Chereads / Ketika Ungu Menjadi Biru (Completed Story) / Chapter 14 - 14. Tabir yang Terkuak

Chapter 14 - 14. Tabir yang Terkuak

"Untung aja aku inget nomornya Mas Digo yang baru." Sherin baru saja selesai menghubungi Digo, ia mengabari Digo perihal Zura yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit.

Saat Zura pingsan tadi, Reno panik. Ia segera memboyongnya ke rumah sakit, meninggalkan Sitta yang saat itu sedang marah-marah tidak karuan.

Di perjalanan, Reno sempat kalut, ada rasa takut yang luar biasa muncul di hatinya. Namun Reno sendiri tidak mengerti rasa takut apa itu.

Pasalnya saat Tante Danish akan dioperasi pun perasaannya tidak sekalut ini, bahkan ia masih bisa mengajak ibu angkatnya itu bersenda-gurau penuh canda tawa sebelum operasi.

Tapi tadi saking kalutnya seorang Reno, hampir saja ia menabrak seorang nenek dan anak kecil yang sedang menyeberang jalan.

Saat itulah ia terpikir untuk segera menghubungi Sherin. Setidaknya sepupunya itu bisa membantunya mengatasi kepanikan.

Sherin yang saat itu sedang berada di Mall yang lokasinya tidak jauh dari rumah sakit pun segera menyusul ke rumah sakit yang disebutkan Reno.

Saat tiba di IGD tadi, Zura sempat menyadarkan diri sebentar, namun ia mengeluhkan kepalanya yang terasa pusing dan berat. Tak lama kemudian ia kembali tertidur hingga saat ini.

Untungnya Sherin segera tiba di rumah sakit, sehingga kepanikannya sedikit berkurang. Setelah Zura masuk kamar rawat inap dan mendapat penjelasan dari dokter, Sherin segera mengabari Digo.

"Mas Reno, nggak apa-apa?"

Sherin yang sedang berdiri, menepuk pundak sepupunya yang sedang duduk di sofa itu.

"Sekarang sudah nggak apa-apa. Tadi memang sempat panik." Reno menggeleng lemah.

"Bukan itu maksud Sherin. Maksudnya...Mas Reno ini...nggak kenapa-kenapa nggak pake masker? Nggak pusing gimana gitu?" Sherin mengingatkan Reno yang memang biasanya selalu membawa masker jika bertandang ke rumah sakit. Ia tahu sepupunya ini membenci bebauan di rumah sakit.

Dan Reno pun baru saja menyadari bahwa ia memang tidak sedang mengenakan masker saat ini, bahkan pikirannya tidak terlalu disibukkan akan efek aroma tempat ini baginya.

Sedari tadi pikirannya hanya fokus pada kondisi Zura yang masih tertidur hingga saat ini. Dan anehnya bebauan obat-obatan dan antiseptik itu tidak lagi memabukkan baginya, padahal tempat ini adalah rumah sakit yang sama dengan tempat ayahnya dirawat.

Keanehan yang luar biasa! Namun saat ini otak Reno masih belum bisa mencerna kenapa kejadian luar biasa ini bisa terjadi. Batinnya masih mengkhawatirkan kondisi Zura. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa tadi dia terlihat aneh sebelum tak sadarkan diri?

Ckrek! Gagang pintu kamar terbuka. Seorang pria tampan berkacamata dengan postur tubuh tinggi memasuki kamar.

Reno lupa akan kehadiran orang yang satu ini. Ia lupa seharusnya tadi menyingkir terlebih dahulu dari kamar itu. Namun sekarang terlambat, netra mereka bertemu. Akhirnya ia bertemu dengan Indigo, kakak dari Violet dan Azura.

Sherin yang melihat kehadiran Digo pun segera memalingkan wajah menunduk. Ia masih malu dengan peristiwa sebulan yang lalu itu. Terlalu malu untuk berhadapan dengan Digo, karena memang diam-diam ia memiliki rasa terhadap kakak dari sahabatnya itu sejak awal pertemuan mereka dulu.

"Kananta?" Digo tercengang mendapati keberadaan Reno di kamar ini.

"Mas Digo." Reno segera menjabat tangan Digo yang berjalan mendekatinya.

"Kamu..." Digo kehilangan kata-kata.

"Saya tetangga di apartemen, Mas. Saya tinggal di lantai 9."

"Ehm...Mas Reno ini sepupu saya. Tadi Mas Reno yang membawa Zura kesini. Sepertinya tadi Zura pingsan di apartemen." Sherin membantu Reno menjelaskan pada Digo.

Dahi Digo mengernyit saat mendengar Kananta yang berganti panggilan menjadi Reno.

"Reno?"

"Jadi Ma..."

"Sher...let me, Okey?" Reno memotong omongan Sherin. Ia akan menjelaskan sendiri semuanya pada Digo. Ia sudah tidak bisa mengelak lagi. Dan ini adalah kesempatannya untuk mencari kebenaran.

