Chapter 12 - 12. Jealousy

"Apaan sih Mas? Pake dianterin sampe kesini segala." Zura memprotes tindakan Reno karena mengantar Zura hingga ke depan pintu masuk perpustakaan. Padahal sebenarnya ia cukup diturunkan di pinggir jalan depan gedung saja.

"Nggak apa-apa, sambil cuci mata. Kali aja ada yang berminat gantiin posisi kamu jadi calon istri." Reno terus saja menggodanya sejak di perjalanan dengan mobil mewahnya tadi.

Zura memalingkan wajah untuk menyembunyikan wajahnya yang sedang ditekuk.

"Azura?" Seorang pria bule berparas tampan dengan rambut kecoklatan yang tingginya hampir menyamai Reno menegurnya.

"Greg! Hai...assalamu'alaikum." Zura menangkupkan kedua tangannya di depan dada lalu agak membungkuk untuk memberi hormat.

"Wa'alaikum salam." Greg membalas dengan gerakan yang sama.

"Kayfa haluki, Azura?" Greg tersenyum manis. Greg adalah seorang pria bule berdarah Amerika yang tinggal di Indonesia. Nama panjangnya Gregory Smith. Umurnya 30 tahun saat ini. Zura bertemu dengan Greg saat pria tersebut menjadi dosen tamu di kampusnya.

Saat selesai mengajar di kelasnya, Zura mendapati pria itu sholat di mesjid kampusnya. Mendapati seorang pria yang berasal dari negeri Paman Sam menjadi seorang mu'alaf, mendorong rasa ingin tahu Zura terhadap pria itu.

Zura pun memberanikan diri mendekati Greg untuk bertanya-tanya.

Ternyata Greg baru 2 tahun menjadi mu'alaf, namun ibadah dan pengetahuannya tentang agama Islam yang baru saja dipeluknya, sungguh luar biasa. Membuat Zura malu terhadap dirinya sendiri yang terlahir beragama Islam, namun pengetahuannya tentang agamanya sendiri mungkin tidak sampai 5%.

Greg 'lah sosok yang menginspirasinya untuk hijrah dan berhijab. Zura sempat menaruh hati pada pria bule ini, namun sayangnya saat itu Greg sedang ta'aruf dengan seorang dosen muda di kampusnya.

"Bikhoir, alhamdulillah." Zura membalas tersenyum lebar. Pandangannya pun tertunduk. Sungguh ia tak berani menatap sosok yang sempat dikaguminya ini.

"Mau ke perpustakaan?" Greg bertanya dengan ramah.

"Yes, Greg! You too?"

"Yup. Wanna go together?"

Zura menganggukkan kepala dengan semangat.

"Ehm...ehm..." Seseorang yang sejenak terlupakan disana berdeham. Dia adalah Reno.

Zura lalu menoleh ke arah Reno di belakangnya. Ia baru sadar ternyata pria itu sedari tadi belum beranjak dari sana. Apa lagi maunya?

"Lupa sama calon suami?" Reno menyeringai lebar. Matanya melirik tajam ke arah Zura. Sedangkan Zura terkesiap.

"Azura, ini calon suami kamu? Congratulation!" Greg segera menjabat tangan Reno erat.

"Syukron. Ismii Reno."

Zura kaget mendengar Reno ikut-ikutan berbahasa Arab. Bisa juga ternyata. Apa memang pria ini serba bisa?

"Hai Reno, saya Gregory. But you can call me Greg."

"Ayo, Greg. Kita masuk." Zura mempersilahkan Greg berjalan terlebih dahulu, sengaja agar ia bisa meminta Reno untuk segera beranjak pergi dari tempat itu.

Jarang sekali ia memiliki kesempatan bertemu dengan Greg sebab pria itu punya segudang kesibukan sebagai aktivis maupun akademisi. Banyak sekali hal-hal yang ingin ia diskusikan dengan Greg.

