkannya. Bahkan aku benci padanya." Kembali Reno berakting dengan sangat meyakinkan.
"Apa?" Sitta tampak tak mempercayai pendengarannya. Bagaimana bisa Reno tiba-tiba membenci wanita yang pernah dicintainya itu?
"Memangnya dia bohong apa ke kamu?"
"Ternyata dia bukan Zura. Dia hanya bentuk kepribadian ganda dari seorang gadis yang dulu pernah mendapat penganiayaan. Dia bahkan tidak eksis di kehidupan nyata."
"Apa kamu bilang? Kepribadian ganda?" Sitta terperangah hingga bangkit dari duduknya. Ia benar-benar tercengang mendengar fakta yang diungkap oleh Reno.
Beberapa detik kemudian Sitta kembali menempati posisi duduknya semula.
"Ya, kepribadian ganda. Nama aslinya Ara. Awalnya aku memang simpati padanya. Tapi setelah mengetahui kebenarannya saat itu di rumah sakit, bahkan ketika mengetahui perangai Ara yang sebenarnya, orangnya yang kasar, tidak punya etika, membuatku il-feel. Apalagi setelah tahu masa lalunya itu, aku merasa mungkin dulunya dia orang yang sangat menyebalkan bagi orang-orang di sekitarnya, pantas saja jika dulu dia dibully. Maybe she did deserve that." Reno mencoba bercerita dengan tenang.
Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menjelek-jelekkan bidadari di hatinya itu. Tapi ia berjanji, suatu saat nanti ia akan memohon maaf pada Ara atas apa yang dilakukannya saat ini.
Sitta perlahan menarik sudut-sudut mulutnya naik. Tak terbayangkan betapa bahagianya ia saat ini mendengar curhatan pria yang dicintainya ini. Dan lebih bahagianya lagi ketika mengetahui kini ia sudah tidak punya kompetitor. Tidak dipercaya oleh akal sehatnya jika alam semesta berpihak padanya saat ini.
"Ckckck...berarti selama ini dia bohong dong ke kamu? Kurang ajar ya!" Sitta turut menjadi kompor mleduk bagi Reno.
Reno hanya mengangguk-anggukkan kepalanya menyetujui rutukan Sitta.
"Makanya tadi aku malas berada di resto teman kamu itu lebih lama. Tadi juga sebenarnya aku marah ke Sherin, aku melarangnya bergaul dengan gadis freak itu. Aku tersenyum padanya karena Sherin bilang akan menuruti perintahku. Yang jelas aku tidak akan lagi mau bertemu dengannya!" Reno berpura-pura mengumbar kemarahan. Dan Sitta dengan mudah mempercayai setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Iya benar, Ren. Emang sudah sepantasnya kamu benci dia. Semoga sepupumu itu enggak deka-dekat dia lagi deh! Entar ketularan liarnya. Si Ara yang kamu bilang itu, dia memang cewek menyebalkan dari dulu, mana gendut lagi, terus kelakuannya kayak preman."
"Lho, kamu tahu dari mana, Sit?" Reno menarik sebelah alisnya ke atas. Ia berhasil memancing Sitta masuk perangkap. Reno memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku jaketnya.
"Ya taulah, Ren. Sebenarnya dari tampangnya juga dia udah keliatan nyebelin kok. Tapi sebenarnya ya, si Ara itu teman satu sekolahannya Sena. Sena banyak cerita soal dia."
"Oh ya?? Wow, what a small world!"
"Agree, darling!" Sitta mengelus pipi Reno manja.
"Aku bisa bayangin rasanya jadi Sena. Pasti nyebelin punya teman yang model si Ara itu di sekolah. Terus...si Sena tahu soal kejadian penganiayaan dia?" Reno sedikit memicingkan matanya.
"Ya tahulah! 'Kan pelakunya dia sama teman-teman gengnya. Itu saking sebalnya mereka sama si preman buntelan itu."
"Hmmm...mereka? Wow! Keren ya dia bisa bikin geng sama teman-temannya itu."
"Iyalah, Sena dulu disegani sama teman-teman di sekolahnya. Adikku itu 'kan berwibawa banget. Jadi gampang buat dia dapetin teman."
"Jadi iri sama si Sena dulu. Kalo aku dulu paling kemana-mana cuma sama si Fadil. Dia lagi...dia lagi." Reno mencoba menimpali dengan tenang. Sedikit lagi...ia hanya harus berusaha sedikit lagi.
"Ah, kamu terlalu merendah, Ren. Kamu itu idola cewek-cewek satu sekolah. Kamunya aja yang pake kacamata kuda sampai sebegitunya enggak sadar ada di sarang perawan." Sitta tertawa pelan.
"Ya dulu fokusku hanya belajar sih. Biasalah, tuntutan orangtua. Jadi punya teman dekat pun cuma satu. Itu pun syukur-syukur si Fadil mau temanan sama aku yang kutu buku. Oh iya, kalau teman satu gengnya Sena ada berapa orang?"
"Ada tiga orang, totalnya empat sama Sena. Ada Rafi, Tasya tapi biasa dipanggil Caca, terus satu lagi...mmm...siapa ya...mmm...oh iya Devi. Dulu sepulang sekolah kadang mereka nongkrong atau numpang nginap disini. Mami Papi sibuk bepergian sih. Jadi kami bebas mau ngapain aja."
"Enak ya punya teman banyak kayak Sena. Bisa nongkrong bareng, nginep bareng. Kalau orangtuaku tukang mantau. Terus, jadinya mereka berempat yang membully Ara?"
"Iya mereka berempat. Tapi stupid juga si Sena waktu itu, pake dilihat saksi mata lagi. Untung aja bisa disuap si saksinya, kalo enggak 'kan bisa menua di penjara dia."
Sitta berceloteh panjang lebar, detail cerita keluar mulus dari lisannya.
"Emang siapa saksi matanya?"
"Itu satpam sekolahnya. Namanya siapa sih Dandang gitu...eh Danang apa ya? Ya pokoknya itu deh. Eh Ren, kok jadi ngomongin si Ara itu sama Sena sih? Entar bikin bad-mood lagi." Sitta memberengutkan wajahnya kembali.
"Jangan bad-mood, dong. Aku malah lagi good-mood."
Reno menyunggingkan senyuman lebar. Tuntas sudah tugasnya.
***
TBC