"Mas Digo, bisa kita bicara di luar? Nanti saya akan menjelaskan semuanya."

Digo mengangguk lalu kembali berjalan untuk keluar pintu.

"Sher, tolong jaga Zura dulu ya." Reno berjalan di belakang Digo.

Kedua pria ini memilih kantin sebagai tempat melangsungkan pembicaraan. Tempat itu pasti sekarang sudah lengang mengingat saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 21.50.

Keduanya berbelok dari koridor yang panjang menuju kantin yang berada di sebelah taman yang ada di tengah-tengah bangunan rumah sakit.

Setibanya disana keduanya hanya memesan minuman, lalu memulai percakapan.

"Jadi...Kananta...mmm...Reno? Coba tolong jelaskan pada saya." Digo bingung harus memanggilnya dengan nama yang mana.

"Nama saya Kananta Moreno. Ayah saya, teman-teman, saudara dan kenalan lainnya memanggil saya Kananta, hanya ibu saya yang memanggil saya Reno. Tapi saat ibu meninggal, ternyata beliau memberi saya wasiat untuk mengubah nama panggilan saya secara keseluruhan menjadi Reno." Reno menjelaskan asal muasal pergantian namanya.

"Hmmm..." Digo menganggukkan kepalanya.

"Lalu sekarang saya harus memanggil kamu Reno?"

"Terserah Mas Digo saja. Yang jelas saya sudah menceritakan perihal pergantian nama itu."

"Baiklah. Saya ingin menghormati ibumu rahimahallah, saya panggil kamu Reno."

"Terima kasih, Mas."

"Hmmm...jadi Reno, tolong ceritakan semuanya. Bagaimana ceritanya kamu bisa ada di apartemen kami saat Zura pingsan?" Digo berbicara dengan tenang. Ia melihat raut wajah Digo yang agak tegang.

Reno sudah siap menceritakan semuanya pada Digo. Tidak ada lagi yang ingin ditutup-tutupinya. Termasuk rencana awal yang dia rancang melibatkan Zura.

Reno menceritakan semua, berawal dari kesepakatan dan janjinya bersama Violet sebelum ia bertolak ke Sidney, dimana ia memendam asa untuk menjadikan Violet sebagai jodohnya nanti.

Bagaimana ia menempuh pendidikan sembari bekerja keras untuk mengumpulkan simpanan masa depan, lalu dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa wanita yang dinantinya itu ternyata sudah menempuh hidup baru dengan sahabatnya sendiri.

Ia yang terkecewakan dengan adanya pernikahan antara Violet dan Fadil. Luka yang tertoreh di hatinya terlalu dalam.

Dimulai dari rasa kecewa itu, ia pernah bersumpah akan membalas perbuatan mereka, bahkan tidak ridha jika mereka hidup bahagia diatas penderitaannya.

Saat kembali ke Indonesia, ia berusaha menyambangi tempat tinggal keluarga Violet dulu, saat itu ia masih berusaha menuntut penjelasan dari keduanya. Namun saat itu tetangga yang kebetulan sedang ada di luar menjelaskan jika rumah itu sudah lama terjual dan menjadi milik orang lain.

Saat ia menyambangi rumah Fadil pun ia mendapati sahabatnya itu beserta orangtuanya tidak tinggal di sana lagi.

Kondisi itu semakin membingungkan bagi Reno. Reno mencari-cari informasi dari teman-teman SMA-nya. Berita yang ia peroleh pun semakin rancu. Sitta bahkan memberitahunya jika Violet sudah hamil di luar nikah oleh Fadil.

Mendengar berita itu semakin meliarkan pikirannya. Ia semakin membenci Violet dan Fadil.

Masuk akal baginya jika memang Violet sudah berbuat tidak senonoh dengan Fadil, buktinya mereka berdua sampai harus pindah domisili, mungkin saja untuk menutupi aib dari tetangga.

Saat akhirnya Reno mulai putus asa mencari keberadaan keduanya, ia mulai fokus mengurus usaha orangtuanya, tidak sengaja ia bertemu salah satu tetangga Fadil yang ternyata adalah teman sekelas Zura waktu SMP. Temannya itu pun menginformasikan apartemen tempat tinggal Zura dan Digo sekarang.

Untuk mencari tahu lebih banyak, Reno sengaja ikut pindah ke apartemen yang sama. Selama sebulan tinggal di apartemen, akhirnya takdir mempertemukannya dengan Zura dalam insiden yang tak terduga.

Tidak disangkanya Zura yang dulu tomboi, berbobot lebih, chubby dan berkacamata, kini menjelma menjadi seorang gadis rupawan nan jelita.

Awalnya Reno berrencana untuk menjalin hubungan dengan Zura, bahkan kalau perlu menikahi Zura untuk membalas sakitnya pada Violet. Ia ingin menyakitinya lewat orang terdekatnya.

