Chapter 10 - 10. Sepupu

"Mbak, saya pesan opera cake sama orange juice ya." Sang pelayan cafe mencatat pesanan Zura lalu pamit undur diri dari hadapannya.

Sore ini Zura sedang berada di cafe yang berada di lantai bawah gedung apartemennya. Ia sedang menunggu kedatangan Sherin sahabatnya. Siang tadi Sherin sudah mengabari jika akan menumpang nginap di apartemennya. Mumpung orangtuanya sedang mudik ke rumah neneknya di Semarang dan mumpung Indigo kakaknya Zura masih dinas di Surabaya. Dan tentu saja Zura menyambut baik niat Sherin. Malam ini akan menjadi sesi curhat yang panjang antar dua orang sahabat.

Sementara menunggu kehadiran Sherin, Zura melanjutkan ketikan skripsinya di laptop. Ia cukup banyak mendapatkan koreksi dari dosen pembimbingnya tadi pagi.

"Ehm...sendirian aja?" Zura menoleh ke arah sumber suara yang menyapanya.

"Eh, Mas Reno...nggak kok, lagi nunggu teman. Sambil ngerjain skripsi." Zura bangkit dari duduknya untuk mensejajari posisi Reno yang berdiri, agar lebih sopan.

"Oohhh...Boleh 'kan aku duduk di sini?" Lalu Reno dengan santainya mengambil posisi duduk di kursi yang berhadapan dengan Zura.

"Eh...ehmmm...Mas...anu...itu" Zura menjadi salah tingkah. Bingung menghadapi Reno yang sekarang duduk di hadapannya.

"Kenapa? Kursinya udah ada yang punya? Teman kamu belum datang 'kan?" Reno seakan mengerti sikap Zura yang seperti keberatan dengan keberadaannya disana.

Zura hanya menggeleng kebingungan lalu kembali duduk. Ia benar-benar bingung. Takut jika harus berdekatan seperti ini dengan Reno, takut khilaf.

"Terus?" Reno memajukan wajahnya untuk mengamati Zura lekat-lekat.

"Mmmm...eh...itu...gimana ya?" Zura meremas-remas ujung kaosnya.

"Hmmm...aku tahu! Takut pihak ketiganya setan ya?" Reno memundurkan kembali kepalanya.

Zura hanya terdiam, ia menurunkan kepalanya menjadi sejajar dengan layar laptopnya, pura-pura kembali fokus pada ketikannya agar wajahnya yang sedang merona malu tertutupi oleh benda persegi 14 inchi itu.

Dan sikapnya ini semakin membuat Reno merasa gemas dan ingin terus menggodanya. Kenapa Ara yang sekarang berbeda sekali dengan yang dulu ia kenal? Ara, si bakpao keju, kenapa panggilannya berubah? Dan kenapa ia tidak mengenali wajah seorang Kananta? Rasanya fisiknya tidak terlalu banyak berubah.

"Kita nggak cuma berduaan kok. 'Kan ada pengunjung lain juga tuh. Ada pegawai cafe juga." Reno menunjuk ke manusia-manusia lain yang berada di sekitar mereka dengan dagunya.

"Eh...iya ya...iya juga, sih. Oh iya, Mas Reno sedang janjian sama yang lain juga?" Zura menegakkan kembali badannya.

"Hmmm...nggak tuh. Sendiri aja."

Reno mengangkat sebelah alisnya.

"Oohh...kirain lagi janjian sama Mbaknya yang tadi pagi. Siapa tuh namanya? Mmm...oh iya...Mbak Sitta." Zura menjentikkan kedua jarinya ketika mengingat nama sosok yang dimaksud.

"Sitta? Nggak ada urusan sama dia." Reno menggelengkan kepala lalu menyingkirkan kedua tangannya yang tadinya berpangku di atas meja karena kedatangan pelayan yang membawakan pesanan Zura. Zura menyingkirkan laptop dari atas meja. Lalu sang pelayan mempersilahkan Zura menikmati pesanannya itu, dan segera pamit setelah Zura berterima kasih.

