"Jadi setelah melakukan pemeriksaan fisik termasuk bekas cidera di kepalanya juga pemeriksaan psikiatri terhadap Mbak Ara, memang Mbak Ara ini mengalami gangguan identitas disosiatif atau biasa disebut DID. Penyebabnya sudah pasti karena adanya trauma yang cukup berat di masa lalu, sehingga menciptakan alter-ego sebagai mekanisme pertahanan. Tapi kasus Mbak Ara ini pun masih harus saya gali lebih dalam lagi." Dokter Lisa yang juga psikiater di rumah sakit tempat Ara dirawat dua hari yang lalu, menjelaskan pada Digo.
Awalnya Ara meminta untuk berkonsultasi dengan Dokter Mia, psikiater yang dulu menanganinya saat tinggal di Bandung. Namun Digo kemudian menyampaikan kabar duka yang diperolehnya dari temannya di Bandung.
Ternyata Dokter Mia sudah menghadap Yang Maha Kuasa dikarenakan kecelakaan beruntun.
Sehingga saat ini mereka berkonsultasi dengan Dokter Lisa yang memang memiliki track-record yang mumpuni di dunia psikiatris.
"Terus untuk pengobatannya bagaimana ya, Dok? Dulu memang sempat mengikuti psikoterapi selama dua tahun tapi sudah terhenti. Dan selama itu sosok Ara jarang muncul, yang lebih sering muncul di permukaan justru alter-egonya yang namanya Zura." Digo kembali menjelaskan riwayat kesehatan adiknya.
"Hmmm...begitu. Tapi itu 'kan sudah lama ya prosesnya dan saya kurang tahu bagaimana perkembangannya saat itu, kecuali kalau memang ada catatannya. Dan ada jeda dua tahun itu juga tidak diketahui apakah mengalami kemajuan atau kemunduran, lalu bagaimana fluktuasi kemunculannya. Di sini saya lihat masing-masing karakter memorinya terpotong-potong. Apa yang dilakukan Ara kadang diketahui Zura, kadang tidak. Begitupun sebaliknya. Sehingga menyebabkan semacam deja-vu di pikiran masing-masing."
"Ooh...pantas kadang kalau saya tanya, kadang nyambung, kadang malah seperti orang bingung."
"Tapi ini yang saya lakukan baru pemeriksaan sederhana saja. Saya masih harus melakukan serangkaian tes dan wawancara, sekaligus mencari tahu ini kasusnya Mbak Ara termasuk disosiatif amnesia atau lainnya. Untuk menentukan juga penanganan selanjutnya, psikoterapinya yang seperti apa." Dokter Lisa mengambil secarik kertas untuk menorehkan tulisan.
Digo mengangguk-angguk mencoba memahami setiap penjelasan sang Dokter. Sementara Ara sang pasien sedang menunggu di luar ruangan ditemani oleh Sherin.
"Lalu untuk menghindari pergantian kepribadian itu bagaimana ya, Dok?"
"Memang setiap pergantian karakter itu biasanya karena terpicu oleh sesuatu. Bisa karena sesuatu yang mengingatkan trauma masa lalu, kenangan masa lalu yang membekas tapi bukan bagian dari trauma juga bisa. Oleh karena itu, kasusnya masih harus saya pelajari dulu. Sebaiknya sementara tidak dekat-dekat dulu dengan seseorang yang memang terlibat dengan insiden masa lalu atau yang memicu pergolakan atau istilahnya...perang batin."
Digo teringat, sebelumnya Ara berpindah menjadi Zura saat Reno pamit keluar dari kamar. Lalu kembali menjadi Ara saat Digo menanyakan perasaannya terhadap Reno. Apa Reno juga menjadi salah satu pemicunya?
"Sementara saya beri obat dulu, nanti tiga hari lagi kesini ya."
Digo menerima kertas bertuliskan resep itu lalu mengucapkan terima kasihnya pada Dokter Lisa dan segera keluar dari ruangan poli.
Digo menghampiri Ara dan Sherin di ruang tunggu. Penglihatannya tertuju pada Ara yang menyelidik dengan tatapan kosong.