Namun semakin lama mengenal Zura, semakin ia menyadari perasaannya yang sebenarnya terhadap Zura. Perasaan itu tumbuh semakin kuat di hatinya sampai-sampai ia sudah tidak bisa mengelak lagi

Sekarang ia jadi berpikir jika Allah menakdirkan pertemuan mereka bukan untuk mempertemukannya dengan Violet, namun mempertemukannya dengan Zura.

Memang sepertinya waktu pertemuan mereka sangat singkat, namun yang namanya pertemuan dengan jodoh, bisa terjadi kapan saja 'kan?

Saat ini Reno bisa memastikan jika ia memang benar-benar mencintai Zura. Ia mengakui perasaannya ini pada Digo.

Digo yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, mencoba mencerna kalimat demi kalimat cerita yang dilontarkan Reno.

Ada amarah terpendam di sudut hatinya, saat mendengar fitnah yang dituduhkan terhadap Violet adiknya, dan rencana kejam Reno untuk memanfaatkan Zura guna menyakiti Violet.

Namun Digo sebagai seorang laki-laki, berusaha memahami perasaan pria yang saat ini sedang tertunduk lemas di hadapannya itu.

Digo yang sedari tadi beristighfar dalam hati, menghela napas perlahan sebelum mulai berbicara. Ia awali dengan merapal bismillah dalam hati agar tidak salah berucap.

"Hmmm...Ren, pertama-tama...saya ingin meminta maaf atas semua kesalah-pahaman yang terjadi, sehingga menuntunmu pada jalan yang salah. Atas nama keluarga saya, atas nama Violet...saya memohon kebesaran hatimu untuk memaafkan kami."

Digo memejamkan mata lalu menundukkan sedikit kepalanya sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada, tanda bahwa ia benar-benar sedang memohon maaf.

"Tidak, bukan...seharusnya saya yang..."

"Sebentar...boleh saya menyelesaikan omongan saya terlebih dahulu?" Digo memotong kalimat Reno. Dan Reno menghormati permintaan pria bijaksana itu, ia menganggukkan kepalanya.

"Selanjutnya saya ingin menyampaikan kalau...kabar buruk yang kamu terima dari perempuan bernama Sitta tadi, itu...sama sekali tidak benar."

Reno semakin tertarik mendengar penuturan Digo. Ia menyimak baik-baik setiap kalimatnya.

"Sebenarnya, Violet dan Fadil sudah menikah terlebih dahulu sebelum undangan resepsi itu disebar. Mereka menikah kira-kira sekitar setahun setelah keberangkatanmu ke Sidney."

Deg! Reno tercengang mendengar fakta baru ini. Jadi mereka sudah lama menikah?

Reno mencoba mengendalikan sedikit amarah yang sempat muncul. Tangan kanannya sudah terkepal di bawah meja.

"Mungkin sekarang setelah mendengar berita ini...kemarahanmu menjadi terpicu kembali. Tolong ditahan ya." Digo menepuk-nepuk pundak kiri Reno. Ia mencoba menenangkan Reno yang pastinya mulai tersulut amarah.

"Untuk alasan sebenarnya kenapa mereka menikah...sepertinya itu bukan wewenang saya untuk berbicara. Mungkin kamu bisa bicara baik-baik dengan Fadil dan Violet nantinya. Yang jelas sama sekali tidak seperti yang ada di pikiranmu." Digo tampak berpikir sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Yang kedua, mengenai Zura. Sebenarnya...saya berharap kamu bersikap lebih bijak. Ada sesuatu tentang Zura yang harus kamu ketahui. Zura...bukanlah Ara." Digo tertunduk, ia merasa bingung bagaimana melanjutkan penjelasannya.

"Maksud Mas Digo? Dia Azura Andhara 'kan?" Reno jadi tertarik untuk bertanya. Semakin lama, semakin banyak misteri yang muncul ke permukaan.

"Dia memang Azura Andhara. Tapi, Ara dan Zura adalah...dua kepribadian yang berbeda."

Lagi-lagi Reno tercengang, ia tidak bisa menutupi kalau ia terkejut dengan fakta yang terlontarkan.

Namun ada seseorang yang lebih terkejut dari pada Reno di seberang sana. Seseorang yang sejak awal mendengarkan percakapan mereka dari balik pohon.

"Maksud Mas...kepribadian ganda?" Reno kembali bertanya.

Digo menganggukkan kepalanya.

"Tapi... sejak kapan? Bagaimana bisa sampai terjadi?"

Reno semakin penasaran.

"Ada peristiwa traumatis yang terjadi bertepatan dengan saat keberangkatanmu ke Sidney. Dan peristiwa itu juga melibatkan Violet." Digo sepertinya tidak lagi sanggup melanjutkan ceritanya. Menceritakan masa lalu sama saja dengan membuka kembali luka dalam yang sudah tertutup.