"Nope, ladies first." Greg menggelengkan kepala lalu balik mempersilahkan Zura untuk berjalan terlebih dahulu. Akhirnya Zura melangkah memasuki gedung itu duluan. Harapnya agar Reno sadar diri segera meninggalkan tempat itu. Namun ternyata Reno bukan orang yang peka.

Reno justru berjalan persis di samping Zura, tidak memberi kesempatan pada Greg untuk berada di posisinya itu. Greg sekarang berjalan persis di belakang kedua sejoli ini.

Setelah berada di ruang perpustakaan, Zura sibuk mencari jurnal ilmiah yang akan menjadi sumber referensi tugas akhirnya. Tidak mengacuhkan keberadaan Reno yang sedari tadi mengekorinya.

Jengkel! Itulah yang dirasakan Zura saat ini. Ia menjadi tidak fokus dengan tujuan awalnya datang ke tempat ini. Apalagi berkat kehadiran Reno, Zura jadi kehilangan kesempatan untuk berdiskusi banyak hal tentang syari'at dengan Greg.

"Mas Reno, tadi bilangnya cuma nganterin aja terus mau ada urusan lain. Sana diurus urusannya!" Zura bicara berbisik dengan gerakan tangan mengusir.

"Hmmm...ngusir nih? Urusannya nggak jadi diurus!" Reno bersedekap sambil bersandar pada rak buku dibelakangnya.

"Kenapa nggak jadi diurus?" Zura mengernyit penasaran.

"Karena ada urusan lain yang lebih penting untuk diurus." Reno menjawab dengan santai.

"Urusan apa?" Zura menaikkan kedua alisnya untuk berpikir.

"Kamu."

Dukkk!

"Awww!"

Kalau saja saat ini Zura sedang meneguk minuman, bisa dipastikan akan terjadi 'Tersedak season 3'. Namun bukan itu yang terjadi saat ini, yang terdengar tadi adalah suara buku terjatuh. Ya, tumpukan buku di tangan Zura terjatuh dan menimpa kakinya. Yang menjadi masalah, yang duluan menimpa kakinya adalah buku ensiklopedia hard-cover setebal 500 halaman. Kebayang 'kan bagaimana rasanya buku setebal itu menimpa kaki yang hanya berbalut kaos kaki dan flat-shoes? Zura segera menunduk untuk mengelus bagian kakinya yang sakit.

"Kamu nggak apa-apa?" Reno ikut menunduk sembari membantu Zura mengumpulkan buku-buku yang tadi terjatuh.

"Ya apa-apalah. Namanya juga ditimpa buku." Zura meringis kesakitan.

"Baru juga ditimpa buku. Gimana kalo ditimpa aku?"

Deg! Duh...ya Robbi, sepertinya jantung Zura mengalami palpitasi. Sontak wajahnya kembali semerah tomat. Sepertinya selama ia berdekatan dengan pria ini, pipinya jadi memiliki kemampuan mimikri seperti bunglon.

Sementara Reno tersenyum kecil. Menggoda Zura sepertinya akan menjadi santapan lezatnya setiap hari. Tapi entah kenapa hatinya merasa senang tiap kali melihat rona-rona merah jambu muncul di pipi perempuan itu .

"Mas Renooo...bisa nggak sih berhenti bikin aku dag di dug gini?"

***

"Itu sih namanya cemburu, Ren!" Seru seorang pria bernama Reihan.

"Cemburu? Masa sih, Rei?" Reno mengernyitkan dahinya untuk berpikir.

Siang ini ia sedang berada di ruang kerjanya di kantor Mayala Group bersama Reihan, sahabat sekaligus salah satu investor di perusahaannya itu. Ia mengenal Reihan saat sama-sama sekolah di Sidney.

Sebelumnya Reno menceritakan dengan detail awal mula pertemuannya dengan Zura hingga pagi tadi saat mengantarnya ke perpustakaan.

