"Ooh...jadi Mas Reno batal balik ke resto?" Sherin bertanya sambil menyendok makanannya.
"Iya. Dokumennya dititipin ke Sitta aja. Lagian itu urusan dia."
"Sitta itu siapa sih, Mas? Pacar Mas Reno? Jangan pacaran, Mas. Dosa! Lagian masa milih pasangan yang model dedemit gitu? Aku nggak setuju ah!" Sherin menunjukkan wajah tidak-sukanya.
"Apaan sih? Dia bukan siapa-siapa. Udah ah, kalo lagi makan jangan ngomongin dia. Nanti rasanya hambar." Reno kembali menyendok hidangan di piringnya.
Sherin mengangguk-angguk mengiyakan.
"Jadi gimana, Mas? Enak?" Sherin menanyakan pada Reno yang saat ini terlihat asyik menyantap makanannya.
Sementara Reno yang sedang sibuk mengunyah, mengangguk-angguk dan memberi jempol dengan tangan kanannya.
"Tapi masih kalah enak pastinya sama masakan Mas Reno." Zura menimpali.
"Aku lebih suka masakan rumahan seperti ini. Kalian hebat! Udah pantas jadi ibu rumah tangga." Sekali lagi Reno mengacungkan jempol tangan kanannya.
"Yang masak Zura kok, Mas. Dia 'kan pinter masak. Sherin cuma bantu nyiapin bahan-bahan aja. Zura tuh yang udah pantes jadi ibu RT." Sherin melirik ke arah Zura yang duduk di sampingnya.
"Apaan sih, Sher?" Zura terlihat malu-malu lalu menyikut lengan Sherin.
Reno telah menyelesaikan makanannya, lalu meneguk sedikit air putih di hadapannya.
"Hmmm...jadi udah siap nih jadi ibu rumah tangga? Jadi...kapan mau nikah?" Reno membersihkan mulutnya dengan tisu lalu memandang tajam ke arah Zura. Zura menundukkan pandangannya untuk menghindari tatapan maut itu.
"Siapa yang mau nikah?" Zura bertanya dengan kikuk.
"Kamu!" Reno menjawab tegas.
Sherin memperhatikan tatapan Reno pada Zura. Sebentar pandangannya beralih ke Zura, sebentar ke Reno. Dia mengenali arti dari tatapan sang sepupu itu.
"Nggak, kok. Belum ada calon juga." Zura mengambil gelas berisi air putih di hadapannya.
"Udah ada, kok." Reno menjawab dengan santai.
"Siapa?" Zura tampak berpikir sejenak lalu meneguk air minumnya.
"Aku!"
"Uhuk...uhuk...uhuk..."
Tersedak season 2! Lagi-lagi pria di hadapannya ini bicara seenaknya saja. Entah apa maksudnya. Sekali lagi, jantung Zura mencelat dari tempatnya. Lama-lama ia bisa mengalami yang namanya gagal jantung kalau terus-menerus digoda oleh pria ini.
"Ya ampuuunn Ra, kamu nggak apa-apa? Mas Reno iiih...iseng banget sih! Kasian nih anak orang." Sherin mengelus-elus punggung belakang Zura.
Sementara Zura masih berusaha menenangkan napasnya yang tadi megap-megap. Ia merasa seperti baru saja tenggelam. Tenggelam dalam lautan gombal Reno.
Reno menyetel wajah seriusnya saat ini.
"Aku serius, kok."
"Hah?" Sherin dan Zura sama-sama terperangah. Bisa dipastikan saat ini wajah Zura sudah semerah apel Royal Gala. Dan sepertinya ia butuh lebih banyak asupan oksigen, sel-sel di dalam tubuhnya seperti berhenti bekerja, darahnya berhenti mengalir.
"Mas Reno, beneran serius?" Sherin memajukan wajahnya ke arah Reno, mencari kejujuran di wajah sepupunya itu.
Reno hanya mengangguk sekali.
"Ya udah, aku pamit dulu ya. Masih ada kerjaan." Reno bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah ruang TV.