Sherin yang semenjak tadi berada di sebelah Ara pun terlihat cemas dan gelisah. Saat mengetahui cerita tentang kondisi Zura dari Reno di telepon, Sherin masih belum dapat meyakini sepenuhnya kalau sahabat yang selama ini dikenalnya bukanlah sosok sebenarnya.
Namun hari ini Sherin melihat sendiri faktanya, sahabatnya bukanlah sahabatnya. Saat tadi bertemu, Ara bersikap layaknya bertemu orang asing.
Ia menyebutkan jika ia mengenali Sherin, namun tidak pernah sekalipun berbincang dengan Sherin. Yang selalu bertemu Sherin adalah sosok Zura.
Ara bahkan bersikap dingin dan kaku terhadapnya. Namun Ara meminta maaf atas sikapnya pada Sherin, ia bercerita jika ia tidak pernah memiliki teman, apalagi sahabat. Sehingga sulit baginya untuk berkomunikasi dengan Sherin seperti halnya seorang Zura.
"Ra, kita pulang yuk. Sherin, saya antar ke rumah ya?" Digo membantu Ara untuk bangkit dari duduknya.
"Enggak usah, Mas. Terima kasih. Nanti saya minta tolong Mas Reno aja buat jemput." Sherin menolak dengan halus. Sejenak ia lupa akan perasaannya terhadap Digo. Saat ini ia lebih mengkhawatirkan kondisi Ara.
"Apa? Reno? Oh iya..." Ara sempat tercengang mendengar Sherin menyebut nama Reno. Namun tiba-tiba sepotong kilasan masa terpampang di kepalanya. Ia mengingat kejadian malam itu, dimana mereka bertiga duduk makan malam bersama dengan pria yang dikenalnya sebagai Kananta.
"Hmmm...kalau gitu ikut kami saja. Toh kami tinggal satu gedung. Kamu bisa ke apartemen Reno nantinya."
Segelintir rasa kepedulian meruangi perasaan Digo.
"Iya Sherin, ikut dengan kami saja ya? Biar di jalan kita bisa ngobrol. Gue...gue...ingin lebih mengenal lo."
Ara berkata lirih, ia berusaha membuang egonya. Sahabatnya Zura berarti juga sahabatnya 'toh?
Sherin pun menyetujui ajakan Ara. Sebagai permulaan, ia menggenggam erat tangan Ara sepanjang perjalanan dari lobby rumah sakit hingga parkiran mobil, untuk menunjukkan rasa 'no matter what, you're still my bestfriend.'
Dan Ara mulai merasa nyaman dengan perlakuan Sherin, pengalaman pertamanya memiliki yang namanya sahabat.
Di perjalanan pun, Ara perlahan mencoba membuka dirinya terhadap Sherin, bahkan ia tak segan melempar tanya pada Sherin.
Kapan Sherin lahir?
Dimana tempat tinggalnya?
Berapa saudara kandungnya?
Siapa orangtuanya?
Apa makanan favoritnya?
Apa warna kesukaannya?
Apa lagu favoritnya?
Siapa artis idolanya?
Seperti apa tipe pria yang disukainya?
Dan Sherin merasa lucu menghadapi cecaran wawancara dari Ara. Bahkan tak pelak ia terbahak-bahak mendengar pertanyaan terakhir itu.
"Kok yang itu enggak dijawab, Sher?" Digo yang sedang fokus dengan kemudi di depan sejenak memutar lehernya ke jok samping belakang, tempat Ara dan Sherin duduk bersebelahan.
Ternyata sejak tadi Digo turut menyimak pembicaraan mereka, bahkan ada kalanya ia tertawa kecil mendengar jawaban Sherin.
"Eh? Apa Mas?" Sherin membalas pandangan Digo ke arahnya.
"Itu Sherin, Mas Digo pingin tahu. Tipe cowok yang lo suka tuh yang model gimana?" Ara membantu menjelaskan pertanyaan kakaknya .
Sherin lupa jika saat ini dia berada dalam satu mobil dengan Digo. Wajahnya sontak memerah, malu pastinya. Ternyata sejak tadi Digo menyimak jawaban-jawaban yang ia keluarkan.
"Ooh...mmm...enggak ada kriteria khusus sih." Sherin menunduk, wajahnya pasti merona sekali saat ini. Sepertinya tidak butuh sapuan blush on untuk mewarnai pipinya yang mulus.
