"Reno...lepas! Lepasin! Sakiiit!" Sitta meraung meronta-ronta. Reno sedang menyeret Sitta keluar dari kamar VIP tersebut.
Reno menyeretnya hingga ke koridor di depan taman, lalu lengan Sitta dihempaskannya dengan kasar.
Sitta yang merasa kesakitan, memutar-mutar pergelangan tangannya untuk mengecek kulitnya yang berbekas merah.
"Lo itu cewek nggak beres ya!" Reno berteriak tertahan di hadapan Sitta. Ia tidak peduli menjadi pemandangan orang-orang sekitar.
"Kamu kasar banget sih! Aku berniat baik datang kesini, mau jenguk ayah. Tapi perlakuanmu kasar sekali!" Sitta balas menjerit kecil, kakinya yang mengenakan stilleto menghentak-hentak lantai.
"Apa tadi lo bilang? Ayah? Lo...bukan siapa-siapa gue!" Reno menunjuk-nunjuk wajah Sitta.
"Reno! Aku calon istri kamu!" Sitta memandang tajam.
"Jangan harap!" Reno tertawa sinis.
"Woiii, yang sopan dong sama cewek! Nggak pernah diajarin apa sama orangtua?" Seorang pria seumuran Zura menegur Reno. Ia sedang mengunyah batang korek api di sudut mulutnya. Reno mengenal pria ini.
"Kalian kali yang nggak pernah diajarin sopan santun sama orangtua." Reno menyengir tipis, menyindir Sitta dan adiknya. Ya, pria itu adalah Sena, adik dari Sitta.
"Sena! Stay out of this!" Sitta memperingatkan adiknya.
"Cih! Kak, ngapain sih masih ngarepin cowok pecundang kayak dia?" Sena melepeh batang korek api ke sembarang arah.
Reno yang melihat perbuatan Sena, merasa jijik. Kakak-adik sama saja horornya.
"Benar yang adek lo bilang. Ngapain deket-deket sama cowok pecundang kayak gue!" Reno membalas nyinyir.
"Sena! Tunggu di parkiran sana!" Sitta memberi isyarat pada Sena.
"Ckkk...ogah ah! Panas! Gue tunggu di kantin aja." Sena mengipas-ngipaskan kerah kaosnya lalu beranjak ke kantin di sebelah.
"Ren, please...be gentle with me. We're meant to be. Aku ini jodoh kamu, sayang." Sitta membelai pipi Reno, suaranya mendayu merayu. Matanya berusaha menghipnotis.
Reno bergidik melihat perlakuan Sitta. Ia menampik telapak tangan Sitta yang menempel di pipinya.
"Nggak usah sok jadi Tuhan. Bukan lo yang nentuin jodoh!" Reno memicingkan matanya.
"Unfortunately...memang aku yang menentukan, sayang. Kamu lupa sama Tante Danish? Tanpa uangnya Tante Danish, kamu bisa apa?" Sitta terkekeh pelan.
Reno terpaku pada gemingnya, ia tak dapat berkutik. Hatinya melaknati wanita di hadapannya ini. Kadang ia bertanya dalam hati, dosakah jika ia mengharapkan wanita terkutuk ini enyah dari muka bumi?
Sitta mendekatkan wajahnya hingga sedikit berjarak dengan wajah Reno. Ia berjinjit dari stilleto-nya.
"Ingat Reno, you're mine! And will always be mine." Sitta mengecup kecil pipi kiri Reno.
Amarah Reno menguak, kedua tangannya mengepal. Andai saja makhluk di hadapannya ini bukan seorang wanita, mungkin ia sudah mengajak baku hantam.
"Kirim salam untuk ayah ya, sayang. Aku pamit dulu..." Sitta melemparkan kecupan jauh dari bibirnya. Ia berjalan ke arah kantin menyusul Sena yang sedang asyik mengepulkan asap rokok di sana.
Reno merasa geli melihat tingkah wanita itu. Digosok-gosoknya dengan keras pipi yang tadi disosor Sitta. Sepertinya ia harus thaharah .