"Assalamu'alaikum." Sebuah suara menyapa mereka dari arah punggung belakang Reno.

"Wa'alaikumussalam." Keduanya membalas salam bersamaan. Reno membalik badan untuk melihat si empunya suara. Lagi-lagi ia dibuat tercengang melihat sosok itu.

"Fadil...duduk sini, Dil." Digo menunjuk kursi plastik yang ada di sebelahnya kepada Fadil yang baru saja datang untuk bergabung.

"Masyaa Allah...Kananta. Miss you, Bro!" Fadil segera merengkuh Kananta yang masih terduduk bengong. Ia memeluk Kananta layaknya seorang sahabat yang sedang merindu.

Kananta tidak membalas rangkulan itu. Bayangkan saja bagaimana rasanya mendadak dipeluk oleh orang yang sangat kita benci.

Fadil yang menyadari sikap mematung Reno, akhirnya melepaskan pelukannya. Ia mengerti akan sikap Reno. Ia yang seharusnya malu karena bersikap seolah-olah status mereka masih sepasang sahabat.

Fadil pun segera duduk di samping kakak iparnya, tepat berhadapan dengan Reno.

Fadil melihat ekspresi wajah Reno yang saat ini sulit digambarkan dengan kata-kata.

Reno agak terkesiap melihat penampilan Fadil saat ini, jauh berbeda dengan penampilannya yang seperti berandalan zaman SMA. Fadil mengenakan kopiah putih, baju koko, celana yang agak terkatung, dan dagunya sudah ditumbuhi jenggot tipis

"Ehm...Ren, saya yang mengundang Fadil untuk ikut gabung di sini. Tadi saya SMS dia."

Saat tadi mereka berjalan di koridor menuju kantin, Digo sempat mengetik dengan ponselnya. Ternyata untuk mengirim pesan pada Fadil.

Digo merasa memang ia harus mengundang adik iparnya itu turut dalam perbincangan mereka. Ia merasa Reno harus mengetahui semua kebenaran yang disimpan selama ini. Digo sudah tahu akan tiba waktunya.

Digo sendiri merasa terkejut saat dulu mengetahui ternyata adiknya sudah berhubungan sejak lama dengan Reno. Digo mengenal Reno hanya sebatas teman dari adiknya itu. Mereka beberapa kali bertemu saat Digo kembali dari Bandung.

Namun saat mengetahui hubungan yang sebenarnya antara keduanya, ia merasa sangat kecewa terhadap adiknya.

Ia yang saat itu sedang belajar mendalami ilmu agama, ia yang berusaha menjaga adiknya dari yang namanya segala jenis zina, tentu saja rasa kecewa itu tidak bisa dipungkirinya.

Namun, ia tidak bisa melampiaskan kekecewaannya terhadap Violet mengingat kondisi Violet setelah terjadi insiden tersebut.

Digo mengetahui semua kebenaran tentang Violet dan pria yang dulu dipanggil Kananta itu dari Fadil, laki-laki yang sebenarnya saat itu menolak menjadi calon adik iparnya.

"Mas Digo tentunya sudah mengerti bagaimana perasaan saya saat ini. Untuk duduk satu meja dengan orang ini pun sebenarnya saya tidak sudi." Reno melengoskan pandangan dari Fadil sembari menyedekapkan tangan di dada.

"Nanta..."

"Reno..."

Digo dan Fadil memanggilnya bersamaan. Fadil yang mendengar kakak iparnya memanggil mantan sahabatnya itu dengan nama Reno, mengangguk paham.

Ia masih ingat saat Reno dulu mencurahkan segala kegalauannya tentang wasiat ibunya kepada Fadil, termasuk mengganti nama panggilannya secara resmi menjadi Reno.

"Oke, Reno. Tolong beri ana waktu untuk menjelaskan semuanya." Fadil berbicara dengan sopan dan lembut.

Kembali Reno dibuat tercengang oleh mantan sahabatnya ini. Bahasanya kenapa menjadi seperti bahasa guru pesantren? Kemana bahasa 'gue-elo' yang dulu ia gunakan dengan slengekan?

"Oke! Coba jelaskan!" Reno membalas dengan dingin dan ketus.

"Jadi saat dulu ente mau berangkat..."

"Stop it right there!" Reno mengangkat sebelah telapak tangannya vertikal, menghentikan Fadil yang akan lanjut bicara.

"Maaf, bisa ngomongnya pake bahasa yang biasa aja?"

Fadil paham akan maksud Digo, mungkin perubahan akan dirinya ini masih belum bisa diterima oleh Reno. Apalagi cara bicaranya yang menggunakan bahasa ana-ente.

"Jadi...saat dulu kamu akan berangkat ke Sidney, ada kejadian mengenaskan yang terjadi pada Ara. Maksud saya...Zura."