"Ehm...jadi sama sembarang pria oke-oke aja nih?" Digo kembali memusatkan pandangan ke jalan di hadapannya.
"Ya enggak gitu juga, Mas." Sherin segera menampik. Memangnya dia perempuan macam apa yang mau saja dengan sembarang pria? Kok kesal ya?
"Ya 'kan tadi kamu bilang tidak ada kriteria khusus."
"Ya...tapi...enggak sembarangan juga." Sherin sedikit menaikkan intonasinya. Ia tidak terima dengan pernyataan Digo tadi.
"Jadi perempuan harus punya standar, Sher." Digo kembali berbicara.
"Emangnya motor!" Ara mengomentari kakaknya.
"Nah 'kan, motor aja punya standar. Apalagi manusia, harus punya. Apalagi perempuan kalo mau milih pasangan hidup." Sungguh luar biasa Digo menceramahinya sekarang.
Sudahlah dulu Zura yang sering menceramahinya, sekarang kakaknya juga sama. Sepertinya memang kakak beradik ini pada dasarnya doyan ceramah.
"Mas, Ara 'kan cuma nanya tipe cowok yang disuka sama Sherin. Kok malah jadi bahas pendamping hidup sih?"
"Ya 'kan pertanyaannya mengarah kepada sosok yang diinginkan untuk jadi pendamping." Digo menjelaskan dengan santainya. Sementara yang ditanya sudah cekat-cekot tak karuan jantungnya.
Dan pertanyaan itu tetap tak terjawab hingga perjalanan berakhir. Shiren justru bungkam seribu bahasa setelahnya.
Mobil yang mereka kendarai pun masuk ke dalam kompleks gedung apartemen, menuju ke basement parkiran.
"Mas Digo, Zura...eh maaf, maksudnya Ara...duh keceplosan!" Shiren segera menepuk kecil mulutnya saat menyadari kekeliruannya.
Ara justru tertawa melihat tingkahnya, ternyata sahabat barunya ini lucu juga.
"Enggak apa, Sherin! Gue ngerti kok."
"Makasih ya buat tumpangannya, saya ketemu Mas Reno dulu." Sherin sedikit membungkukkan badan untuk pamit undur diri.
"Mmm...Kak Nanta...mmm...Mas Reno...duh kenapa membingungkan ya?" Ara memijat pelipisnya yang memang merasakan pusing.
Digo semakin tidak mengerti apa hubungan Reno dengan Ara sehingga selalu membuatnya merasa sakit kepala.
"Jangan dipaksain, Ra. Kamu perlu istirahat." Digo merangkul adiknya dengan penuh perhatian.
"Sherin, kamu sudah mengabari Reno?" Digo mengalihkan perhatiannya kepada Sherin.
"Eh...eng...udah, Mas. Cuma...Mas Reno suruh nunggu dulu di cafe bawah. Dia masih di kantor."
"Kalau begitu kamu ikut makan malam saja sama kita, lagian sebentar lagi masuk waktu maghrib."
"Emang kita mau makan di mana Mas? Ara males ah kalo keluar lagi." Wajah Ara memberengut.
"Ya makan di apartemenlah. Kamu yang masak." Digo menaik-turunkan alisnya merayu Ara.
"Diih...tadi katanya disuruh istirahat, sekarang disuruh masak. Ogah ah!" Ara menyedekapkan tangannya lalu memalingkan wajah.
"Iya, nanti istirahatnya habis masak. Ayo dong! Mas kangen nasi goreng Ara nih. Yang pedesnya maknyus itu. Ya? Ya? Ya?" Digo kembali membujuk adiknya.
Sherin yang melihat tingkah kedua kakak beradik itu terkekeh pelan.
Sementara Ara masih memalingkan wajahnya yang ditekuk.
"Sherin pasti pingin nyobain juga tuh nasi gorengnya Ara. Ya 'kan, Sher?" Digo mengedipkan sebelah matanya memberi kode pada Sherin.
Sherin merasa kikuk, kok namanya dijadikan modus operandi?
"Eh...eng...iya Ra. Gue mau nyobain nasi goreng lo. Pasti enak." Sherin mengangkat kedua jempol tangannya disertai senyum yang lebar. Membuat Digo menyeringai senang.