"Makasih ya makan malamnya. Assalamu'alaikum."
---
Zura terbaring di atas ranjang menatap langit-langit apartemennya. Ia baru saja terbangun setelah tadi sempat tertidur sejam. Tidurnya pun tak nyenyak. Pukul 01.30 dini hari, netranya enggan menutup lagi. Ia gelisah, galau, gundah gulana, masih memikirkan ucapan Reno tadi. Entah apa maksudnya pria itu. Apa ini yang namanya lamaran? Hah? Dilamar?!
Zura langsung bangkit duduk lalu membangunkan Sherin yang sudah terlelap di sampingnya. Ia menggoncang-goncang tubuh Sherin.
"Sher...sher..bangun! Bangun, Sher!" Sherin masih terlihat malas membuka matanya.
Zura terlihat memikirkan sesuatu lalu beringsut ke bawah menuju kaki Sherin, ia menggelitik titik sensitif Sherin yaitu telapak kakinya. Sherin yang merasa kegelian lantas terbangun.
"Zuraaaa....ya ampuuun! Apaan sih? Geli tau!" Sherin menguap menahan kantuk.
"Sher...gue belum bisa tidur nih. Galau berat!" Zura menarik-narik tangan Sherin sambil memelas.
"Apaan siiih? Kenapa?" Sherin menggaruk-garuk rambut panjangnya yang sudah terlihat acak-acakan.
"Kepikiran ucapan Mas Reno tadi." Zura memainkan jari-jemarinya yang teruntai.
"Ya ampuuun, gue pikir ada bencana alam...diomongin besok pagi aja ya? Ngantuk berat nih." Sekali lagi Sherin menguap.
"Nggak bisa, Sher. Mata gue nggak bisa merem, kepikiran. Galau nih!"
Akhirnya dengan sangat terpaksa Sherin meladeni permintaan Zura. Kasihan juga dengan sahabatnya yang sedang tersiksa batin itu, gara-gara ulah sepupunya tadi. Melamar anak orang tidak pada tempatnya.
"Sepupu lo itu serius sama gue? Tapi kan gue sama dia baru..." Zura terlihat menghitung dengan jari tangannya.
"Empat kali! Kita baru empat kali ketemu lho. Kenalan juga baru sehari. Masa iya dia cinta kilat sama gue?"
Mendengar penuturan Zura, Sherin berpikir sejenak. Benar juga kata sahabatnya itu, masa iya sepupunya ini cinta kilat macam layanan ekspedisi yang sehari sampai?
"Iya juga sih, Sher. Gue juga sebenernya kaget denger omongannya tadi. Gue pikir tadi dia iseng gangguin lo aja. Emang kadang orangnya iseng sih. Tapi pas gue liat mukanya..." Sherin menghentikan kalimatnya.
"Kenapa mukanya?" Zura mencecar, ia semakin penasaran.
"Kok kayaknya dia serius emang suka sama lo ya?"
"Hah? Yakin lo? Tau dari mana?" Zura memajukan tubuhnya mendekati Sherin yang duduk di sampingnya.
"Dia 'kan sepupu gue, Ra. Ya gue...taulah! Tapi Ra...sepengetahuan gue, dia itu seumur hidup cuma suka sama satu cewek. Malah udah niat ngelamar tuh cewek...eh, nggak taunya malah ditinggal nikah sama cewek itu. Yaa...namanya belum jodoh. Nah, setelah drama patah hati itu, gue belum pernah denger dia suka sama cewek lain."
"Hmmm...jangan-jangan...gue cuma pelarian, Sher." Zura tertunduk lemas. Ada sedikit rasa cemburu terselip di sudut hatinya mendengar cerita Sherin.
"Nggak mungkinlah. Kalo lo cuma pelarian, ngapain juga sampe diajak nikah?"
"Entahlah! Aaahhh...gue bingung!" Zura mengacak-acak rambutnya yang bergelombang.
