"Pada lagi ngomongin apaan sih?" Ara bertanya dengan penasaran melihat Reno dan Faisal yang sedang saling berbisik dengan raut wajah serius di ujung ruangan.
"Ya ngomongin urusan mereka 'lah. Mau tau aja kamu. Makan buah dulu ya, buat nambah-nambah asupan." Digo sedang berusaha mengalihkan perhatian Ara yang sedari tadi memandangi kedua pria di sudut ruangan itu. Ia mengambil sebuah apel di keranjang buah.
"Emangnya Ara bayi kudu dikasih asupan segala?" Ara memanyunkan mulutnya.
"Iya kamu bayi, bayi gede. Kayak Baby Huey." Digo mengejek Ara yang menjadi semakin manyun.
"Ck...Mas Digo lawas banget sih!"
Sebenarnya Faisal sedang menceritakan pada Digo kenapa ia bisa mengenal Digo, yang dipanggilnya Indi itu.
Ia menjelaskan pada Reno bahwa Digo adalah sahabatnya di kampus saat menempuh pendidikan S1 di salah satu universitas negeri di Bandung.
Saat mereka masih kuliah, Digo banyak bercerita pada Faisal tentang keluarganya, sekaligus perihal musibah yang menimpa Ara dan Violet adik-adiknya.
Bahkan, saat Digo mengalami kesulitan finansial, Faisal-lah yang membantu memberikan pinjaman padanya.
Dan Faisal jugalah yang dulunya mengajak Digo untuk berbenah diri, memperbaiki akhlak, agar menjadi pribadi yang lebih soleh dan taat pada Allah SWT serta meneladani Rasul-Nya.
Awalnya Faisal mengajak Digo yang juga teman satu kosnya untuk mengikuti Mabit, Malam Bina Iman dan Takwa di kampus. Ternyata mengikuti majelis ilmu dan dzikr tersebut menjadi titik balik hidup Digo.
Ia bertekad menjadi seorang muhajir, orang yang melakukan hijrah, meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah dan kembali pada jalan Allah.
Karena memang sebelumnya, ia merasa jauh dari Sang Pencipta, ia masih melakukan apa yang menjadi larangan-Nya, jangankan sholat sunnah, sholat fardhu saja ia lakukan sesempatnya. Dunia ia kejar, akhirat ia tinggalkan.
Digo menyadari dosa-dosanya di masa lalu. Namun setelah mengikuti kegiatan Mabit perdananya itu, ia bertekad berubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya untuk bekal di hari akhir, tapi juga bekalnya agar menjadi manusia yang bermanfaat dan bekal menjadi imam jika nantinya sudah berkeluarga.
"Mas, mereka kok ngomongin urusannya lama bener sih? Eh, kok bisa ya Pak Faisal kenal sama Kak Nanta? Pak Faisal kan temannya Mas Digo."
Ara menopang dagunya dengan tangan bertumpu di atas bantal. Dahinya sedari tadi mengernyit memandangi kedua pria itu.
"Ckckck...kepo aja sih? Mas juga enggak tahu." Digo mengangkat kedua bahunya.
"Emang Mas enggak kepo? Maksud mereka kesini mau ngapain sih?"
"Eh Ra, tugas akhir kamu gimana? Udah bimbingan sama Faisal?" Digo kembali mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kok Ara enggak inget ya, Mas? Sepertinya sih udah...tapi...kok...samar-samar ya?" Ara mencoba memutar ingatannya, tapi kenapa nyeri di kepalanya datang menghampiri lagi.
"Ooh...ya udah, enggak usah dipaksa mikir. Nanti tanyain aja langsung ke Faisalnya." Digo kembali khawatir, takut-takut alter-ego adiknya muncul kembali.