"Issshh...kalian itu yaaa! Iya iya, Ara bikin nasi goreng!" Ara menghentakkan kakinya dengan kesal lalu beranjak kabur masuk ke dalam lift. Sherin dan Digo berlari kecil untuk menyusulnya.
Setibanya di apartemen, masing-masing direpotkan dengan kesibukan masing-masing.
Digo mengemas sisa-sisa pakaian bersih yang belum terpakai dari dalam koper kecil, juga menumpuk baju-baju kotor ke dalam keranjang cucian.
Sherin sibuk menutul ponselnya untuk mengabari pada sepupunya bahwa ia menunggu di apartemen Ara sekaligus ikut makan malam bersama di sana. Tidak lupa menambahkan detail bahwa Ara yang akan memasak, dan menunya adalah nasi goreng pedas.
Ara bergegas menuju dapur, mengenakan apronnya, lalu membuka kulkas mempersiapkan bahan-bahan masakan yang dibutuhkan.
Tak lama kemudian ponsel Digo berdering, terdengar ia berbicara dengan Violet, tak lama panggilannya diputus.
Digo berjalan ke dapur mendekati Ara.
"Ra, porsinya ditambah ya. Violet dan Fadil mau kesini, sekalian ngenalin ponakan baru." Digo tersenyum sumringah. Baru dua kali ia menjenguk keponakan barunya itu saat di rumah sakit. Menurutnya, keponakannya itu lucu nan menggemaskan.
"Iyaa! Bawel deh!" Ara pun menambah porsi nasi hangat yang sudah selesai dimasak, menempatkannya di baskom lalu dimasukkan ke dalam kulkas. Agar cepat mengeras seperti nasi pera yang masir.
Tak lama kemudian terdengar adzan Maghrib. Digo bersiap-siap menuju mushola yang ada di sebelah gedung apartemen. Sedangkan Ara dan Sherin bersiap-siap melaksanakan sholat jama'ah di kamar Ara.
Awalnya Ara merasa kebingungan, ia merasa seperti telah seabad lalai meninggalkan ibadah fardhu itu. Bahkan ada bacaan yang terlupa olehnya. Sherin pun menawarkan bantuannya, memandunya untuk kembali mengingat semampunya.
Ara berusaha keras, berusaha kembali mengingat untaian kalimat do'a yang pernah ia hapal. Ia mencoba merapal kembali kalimat demi kalimat yang muncul di kepalanya.
Mereka pun melaksanakan sholat berjama'ah dengan Sherin sebagai imamnya.
Selesai menunaikan sholat maghrib, tak lama terdengar bunyi bel pintu. Karena Ara masih sibuk melipat mukenanya, Sherin yang membukakan pintu.
Dilihatnya Digo sedang menimang seorang bayi mungil yang menggemaskan, lalu disebelahnya duduk seorang wanita cantik dengan hijab panjang di atas kursi roda, didampingi oleh seorang pria gagah yang sedang membelainya penuh kasih sayang.
Benaknya berpikir, pasti ini yang namanya Violet, kakak dari Ara sekaligus cinta pertama sepupunya, bersama dengan Fadil suaminya.
Digo mengucapkan salam diiringi dengan Violet dan Fadil. Sherin pun membalas dan mempersilahkan mereka masuk.
"Waahhh...bayinya lucu banget, Mbak Violet. Namanya siapa?" Sherin mencubit kecil pipi bayi yang sedang ditimang oleh Digo itu.
"Iya nih, Pakde belum tahu namanya si adek ganteng." Digo mengajak bicara keponakannya itu.
Sesaat Violet dan Fadil saling memandang dengan melempar senyuman. Fadil menganggukkan kepalanya, memberi isyarat pada Violet.
"Namanya Salman Khayri Shaquil. Panggilannya Salman." Violet mengumumkan nama putra pertama mereka.
"Masyaa Allah...namanya luar biasa, sarat makna. Berarti sekarang Pakde panggil dedek Salman ya." Kembali Digo mengajak bicara keponakannya yang baru saja membuka mata kecilnya.
"Waahhh dedek Salmannya melek! Lucu bangeeet!" Sherin kembali mencolek-colek pipi bayi itu. Kepalanya hanya berjarak sedikit dari wajah Digo. Tak pelak Digo menengadahkan wajahnya ke arah Sherin di hadapannya itu.
