Chapter 13 - 13. Tafakur

Reno berjalan menyusuri panjangnya koridor. Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah kamar perawatan VIP. Ini keempat kalinya ia mengunjungi yang namanya rumah sakit.

Yang pertama saat dulu ia mengetahui ibunya yang ternyata dirawat karena kanker.

Yang kedua saat Tante Danish operasi usus buntu di Sidney.

Yang ketiga saat ayahnya terkena serangan jantung 5 bulan yang lalu, dan saat ini yang keempat karena kondisi ayahnya yang dikabarkan memburuk.

Setelah Yudho ayahnya, dirawat 5 bulan yang lalu, Reno mengambil alih perusahaan ayahnya. Ia menggabungkan Mayala Resto dengan perusahaan tekstil milik ayahnya itu menjadi di bawah naungan Mayala Group.

Menilik kesibukannya sejak itu, ia tidak memiliki waktu untuk merawat ayahnya. Untung saja Tante Raras, adik ayahnya yang juga seorang janda, bersedia dengan sukarela merawat kakak satu-satunya itu. Dan Reno bersyukur tiga sepupunya, anak-anak dari Tante Raras tidak berkeberatan akan hal itu.

Reno memasuki kamar rawat inap ayahnya. Lagi-lagi, ia harus dihadapkan dengan pemandangan yang menyesakkan dadanya. Lagi-lagi, ia harus menyaksikan orangtuanya terbaring lemah di atas brankar.

Aroma obat-obatan dan antiseptik menguar dari sekeliling ruangan, memicu sakit di kepalanya. Ia benci dengan aroma yang menusuk indra penciumannya ini. Aroma yang mengingatkannya akan hari dimana ibunya menutup mata untuk selamanya. Reno mengeluarkan masker yang sudah dipersiapkannya sejak tadi. Ia segera mengalungkan benda itu di sekeliling kepalanya.

"Reno?" Reno berbalik menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

"Tante Raras..." Reno segera menghampiri wanita paruh baya itu kemudian mencium punggung tangan kanannya takzim.

"Kapan sampe?" Raras yang terlihat menenteng plastik berisi panganan kue itu bergerak ke meja yang terletak di depan sofa. Ia meletakkan plastik itu disana lalu beringsut untuk duduk di sofa. Reno ikut duduk di sebelahnya.

"Tadi sore, Tante. Dari bandara langsung kesini."

"Lho...koper kamu mana?" Raras mengedar pandangan ke sekeliling kamar lalu kembali menata panganan yang tadi dibelinya di kantin rumah sakit.

"Tadi di bandara dijemput sama Reihan terus dianter kesini, jadi sekalian minta tolong titip barang-barang di rumahnya dulu."

Raras mengangguk-anggukkan kepala.

"Kamu laper 'kan? Pasti belum makan malam. Di makan dulu nih, lumayan buat ganjel perut. Walaupun nggak seenak buatanmu." Raras mengarahkan piring berisi panganan itu ke hadapan Reno.

"Terima kasih, Tante. Tapi Reno belum laper kok. Buat Tante aja, Tante lebih butuh asupan." Reno menolak dengan halus.

Sebenarnya perutnya memang sedang keroncongan, suguhan risoles dan pastel yang tertata di atas piring dihiasi dengan tumpukan cabe rawit menggugah liurnya, Hanya saja jika ia harus menyantap suguhan itu, artinya ia harus melepas maskernya. Dan jika ia melepas maskernya, artinya aroma-aroma memabukkan itu akan terhirup lagi olehnya.

"Jadi...gimana kondisi ayah, Tante?" Reno menyatukan kedua tangannya di atas pangkuan. Pandangannya tertuju ke arah brankar. Pemandangan yang sama seperti yang dialaminya dulu saat melihat ibunya yang tidak sadarkan diri.

Raras menghela napasnya sebelum menjawab.