Saat Zura lulus SMA, Faisal sudah menjadi seorang dosen. Awalnya Digo berpikiran agar sebaiknya Zura kuliah di kampus dan juga di program studi yang diajar oleh Faisal, agar lebih mudah mengawasi jika sewaktu-waktu adiknya itu berganti alter-ego di kampus. Bisa dibilang Faisal merangkap dosen sekaligus semacam guardian-angel Zura selama di kampus.
Namun karena selama di kampus Ara jarang muncul ke permukaan, akhirnya Faisal perlahan melepas pengawasannya.
Zura adalah alter-ego dari Ara. Semenjak insiden tujuh tahun yang lalu itu, yang sering muncul ke permukaan adalah karakter Zura. Sementara kemunculan Ara selama tujuh tahun ini bisa dihitung dengan jari.
Biasanya Ara muncul jika Zura sedang tersulut emosi atau terpicu sesuatu yang mengingatkan pada potongan-potongan adegan dalam kehidupan Ara.
Sebenarnya bagi Digo karakter Zura yang lemah lembut, sopan dan ramah lebih menyenangkan dibanding karakter Ara yang galak, gampang tersulut emosi, dan introvert. Namun tetap saja, berhadapan dengan Zura terkadang rasanya seperti menghadapi orang yang asing.
"Kak dan Pak, bisik-bisik tetangganya sudah kelar belum?" Ara setengah berteriak ke sudut ruangan VIP itu
Namun yang diteriaki hanya menolehkan kepala sebentar lalu kembali saling berbisik.
"Woooiiii!" Ara kembali berteriak karena pertanyaannya diabaikan oleh keduanya di sudut sana.
"Ara, yang sopan!" Digo yang sedang mengupas apel kedua, menegur Ara. Ya saat ini yang muncul di permukaan adalah Ara, dipicu oleh keributan yang terjadi dengan Sitta di apartemennya sehari sebelumnya.
"Mas Digo, mereka ngapain sih kesini? Cuma numpang kamar buat bisik-bisik doang?" Ara bertanya dengan ketus.
Jika Ara yang muncul ke permukaan, selalu begini. Mengumbar amarah dengan tidak jelas, entah itu pengaruh dari insiden dulu itu atau memang sudah sifatnya.
"Nih dimakan! Buat nyumpal tuh mulut biar enggak ribut." Digo menyuapi Ara sepotong apel. Ara yang memang merasa lapar dan lelah efek menangis semalaman, melahap apel itu.
"Enak, Mas! Mau lagi dong...aaaa..." Ara membuka mulutnya lebar minta disuapi.
"Nih makan sendiri! Mendadak manja deh." Digo meletakkan piring kecil berisi potongan apel di atas pangkuan Ara. Ara segera menutup mulutnya, mingkem. Menyadari Reno sedang berjalan mendekatinya.
"Sini biar aku yang suapin." Reno sudah berada di samping brankar. Sepertinya acara bisik-bisik tetangganya sudah selesai.
"Ren..." Digo memberi isyarat yang tidak dimengerti oleh Reno. Reno hanya mengangkat sebelah alisnya.
"Diiihhh...ngapain juga Kak Nanta nyuapin gue? Situ siapa?" Ara mengedikkan bahunya.
"Calon suami kamu." Reno menjawab dengan santai sembari menusuk potongan apel dengan garpu.
"Hah?" Mata Ara membeliak terkejut.
"Buka mulutnya! Aaaaa...." Reno memberi arahan agar Ara membuka mulutnya.
"Iiihhh...apaan sih? Enggak mau! Mas Digo, ini...apa-apaan sih?" Ara menampik garpu tersebut hingga jatuh tepat di pangkuannya. Jantungnya berdebar hebat.
"Ren...Ara, bisa makan sendiri." Mata Digo menjurus ke Reno.
Reno pun mengangkat tangannya tanda mengerti arah pembicaraan Digo. Digo hanya ingin adiknya itu diberi waktu, she needs some space.
Ara tampak sedang berpikir keras mendengar kakaknya memanggil Kananta dengan sebutan 'Ren'. Dan kenapa pula gebetan Mbak Vi-nya itu malah mengaku sebagai calon suaminya?