Violet dan Fadil yang menyadari pemandangan yang disuguhkan kedua insan itu pun siap untuk memberi kode pada keduanya untuk menjaga jarak, namun seseorang disana sudah terlebih dahulu melakukannya.
"Ehem ehem...kayaknya ada yang cocok buat jadi pengantin kedua nih." Ara bersedekap sambil menyandarkan badannya pada dinding di sebelah lemari TV, mengejutkan Sherin dan Digo. Hingga Sherin tersadar mengambil langkah mundur dari Digo. Kembali wajahnya merona merah jambu.
Digo pun menjadi gugup dan salah tingkah seketika. Ia memberikan Salman pada Violet.
"Assalamu'alaikum." Kalimat salam dilontarkan dari luar pintu, membuat semua kepala yang berada di dalam menoleh ke arah sumber suara.
Satu persatu membalas menjawab salam saat menyadari sosok yang berdiri di sana.
"Reno? Masuk Ren!" Violet mempersilahkannya masuk.
Sementara mata Digo teralihkan pada adik bungsunya. Ia memperhatikan jika tampak perubahan pada adiknya. Namun ternyata tidak ada, Ara turut melayangkan pandangan ke arah Reno dengan dinginnya.
"Lho, kalian di sini juga? Paket komplit nih." Reno menyalami Fadil dan Digo. Akan tetapi Digo menyiratkan tatapan tidak ramahnya.
Bukan ia tidak mau menerima kehadiran Reno, hanya saja ia sedang berusaha menjaga Ara. Mengingat kembali pesan Dokter Lisa tadi sore.
Reno pun menyadari raut wajah Digo yang berbeda.
"Ehm...saya hanya mau menjemput Sherin. Mau langsung saya antar ke rumah Om." Jelas Reno tanpa basa-basi.
"Lho, baru juga sampai. Ikut makan yuk bareng kita?" Kembali hanya Violet yang menyambut Reno dengan ramah.
"Mbak Vi! Apa-apaan sih? Ngapain ngundang dia?" Ara setengah menghardik.
"Ara! Reno itu tamu. Tamu harus diperlakukan dengan baik." Violet menatap tajam pada adiknya. Entah kenapa jika Ara yang muncul ke permukaan, ia mudah terpancing emosi.
"Ara enggak mau makan bareng dia!"
Ara bersikeras, menahan setengah emosinya. Dirasanya kepalanya kembali sakit, khawatir kali ini Zura akan mendesak keluar.
"Ara!" Violet kembali menegurnya.
"Pokoknya kalo dia ikut makan disini, gue cabut!"
***
Enam manusia dewasa ditambah dengan satu bayi dalam gendongan, berkumpul mengelilingi meja makan kecil di apartemen itu.
Ara yang masih terlihat gusar, menyendok nasi goreng pedas yang tadi ia masak. Akhirnya ia terpaksa menerima kehadiran pria itu di apartemennya.
Pasalnya Violet mengancam akan turut angkat kaki dari apartemen jika Reno tidak diperbolehkan berada di sini.
Ia sendiri heran kenapa kakaknya itu bersikeras menerima kehadiran pria yang selama ini ia ketahui dicintai oleh kakaknya itu. Padahal Fadil suaminya pun berada di sini. Apa Violet tidak sungkan menorehkan luka pada suaminya?
Dan sialnya lagi, ia menempati kursi yang berhadapan dengan Reno. Sehingga mau tak mau, pandangan mereka sesekali beradu.
Tapi jika itu terjadi, Ara segera memberi tatapan seperti serigala yang siap memangsa. Namun alih-alih membuat Reno bergidik ngeri, kelakuan Ara itu justru membuatnya terkekeh. Betapa lucunya calon istrinya itu.
"Ehm...nasi gorengnya enak, Ren?" Suara Violet mengalihkan tatapannya yang sedari tadi tertuju pada Ara.
"Enak...eh...bentar." Sejenak Reno terdiam, saking fokusnya dengan Ara sejak mulai makan tadi, indra pengecapnya sampai-sampai melupakan rasa yang sedari tadi memenuhi lidah.
Pandangannya tertuju pada nasi goreng di piringnya, lalu beralih pada Violet. Tatapannya seakan meminta penjelasan pada Violet.