Reno sedang berusaha memastikan perasaannya sendiri. Benarkah benih-benih rasa ketertarikan terhadap seorang Ara telah muncul di hati Reno?

Pasalnya saat melihat kehadiran pria bule bernama Greg tadi, ia merasa terancam dan muncul rasa tidak sudi saat melihat keakraban Greg dengan Zura.

Dan orang yang paling tepat untuk diajaknya konsultasi mengenai rasa yang tidak beres di hatinya ini adalah Reihan. Reihan adalah seorang penjahat kelamin. Entah berapa banyak wanita yang sudah berhasil ditaklukkan oleh pria yang perawakannya mirip dengan aktor Holywood Henry Cavill ini.

"Tapi bagus deh, Ren. Akhirnya lo bisa move-on juga dari...siapa tuh namanya?Mmmm..." Reihan terlihat berpikir keras.

"Ha...Violet!" Seru Reihan.

Reno hanya menyeringai tipis. Ia sendiri masih belum dapat memastikan perasaannya ini. Dua hari sepertinya proses yang terlalu singkat.

"Malah kalo gue liat gelagat lo nih.. kayaknya lo mulai falling in love, deh." Reihan memajukan tubuhnya menghadap Reno. Ia memastikan mimik orang yang sedang jatuh cinta memang terpampang dengan jelas di wajah sahabatnya itu.

"Nggaklah, Rei. Gue nggak boleh jatuh cinta sama dia." Reno menampik pernyataan Reihan. Ia menghela napas lalu bersandar di kursinya.

"Why?" Reihan mengernyitkan dahinya heran.

"Dia adiknya Violet."

***

Saat ini Reno sedang berada di Bandara Internasional Achmad Yani Semarang, duduk di terminal keberangkatan, menunggu panggilan untuk masuk ke pesawat.

Sudah tiga minggu sejak kebersamaan terakhir Reno dan Zura di perpustakaan. Tiga minggu yang lalu ia berangkat ke Semarang untuk membereskan masalah internal di cabang Mayala Resto yang berlokasi di Tembalang, yang mengakibatkan ia harus memecat beberapa orang karyawannya.

Dan hari ini Reno akan kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Biasanya saat bepergian Reno lebih memilih kereta sebagai sarana transportasinya, ia senang menikmati pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan. Terkadang memberinya inspirasi untuk berinovasi dengan masakan.

Tapi kali ini ia harus memilih menggunakan pesawat sebagai moda transportasi, ada hal penting yang mewajibkannya harus segera tiba di Jakarta.

Namun selama tiga minggu ini benaknya selalu dipenuhi bayangan seseorang, yang jika menyebut namanya saja bisa membuncahkan rasa rindu di dada. Reno sendiri bingung dengan perasaan yang sedang mampir di hatinya saat ini. Kenapa bisa seorang Zura begitu cepat mengisi kekosongan di hatinya?

Ia jadi memikirkan ucapan Reihan sahabatnya waktu itu. Apa memang iya yang namanya benih-benih cinta terhadap seorang Zura tumbuh kian subur di hatinya? Kenapa bisa secepat itu? Sepertinya ia tidak berusaha memupuk atau mengairi benih-benih itu. Seperti rumput liar, benih-benih cinta itu tumbuh sendirinya dengan liar.

Tadi malam ia baru saja menyadari tidak memiliki nomor ponsel gadis itu. Padahal mungkin dengan mendengar suaranya saja, perasaan resah di hatinya dapat terobati, dan mungkin juga menjadi obat tidurnya. Karena beberapa hari kemarin tidurnya diselimuti gelisah, angannya selalu terbayang akan sosok Zura. Dan benih-benih liar itu semakin tumbuh.

Akhirnya tadi malam Reno mencoba menanyakan perihal nomor ponsel  gadis itu kepada orang terdekat yang dikenalnya, yaitu sepupunya, Sherin.

Untung saja Sherin mendukung jika memang sepupunya ini berjodoh dengan sahabatnya, sehingga ia tidak segan-segan menginfokan nomor ponsel Zura.