"Ehm...Ara, makan yang banyak ya. Biar cepat pulih, terus skripsinya bisa cepat selesai. Perbaikannya belum selesai 'kan? Gambar rancang bangunnya juga harus diperbaiki lagi agar presisi." Kini Faisal yang berbicara. Gaya bicaranya layaknya seorang dosen yang sedang berbicara pada mahasiswinya.
Saat mendengar Faisal yang berwibawa itu menasehatinya, sontak pipi Ara merona merah jambu. Ia merasa sedang diperhatikan oleh dosen favoritnya itu. Wajahnya pun tertunduk malu.
"Ehh...mmm...i...iya, Pak Faisal. Terima kasih juga sudah jenguk saya."
Reno yang melihat sikap malu-malu Ara mulai merasa tak tenang. Lagi-lagi posisinya terancam. Jangan-jangan Faisal saingannya? Masa iya dia harus bersaing dengan sepupunya? Jantungnya pun mulai kebat-kebit.
"Kok aku enggak diucapin terima kasih?" Reno memprotes, membuat Zura yang tadi masih tertunduk malu sekarang mendongakkan kepalanya untuk menatap Reno tajam. Kalau dalam film kartun bisa digambarkan tatapan itu setajam pedang yang siap menghunus.
"Kak Nanta tuh kenapa sih?" Tidak bisa dipungkiri oleh Ara, jantungnya merasakan lonjakan aneh saat bertatapan dengan Kananta, tadi dan sekarang. Hanya saja ia tidak mau mengakui perasaannya itu. Ada perasaan lain yang harus ia jaga, yaitu perasaan kakaknya Violet.
Ara sendiri sudah mengetahui adanya pernikahan antara Fadil dan Violet. Tapi yang ia ketahui mereka menikah karena keterpaksaan, bukan karena perasaan. Ara menganggap Violet masih memendam perasaan terhadap Kananta.
"Sepertinya memang kamu tidak ingat. Ya sudah, sebaiknya aku pamit. Setidaknya cemasku sudah hilang setelah melihat kamu." Reno mendesah napas lemah.
Entah kenapa, rasa nyeri itu kembali terasa di sudut hatinya. Sepertinya perjuangannya masih panjang.
"Ya udah...sana pulang aja. Enggak ada yang nyuruh kesini kok." Ara memalingkan wajahnya dengan kesal. Sebenarnya ia masih belum rela Reno beranjak dari kamarnya. Tapi...lagi-lagi diingatnya, ada perasaan yang harus ia jaga.
"Mas Digo, saya pamit ya." Reno menjabat tangan Digo. Faisal pun turut mengikuti yang dilakukan Reno.
Saat berjabat tangan, Digo langsung merangkul Faisal, mendekatinya untuk bertanya dengan suara berbisik.
"Jadi, Reno siapanya akhi?"
"Sepupu ane, Bro." Faisal menjawab dengan berbisik juga. Digo langsung menganggukan kepalanya.
Saat Reno dan Faisal akan keluar dari pintu, tiba-tiba Ara setengah berteriak.
"Mas Reno...terima kasih ya sudah jengukin Zura." Zura melempar seulas senyuman manis.
***
"Sen, lo lihat kan tadi gimana Reno ke gue?" Sitta melemparkan tubuhnya ke atas sofa di ruang tamu rumahnya. Tote-bag-nya pun dilempar ke sembarang arah.
"Lagian lo juga sih, Kak. Udah tau dia kagak suka sama lo. Masih aja lo sosor-sosor terus." Sena melepas jaket kulitnya lalu melempar ke sembarang arah. Ia pun turut melempar badan ke samping kakaknya.
"Cinta itu datang karena terbiasa. Kalo dia udah terbiasa sama gue, ntar juga dia bakalan klepek-klepek ke gue." Sitta melabuhkan angannya terlalu tinggi.