Digo menahan omongan Fadil sebentar, memberi isyarat bahwa Reno sudah mengetahui tentang Zura. Fadil mengangguk paham lalu melanjutkan kalimatnya.

"Hari itu...ternyata sepulang sekolah Ara disekap dan di-bully habis-habisan di dalam kamar mandi sekolah. Bahkan ia dilecehkan di kamar mandi itu oleh komplotan geng di sekolahnya. Tidak tahu saat itu sudah berapa banyak tendangan dan pukulan yang ia terima sehingga mengakibatkan banyak memar dan lebam di tubuhnya, seragamnya terkoyak, darah pun menodai bajunya. Saat kejadian itu, sekolahnya memang sudah sepi." Fadil menghentikan ceritanya untuk mengambil napas sejenak.

"Saya mengetahui cerita ini dari satpam sekolahnya. Ia melihat kondisi Ara yang sudah terluka parah saat keluar dari kamar mandi. Saat itu geng yang menganiayanya sudah kabur. Pak Satpam ingin membawanya ke rumah sakit tapi katanya ditepis oleh Ara. Ara bilang ia ingin pulang sendiri, ia tidak mau ditolong."

Reno mematung di kursinya, sungguh sebenarnya ia tak tahan mendengar cerita itu. Ia tidak menyangka betapa sadis perlakuan yang diterima Ara dulu.

"Dan kau tahu sendiri 'kan dulu Ara bersikeras untuk pergi pulang sekolah dengan berjalan kaki? Sedangkan Violet selalu dijemput oleh Pak Rahman. Akhirnya Violet merasa khawatir karena sudah sejam lebih Ara belum sampai juga di rumah. Telponnya juga tidak diangkat oleh Ara."

"Saat itu Pak Rahman sudah pulang ke rumahnya. Lalu kamu ingat 'kan, Ren? Saat itu kamu menghubungi saya, meminta saya untuk menjemput Violet untuk mengajaknya pergi bersama ke bandara."

"Jadi saat itu saya naik motor ke rumahnya, sesampainya di sana,Violet justru mengajak saya mencari Ara. Dia bilang perasaannya nggak enak."

"Akhirnya saya menuruti permintaannya. Kita mengitari rute jalan dari rumah hingga ke SMP-nya Ara."

"Di tengah jalan..." Fadil memutus lagi kalimatnya, bulir air mata menetes dari pelupuk matanya. Digo mengusap-usap punggung belakang adik iparnya itu, memberinya kekuatan.

"Minum dulu, Dil." Reno menawarkan minumannya pada Fadil. Ia tahu pasti sangat berat bagi Fadil untuk melanjutkan ceritanya. Kalau tidak, tidak mungkin temannya itu sampai menitikkan air mata.

Reno sendiri tidak yakin ia sanggup mendengar lanjutan cerita ini.

Namun Fadil menolak dengan halus lalu mengucap terima kasih pada Reno. Dengan segenap kekuatan yang ia punya, Fadil pun kembali melanjutkan cerita.

"Di tengah jalan, saya dan Violet melihat Ara sedang berdiri tepat di tengah-tengah jalan sedang merentangkan kedua tangannya dengan mata terpejam. Dia...dia...dia ingin bunuh diri." Derai isak tangis keluar dari kedua mata Fadil. Fadil yang dulunya ia kenal sebagai seorang yang berhati baja akhirnya luluh lantak.

Reno sendiri pun memejamkan matanya, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia sedang mencoba mengendalikan amarah yang semakin memuncak seiring dengan berlanjutnya cerita Fadil.

"Violet...saat itu Violet langsung melompat turun dari motor, ia berlari menuju Ara. Bodohnya saya...masih sempat-sempatnya memarkirkan motor butut itu dulu."

Fadil memejamkan matanya yang sudah sembab, ia mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Menyesali akan kebodohannya dulu.

"Tiba-tiba dari arah depan ada sebuah truk berjalan tepat menuju mereka, sepertinya supirnya pun sedang mengantuk. Violet bereaksi, ia mendorong Ara hingga kepala Ara terantuk di trotoar jalan, sedangkan Violet..."

"Truk itu melindas salah satu kakinya." Isak tangis Fadil semakin hebat.

"Saya, Ren...saya yang menyaksikan! Semua kejadian itu tepat di depan mata saya. Di depan mata saya!" Digo merengkuh Fadil yang sudah tidak kuat bercerita.

Reno pun turut menderai tangisan. Ia mulai merutuki dirinya sendiri yang selama ini telah salah paham, terkungkung dalam kebencian yang mendalam.

"Saya saja ya yang melanjutkan cerita." Digo mencoba menahan sendunya, ia tidak tega pada adik iparnya itu.