"Ohhh...ya kali, biasanya 'kan calon suami sama calon istri nempel terus." Zura mengaduk-aduk orange juice-nya dengan sedotan.

"Hmmm...ada yang kepo." Reno tersenyum tipis.

"Hah? Ng...nggak kok. Lho, Mas Reno nggak pesan apa-apa?" Zura cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, takut ketahuan kalau dia memang benar 'kepo'. Tapi memang sedari tadi dia penasaran, pria di hadapannya ini kenapa tidak memesan menu apapun?

"Nggak." Reno hanya menjawab singkat.

"Terus...ngapain kesini?" Zura semakin menampakkan wajah bingungnya.

"Mau ketemu kamu."

Zura melongo mendengar kalimat Reno. Ada perlu apa Reno ingin bertemu dengannya? Rasa-rasanya Zura tidak punya utang yang bisa ditagih oleh Reno.

"Kenapa, Mas?"

Reno memajukan tubuhnya lalu menyandarkan kedua tangan di atas meja sebelum menjawab perlahan, "kangen."

"Uhuk...uhuk...uhuk!" Zura tersedak minuman yang tadi sedang diseruputnya bertepatan dengan Reno melontarkan kata 'kangen'.

Bukan hanya tersedak, tapi rasa-rasanya jantung Zura juga mencelat dari tempatnya. Zura mengipas-ngipas wajahnya yang sudah merah bak kepiting rebus. Ia perlu asupan oksigen.

"Hei...kamu nggak apa-apa?" Reno langsung bangkit dari duduknya mengambil tempat di sebelah Zura untuk mengecek kondisinya yang masih terbatuk-batuk dan sulit bernapas saat ini.

Kehadiran Reno disampingnya justru menambah level kepanikan Zura. Ia langsung mengambil gelas orange juice-nya lalu menenggak minuman itu hingga habis menyisakan tumpukan es balok kecil di dalamnya.

Reno yang tadinya khawatir justru menjadi tertawa kecil melihat Zura yang salah tingkah. Mudah sekali menggoda gadis ini. Sepertinya ia akan punya mainan baru.

"Assalamu'alaikum!" Sebuah suara perempuan datang dari arah belakang.

"Wa'alaikumussalam." Reno dan Zura menjawab bersamaan sambil menoleh ke arah sumber suara yang sedang berjalan hingga ke hadapan mereka.

"Lho, Mas Ren? Kok di sini?" Sang pemilik suara menunjuk ke arah Reno yang sedang duduk di sebelah Zura.

"Sherin? Jadi kamu temannya Zura?" Reno sama terkejutnya melihat kemunculan Sherin, sepupunya.

"Iya, kita teman kampus. Kalian sudah saling kenal? Pindah, Mas!" Sherin bertanya sembari memberi isyarat pada Reno untuk pindah posisi duduk. Menurutnya, tidak pantas jika Reno duduk bersebelahan dengan Zura, bukan mahram.

Reno mengikuti arahan Sherin, ia bangkit berdiri lalu kembali mengambil posisi duduk berhadapan dengan Zura. Sedangkan Sherin duduk di sebelah Zura yang masih berusaha menenangkan diri.

"Baru kenal. Kita tetangga di apartemen. Aku di lantai 9, Zura di lantai 10." Reno menjelaskan saat Sherin melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu menyebutkan pesanannya.

"Sejak kapan Mas Reno tinggal di sini? Bukannya Mas Ren tinggal di..."

"Baru sebulan disini, biar dekat sama cabang baru. Lagian tempatnya lebih nyaman." Reno cepat-cepat memotong perkataan Sherin. Ia tidak ingin Sherin melanjutkan omongannya, bisa-bisa terbongkar rencananya.