"Kata dokter, untuk sementara masih bisa dibantu dengan obat-obatan selama masa observasi. Jika memang diperlukan, harus segera operasi untuk memasang ring di jantungnya. Banyak-banyak berdo'a ya, Ren." Raras mengusap-usap punggung belakang keponakannya yang saat ini sedang tertunduk lemas.

"Tante, terima kasih banyak untuk bantuannya. Kalau nggak ada Tante, mungkin..." Tanpa disadarinya, setitik air menetes dari sudut matanya.

Raras yang melihat bulir-bulir mulai mengalir di mata Reno, segera memeluknya.

"Sssttt...udah, Ren. Ayahmu itu kangmas-nya Tante. Buat Tante, dia pengganti MbahKung-Mu. Ayahmu juga dulu yang bekerja keras untuk menyekolahkan Tante. Sudah sepantasnya Tante membalas segala budi baiknya." Raras mencoba menenangkan Reno yang mulai terisak.

Tiba-tiba ingatannya terngiang kejadian 9 tahun yang lalu:

"Jadi cowok kok cengeng! Cemen!"

"Heiii, semar mendem! Lo ngerti apa?"

"Heiii serabi oncom! Lo lupa kalo kita juga udah nggak punya Mama?"

Potongan percakapan waktu itu terus berputar-putar di kepalanya.

Zura kecil benar, ia tidak boleh cengeng. Ia beruntung masih memiliki ayahnya. Sedangkan Zura dan Violet? Ternyata mereka kini menyandang status yatim piatu, berita yang baru didapatnya tadi siang saat menelepon Zura.

Seorang Reno harus belajar caranya bersyukur. Begitu banyak nikmat Allah yang ia dapatkan, tapi terlalu sering ia kufur. Ia perlu bertafakur lalu bertasyakur.

Segera dihapus air mata yang membasahi pipinya. Diingatnya ia belum melaksanakan sholat Isya. Tiba-tiba jiwanya merindukan siraman kalbu dari Sang Illahi. Ia segera pamit kepada Raras untuk melangkah ke bangunan masjid di rumah sakit.

Setibanya di masjid, Reno pun melaksanakan sholat Isya dengan khusyuk dan tuma'ninah. Ia mengingat sebuah hadits yang isinya:

"Jika Engkau hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al-Qur'an yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tuma'ninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tuma'ninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud. Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu"  (HR Bukhari dan Muslim ).

Kali ini Reno benar-benar mempraktekkan isi hadits tersebut.

Ia tak mau sholatnya sia-sia. Selepas sholat, Reno berdzikir dan sholawat. Ia mengadukan segala beban dan lelahnya dalam hidup, memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT Yang Maha Pemberi untuk memberi segala kebaikan baginya dan ayahnya.

Dilihatnya deretan kitab Illahi tersusun dengan rapi di sudut lemari aula masjid. Ia mengambil salah satunya. Sudah lama sejak terakhir kali ia membaca kalam Illahi dengan lisannya. Kini ia coba mentadaburi tiap ayat yang dibacanya. Sontak air matanya mengalir membasahi mushaf di tangannya. Ternyata selama ini jiwanya begitu hampa, begitu jauh dari Sang Pencipta. Tangisnya pun merebak. Tak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatapnya dengan segala penghakiman saat ini. Ia hanya ingin menumpahkan segala kerinduannya kepada Sang Al-Khaliq.

Reno melangkah keluar dari area masjid. Ia merasa jiwanya lebih tenang, kepalanya lebih ringan, batinnya lebih tenteram. Reno bermaksud kembali ke kamar sang Ayah. Rencananya malam ini ia akan menginap di rumah sakit, menggantikan Tantenya yang sudah dua hari berada di sini.

Jam di tangannya menunjukkan pukul 21.15 WIB. Pantas saja perutnya makin terasa lapar. Reno berjalan mencari letak kantin di rumah sakit, berharap semoga saja masih ada makanan yang bisa dilahapnya, meskipun hanya mie instant.

Saat berbelok di koridor, matanya menangkap sosok yang tak asing. Sosok wanita yang selama ini ia cari-cari, wanita yang mengkhianati cintanya, sosok itu...Violet.