"Singkat cerita, kaki kiri Violet terpaksa diamputasi. Dan Ara...saat itu ia koma selama seminggu, ada cidera di bagian otaknya. Papa kami yang saat itu sedang berada di Qatar, ketika mengetahui kabar itu...Papa...Papa terkena stroke."

Ya Allah...sepertinya Reno memang kurang bersyukur selama ini. Penderitaannya selama ini tidak ada apa-apanya dibanding rentetan musibah yang dialami oleh keluarga itu.

"Saat saya mendengar kabar itu, saya langsung mengambil cuti kuliah. Untung saja waktu itu sudah semester akhir."

"Papa dipulangkan dari Qatar. Beliau langsung mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja."

"Waktu itu...saya sendiri pun kalut, stres, bingung menghadapi semuanya. Violet shock berat saat mengetahui telah kehilangan salah satu kakinya, ia depresi. Sekolah pun tidak mau."

"Ara...saat sadar dari komanya, ia seperti orang yang berbeda. Sikapnya lemah lembut, ia menjadi sosok yang feminim, bahkan ia tidak mengingat hal buruk apa yang sudah menimpanya, dan anehnya ia mengaku namanya Zura, bukan Ara."

"Saat saya konsultasikan dengan psikiater, ternyata...Ara mengalami traumatik yang cukup berat, sehingga memicu terjadinya kepribadian ganda."

"Dan Papa...mental dan batinnya tidak kuat menghadapi kenyataan yang terjadi pada anak-anaknya. Papa stres memikirkan nasib dan masa depan anak-anak perempuannya."

"Sebenarnya...saya sendiri pun tidak kuat kalau menghadapi semuanya sendiri. Saudara-saudara kami jauh keberadaannya, tersebar di pulau Jawa dan Sumatra."

"Untung saja...ada Fadil yang kerap membantu saya. Ia sering datang ke rumah. Membantu memberi motivasi pada Violet, bahkan menemani Zura untuk terapi."

"Melihat kepedulian Fadil yang begitu besar terhadap keluarga kami...terutama Violet, Papa lalu mengajak Fadil bicara. Secara pribadi, Papa meminta Fadil untuk menikahi Violet. Ia bilang ingin melihat Violet bahagia sebelum nyawanya dicabut. Mungkin saat itu sudah dirasanya ajalnya telah mendekat, Fadil pun tidak tahu bagaimana harus menyikapi permintaan ayah itu."

Pelan-pelan semua misteri dan pertanyaan Reno mulai terjawab, perasaannya tercampur aduk.

Fadil memberi tanda pada Digo bahwa ia sudah siap kembali bercerita. Ia sudah dapat menenangkan dirinya yang sesaat terguncang emosi tadi.

"Tapi perlu kamu ketahui, Ren...saat itu, saya menolak permintaan Papa Alwan."

Sementara seseorang yang sedari tadi mendengarkan perbincangan itu, terkekeh pelan. Ia sudah mendengar garis besar dari keseluruhan cerita. Saatnya ia melaporkan semua pada kakaknya.

***

"Menolak?" Reno mengernyitkan keningnya.

"Iya. Saya menolak menikah dengan Violet. Lalu saya ceritakan perihal hubunganmu dengan Violet pada ayah Alwan dan Mas Digo. Saya bukan orang yang tega menikung sahabat sendiri."

Deg! Hati Reno mencelos mendengar pernyataan Fadil.

Brengsek! Ia sungguh merasa menjadi pria paling brengsek yang pernah ada di muka bumi, sudah berprasangka yang tidak-tidak pada sahabatnya sendiri dan juga perempuan yang pernah dicintainya. Rasanya saat ini tangannya gatal ingin menampar dirinya sendiri.

"Dil...gue...gue minta maaf sudah salah paham." Reno tertunduk, wajahnya bergelimang penyesalan.

"It's okay, Bro. Saya paham perasaanmu. Kamu juga berhak untuk salah paham. Mungkin kalau saya yang berada di posisimu...bisa jadi saya berprasangka lebih buruk." Fadil turut menenangkan Reno.

"Boleh saya lanjut bercerita?" Fadil meminta izin.

Reno menganggukkan kepalanya sambil menatap wajah sendu mantan...bukan! Bukan mantan sahabat, masih sahabatnya.

"Yang membuat saya terkejut adalah...Violet menyetujui permintaan Papa-nya itu. Dia bersedia menikah dengan saya."

Reno semakin tertarik mendengar penjelasan Fadil. Tapi sejak tadi mulutnya gatal ingin mengajukan satu pertanyaan.

"Violet cinta sama lo?"

Fadil diam berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.

"Dulu? Mungkin tidak. Sekarang? Ya, kami saling mencintai. Maaf, tapi saya harus jujur padamu."

Reno menganggukkan kepalanya. Rasanya hatinya lebih lapang mendengar jawaban Fadil.