"Kepedean lo, Kak! Awas jangan terbang ketinggian, jatuhnya sakit. Bisa bikin hilang nyawa."
"Iiihhh...siapa juga yang mau mati. Kalo taruhannya nyawa gue sih juga ogah ya." Sitta memperhatikan kuku-kuku lentiknya yang sudah di nail-art itu. Diperhatikannya ada manik sequin yang hilang. Pasti tadi terjatuh di rumah sakit.
"Kak, lo beneran cinta sama si Kak Reno itu? Apa cuma sekedar obsesi?" Sena memutar tubuhnya ke samping menghadap kakaknya yang sedang sibuk mengelus kuku.
"Ya cintalaaah! Gue dah ngejar-ngejar dia dari lama. Sekarang kesempatan gue." Mata Sitta masih fokus ke kukunya.
"Lo...mmm...enggak mau nyoba...suka ke cowok lain gitu?" Sena menggigiti bibirnya.
"Maksud lo?" Perkataan Sena mengalihkan minat Sitta dari kukunya. Ia langsung menghadap adiknya.
"Yaaa...ehm...barangkali ada cowok lain yang menarik perhatian lo gitu." Sena mengalihkan pandangannya dari kakaknya, menatap jalinan lampu kristal yang tergantung di plafon, mencoba menyembunyikan suatu asa yang telah tersimpan lama di relung hatinya.
"Dengar ya, Sen...Reno itu...he's the love of my life. Belum ada cowok lain yang bisa bikin gue jatuh cinta, just like he did to me." Sitta menatap adiknya dengan pandangan menusuk. Ia sendiri pun heran apa maksud arah pembicaraan adiknya itu.
Sena memejamkan matanya, menahan nyeri yang muncul di dada. Andai saja kakaknya menyadari bagaimana perasaan adiknya itu.
"He did nothing to you, Kak! You're the one who did it to me!" Sena hanya dapat berteriak dalam hati, menahan perasaannya selama ini.
"Udahlah! Jadi males gue ngomong sama lo." Sitta merajuk.
"Okay! Okay! Enggak usah dibahas lagi. Kalo gitu...mmm...bisa gue minta bantuan lo?" Sena membuka kembali matanya memindai pandangan pada Sitta.
"Bantuan apa?" Sitta bertanya penasaran.
"Lo inget cewek yang dulu pas kelas 3 SMP gue bully bareng the geng?"
"Yang kakaknya ngelapor Papi trus mau nuntut itu?" Sitta mengernyitkan dahinya mencoba mengingat ulah nakal adiknya itu dulu.
Sena mengangguk mengiyakan pertanyaan kakaknya.
"Emang kenapa tuh cewek?"
"Kalo gue kasitau lo dia siapa, pasti lo kaget." Sena memasang mimik serius.
"Emang siapa?" Sitta bertanya penasaran.
"Dia Zura, cewek yang lo suruh gue buat buntutin sebulan ini. Dulu panggilannya Ara."
Sitta membekap mulutnya yang sedang ternganga.
"Serius lo? Tau dari mana lo, Sen?"
"Ya pas nguping malem kemaren itu. Gue kaget pas lihat ada penampakan kakaknya Ara yang mau nuntut gue waktu itu, dideket Kak Reno. Makanya gue penasaran, terus gue dengerin deh tuh obrolan mereka. Eh enggak lama datang satu lagi cowok berpeci. Embuh siapa!"
"Hmmm...this is getting more interesting! Trus lo mau minta bantuan apa maksudnya?"
"Gue...mau lo nyingkirin cewek itu." Sena menampilkan senyum culasnya. Wajahnya dimajukan mendekat ke Sitta.
"Ahh kalo itu sih lo enggak perlu minta bantuan. Emang itu udah jadi rencana gue." Sitta terkekeh-kekeh.