"Ya udah, Ra biar nggak bingung, tahajud yuk! Obat buat nyembuhin galau." Sherin tersenyum lebar.
Zura menyetujui ajakan Sherin. Kedua sahabat itu akhirnya melaksanakan sholat tahajud bersama, dilanjutkan dengan tilawah bersama.
Mata Zura terpekur pada ayat yang sedang dibacanya saat ini:
Dan orang-orang kafir berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) tanda (mukjizat) dari Tuhannya?" Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang bertobat kepada-Nya,
(Yaitu) orang-orang yang beriman serta hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS: Ar-Ra'd: 27-28)
Perasaannya seketika menjadi adem. Kegalauannya perlahan menghilang. Ya, ia harus belajar menyerahkan segala urusannya pada Sang Maha Pemilik Takdir. Sherin kembali melanjutkan tilawahnya.
Setelah menyelesaikan tilawah 1 juz, Sherin dan Zura melanjutkan obrolan, tanggung jika kembali ke pembaringan lagi. Sebentar lagi akan masuk waktu subuh. Kantuk yang tadi menerpa keduanya, telah menguap.
Selesai melaksanakan sholat subuh, keduanya memutuskan untuk nonton bareng. Kebetulan Zura dan Sherin sama-sama penyuka film kartun. Mereka sama-sama memutuskan untuk menonton film keluaran terbaru dari Disney, Zootopia. Film tentang seekor kelinci yang menjadi polisi dan bekerja sama dengan seekor rubah yang tadinya licik untuk memecahkan kasus pelik di dunia binatang. Kebetulan Sherin punya file blu-ray film itu. Sherin menyambungkan USB flashdisk ke TV.
Film baru diputar setengahnya, namun keduanya sama-sama ketiduran di atas sofa.
Ting tong! Ting tong! Dua kali bel pintu berbunyi. Sherin terbangun mendengar suara bel itu. Sementara Zura masih tertidur nyenyak dengan posisi meringkuk di sofa. Akhirnya Sherin melangkahkan kaki dengan malas menuju pintu dengan mata setengah terbuka.
Ckrek! Sherin menguap sembari membuka pintu. Tangan kirinya mengucek-ngucek matanya yang masih dilanda kantuk. Lalu dilihatnya seorang pria berperawakan tinggi gagah dengan wajah berhias kacamata sedang berdiri diluar sana. Pria itu menenteng sebuah ransel dan koper berukuran 24 inchi.
"Cari siapa ya, Mas?" Sherin yang masih dalam proses mengumpulkan nyawa memilin-milin rambut panjangnya. Lalu ketika nyawanya sudah terkumpul 100%, ia terkesiap. Pikirannya baru saja menyadari kalau saat ini ia sedang mengenakan piyama lengan pendek tanpa jilbab.
"Aaaaaaaa..." Sherin berteriak histeris lalu membanting pintu. Ia segera berlari panik mencari-cari jilbab instannya.
Sedangkan sang pria yang sedang berada di luar sana hanya berdiri mematung.
***
"Mas Digo, kok nggak bilang-bilang sih pulang pagi ini?" Zura mengaduk-aduk air di dalam cangkir. Ia sedang membuatkan teh hangat untuk kakaknya yang baru saja tiba dari Surabaya.
"Biasanya juga nggak bilang-bilang." Indigo menjawab santai.
Zura meletakkan cangkir di meja tamu. Digo yang sedang duduk di sofa langsung mengambil cangkir tersebut. Ia menyeruput teh itu perlahan.
"Tapi 'kan lagi ada Sherin nginep di sini. Perasaan Ara udah ngabarin di whatsapp deh kemarin sore. Kasian Sherin jadi buru-buru pulang tadi karena malu." Zura menghela napas mengingat kejadian tadi pagi.
"HP Mas rusak, kemaren kelindas motor. Lagian salah temenmu juga. Bukain pintu nggak pake jilbab dulu." Digo kembali meletakkan cangkir di atas meja lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa.