"Sebenarnya...saat itu, bisa dibilang Violet seperti kehilangan akal sehatnya. Mungkin efek depresi karena belum bisa menerima kondisinya yang...ehm." Fadil enggan menyebut kata yang menggambarkan kondisi Violet saat ini.

"Violet mencoba merayu saya. Sepertinya...ia membutuhkan semacam pengakuan kalau dirinya itu masih menarik di mata laki-laki.  Untungnya saja saya masih memiliki sedikit iman waktu itu.  Meskipun...saya ingin jujur berterus terang padamu, Ren. Sebenarnya saya juga sudah lama menyukai Violet."

Lagi-lagi Reno dikejutkan oleh pernyataan Fadil. Sebenarnya dulu ia sudah menaruh curiga terhadap sahabatnya itu, namun ia selalu berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak mungkin sahabatnya itu menyukai perempuan yang sama. Apalagi kala mengingat Fadil dan Violet yang jika bertemu sudah seperti Tom and Jerry.

Tapi memang benar kata pepatah, orang yang paling dibenci bisa menjadi orang yang paling dicintai.

Sama seperti yang saat ini ia rasakan pada Zura. Dulu, rasanya sangat jengkel jika berhadapan dengan Zura yang jutek. Sekarang, ia jatuh cinta pada sosok itu.

Reno tertawa kecil memikirkan hal itu. Anehnya lagi, saat ini tidak ada yang namanya nyeri bersarang di hatinya. Ia merasa biasa saja mendengar pengakuan Fadil. Apa ini artinya dia sudah bisa berdamai dengan masa lalu?

Mungkin memang perasaannya terhadap Violet sudah lama hilang. Yang membuatnya kesal adalah rasa kecewa akan pengkhianatan keduanya, yang memang ternyata hanya sebuah kesalah-pahaman.

"Iya, gue tahu, Dil. Cuma...gue aja yang selalu berusaha denial. Lo pasti tersakiti juga saat tahu gue jadian dengan Violet."

Fadil hanya melempar seulas senyum.

"Terus, gimana ceritanya akhirnya jadi menikah?" Reno kembali bertanya

"Belum sampai di situ ceritanya." Digo yang menjawab kali ini.

"Jadi, 2 bulan setelah kecelakaan itu...kami sekeluarga pindah ke Bandung. Selama 2 bulan itu, Violet dan Zura tidak lagi sekolah. Mereka masih dalam tahap recovery lahir batin."

Terjawab sudah tanya Reno selama ini. Mengapa dulu saat ia menyambangi kediaman keluarga Violet, rumah itu sudah dihuni oleh keluarga lainnya.

Tapi bagaimana dengan Fadil? Reno kembali menyimak cerita Digo.

"Violet...pasti malu dengan kondisinya. Zura...dia bukan lagi Ara, tapi kalau bertemu dengan pelaku penganiayaannya...saya tidak tahu bagaimana efeknya nanti ke kondisi psikisnya. Lagipula, saya juga harus secepatnya menyelesaikan skripsi saya yang tertunda. Mengingat kondisi Papa yang seperti itu, sayalah yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Dan juga...tabungan Papa sudah menipis untuk membiayai seluruh pengobatan."

"Jadi kami putuskan untuk menjual rumah dan aset-aset berharga lainnya. Untung saja teman Papa bersedia membeli rumah dengan cepat. Kami pun pindah ke Bandung, Zura melanjutkan sekolah di sana. Tapi Violet...ia masih belum bisa berdamai dengan kondisinya. Ia tidak melanjutkan sekolah."

Reno lagi-lagi tercengang mendengar fakta bahwa Violet putus sekolah. Jika saja saat itu ia yang mendampingi Violet, mungkin ia tidak akan bisa setegar Digo ataupun Fadil.

"Masyaa Allah...sudah hampir tengah malam ternyata." Fadil melihat waktu yang tertera di jam tangannya.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi di lain waktu? Saya harus segera kembali menemani Violet. Kasian dia, belum pulih pasca operasi cesar."

"Lho...Violet sendirian? Bayinya?"

Digo memasang wajah cemas.

"Ada Ummi, Mas. Tapi mungkin Ummi sudah tertidur." Fadil bangkit dari duduknya.

Digo menganggukkan kepalanya, sedikit lega mendengar Violet tidak sendirian di kamar rawat inap itu.

Sementara Reno, ingatannya mengenang sosok Ummi Aina, ibunya Fadil, sekaligus guru mengajinya sejak kecil. Ia sangat merindukan sosok wanita itu, yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Ummi Aina pun menganggap Reno seperti putranya sendiri.

"Ehmm...selamat ya, Bro! Anak kedua?" Reno ikut bangkit lalu menjabat erat tangan sahabatnya itu.

Fadil mengulas senyum lebar sebelum menjawab.

"Anak pertama, Bro! Alhamdulillah laki-laki."

"Alhamdulillah. Semoga menjadi anak soleh."