Tak lama kemudian terdengar suara adzan, menandakan panggilan masuk waktu sholat Zhuhur.
Menurut Reno kebetulan, sekalian ia bersuci dengan wudhu. Reno pun bergegas ke masjid. Ia berwudhu lalu menunaikan sholat Zhuhur berjama'ah dengan pengunjung rumah sakit lainnya.
Setelah selesai, Reno bersalam-salaman dengan jama'ah lainnya. Dan ia pun kembali bertemu dengan Fadil.
Mereka saling melempar senyum sumringah, tiada lagi beban terpendam di antara kedua sahabat itu.
Lalu Reno teringat jika ia belum menjenguk Violet pasca lahiran. Reno meminta izin terlebih dahulu pada Fadil. Gayung bersambut, Fadil menyambut niat baiknya dengan sukacita. Mereka berdua pun berjalan bersama menuju kamar tempat Violet dirawat.
Pagi tadi Fadil sudah menceritakan pada Violet perihal pertemuannya dengan Reno dan Digo tadi malam. Tak lupa ia juga mengabari tentang Zura yang juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama.
Awalnya Violet kaget dan muncul kepanikan, sepertinya ia masih takut untuk bertemu dengan Reno.
Setelah menikah, Violet selalu dihantui rasa bersalah terhadap Reno. Ia menjalani proses yang tak mudah untuk dengan ikhlas menerima kenyataan yang terjadi pada dirinya, bahwa takdir berkata lain atas hidup mereka.
Namun setelah Fadil menjelaskan hasil pertemuan mereka, Violet menghela napas lega. Bebannya sedikit terangkat.
Ia tak menampik bahwa ia memang merindukan pertemuan dengan Kananta-nya. Tapi bukan rindu karena cinta yang ia rasakan, melainkan rindu sebagai seorang sahabat.
Entah sejak kapan Violet mulai melabuhkan hatinya pada Fadil, sosok yang dulu langganan membuatnya jengkel. Yang lebih anehnya lagi, perasaan cintanya terhadap Fadil semakin tumbuh subur setiap harinya, berbeda dengan rasa cintanya terhadap seorang Kananta.
Tok! Tok! Tok! Ckrek! Pintu kamar Violet terbuka, suaminya melangkah masuk diikuti sosok yang dulu pernah menghuni hatinya.
"Assalamu'alaikum, Cinta." Fadil melantunkan salam untuk istrinya.
"Wa'alaikumussalam, Abi sayang." Violet yang sedang duduk bersandar di atas brankar sembari mendekap bayinya, membalas salam dengan sumringah.
Fadil bergerak mendekati brankar, ia mengecup pucuk kepala istrinya dengan penuh kelembutan.
Reno yang melihat pemandangan itu menjadi terpaku, betapa nikmatnya melihat kebahagiaan pasangan di hadapannya ini.
"Cinta, ada tamu spesial nih." Fadil menoleh ke arah Reno yang sedang mematung di tengah ruangan.
"Assalamu'alaikum, Violet." Reno menganggukkan kepalanya. Wajahnya tengah mencoba bersahabat dengan situasi.
"Wa'alaikumussalam, Kanan...eh...Reno. Maaf, aku belum terbiasa." Violet tersenyum dengan kepala tertunduk. Violet teringat sekarang panggilan pria itu berubah.
Alih-alih memalingkan wajah karena gugup, ia menoleh ke arah bayinya yang sedang tertidur lelap di ribaannya.
"Nggak apa-apa, Vi. Dibawa santai aja."
Lalu hening melanda sejenak. Keduanya saling berkutat dengan pikiran masing-masing. Ada rasa canggung menengahi.
Fadil yang merasakan ketegangan itu pun mengambil inisiatif.
"Ehm...tidak ada yang ingin kalian bicarakan?"
Violet menatap mata suaminya, mencari persetujuan atas tanyanya dalam pikiran. Fadil yang mengerti arti tatapan istrinya pun mengangguk.