Violet pun mengerti arti tatapan itu. Violet yang duduk di paling ujung barisannya, tersenyum kecil lalu menangkupkan kedua tangan di hadapan, isyarat meminta pengampunan dari Reno.
"Hmmm...jadi begitu." Reno bukannya marah, malah tersenyum lebar.
Ia mengerti sekarang, ternyata bekal nasi goreng yang dulu pernah ia terima bukanlah masakan Violet, melainkan hasil olahan tangan Ara.
Fadil yang berada di antara keduanya pun turut tersenyum. Ia mengerti percakapan dalam diam antara istrinya dengan Reno.
"Maafin istri saya ya Ren. Sepertinya dulu ia khilaf." Fadil tertawa pelan.
"Kok khilaf?" Violet meminta kejelasan suaminya.
"Khilaf bohong, cinta." Fadil menangkup kedua pipi istrinya, membuat Violet tersipu.
"Bohong apa?" Sherin yang bertanya penasaran.
"Jadi...dulu...Violet pernah membawakan bekal buat Reno. Tapi ngakunya masakan sendiri, padahal buatan Ara. Sampai-sampai saya dilarang ikutan nyicipin. Benar begitu, Cinta?" Fadil mengusap mesra pucuk kepala istrinya itu yang disambut dengan kekehan kecil oleh Violet yang tampak malu-malu.
"Ya ampuuun...kalian itu kalo mau romantisan cari kamar gih!" Ara menegur kakak dan kakak iparnya. Ia sendiri merasa malu disuguhi pemandangan itu.
"Enggak masalah dong, Ra. Mereka sudah sah ini." Reno menimpalinya.
"Mas Reno enggak usah pura-pura ikutan seneng liatnya deh. Mas Reno marah 'kan sama mereka? Ngaku aja! Enggak usah diumpetin itu perasaan." Kembali Ara melemparkan bumerang pada Reno.
"Aku enggak marah. Dan aku enggak ngumpetin perasaan. Kamu kali yang ngumpetin." Reno membalasnya dengan santai.
Perhatian semua orang di sekitar meja makan teralihkan pada mereka berdua.
"Diihhh...gue enggak pernah ya ngumpet-ngumpetin perasaan!" Ara menatapnya tajam.
"Masa?" Reno meletakkan sendok dan garpu di kedua sisi piring, sekarang ia menatap Ara serius.
"Iyalah. Ngapain juga gue bohong." Ara mengambil gelas air putih di hadapannya.
"Yakin enggak ada yang diumpetin?" Reno memajukan wajahnya, menatap lekat gadis di hadapannya itu.
Digo mengawasi dengan seksama, menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya sebagai calon adik iparnya itu.
"Yakinlah. Emang apaan yang gue umpetin?" Ara menenggak minumannya.
"Perasaan kamu...yang sudah lama suka sama aku."
Uhuk! Uhuk! Ara tersedak. Adegan ini terjadi kembali untuk kesekian kalinya. Ternyata bukan hanya Zura, Ara pun mengalami yang namanya tersedak entah season keberapa.
Sherin yang duduk di sebelah Ara menepuk pelan punggungnya.
"Ya ampunnn...Mas Reno hobi ya bikin orang keselek." Sherin menaruh iba pada sahabatnya itu.
Reno hanya mengulum senyum melihat Ara yang sudah menatapnya garang, padahal masih sibuk mengatur napas.
"Reno serangannya telak nih!" Fadil menepuk bahu Reno.
"Makin jago ya, Ren?" Violet tergelak tawa.
"Jago apaan?" Reno menatap Violet teduh.
"Jago bikin anak gadis klepek-klepek." Jawaban Violet sontak membuat mereka bertiga tertawa lepas.
Sementara Ara sedang berusaha menahan emosinya yang terpendam di dasar hati.
"Siapa yang klepek-klepek?" Ara menantang ketiga orang di seberangnya.
"Adaaa...adiknya teman masa kecil." Reno kembali menggodanya.
"Dihhh...maksud lo...gue?" Ara menunjuk dirinya sendiri.
"Eh GR! Emangnya aku bilang kamu? Atau jangan-jangan...kamu ngerasa?" Reno tak henti-henti menggodanya. Rasanya sama seperti saat menggoda Zura.