"Aamiin. Syukron do'anya, Bro." Fadil merangkul Reno dengan perasaan lega. Akhirnya semua tabir sudah terkuak.

"Salam ya buat Ummi, salam kangen." Reno tersenyum sembari menepuk bahu Fadil.

"Kalau begitu saya juga mau balik ke kamarnya Zura, mengecek kondisinya. Besok pagi saya akan mampir ke kamar Violet, mau nilikin ponakan." Digo tersenyum sumringah lalu bangkit dari duduknya, berjalan mengitari meja hingga berada di samping Reno.

"Saya juga mau ke kamar ayah saya, mengecek kondisi beliau." Reno memang tadi berencana berganti giliran jaga dengan Tantenya malam ini.

"Ayah?" Fadil dan Digo berseru bersama.

"Iya. Kebetulan Ayah juga sedang dirawat disini."

"Ya Allah...Om Yudho sakit apa?" Fadil menanyakan dengan wajah sendu. Sepertinya sosok seorang Fadil sudah berubah 180 derajat sekarang, ia menjadi orang yang lebih peka akan kemalangan orang lain.

"Penyakit jantung. Mohon do'anya saja."

Fadil membacakan do'a kesembuhan bagi ayahnya Reno dengan menengadahkan kedua tangannya ke depan, lalu di-aamin-kan oleh ketiganya.

Sebelum berpisah, Reno menanyakan nomor ponsel Fadil dan Digo, untuk lebih memudahkan komunikasi di antara mereka.

Kini yang ada hanya perasaan lega, legowo, dan ikhlas di hati Reno.

-------

"Ayah...jangan banyak bergerak dulu. Ayah mau apa? Biar Nanta ambilkan." Reno berada tepat di samping brankar ayahnya yang saat ini sudah sadar. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih terbaring di atas brankar.

"Mau mi-num." Yudho mengucap dengan terbata, suaranya parau.

Reno segera mengambilkan segelas air putih dengan sedotan.

Yudho memang masih memanggil Reno dengan nama Kananta. Sulit baginya merubah kebiasaan lama, lagipula nama Kananta itu ia ambil dari nama Kakeknya, untuk menghormati sang Kakek yang telah banyak berjasa dalam hidupnya.

"Nta, kamu...nggak kerja, Nak?" Yudho bicara perlahan.

"Nggak, Yah. Nanta cuti hari ini. Kerjaan sudah di take-over sama Reihan." Reno menarik kursi untuk duduk di samping brankar ayahnya.

"Nta...maafin...ayah ya. Ayah merepotkan...kamu." Yudho mulai terlihat sendu. Ia merasa tak berdaya dan bersalah telah menjadi beban bagi putranya itu.

"Ayah...jangan ngomong begitu. Yang penting sekarang ayah harus semangat. Nanta sudah janji lho ke Uti, mau bawa ayah mudik ke Semarang nanti lebaran."

"Oya...gi-mana...kabar Uti-mu? Suara Yudho semakin parau, serasa ada yang mencekat di tenggorokan. Reno kembali menyodorkan air putih untuk ayahnya.

"Kemarin waktu ngecek resto yang di Semarang, alhamdulillah ada waktu buat besuk Uti."

"Alhamdulillah kondisi Uti sudah semakin membaik, hanya jalannya masih sedikit pincang." Reno mengusap-usap lengan ayahnya dengan lembut.

"Alham-du-lillah." Yudho meringis menahan nyeri di dadanya.

"Ayah...kenapa? Nanta panggilkan suster ya?" Reno beranjak dari duduknya, namun tangan Yudho menahannya.

Yudho menggelengkan kepala, ia hanya merasa sedikit nyeri saja.

"Nta..."

"Iya Yah?" Reno kembali duduk.

"Kamu...sudah punya calon?" Yudho menatap

"Maksud Ayah?"

"Kamu sudah...mapan, Nta. Waktunya menikah."

"Hmmm..." Mendengar ucapan ayahnya, entah kenapa yang terbayang olehnya adalah sosok Zura.

"Jadi...sudah ada?" Yudho lembali bertanya.

Reno menganggukkan kepalanya.

"Alhamdulillah...sebaiknya disege-

rakan, Nak. Bisa jadi...waktu ayah tidak lama lagi."

"Ayah...kita bicarakan ini nanti lagi ya kalau Ayah sudah sehat. Nanti insyaa Allah, orangnya akan Nanta kenalkan ke ayah."

Yudho mengangguk senang.

Tok! Tok! Tok! Ckrek! Pintu kamar dibuka dari luar. Seorang wanita dengan tampilan anggun berjalan melenggak-lenggok mendekati Reno.

"Pagi, Om! Apa kabarnya?" Wanita itu menjulurkan tangannya untuk menjabat Yudho.

"Perkenalkan Om, saya Sitta. Calon istrinya Reno."

"Jadi....ini calonmu, Nak?"

***