Namun justru saat nomor sudah didapat, ia urung menghubungi Zura. Ada ego di sudut hatinya yang melarangnya. Ego yang muncul karena guratan sakit hati di masa lalu.

Tapi hari ini entah kenapa...terasa benih-benih di hatinya itu tumbuh semakin liar. Semakin sulit untuk dikendalikan. Sang ego pun sepertinya kalah. Tidak bisa tidak, ia harus segera menghubungi Zura! Kangen ini sudah tak terbendung.

Sementara di tempat lain, seorang Zura sedang termenung di kantin kampus. Pikirannya sedari tadi tidak fokus, mengabaikan keberadaan sang laptop yang menyala di hadapannya. Satu huruf pun sedari tadi belum ia ketik, pikirannya mengawang jauh dari raganya.

"Raaa...!" Sherin menyenggol tangan Zura yang sedang menopang dagu di atas meja sehingga dagunya terjatuh.

"Hmmm..." Zura hanya menggumam tidak jelas.

"Lo kenapa sih? Sakit?" Telapak tangan Sherin meraba dahi Zura. Dirasakannya suhu badan sahabatnya itu masih dalam batas normal.

"Nggak panas kok." Sherin menjawab sendiri pertanyaan yang dilontarkannya barusan.

"Gue nggak apa-apa." Zura menyahut malas.

"Ngelamun aja sih dari tadi. Mau gue beliin air mineral biar fokus?"

"Iklan banget sih lo, Sher."

"Ya abisnya...gue ajak lo ngomong dari tadi juga diem aja. Gue berasa lagi curhat sama tembok." Sherin melengos.

"Sorry, Sher. Lagi nggak semangat nih. Apa gue pulang aja ya?" Zura mematikan laptop lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Hmmm...lo masih mikirin Mas Reno ya?" Tebak Sherin.

"Nggak tau deh." Zura memainkan jari-jemarinya di atas meja.

"Ckckck...dahsyat juga ya Mas Reno bisa bikin lo sampe klepek-klepek begini." Sherin berdecak kagum akan kehebatan sepupunya itu yang telah berhasil menaklukkan sahabatnya yang memang terkenal cuek di kalangan cowok-cowok kampus.

"Sepupu lo tega! Abis bikin anak orang baper, malah tiga minggu ngilang nggak ada kabarnya." Zura memanyunkan mulutnya.

Dan Sherin pun tertawa melihat tingkah sahabatnya.

"Lo beneran suka ya sama Mas Reno?" Sherin menatap Zura tajam. Ia ingin memastikan perasaan sahabatnya ini.

Zura mendesah napas dengan berat. Akhirnya ia mengangkat kedua bahunya.

"Hmmm...jadi beneran suka." Sherin mencibir.

"Ahhh...nggak tau ah!" Zura menjadi jengkel. Bukan jengkel terhadap Sherin, namun pada dirinya sendiri.

Ia sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan Sherin. Apa memang benar ia menyukai seorang Reno? Tapi ia tidak bisa membohongi segala rasa yang muncul di hatinya saat ini.

Ada lonjakan rasa bahagia ketika bertemu dengan Reno. Ada serangan rasa nyeri saat melihat Reno dekat dengan perempuan lain. Ada tumpukan rasa malu ketika Reno menggodanya. Ada buncahan rasa rindu ketika Reno tidak menemuinya seperti sekarang. Benar 'kan ini yang namanya cinta?

Tapi bagaimana jika cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Karena Reno sendiri tidak pernah mengungkapkan perasaannya dengan jelas. Ia hanya terus-menerus menggoda Zura. Bisa jadi ia juga memperlakukan perempuan lain seperti itu. Contohnya Sitta, bisa jadi 'kan dia salah satu korban gombalan seorang Reno?

Entahlah...sepertinya pikirannya terlalu malas untuk memproses. Otaknya sudah terkuras untuk mengerjakan tugas akhir.