Pipi Ara jelas sudah memerah, namun berusaha ditutupinya dengan lembaran tisu yang disampirkan ke wajahnya.
"Mbak Viiii...bisa enggak siiih mantan cowoknya itu disuruh pergi aja dari sini?" Ara tengah menutup seluruh wajahnya dengan tisu. Mereka yang berada disana sama-sama tergelak, kecuali Digo.
Sejak tadi perhatiannya tertuju pada Ara, meningkatkan waspada jika sewaktu-waktu alter-egonya kembali muncul.
"Hush! Enggak sopan ngusir tamu, Ra. Tamu itu..."
"Harus dihormati! Anak SD juga tahu, Mbak. Tapi tamu yang gimana dulu? Tamu enggak sopan kayak gini dibuang ke laut aja!" Ara menyambung kalimat Violet.
"Bentar...bentar. Jadi...dulu Ara pernah bikinin nasi goreng buat Mas Reno?" Sherin kembali mencerna cerita sebelumnya.
"Iya...Ara juga tahu kalau itu makanan buat dikasih ke Reno. Eh, Ra...dulu kenapa kamu mau ya aku suruh-suruh masak buat Reno?" Violet melempar tatapan usil pada adiknya.
"Apaan sih Mbak? Masih dibahas aja. Udah masa lalu! Nasi goreng tinggal kenangan!" Ara memberengutkan wajahnya yang sudah semerah tomat cherry, menangkup paduan segala rasa yang berkecamuk dalam hatinya.
Sontak jawabannya itu membuat yang lainnya kembali tergelak tawa.
Ara sudah tidak tahu lagi harus menyembunyikan wajahnya dimana. Untung saja tadi dia sudah minum obat. Sehingga potongan-potongan memori yang sejak tadi melintasi pikirannya tidak terlalu berpengaruh.
"Ren, saya mau bicara sama kamu nanti. Selesaikan makanmu dulu." Digo memberi tatapan seriusnya. Suasana yang tadinya mencair kembali tegang.
Setelah menyelesaikan makan malam, Digo mengajak Reno melakukan pembicaraan serius di cafe bawah.
Saat ini mereka berdua duduk berhadapan di atas stool, hanya terpisahkan oleh coffee-table.
Digo menatap Reno dalam, mencoba menghadirkan suasana serius.
"Ehm...jadi apa yang mau Mas Digo bicarakan?" Reno membalas tatapan dalam itu.
"Ren...apa kamu serius dengan Ara adik saya? Kamu tahu 'kan dia itu Ara, bukan Zura. Mungkin selama ini yang kamu sukai itu Zura, alter-egonya." Digo menyelidik wajah Reno.
Sebelum menjawab, Reno menghela napas pelan. Ia sudah tahu akan menerima pertanyaan semacam ini dari Digo.
"Mas, buat saya...Zura dan Ara itu orang yang sama. Pada dasarnya mereka itu sama. Ara bisa menjadi Zura. Ia hanya selalu memasang perisai, mencoba menghadang setiap orang yang memang berlaku tulus padanya. Dia takut dikecewakan. Dia memasang proteksi untuk dirinya sendiri. Sejak dulu pun begitu." Reno menghirup aroma secangkir macchiato dihadapannya. Asapnya masih mengepul.
"Saya paham maksud kamu, Ren. Tapi kondisinya tidak semudah itu, kamu tentu paham maksud saya 'kan?"
"Saya paham betul, Mas. Bagaimanapun resikonya saya siap." Reno memutuskan untuk terus maju, sudah tidak ada lagi kata mundur baginya. Ia sudah terlibat dalam masalah ini.
Digo menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu...saya punya permintaan. Bisa kamu tidak menemui Ara dulu untuk sementara waktu?"
"Maksud Mas?"
"Ini demi kebaikan Ara. Tadi sore kami sudah konsultasi dengan Dokter Lisa." Digo pun mulai menceritakan hasil pertemuannya dengan dr. Lisa Sp.KJ sekaligus psikiater itu. Tidak satu detail pun dari cerita tersebut
terlewat olehnya.
Reno merasa berat hati setelah mendengar penuturan cerita yang keluar dari mulut Digo.
Tapi ia mengerti, tidak boleh egois dalam masalah ini. Saat ini kesembuhan Ara yang menjadi prioritas, bukan perasaannya.