"Mmm...Ren..."
"Ya?" Reno semakin tegang. Ia tidak yakin kenapa Violet memanggilnya.
"Kamu mau berdiri terus disitu?" Violet melempar senyum.
"Hah? Eh...iya, berdiri saja." Lalu Reno berjalan mendekat ke brankar.
"Ren...aku...aku...minta maaf." Akhirnya kata-kata yang sedari tadi tercekat di leher, bisa keluar juga dari lisan Violet.
"Tidak, Vi. Harusnya aku yang minta maaf. Sungguh, aku manusia bodoh, begitu mudahnya terhasut amarah dan prasangka. Seharusnya aku bisa mendampingimu di saat-saat sulit. Tapi aku terlalu sibuk meratapi nasib." Reno memejamkan matanya, dadanya kembali terasa sesak mengingat kebodohannya.
Hingga kemarin pun ia masih sibuk mengutuki sepasang suami istri itu. Tapi sungguh maha dahsyat kekuatan Allah, yang dengan begitu cepat membolak-balikkan hatinya. Sekarang, justru ia turut merasa bahagia melihat pemandangan di hadapannya.
"Kamu nggak salah, Ren. Aku yang memintamu untuk fokus dengan sekolahmu. Aku yang memintamu menjaga hati."
"Tapi...justru aku yang kehilangan fokus. Aku yang tidak bisa menjaga hati." Violet menitikkan air mata, namun cepat-cepat dihapusnya.
Ia tak mau kembali tenggelam dalam kegelapan, kini ia hanya ingin mensyukuri nikmat yang ada di hadapannya. Fadil dan bayi yang baru dilahirkannya adalah sumber kebahagiaannya.
"Sudah...sudah...yang berlalu biar berlalu saja. Semua peristiwa dalam hidup ini ada hikmahnya. Segala kejadian yang kita alami ini bagian dari takdir. Dan semua takdir pasti berujung pada hikmah. Sudah sama-sama saling memaafkan dong?" Fadil merangkul istrinya. Violet dan Fadil sama-sama menganggukkan kepala.
Reno menatap kagum penampilan Violet saat ini. Dengan hijab panjang yang menjuntai hingga kasur, gamis yang dikenakannya pun terlihat longgar, tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Wajahnya lebih segar, putih, matanya teduh untuk ditatap, auranya pun bersinar.
Masyaa Allah...mungkin yang seperti ini yang dinamakan bidadari. Astaghfirullah...Reno segera menyadari kelancangannya telah menatap istri orang dengan pandangan penuh arti, ia pun segera menundukkan kepala.
Sedikit terbersit rasa iri dalam hati terhadap Fadil. Namun kemudian ia kembali berpikir, kalau pun Violet menjadi istrinya, belum tentu ia bisa membawanya menuju kebaikan seperti yang sudah diperbuat Fadil saat ini.
"Ren, ngelamun?" Suara Fadil menyadarkannya.
"Eh...nggak. Gue...eh, aku hanya takjub melihat kalian berdua." Reno segera mengganti bahasanya agar lebih sopan.
"Takjub kenapa?" Violet bertanya penasaran.
"Betapa beruntungnya kalian memiliki satu sama lain. Fadil...kamu yang sekarang aku lihat benar-benar menjadi imam yang hebat bagi istrimu. Violet...kamu yang sekarang bak bidadari titisan dari surga."
Sepasang suami istri itu saling menatap ke arah satu sama lain, lalu tawa mereka pecah bersamaan.
"Hmmm...insyaa Allah, kamu juga akan segera menemukan bidadari-mu." Fadil menepuk bahu kiri Reno.
"Hmmm...sepertinya sudah." Reno mengulas senyum.
"Jangan bilang Sitta ya!" Fadil menatap tajam ke arah Reno.
"Hah? Serius Sitta?" Violet tercengang mendengar suaminya menyebut nama Sitta.
"Sitta?" Reno membelalakkan matanya. Bagaimana bisa sahabatnya itu berpikiran kalau ia menyukai seorang titisan siluman.