Meskipun kini kepalanya terhias jilbab, namun Reno ingat betul dengan wajahnya. Seorang pria yang juga tak asing di ingatannya sedang mendorongnya dengan kursi roda. Keduanya sedang saling menukar tawa, tersirat bahagia di mata keduanya. Matanya kembali meneliti apa yang dilihatnya, Violet sedang mengelus perutnya yang membuncit besar.

Violet akan melahirkan?

***

Reno melakukan sedikit peregangan untuk melepas pegal-pegal di kedua tangan dan kakinya.

Ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menghilangkan penat yang sudah membebani raganya sejak kemarin. Saat ini Reno sudah kembali berada di apartemennya. Tadi siang ia kembali berganti giliran jaga dengan Raras.

Kepalanya kembali membuka ingatan tadi malam saat netranya menemukan sosok Violet dan suaminya di rumah sakit.

Sepertinya sekarang ia terlihat bahagia dengan kehidupan yang dijalaninya.

Ada satu sisi di hatinya yang tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa wanita yang mengkhianatinya hidup bahagia di atas kesengsaraan hatinya.

Ia masih mengingat dengan jelas ucapan Violet saat itu. Setiap detail kata-katanya selalu terngiang dengan jelas di ingatannya.

"Nta, kita putus saja. Aku ingin kamu konsentrasi dan fokus dengan pendidikanmu disana. Aku juga akan fokus dengan pendidikanku disini. Selama itu, kita tidak perlu berhubungan. Tapi, jika kamu sudah sukses nanti, lamar aku. Lamar aku, Nta! Aku akan selalu menjaga hatiku untuk kamu."

"Aku akan selalu menjaga hatiku untukmu."

"Aku akan selalu menjaga hatiku untukmu."

"Aku akan selalu menjaga hatiku untukmu."

"Aaaaaarrrrghhhhh!" Dug!

Reno bangkit duduk lalu menonjok tembok apartemennya hingga serpihan kulitnya menempel di dinding, buku-buku jarinya berdarah.

Derai air mata mulai membasahi kembali pipinya. Ia tak peduli jika ia memang disebut pria cengeng.

Hatinya terasa nyeri, perih, luka atas pengkhianatan itu menganga begitu dalam. Bahkan luka di jarinya itu tidak seberapa.

Lukanya semakin bertambah seiring dengan ingatannya yang memutar kejadian 9 tahun yang lalu.

Di mana ia menunggu kehadiran Violet dan pria yang saat ini menjadi suaminya di bandara saat ia akan berangkat ke Australia. Hingga ia masuk ke area check-in pun tak terlihat penampakan keduanya.

Saat itu Reno mencoba menghubungi keduanya, tapi tidak ada satu pun yang mengangkat panggilannya.

Reno mencoba berpikiran positif saat itu. Ia tetap pada rencananya semula, fokus pada pendidikannya di negeri kangguru itu.

Di Sidney, Reno tidak hanya sekolah, ia pun menjalani kerja part-time untuk mengumpulkan pundi-pundi. Motivasinya saat itu hanya satu, Violet.

Suatu hari ia berwisata ke Melbourne bersama teman-teman bulenya. Saat ia melewati Queen Victoria Market, dilihatnya toko perhiasan yang memang menjual berbagai jenis batu permata.

Saat itu angannya melabuh tinggi, ia ingat permintaan Sang Ungu untuk dilamar. Ketika itu dirasa pundi-pundinya sudah cukup, ia segera membeli sebuah cincin cantik bermatakan safir ungu untuk Sang Ungu-nya.

Enam bulan lagi ia akan kembali pulang ke tanah air, dan saat itu juga ia pasti akan langsung melamar Sang Ungu.

Namun tiba-tiba...bagai disambar kilatan petir di siang bolong, di perjalanan pulang dari Melbourne, kabar buruk itu menghantam jiwanya.

Ia membuka kiriman email dari ayahnya di ponsel. Ada attachment terselip, ayahnya mengirimkan foto itu. Undangan pernikahan Violet dan Fadil.