Sementara Sherin dibuat heran dengan jawaban Reno. Kenapa sepupunya bilang apartemen pinggiran ini lebih nyaman daripada apartemen miliknya di daerah Pakubuwono? Tapi sudahlah, ia tidak mau ambil pusing, bukan urusannya.

"Kok Mas Reno dan Sherin saling kenal?" Gantian Zura yang balik bertanya dengan jari telunjuknya bergantian menunjuk ke arah Reno dan Sherin.

"Jadi Ra, Mas Reno ini sepupu gue. Lo inget 'kan kemarin kita makan di Mayala resto? Nah, dia ini yang punya. Kemarin 'kan mau gue kenalin sama lo ya, cumaaa...ya gitu deeeh...orangnya sok sibuk." Sherin melirik ke arah Reno, ia sengaja menyindir sepupunya itu.

Zura mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti penjelasan Sherin. Seketika Zura tertunduk malu, karena sebelumnya ia mengira Reno hanya seorang koki.

"Bukan sok sibuk, emang beneran sibuk." Reno membela diri.

Ada sedikit rasa menyesal mengetahui kemarin sepupunya datang ingin mengenalkannya pada Zura namun ditolaknya. Jika saja kemarin ia tahu akan dikenalkan dengan adik seorang Violet Damara...tapi, tunggu dulu...toh, kemarin dia tetap berkenalan juga dengan Zura. Hanya saja dalam kondisi yang berbeda. Rencana Sang Maha Pemilik Rencana memang indah, yang sudah menjadi ketetapan-Nya pasti akan terjadi juga. Pertemuannya dengan Zura memang takdir Sang Illahi.

"Kok jam segini Mas Reno udah pulang? Masih jam setengah lima ini, Mas." Sherin melirik ke arah jam tangan digital yang terlilit di tangan kirinya.

"Belum pulang, kok. Cuma mampir apartemen sebentar, ada dokumen untuk keperluan sertifikasi yang ketinggalan. Terus kebetulan ngeliat Zura dari balik jendela cafe, samperin deh."

Ada sedikit rasa kecewa menyelusup di hati Zura mendengar penjelasan Reno, ia pikir memang benar Reno kangen padanya, ternyata hanya kebetulan saja. Untung belum kepedean. Zura mulai melahap cake-nya yang dari tadi belum tersentuh. Rasa manisnya lumayan mengenyahkan pahit yang baru saja muncul di hatinya.

"Ohhh...terus sekarang dokumennya mana? Udah diambil?" Sherin melahap cheesecake yang baru saja diantar pelayan cafe.

Reno menggelengkan kepala. Ia baru saja akan beranjak pamit menuju ke apartemennya, lalu ia teringat sesuatu...Yassalaaam! Ia baru ingat kunci apartemennya ada pada Sitta. Reno menepuk dahinya kencang.

Sherin dan Zura yang sama-sama sedang menyantap hidangan melongo melihat sikap Reno.

Reno segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Sitta lalu beranjak pamit pada Sherin dan Zura. Ia bergegas melangkah keluar dari pintu cafe.

"Lo di mana? Gue tunggu di depan apartemen sekarang!"

***

"Lho, Sher...ini kayaknya kunci mobil Mas Reno deh." Zura mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas kursi yang tadi diduduki oleh Reno di cafe.

"Iya, kayaknya deh. Tadi kan dia buru-buru. Kita anterin, yuk? Kan katanya dia mau balik ke resto." Sherin segera bangkit dari duduknya menuju kasir untuk membayar billing dan Zura mengikuti dari belakang.

"Anterin kemana? Gue nggak tau nomor apartemennya lho. Cuma tau di lantai 9 aja."

"Bentar, gue japri orangnya." Sherin mengambil ponsel dari dalam tasnya. Lalu mulai mengetik di kolom percakapan:

Sherina_F : Mas Reno, ini kunci mobilnya ketinggalan di cafe. Aku anter ya? Apart-nya nomor brp?