"Tadi di taman, saya lihat Sitta..." Fadil menghentikan omongannya tapi memberi bahasa isyarat dengan menguncupkan jari-jari tangannya lalu menyentuhkannya ke pipi. Violet yang melihat gerakan suaminya spontan menutup mulutnya yang sedang ternganga kaget.
Reno mengusap wajahnya kasar, bergidik ngeri jika mengingat apa yang dilakukan oleh Sitta tadi.
"Astaghfirullah 'aladzim! Jangan sampe! Amit-amit!" Reno mengetuk-ngetuk dahinya.
"Nah...kok bisa tadi begitu?" Fadil kembali bertanya. Ia dan istrinya melempar pandangan penuh tanya ke arah Reno.
"Ceritanya panjang, nanti aku jelasin. Yang jelas sama sekali bukan titisan Mak Lampir itu." Reno menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terus siapa dong calon bidadarimu?" Violet kembali bertanya penasaran.
"Hmmm..." Reno kembali melempar senyum lebar.
"Iya, siapa?" Fadil pun ikut penasaran.
"Azura Andhara!"
***
Reno sudah kembali ke kamar rawat inap ayahnya selesai berkunjung dari kamar Violet.
Untung saja saat ia masuk tadi, ayahnya sedang tertidur. Tadi sebelum ia menyeret Sita keluar dari kamar ayahnya, Reno meminta bantuan perawat untuk menjaga ayahnya sebentar.
Dan ia baru saja teringat akan pertolongan si Mbak Perawat saat sedang asyik mengobrol dengan Fadil dan Violet.
Alhasil saat ia tiba di kamar ayahnya, ia langsung mendapat tatapan tidak bersahabat dari sang perawat. Salahnya juga, menjadi orang yang tidak tahu diri.
Saat sedang menunggu kedatangan Raras untuk berganti giliran jaga, Reno kepikiran akan wanita yang disebutnya sebagai calon istri. Lalu ia mencoba mengirimkan pesan ke Digo lewat ponselnya. Namun sudah 10 menit berlalu, balasan pesan dari Digo belum juga ia terima. Padahal ia sangat ingin tahu bagaimana kondisi Zura saat ini.
Setelah mendengar peristiwa naas yang menimpa Ara dan Violet, Digo menjadi gemar mengumpat dalam hati. Sungguh diluar nalarnya, adanya remaja-remaja tanggung yang bisa begitu sadis dalam mem-bully sesamanya sampai-sampai seorang Ara berniat untuk bunuh diri.
Kemarin ia lupa menanyakan pada Digo dan Fadil kelanjutan dari kasus penganiayaan dan pelecehan yang dialami oleh Ara, apakah para pelakunya sudah diproses ke ranah hukum atau belum? Karena jika memang belum, bisa dipastikan Reno yang akan mengambil langkah tersebut.
Tok...tok...tok! Ckrek! Pintu kamar dibuka dari luar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Maaf ya Ren, Tante telat. Tadi nungguin Ical pulang dari kampus, katanya meeting dulu sama Dekan." Tante Raras memasuki ruangan dengan menenteng plastik keresek berisi bungkusan makanan yang dikemas dalam dus.
"Iya enggak apa-apa, Tan. Terus Pak Dosen-nya mana sekarang?" Reno melangkah maju untuk menyalami Tante-nya itu dengan takzim.
"Masih nyari-nyari tempat parkir. Penuh banget parkirannya. Di makan nih Ren, Tante bawain nasi padang." Raras mengeluarkan tumpukan dus makanan dari dalam keresek.
Ical yang sedang dibicarakan di sini adalah Faisal, putra pertama Raras, sekaligus sepupu Reno yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta terkemuka di Jakarta. Reno dan Faisal sudah menjadi teman sepermainan sejak kecil, meskipun Faisal lebih tua tiga tahun dari Reno.
"Kayaknya emang penghuni rumah sakit lagi rame, Tan. Musim pancaroba biasanya musim penyakit." Reno menyambar dus kotakan berisi nasi padang di hadapannya.