Amukan kemarahan merasuki jiwa Reno saat itu, dibantingnya ponselnya ke dasar lantai bis. Membuat bule-bule disekitarnya mengarahkan pandangan ke dirinya.

Batin Reno kembali perih mengingat masa-masa itu. Yang tak diduganya, sahabatnya sendiri tega menikungnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah Violet yang melanggar ucapannya sendiri. Ia tak menjaga hatinya untuk Reno.

Kembali ia merasakan kesendiriannya, kesepian melanda jiwanya. Kembali ia mengingat tawakkal yang dilakukannya tadi malam. Ia butuh kalam Illahi sebagai pengobat lukanya.

Reno bergegas mengambil wudhu, mengenakan baju kokonya, lalu mengambil mushaf dari laci nakasnya.

Reno menarik napas dalam-dalam sebelum memulai tilawahnya.

-----

Drrrtt! Ponsel Zura bergetar di atas nakas. Ada sebuah pesan masuk di aplikasi whatsapp.

Zura yang sedari tadi sedang sibuk mengetik di atas meja belajarnya teralihkan. Ia segera meraih ponselnya di atas nakas. Dibukanya pesan yang masuk.

Mas_Ganteng: Assalamu'alaikum, calon istri

You: Wa'alaikumussalam, Mas yang kepedean

Mas_Ganteng: 😄😄

Mas_Ganteng: Udah mkn mlm blm?

You: Blm tuh

Mas_Ganteng: Mkn bareng yuk 😎

You: Dimana?

Mas_Ganteng: Maunya dimana?

You: Hmmm...warung lamongan dpn aja ya

Mas_Ganteng: Ok! Fine with me 👌. Aku jemput ya

You: Ga usah, Mas. Ketemu di lobby bwh aja ya 👇

Mas_Ganteng: Ngga! Aku mau jemput

You: Knp? Ga enak diliat tetangga.

Mas_Ganteng: Kangeeen, calon istri!

You: 🤦‍♀️

Mas_Ganteng: Siap2 ya

Berlawanan dengan emoticon yang diketiknya, Zura mendekap ponselnya di dada lalu melompat girang ke atas ranjang. Ia bergulingan tak tentu arah di atas ranjang, menendang-nendang kasur hingga spreinya menjadi lusuh dan tertarik dari ujung kasur. Ia sedang mengekspresikan rasa bahagianya

Saat kembali ke alam sadarnya, Zura langsung siap-siap untuk berganti baju. Ia mengeluarkan beberapa lembar pakaian lalu mencoba mix and match di depan kaca.

Ting tong! Zura terkesiap mendengar suara bel pintu. Kok cepat sekali pria itu sampai? Sedangkan Zura masih belum berganti pakaian. Dilihatnya penampilannya saat ini, ya sudahlah. Zura segera menggamit tas satchel-nya dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Zura berjalan cepat menuju pintu depan.

Segera ditariknya gagang pintu. Ckrek!

"Cepet banget, Ma....M...Mbak Sitta?" Zura tercengang melihat sosok di hadapannya saat ini.

Sementara Sitta memandangnya dengan tatapan penuh kesumat, amarahnya sedang meradang Napasnya terengah-engah menahan emosi.

"Kita perlu bicara!"

Sebelum diizinkan masuk, Sitta langsung menyeruak masuk ke dalam apartemen Zura. Zura hanya bisa tercengang melihat sikap tidak sopan tamu tak diundang itu.

"Ada perlu apa ya, Mbak? Zura mendekati Sitta yang sudah memposisikan dirinya duduk di atas sofa.

"Lo nggak usah pura-pura nggak ngerti deh!" Ia kembali berdiri, menghadap Zura yang masih enggan untuk duduk.

"Maksud Mbak apa ya?" Zura mengernyitkan dahinya.

"Halah! Pake nanya lagi! Gue 'kan udah bilang, gue ini calon istrinya Reno!" Ia mengarahkan telunjuknya yang berkuku lancip ke dadanya.