K. Moreno : ini siapa ya?

Sherina_F : Sherin, Mas! Nomorku ngga disave ya? Udah buruan nomor apart-nya brp? Mau dianter ngga kuncinya?

K. Moreno : 0927

Sherina_F : Ok!

Sherin memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya lalu mengeluarkan dompet, mengambil selembar uang kertas berwarna merah untuk membayar di kasir.

-----

Ting tong! Sherin menekan bel di pintu yang memajang nomor 0927. Sherin dan Zura menunggu pintu tersebut terbuka.

Ckrek! Seorang wanita yang berpakaian kurang bahan membuka pintu tersebut dari arah dalam.

"Assalamu'alaikum!" Sherin dan Zura menyapa bersamaan.

"Oohh...kamu yang namanya Sherin?" Tanpa menjawab salam, ia langsung mencecar Sherin dengan ketus. Dia adalah Sitta.

Sherin yang ditanya malah melongo. Harapnya bertemu dengan sepupunya tapi justru Mak Lampir yang menyambutnya. Sherin menatap kembali nomor yang tertera di depan pintu, memastikan benar angkanya 0927. Mereka tidak salah kamar, kok.

"Iya, saya Sherin. Ini teman saya, Zura." Sherin menjawab dengan ramah.

"Ck...aku sudah kenal sama dia. Aku Sitta. Mana kunci mobilnya Reno? Kesini cuma mau kasih kunci 'kan?" Sitta berdecak lalu bicara dengan ketus, ia menjulurkan telapak tangannya ke arah Sherin.

"Ini, Mbak." Zura menyerahkan kunci mobil tersebut ke tangan Sitta yang sudah menanti.

Sementara Sherin menoleh ke arah Zura mengisyaratkan pertanyaan siapa siluman di hadapan mereka ini.

Zura menjawab dengan telepati, tapi tidak mungkin 'kan tersampaikan? Secara mereka bukan anak kembar yang konon katanya memiliki kemampuan supranatural itu.

"Sherin? Zura? Ada apa ya?" Reno datang dari arah belakang Sitta, membuat Sitta kaget dengan kehadirannya.

"Eh, sayang...ini lho mereka mau ngasih kunci mobil kamu. Katanya ketinggalan di cafe." Sitta memberikan kunci kepada Reno dengan tersenyum. Siluman tadi tiba-tiba menjelma menjadi Dulce Maria yang imut.

"Ooh iya, makasih ya. Jadi ngerepotin...kok bisa tau apartemenku yang ini?" Reno menerima kunci dari Sitta. Sepertinya sang kunci hari ini sedang beralih fungsi menjadi tongkat estafet.

"Lho, kan tadi aku japri Mas Reno. Terus Mas Reno yang ngasitau apartemennya di 0927."

Reno yang mendengar penjelasan Sherin merasa bingung karena sedari tadi ia sibuk mencari dokumen di meja kerja dalam kamarnya, sehingga menelantarkan ponselnya yang ia taruh di atas meja ruang TV.

Lalu terbersit sesuatu dalam pikirannya, ia segera memandang tajam ke arah Sitta yang saat ini berada di sampingnya.

Sitta yang menyadari pandangan Reno yang sedang menghakiminya, segera menyingkir dari sana. Alih-alih harus menghadapi singa yang siap menerkam.

Memang benar tadi Sitta yang memegang ponsel Reno, ia memang sedang diam-diam mengecek satu-persatu pesan dan panggilan yang masuk ke nomor Reno. Sitta memang wanita posesif, tidak ada yang boleh merebut seorang Reno darinya. Jadi jika ada sesuatu yang mencurigakan, ia tidak akan segan-segan bertindak.

Sementara Reno berjanji akan menyelesaikan urusannya dengan Sitta nanti, tunggu saja saatnya sang singa menerkam. Saat ini ada Sherin dan Zura yang harus ia perlakukan layaknya tamu.