"Eh tapi...kata lo dulu si Ara itu gendut nyebelin gitu. Kok sekarang jadi...eh enggak sih, masih cantikan gue kemana-mana. Tapi kok...dia bisa berubah?" Sitta mengibaskan rambut brunette-nya yang panjang terurai.
"Meneketempe! Operasi plastik kali kayak artis-artis Korea." Sena menjawab sekenanya.
Sitta tampak berpikir sejenak lalu memutar bola matanya. Ia tidak mau dipusingkan dengan urusan adiknya itu.
"Mbok 'Yeeemm, mana minumnyaaa?!" Sitta berteriak memanggil asisten rumah tangganya hingga urat-urat lehernya tertarik.
Tidak lama terlihat wanita berumur 50-an mengenakan daster keluar dari dapur membawa dua gelas berisikan sirup di atas nampan.
"Mbok, aku sama Sena tuh udah pulang dari tadi! Kenapa nih minuman baru dateng?" Sitta menghardik wanita paruh baya tersebut.
"Maaf Mbak, tadi saya lagi beres-beres dulu di dapur." Mbok 'Yem meletakkan nampan tersebut di atas meja.
"Lama bener sih! Udah gerah nih dari tadi!" Sitta melepaskan kemeja yang ia kenakan sebagai outter, memperlihatkan tanktop hitam yang membentuk lekuk-lekuk di dadanya dengan jelas.
"Shit!" Sena beranjak dari sofa. Ia merasa sebentar lagi otaknya akan kehilangan kewarasannya.
Sena memungut jaket kulitnya yang terkapar di lantai. Lalu berjalan cepat menuju pintu rumah.
"Woiii...language! Mau kemana lo?" Sitta kebingungan melihat sikap adiknya.
"Ngademin otak!"
***
"Zura, mana Ara?" Digo bersedekap, menghadap serius ke arah adiknya yang sedang bersandar di atas brankar.
"Ara...dia enggak mau keluar, Mas."
Zura menundukkan kepalanya, tidak berani menolehkan pandangan ke arah kakaknya.
"Kenapa Ara tidak mau muncul lagi?"
Zura menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sendiri tidak mengerti.
Digo menghela napasnya pelan. Jika sudah begini, otaknya mumet, buntu.
Karakter Ara memang bisa muncul begitu saja jika terpicu sesuatu, tapi juga bisa dengan cepatnya berganti dengan Zura. Kondisi seperti ini memusingkan bagi Digo.
Dulu Digo pernah mengajukan permintaan pada Zura, agar jika di hadapan Violet dan Digo, ia tetap menyebut dirinya sebagai Ara. Zura yang memang seorang penurut, menyetujui saja permintaan Digo. Walaupun ia merasa namanya adalah Zura, bukan Ara.
Permintaan Digo ini hanya untuk membantunya dan Violet agar tidak dilanda kebingungan. Mereka tetap ingin menganggap Zura sebagai Ara.
Setelah insiden tujuh tahun lalu, memang Zura sempat mengikuti konseling dan psikoterapi dengan seorang psikiater selama dua tahun. Namun terhenti karena terkendala biaya.
Simpanan mereka pun menipis untuk membiayai Alwan papa mereka yang akhirnya memiliki bermacam-macam komplikasi akibat serangan stroke pertamanya, belum lagi biaya terapi psikiatris bagi Violet yang mengalami Reaksi Stress Akut hingga berujung Gangguan Stress Pasca Trauma efek kecelakaan yang menimpanya, ditambah lagi biaya psikoterapi untuk Ara.
Digo yang saat itu masih menjadi pengangguran selama setahun pun sempat tenggelam dalam lautan keputus-asaan.
Jika saja bukan karena bantuan Fadil dan sahabatnya Faisal, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Bisa saja saat itu ia terhasut segala bisikan-bisikan setan yang berkecamuk di dalam pikirannya.
Untung saja saat itu sisa-sisa iman masih melekat erat di dirinya, Digo bertawakkal dan tafakur, mendekatkan kembali dirinya kepada Sang Robbana.