Ditengah kegalauan yang sedang melanda, terlihat ponsel Zura bergetar di atas meja. Ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal.

"Telepon tuh, Ra. Angkat!" Sherin memberi isyarat dengan matanya yang masih terpaku pada nomor panggilan yang tertera di layar ponsel Zura.

"Nomor siapa nih?" Zura bertanya pada dirinya sendiri. Namun segera ia angkat panggilan itu. Ia mendekatkan ponsel ke telinga kanan.

"Halo...assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumussalam." Terdengar suara membalas salam dari seberang sana. Zura hapal betul dengan suara itu.

"Ra, kamu masih di kampus?" Suara itu bertanya.

"Iya Mas, bentar lagi pulang kok. Ini nelpon pake nomor siapa?"

"Ini nomor baru Mas. Simcard yang lama ternyata rusak. Disimpan ya. Nanti mungkin Mas pulang agak telat."

"Oooh...oke Mas."

"Hati-hati ya! Assalamu'alaikum."

"Mas juga hati-hati. Wa'alaikumussalam." Zura menutup panggilan.

"Mas Digo yang nelpon, pake nomor baru." Zura menginfokan pada Sherin yang sedari tadi penasaran. Sherin menganggukkan kepala.

Sherin pikir tadi sepupunya itu yang menghubungi, pantas saja nomornya berbeda.

Tak lama ponsel Zura kembali bergetar, kembali terlihat nomor asing tertera di layar. Siapa lagi kali ini?

"Halo...Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Suara dari seberang menjawab. Ia mengenal suara itu, suara yang selama beberapa minggu ini dirindukannya, tapi ia tidak yakin.

"Maaf, siapa ya?"

"Calon suami."

Deg! Ternyata benar pemilik suara itu adalah Reno. Tapi dari mana ia mengetahui nomor Zura? Sejenak Zura memikirkan sesuatu, lalu melirik tajam ke arah Sherin. Sedangkan Sherin yang mengerti arti lirikan maut sahabatnya itu hanya mengisyaratkan 'maaf' dengan tangannya.

"Ehm...calon suami yang mana?" Terpikir oleh Zura untuk menjahili Reno.

"Emang si Mbak-nya punya berapa calon suami?"

"Perasaan sih nggak punya."

"Hmmm...jadi gitu. Omonganku yang waktu itu nggak dianggap ya...tega."

"Omongan yang mana? Memang belum ada yang melamar kok." Zura balas menantang.

"Okey, tell me when and where!" Reno berkata tegas. Nantangin nih? So be it!

"Maksudnya?"

"Kapan mau aku datang melamar ke orangtua kamu? Kasih tau alamatnya."

"Emmm..." Zura lalu tertunduk diam. Sherin yang melihat raut wajah Zura mendadak sendu bertanya-tanya dalam hati.

"Kok diam?" Reno menyadari suasana yang tiba-tiba hening.

"Zura sudah yatim piatu, Mas."

Gantian Reno yang mendadak hening. Semua tanya bermunculan dalam gemingnya. Apa yang sudah terjadi pada keluarga mereka sebenarnya? Kenapa sekarang Zura dan kakaknya tinggal di apartemen? Bagaimana dengan kediaman mereka dulu? Begitu banyak cerita dan masa yang ia lewatkan. Perlahan ia akan mencoba mencari tahu segalanya.

"Mas...?"

"Ehm...iya...maaf ya, aku belum tahu. Ya sudah, kita bicarakan ini nanti lagi ya. Pesawatnya mau boarding."

"Mas mau naik pesawat? Kemana?"

"Iya...mau balik ke Jakarta, mau ketemu kamu." Reno mengulas senyum di seberang sana. Sementara Zura menggigiti bibir bawahnya. Hatinya saat ini sedang melonjak senang.

"Ck...please deh, Mas. Terus ada apa telpon Zura?"

"Lagi kangen berat sama kamu!"

***