"Baiklah kalau itu demi kebaikan Ara. Saya akan menahan diri untuk tidak bertemu dulu dengannya." Reno menundukkan kepalanya lemah. Berat namun ia tidak punya pilihan.
"Sementara itu, kamu bisa fokus dengan pekerjaanmu, kesembuhan ayahmu, dan mungkin...mencoba mempertebal iman, memperdalam ilmu agama. Karena saya tahu, Ara akan membutuhkan imam yang kuat untuk membimbing dan mendampinginya nanti."
Deg! Kata-kata Digo seperti ketukan palu di kepalanya. Pria di hadapannya ini benar, ada hal-hal lain yang juga harus menjadi prioritasnya, termasuk kondisi kesehatan ayahnya.
Dan lagi-lagi Digo benar. Ia memang harus mempertebal imannya. Ia harus belajar menjadi pribadi yang lebih berakhlak, kelak ia-lah yang akan menjadi nahkoda keluarga, pemimpin, dan juga panutan bagi anak-anaknya nanti.
Ia merasa beruntung memiliki calon kakak ipar yang bijaksana dalam menasehatinya.
"Iya, Mas Digo benar. Insyaa Allah, Mas. Saya akan mengusahakan yang terbaik untuk segala sesuatunya." Reno mengangkat kepalanya tegak, beban yang tadi dirasanya berat pun berangsur hilang.
"Insyaa Allah. Jika kita hidup disertai dengan ikhtiar, tawakkal, dan ibadah, insyaa Allah semua akan baik-baik saja. Percayalah, semua sudah tertulis di lauh mahfuzh." Digo mengulas senyum.
"Aamiin. Insyaa Allah, Mas."
Mereka pun menyesap minuman masing-masing di hadapan mereka.
"Oh ya, ada yang mau saya tanyakan, Mas."
"Tanya apa?" Digo meletakkan kembali cangkir di atas meja.
"Para pelaku penganiayaan Ara...apa sudah diketahui? Lalu...apa sudah diproses ke ranah hukum?" Reno menaruh rasa penasaran karena Digo belum pernah menceritakan perihal yang satu itu.
Digo menghela napas berat, ia meraup wajahnya kasar. Lalu kedua tangannya terkepal di atas meja. Ia mencoba menenangkan dirinya agar tidak tersulut emosi. Mencoba berdamai dengan amarah yang meradang.
"Mereka...huftth...saya tidak punya bukti yang kuat kalau mereka pelakunya. Lagipula...sepertinya sulit tersentuh hukum. Ayah seorang pelakunya, pengacara terkenal."
"Tidak punya bukti kuat? Bukannya Fadil waktu itu cerita ada saksi? Satpam di sekolah Ara, bagaimana dengan dia?" Reno mengernyitkan dahinya. Kepalanya terisi penuh tanya.
"Namanya Pak Danang. Dia...sepertinya dia juga sudah diancam sehingga tidak berani buka mulut. Lagipula dia tidak menyaksikan langsung saat mereka melakukan penganiayaan. Hanya melihat sekelompok anak-anak yang berlari keluar gerbang." Digo kembali mengusap wajahnya. Berat baginya untuk menceritakan masa lalu itu. Saat itu ia memang tengah tak berdaya menghadapi musibah yang menimpa keluarganya. Perhatiannya pun terfokus pada kesembuhan Ara, Violet, dan Alwan papa mereka.
"Kalau CCTV?"
Digo menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Reno.
Reno tampak berpikir sejenak.
"Mas, tahu alamat rumahnya Pak Danang?"
"Saya tahu lokasi rumah tinggalnya dulu. Tidak terlalu jauh dari rel kereta. Kenapa? Mau kesana? Saya tidak yakin dia mau bicara."
"Mungkin saya bisa mencoba, Mas. Saya tidak bisa menerima begitu saja perbuatan sadis seperti itu dilakukan oleh anak-anak SMP dan tidak diproses hukum. Apalagi melihat dampaknya pada Ara, Violet dan Paman Alwan." Reno menggeram, sungguh ia marah.
"Kalau begitu nanti saya gambarkan rute jalan ke rumahnya. Semoga saja Allah membukakan pintu hatinya."
***