"Mau musim apa juga yang namanya rumah sakit ya pasti rame. Kalo sepi namanya kuburan." Raras tertawa sendiri sembari melipat keresek.
"Garing deh, Tan." Reno melirik malas ke arah Tantenya.
"Kriuk...kriuk gitu ya, kayak emping di goreng." Raras mencoba melucu kembali.
"Yassalaaam, masih dilanjut aja!" Reno menepuk dahi untuk kedua kalinya.
"Biar kamu ketawa Ren. Habisnya mukamu tuh kusut kayak jemuran enggak disetrika seminggu."
"Banyak pikiran, Tan." Reno melanjutkan makannya.
"Pikiran enggak usah dipikirin, kayak Tante nih. I'm single and very happy." Raras menyanyikan lirik salah satu lagu Oppie Andaresta yang pernah nge-hits itu sambil menggoyangkan badannya bak seorang penari.
Reno tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Tante-nya itu. Walaupun Reno tahu di dalam hati wanita paruh baya tersebut menyimpan luka dan sedih yang cukup dalam.
Raras bercerai sekitar dua tahun yang lalu, mantan suaminya kembali berhubungan dengan mantan pacarnya zaman SMA dulu, malah kabarnya mereka akan segera menikah. Mereka bertemu kembali di acara reuni akbar SMA. Mungkin memang percikan-percikan di masa lalu masih tersisa.
Sepertinya memang benar adanya yang namanya CLBK, Cinta Lama Belum Kelar. Buktinya hal itu memang terjadi pada Reno. Tapi bisa dipastikan saat ini perasaannya pada Violet sudah CLB2K, Cinta Lama Benar-Benar Kelar.
"Oya, Pak Dosen belum ada calon buat dinikahi, Tan?"
"Tante enggak tahu tuh. Kamu tahu sendiri sepupumu itu tertutup orangnya kalo menyangkut percintaan."
Reno hanya mengangguk-angguk mengisyaratkan mengerti yang dimaksud Tantenya itu .
Raras memposisikan dirinya duduk di sebelah Reno yang sedang terlena oleh nikmatnya masakan asal Minang itu.
"Lho, Tante enggak makan?" Reno menyendok nasi dengan potongan daging rendang.
"Tante sudah makan duluan di rumah. Kelamaan nungguin Ical jadi kelaperan deh." Raras terkekeh pelan.
Ckrek! Pintu kembali dibuka dari luar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Reno yang melihat kedatangan Faisal, menghentikan kegiatan makannya sejenak. Ia berdiri untuk menerima uluran jabatan tangan dan rangkulan dari sepupunya itu.
"Sehat, Bro?" Faisal menanyakan kondisi Reno
"Alhamdulillah. Lo sendiri gimana, Bro?" Lalu disambut dengan senyum lebar oleh Reno.
"Alhamdulillah, sehat wal'afiat seperti yang lo lihat." Faisal duduk di sebelah Raras bundanya.
"Nih, kamu juga makan. Tadi belum sempat makan toh dari kampus?" Raras menyodorkan dus nasi padang untuk putranya.
"Makasih, Bun." Faisal mengecup pipi Bunda-nya karena pengertian ia memang sedang merindukan masakan Minang ini.
Reno dan Faisal menyantap nasi padang diselingi dengan obrolan-obrolan kecil seputar masa lalu mereka, mengingat jarang sekali mereka bisa berkumpul seperti ini semenjak Reno sekolah di Sidney, dan Faisal meneruskan S2 di Jerman.
Setelah menyelesaikan makan siang yang tertunda itu, Reno memperhatikan angka yang ditunjukkan jam di tangannya. Sebentar lagi akan memasuki waktu sholat Ashar. Reno pun mengajak Faisal untuk bersiap-siap menuju Masjid, meninggalkan Raras yang sedang melakukan perbincangan kecil dengan ayahnya. Di sela-sela kegiatan makan mereka tadi, Yudho ayahnya terbangun.