Rentetan ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya belum seberapa dibandingkan rentetan siksaan yang diterima oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya yang dilakukan oleh kaum Quraisy, terutama Abu Jahal.
Allah masih menyayanginya, masih banyak nikmat yang harus ia syukuri dalam hidupnya. Kegelapan yang tadinya merasuk sukmanya pun berhasil ia singkirkan.
Tak lama dari itu, ia diterima bekerja di sebuah perusahaan besar alat berat terkemuka di Jakarta.
"Mas Digo...Mas...marah ya sama Ara dan Zura?" Zura bertanya lirih.
Digo kembali menghela napasnya lalu meraup wajahnya.
"Enggak, Ra. Mas enggak marah sama kamu ataupun Ara." Digo berkata dengan lembut. Ia mengerti karakter Zura yang lebih sensitif.
"Ra..." Digo mengambil kedua tangan adiknya masuk ke dalam genggamannya.
Zura sedikit menengadahkan wajahnya untuk bersitatap dengan kakaknya.
"Nanti...kamu dan Ara ikut terapi lagi ya. Mau 'kan?" Digo menatapnya dengan penuh harap.
Zura menarik tangannya keluar dari genggaman Digo.
"Mas tahu enggak sih? Terapi itu menyiksa kami berdua." Zura memejamkan matanya, mengingat masa-masa itu.
"Iya, Mas tahu. Tapi ini untuk kebaikan kalian berdua." Digo membelai lembut pucuk kepala Zura yang tertutup jilbab instant.
"Kebaikan kami? Atau kebaikan Ara?" Zura memberanikan diri menatap mata kakaknya, mencari kejujuran disana.
"Ra...kalian..." Digo menghentikan kalimatnya. Ia khawatir jika melanjutkan akan kembali menyebabkan serangan psikis untuk adiknya.
"Ya sudah kita bicarakan lagi ini nanti." Digo menepuk-nepuk bahu adiknya.
Zura pun sedikit bernapas lega. Jika sudah membahas mengenai psikoterapi itu, ia mendadak ketakutan.
"Oiya, Mas mau tanya. Kamuuu...kenal Reno sudah berapa lama?"
"Mungkin hampir sebulan."
"Kamu...suka sama Reno?"
Zura mengerjap-ngerjapkan matanya, mendadak kepalanya pusing, telinganya kembali berdenging hebat, dadanya sesak.
"Mas...Ara, dia ada di dalam kepala Zura." Zura memegangi kedua sisi kepalanya dengan kencang, seakan-akan sedang menahan kepalanya yang akan terlepas dari lehernya.
"Zura...Zura, kamu kenapa?" Digo merasakan kepanikan. Jantungnya berdetak hebat.
Digo langsung menekan bel yang tertempel diatas brankar.
"Suster...tolong, ke kamar Sus!"
Zura meringis, ia menggertakkan gigi-giginya, mencoba menahan sakit yang dirasa. Badannya makin meringkuk, sakit itu semakin tak tertahan. Dirasa badannya mulai limbung.
Lalu tiba-tiba serangan tadi berhenti, Zura melepaskan pegangannya di kepala, matanya mulai membuka, tatapannya tertuju pada kakaknya yang sedang menatapnya dengan penuh ketakutan.
"Mas Digo...tolongin Ara, Mas! Ara enggak mau begini lagi! Tolong Ara!" Ara kembali meringkukkan tubuhnya, menenggelamkan wajahnya yang telah penuh tangisan.
"Ara...kamu Ara?" Digo berjalan mendekati adiknya.
"Mas...tolong jangan ngomongin Kak Nanta lagi, atau Mas Reno, atau...siapapun namanya. Ara enggak mau ketemu dia!" Ara terisak, batinnya sedang berperang dengan Zura.
"Ara..."
"Ara...Ara mau ketemu Dokter Mia, Mas!"
***