"Kelindas motor? Kok bisa?" Zura mengernyitkan dahi.
"Panjang ceritanya. Mas mau istirahat dulu." Digo mengambil bantalan di sofa untuk mengganjal kepalanya. Ia memejamkan matanya. Terlihat wajahnya yang penuh penat.
"Lho, Mas Digo nggak kerja?"
Digo menggelengkan kepalanya sebelum menjawab singkat.
"Cuti."
"Ya udah, Ara mau siap-siap dulu deh. Mau ke perpus LIPI. Kalo mau sarapan, Ara udah bikinin sandwich ya di meja."
Zura segera bangkit, mengambil handuk dan baju ganti di kamar lalu bergegas ke kamar mandi.
Selesai mandi, Zura kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Setelah rapi dengan dandanannya yang natural, Zura keluar kamar dengan menggemblok tas ranselnya dan menjinjing tas laptopnya. Hari ini ia mengenakan pashmina instant berwarna nude, kemeja broken-white yang dimasukkan, dibalut dengan jaket denim kesayangannya, dengan bawahan rok maxi berwarna senada dengan pashminanya.
Dilihatnya kakaknya sedang terlelap tidur di atas sofa. Ia sungkan membangunkan kakaknya hanya untuk berpamitan, akhirnya Zura memutuskan langsung berangkat, menutup pintu apartemennya.
Sesampainya di basement, ia berjalan cepat menuju mobil sedannya. Saat menyalakan mesin mobil, ia melihat jarum indikator bensin berada di samping huruf E. Ia menepuk dahinya, lupa mengisi bahan bakar dulu kemarin. Kalau sekarang ia nekat menggunakan mobilnya, bisa-bisa mogok di tengah jalan sebelum sampai di SPBU. Secara hari ini masih weekdays, Jakarta di pagi hari pasti selalu dihiasi kemacetan.
Akhirnya Zura keluar dari mobil dengan tas-tas bawaannya, lalu melangkah menjauhi mobilnya. Tangan kanannya yang lengang mengambil ponsel dari dalam kantong jaketnya. Ia memutuskan memesan ojek online. Zura membuka aplikasi untuk pemesanan sambil berjalan. Matanya fokus ke arah ponsel, jari-jarinya sibuk menutul touch screen.
Brukkk! Ia menabrak seseorang. Ponsel terjatuh dari tangannya. Untungnya orang yang bertabrakan dengannya itu cekatan menangkap ponselnya. Kalau tidak, bisa-bisa ponselnya senasib dengan kakaknya.
Ditengadahkannya kepala untuk melihat sosok yang ada di hadapannya.
"Eh, M...Mas Reno? Maaf Mas, Zura nggak liat tadi." Zura menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya untuk meminta maaf.
Sementara wajah Reno teralihkan ke arah layar ponsel Zura yang masih menyala.
"Kamu lagi pesen ojek online?"
"Iya, Mas." Zura mengangguk.
"Mobil kamu?" Reno mengangkat sebelah alisnya.
"Itu...bensinnya mau abis. Kemarin lupa ngisi." Zura menjawab dengan salah tingkah. Pikirannya masih terngiang dengan ucapan Reno semalam. Wajahnya tiba-tiba merona.
"Hmmm..." Reno menyeringai tipis.
Ia melanjutkan langkahnya berjalan memunggungi Zura yang masih terpekur.
"Eh? M...Mas Reno...!" Zura menoleh ke arah Reno yang sudah berjalan di belakangnya. Namun Reno yang masih menggenggam ponsel Zura, tetap berjalan tak acuh. Mau tak mau Zura berlari kecil untuk menyusulnya.
"Mas...Mas Reno!" Akhirnya Zura berhasil mendahului langkah Reno. Sekarang ia berhadapan dengan Reno.
Reno menghentikan langkahnya lalu mengangkat salah satu alisnya.
"Mas...anu...itu..." Zura menunjuk ke arah ponselnya yang masih dipegang oleh Reno. Reno mengikuti arah yang ditunjuk oleh jari Zura. Lalu dengan santainya Reno memasukkan ponsel Zura ke dalam saku kiri celana denimnya.