"Terus?" Zura kembali mengernyitkan dahinya.

"Ngapain lo masih keganjenan sama Reno? Lo mau jadi pelakor?" Sekarang gantian telunjuknya menunjuk-nunjuk tepat di depan mata Zura.

Beberapa centimeter lagi, kuku tajam itu bisa mengoyak lensa kontak yang sedang dikenakannya, bahkan mungkin menembus bola matanya, yang mengakibatkan Zura mengambil beberapa langkah mundur.

"Astaghfirullah, Mbak...jangan main asal nuduh ya!." Zura menghela napas, masih mencoba bersabar.

"Emang bener 'kan? Jangan ngibul deh! Gue punya banyak mata-mata. Gue aja bisa tahu apartemen lo ini."

"Mata-mata? Mbak mata-matain saya? Astaghfirullah..." Zura mengelus dadanya. Kok rasanya ia seperti penjahat sampai harus diintai segala?

"Gue ingetin lo sekali lagi, jangan pernah deketin calon suami gue! Atau lo....akan rasain akibatnya nanti! Dasar cewek murahan!" Kembali telunjuknya mengarah ke depan bola mata Zura.

Cukup sudah! Zura tidak tahan lagi dengan titisan Mak Lampir di hadapannya ini. Harga dirinya sebagai seorang wanita sudah tercoreng.

Rasa sakit dari masa lalu membangkitkan keberaniannya, Zura tidak takut dengan ancamannya. Sesuatu di masa lalu muncul sekilas di ingatannya, menimbulkan rasa sakit yang amat kuat di kepalanya.

Namun Zura coba melawan rasa sakit itu. Zura memberanikan diri menurunkan telunjuk yang songong itu. Perlahan ia berjalan mendekati Sitta yang sedang meradang.

"Hei, lontong basi! Gue udah cukup bersabar ya! Lo...udah nggak sopan masuk ke rumah orang sembarangan! Lo udah cukup menghina gue! Sekarang keluar dari sini! Keluar!" Zura mengerahkan seluruh tenaga untuk berteriak kencang.

Sitta tidak bergeming, ternyata perempuan di hadapannya ini punya nyali. Tapi ini peringatan pertama dari Sitta, jika peringatan pertamanya ini tidak mempan, ia tidak akan segan berbuat lebih ekstrim lagi.

"Keluar!" Wajah Zura tengah memerah.

"Kurang ajar lo ya!" Tangan Sitta terangkat hendak menampar Zura, namun dengan cekatan Zura menangkap dan mencengkeram tangannya dengan erat.

"Lo nggak denger gue bilang apa? Keluar! Keluar sekarang juga!" Ia melepas tangan Sitta yang sudah berbekas merah akibat genggamannya yang kuat.

"Oke, gue keluar! Tapi ingat kata-kata gue tadi!" Sitta berjalan menuju pintu yang dari tadi masih terbuka.

Tiba-tiba mulutnya menganga melihat sosok yang sudah berdiri di sana entah sejak kapan, menatapnya dengan tajam dan dingin.

"Re...re-no..." Sitta mengucap dengan terbata-bata.

Zura yang sudah bermata sembab segera menoleh ke arah pintu.

"Gue bilang keluar! Kalian semua keluar! Keluar dari sini!" Ia berjalan cepat menghampiri Sitta, tangannya mendorong-dorong punggung Sitta dengan kasar.

"Zura..." Reno hendak merengkuh Zura yang sedang kalap. Namun Zura mendorong badan Reno yang hendak mendekatinya.

Sitta yang hendak kembali marah sudah terdorong keluar pintu.

"Keluaaaarrr!" Zura berteriak kencang sembari menempelkan kedua tangannya di kedua sisi kepalanya, terdengar bunyi berdenging di dalam gendang telinganya, potongan-potongan adegan melesat di pikirannya. Kepalanya semakin sakit, sakitnya tak tertahankan lagi.

Dirasa badannya tengah limbung, pandangannya perlahan buram, gelap. Ia terjatuh.

"Zura!"

***