Sesampainya di teras masjid, Reno memperhatikan sekelilingnya. Ia berusaha memindai sosok Digo, namun tak ia temukan. Suara adzan menggema di telinganya. Reno dan Faisal pun masuk ke dalam aula masjid untuk melaksanakan sholat Ashar berjama'ah.
Selesai sholat, Reno berniat untuk mampir ke kamar tempat Zura dirawat. Ia penasaran dengan kabar gadis yang saat ini menghuni hatinya.
Reno berpamitan dengan Faisal dan memintanya untuk kembali ke kamar ayahnya. Reno mengutarakan jika ia ingin menjenguk temannya yang tengah dirawat.
Namun Faisal menawarkan diri untuk menemani Reno mengunjungi teman yang disebutnya itu.
Akhirnya mereka berdua pun berjalan bersama menuju kamar Zura.
Tok...tok...tok! Ckrek!
"Assalamu'alaikum." Reno menyapa siapapun yang berada di ruangan tersebut. Faisal mengikuti dari belakangnya.
"Wa'alaikumussalam, Ren." Digo yang membalas salamnya dengan wajah sendu.
Membuat Reno bertanya-tanya penyebab wajah sendunya itu.
Lalu pandangan Reno beralih ke sosok yang berada di atas brankar. Ia sedang meringkukkan badan di antara kedua lututnya. Suara isak tangis terdengar dari sosok tersebut.
Sepertinya Reno sudah mengetahui jawabannya.
"Mas Digo, itu..."
"Azura?"
Perkataan Reno terpotong oleh Faisal yang sedang menatap dengan penuh artian ke arah brankar.
Faisal mengenali sosok tersebut, membuat Reno menolehkan pandangan penuh tanya ke sepupunya itu.
"Faisal?" Digo yang memanggil. Ia mengenali sepupu Reno itu. Membuat Reno mengalihkan pandangan dari Faisal ke arah Digo. Kini bertambah lagi tanya yang muncul di kepalanya.
"Indi?" Faisal menyahut panggilan Digo.
Sementara ketiga pria itu sibuk saling melempar pandangan penuh tanya, sosok yang saat ini berada di brankar membelokkan kepalanya ke arah ketiga pria yang saling memasang raut bingung itu.
"Kak Nanta? Pak Faisal?"
Sontak ketiga pria itu bersamaan mengalihkan pandangan ke arah Zura.
Reno agak terkejut dengan panggilan yang keluar dari lisan Zura.
Jangan-jangan...
"Ara?" Reno berusaha mencari tahu tebakannya benar atau salah.
"Iya ini gue. Kak Nanta ngapain kesini?" Segera dihapusnya sisa-sisa air mata yang masih mengalir di pipinya. Ia tidak mau terlihat lemah, seorang Ara tidak suka terlihat lemah di hadapan siapapun.
"Kamu...kamu...enggak inget?" Reno yang diikuti oleh Digo, berjalan mendekati Zura lalu melayang-layangkan telapak tangannya di depan mata Zura.
"Inget apa? Ini apaan sih?" Zura menurunkan tangan Reno.
"Ara, apa kabar?" Sekarang giliran Faisal yang bertanya dari tengah ruangan. Tangannya bersedekap di depan dada.
"Yaa...gini deh, Pak Faisal bisa lihat sendiri 'kan?" Zura menjawab dengan dingin dan datar.
"Sal, kok lo..." Reno menoleh ke belakang untuk bertanya pada sepupunya itu.
"Ara mahasiswi gue. Gue pembimbingnya." Faisal menjawab dengan santai.
Reno lalu berjalan mundur mendekati sepupunya itu. Sedangkan Ara memperhatikan gerak-gerik pria yang sejak dulu dipanggilnya Kananta itu
"Lo kenal Ara atau Zura?" Reno berbisik pada sepupunya, penasaran. Karena tadi ia mendengar sepupunya ini memanggil dengan nama Ara.
"Gue kenal Ara, gue kenal Zura. Gue kenal dua-duanya."
***