"Lhooo..." Zura tercengang melihat sikap Reno.
"Ayo ikut!" Reno kembali meneruskan langkahnya.
Zura yang masih tidak mengerti dengan sikap Reno terpaksa mengikuti Reno dari belakang. Nasib ponselnya ada di tangan Reno. Hingga akhirnya mereka tiba di depan mobil Kijang lama milik Reno.
Reno membuka pintu tengah lalu memberi instruksi pada Zura.
"Taruh bawaan kamu di sini."
Zura kembali tercengang. Ini maksudnya apa ya?
"Lho, emang kenapa ditaruh disitu Mas?"
Reno sedang malas berdebat, bak orang sedang sariawan, ia hanya membisu. Sebenarnya ia juga bingung bagaimana harus berhadapan dengan Zura selepas kejadian tadi malam. Bisa-bisanya ia terbawa permainannya sendiri. Tapi ia tak punya pilihan lain selain melanjutkan jalan cerita yang sudah dirancangnya.
Reno segera menarik ransel yang berada di punggung Zura dan tas laptop yang dijinjingnya lalu meletakkan kedua tas tersebut di jok tengah. Setelah menutup pintu, ia mempersilahkan Zura untuk masuk dari pintu kiri depan.
"Aku yang anter kamu! Masuk!"
"Mas Reno mau nganterin saya? Nggak usah deh, Mas...makasih." Zura melambai-lambaikan tangannya tanda menolak.
"Masuk!" Reno setengah memaksa.
"Beneran nggak usah, Mas. Saya nggak mau ngerepotin. Soalnya saya mau ke perpus LIPI di Gatsu, jauh." Zura memelas memohon.
"Mau ke Ujung Kulon juga aku anter." Reno bergeming di posisinya.
"Tapi Mas..."
"Naik atau HP kamu...aku tahan."
Zura yang diancam seperti itu tidak punya pilihan lain. Akhirnya ia menuruti perintah Reno, ia masuk ke dalam mobil. Reno berjalan memutar masuk ke sisi depan kanan mobil. Reno menyalakan mobil lalu melaju keluar dari basement.
Di perjalanan, keduanya saling diam dalam hening. Zura menatap pemandangan di jendela sebelah kirinya, memalingkan wajah dari Reno. Ia sedang bingung menghadapi Reno. Kemarin sikapnya manis bak pangerannya Cinderella, sekarang dingin bak monster salju di Frozen.
Sementara Reno sebentar-sebentar melirik ke arah Zura. Ia tahu saat ini Zura sedang kesal dengannya.
Tak tahan dengan kondisi yang semakin tegang, Reno berpikir sejenak. Lalu di kepalanya muncul ide untuk memulai percakapan.
"Ehm...nih HP kamu." Reno menyerahkan ponsel ke arah Zura dengan pandangan tetap fokus ke jalan.
Zura menoleh ke arah ponselnya lalu menerimanya.
"Makasih." Zura menjawab dengan datar. Ia sedang kesal. Kesal rasanya diperlakukan seperti ini oleh pria yang mulai menyemai rasa di hatinya. Ini namanya pemaksaan!
"Kamu marah?"
Zura hanya diam saja. Rasanya enggan meladeni pria yang sedang menyetir di sebelahnya ini.
"Zura...." Reno memanggil sekali lagi. Berharap kali ini Zura mau menjawabnya.
"Mas, saya turun di sini aja. Nanti lanjut naik taksi." Zura menunjuk ke arah trotoar jalan. Ia masih kesal mode-on.
"Nggak! Aku sudah bilang akan anterin kamu."
"Tapi..."
"Zura...please..." Akhirnya Reno melembutkan suaranya.
Zura menghela napasnya lalu memejamkan matanya sesaat.
"Terserah deh."
Perjalanan pun berlanjut. Reno menyetir mobilnya ke arah Jl. Pakubuwono.