"Eh, masuk dulu yuk." Reno membuka pintunya lebar-lebar, memberi jalan masuk untuk Sherin dan Zura. Sementara Sitta sudah ngeloyor masuk ke dalam kamar mandi. Ia malas harus turut menyambut masuk kedua perempuan berhijab itu.

"Nggak usah deh, Mas. 'Kan Mas Reno mau balik ke resto lagi. Aku juga mau langsung ke kamarnya Zura aja, malam ini mau numpang nginep. Soalnya Ayah Bunda lagi jenguk Uti di Semarang, jadi daripada sepi sendiri di rumah. Mas Reno tuh sering ditanyain sama Uti, udah lama nggak kesana."

Sherin adalah anak dari Tante Nisa dan Om Danu, adik dari Maya ibunya. Uti yang dimaksud disini adalah ibu dari ibunya dan Om Danu. Uti-nya memang sudah sepuh, umurnya menginjak 77 tahun. Seminggu yang lalu memang kabarnya Uti-nya itu terpeleset di kamar mandi, sempat dirawat selama 3 hari di rumah sakit, tapi setelah itu diperbolehkan bed-rest di rumah.

"Kemarin sudah ngobrol sama Uti via telepon. Insyaa Allah, nanti lebaran ikut mudik kesana kalau... ayah sudah agak sehat." Reno tersenyum kecil. Sesaat di dalam hati muncul rasa kekhawatiran mengingat kondisi kesehatan ayahnya yang semakin menurun.

"Oh iya, semoga Pakde Yudho lekas sehat ya, Mas. Salam ya untuk Pakde." Sherin baru saja teringat akan kondisi Pakdenya yang baru saja dirawat karena penyakit jantung.

Sedari tadi Zura hanya merasa menjadi obat nyamuk. Ia tidak turut terlibat dalam satu perbincangan pun. Bahkan dari tadi perhatian Reno sepenuhnya tercurah untuk Sherin, seperti sedang reuni keluarga. Tapi baguslah, sehingga tidak ada kesempatan bagi jantungnya untuk dangdutan. Dan sedikit demi sedikit, ia jadi mengenal sosok seorang Reno.

Akhirnya Sherin dan Zura pamit undur diri dari hadapan Reno, lalu segera menuju lift untuk naik 1 lantai ke apartemen sewaan Zura. Di dalam lift Zura bercerita pada Sherin jika wanita yang ada di apartemen Reno tadi adalah Sitta, calon istrinya. Sherin tidak percaya, pasti wanita itu saja yang kepedean tingkat kabupaten. Sherin sangat mengerti tipe wanita yang disukai sepupunya itu, bahkan Sherin mengetahui jika sepupunya itu hanya mencintai satu orang wanita selama ini.

Sesampainya di apartemen Zura, mereka bersih-bersih, mandi, sholat maghrib, lalu menyiapkan makan malam bersama-sama . Menu masakan mereka malam ini adalah capcay dan udang goreng tepung, yang simpel saja.

"Ra, enak kali ya kalo yang masakin Mas Reno." Zura berkata sambil mengiris wortel untuk capcay.

"Mas Reno itu chef juga ya, Sher? Hebat ya bisa buka resto sampai punya banyak cabang." Zura yang sedang mengupas udang menyahut.

Lalu dengan gamblangnya Sherin menceritakan perjuangan jatuh-bangun seorang Reno dalam mengelola Mayala Restaurant.

Saat sedang asyik bercerita, tiba-tiba ponsel Sherin berbunyi. Segera diraihnya ponsel yang terletak di atas meja makan. Ada sebuah pesan masuk. Lalu ia segera membalas pesan tersebut. Setelah beberapa kali mengetik balasan, ia meletakkan kembali ponsel di atas meja.

Ia kembali ke dapur dengan bersenandung riang menghampiri Zura yang sedang membaluri udang dengan tepung.

"Panjang umuuur! Yang diomongin mau ikut makan malam di sini."

***