"Mas...kok belok kesini?" Zura bertanya-tanya sambil memperhatikan rute yang dilewati oleh Reno.
"Aku mau mampir sebentar." Reno menjawab santai.
"Kemana?"
Reno tidak menjawab, ia hanya tersenyum lebar.
Batin Zura mulai tak tenang. Tiba-tiba ia merasa was-was. Segala kemungkinan buruk berkecamuk di pikirannya. Astaghfirullah! Ia mengingatkan dirinya kembali untuk tidak berprasangka buruk terhadap pria di sampingnya ini. Tapi bagaimana tidak? Ia baru mengenal seorang Reno selama 2 hari.
"Udah, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Aku pria baik-baik." Reno tersenyum kembali.
Kok rasa-rasanya si Mas Ganteng di sebelahnya ini bakat jadi paranormal ya? Entah sudah keberapa kalinya Reno membaca pikirannya dengan tepat.
Mobil Reno memasuki kawasan apartemen mewah. Ia memarkirkan mobilnya tepat di sebelah mobil mewah berwarna hitam dengan lambang kuda hitam di tengah perisai yang bermotifkan bendera Jerman.
Reno melepas seatbeltnya mengajak Zura untuk turun dari mobil. Tak lupa, ia menenteng tas-tas bawaan Zura. Langkahnya hanya bergeser sedikit ke mobil mewah di sebelahnya. Setelah dilihatnya Zura turun dari mobil Kijang, ia mengunci pintu mobil itu. Lalu mengambil sebuah kunci lagi dari kantongnya dan menekan tombol alarm.
Kunci mobil Porsche Macan hitam itu terbuka. Reno menaruh bawaannya ke dalam mobil lalu mempersilahkan Zura turut masuk ke dalamnya. Alih-alih menuruti perintah Reno, Zura bergeming di posisinya dengan tangan menutup mulutnya yang sedang menganga karena terkejut.
"Ini mobil siapa, Mas?" Tanyanya masih dengan wajah tercengang.
"Mobilku."
Ternyata Reno adalah pemilik mobil mewah itu.
"Ayo masuk! Katanya mau ke Gatsu." Reno mendesak Zura sambil melirik jam digital di tangannya. Sebentar lagi puncaknya jam macet di Jakarta.
"Anu...Mas...pake mobil Kijangnya aja deh." Zura menunjuk ke arah mobil butut Reno. Bukannya ia tidak mau naik mobil mewah, kapan lagi kesempatannya mencoba mobil harga milyaran itu? Tapi masalahnya, sekarang tujuannya hanya ke perpustakaan. Apa komentar orang-orang di sekitaran nantinya melihat pengunjung perpustakaan yang hanya seorang mahasiswi menaiki mobil mewah bersama seorang Mas Ganteng?
"Calon istriku, setelah mengantar kamu, aku ada urusan lain. Aku nggak bisa pake mobil yang itu." Reno berbohong agar Zura tidak lagi menolak. Sebenarnya ada rasa tidak tega di sudut hatinya membiarkan Zura menaiki mobil bututnya itu. Ada dorongan lain di hatinya yang menggerakkannya untuk memberi kenyamanan pada Zura.
Calon istri! Zura fokus pada kedua kata-kata mahadahsyat itu. Pipinya memerah seketika. Tapi ia tahu, ia tidak boleh lemah. Dia harus mencari tahu dulu siapa seorang Reno sebenarnya dan apa tujuan sebenarnya dari pria di seberangnya ini.
"Calon istri? Memangnya saya sudah mengiyakan?" Zura memberanikan diri menantang Reno . Kini kedua tangannya bersedekap.
"Hmmm...jadi menolak?" Reno balas menantang.
"Kalo saya menolak gimana?"
"Kalo nggak mau jadi calon istri...ya udah." Reno masuk ke dalam mobil.
"Ya udah!" Zura turut masuk ke dalam mobil dengan wajah cemberut
"Ya udah. Jadi calon ibunya anak-anakku aja."
***