Tahun 2009
Hari ini adalah hari terakhir diadakannya UN untuk tingkat SMA. Ratusan siswa-siswi berseragam putih abu-abu di SMA Harapan Negeri berhamburan keluar kelas dengan perasaan campur aduk.
Ada yang bernapas lega, ada yang tertunduk lesu, ada yang bersorak-sorak bergembira, bahkan ada yang menangis putus asa.
Beda halnya dengan seorang Kananta. Sedari tadi hanya wajah datar saja yang ditampilkannya. Baginya yang ber-IQ 180 dan juara olimpiade matematika, mengerjakan soal UN SMA sama mudahnya dengan mengerjakan ulangan harian dengan nilai 100 koleksinya.
Tapi kali ini ada persoalan yang jauh lebih sulit dipecahkan daripada soal-soal UN menurut Kananta.
Tadi malam ayahnya membicarakan hal serius yang membuat Kananta harus membalik arah masa depannya, sekaligus mengubur dalam-dalam impiannya bersama dengan Violet.
Kananta dan Violet telah resmi menjalin hubungan selama 1,5 tahun. Awalnya memang Violet menolak Kananta tanpa memberikan alasan, namun entah kenapa tiba-tiba Violet mengajak 'jadian' diam-diam, istilahnya 'backstreet'.
Mungkin karena Violet semakin jengah dengan sikap agresif Sitta terhadap Kananta. Dan selama itu pula mereka mulai merencanakan masa depan mereka nantinya.
Namun karena perkara tadi malam, jangankan masa depan bersama Violet, masa kininya bersama Violet pun terancam bubar. Jadi, apa kabarnya masa depan?
*Flashback on
"Ayah mau bicara apa?" Tanya Kananta dengan wajah menyelidik. Tidak biasanya ayahnya menampakkan raut wajah yang membingungkan seperti ini.
"Jadi begini, Nak...ibumu...dia meninggalkan wasiat untukmu." Yudho menyerahkan secarik kertas dengan tulisan tangan pada Kananta yang sedang duduk di sebelahnya. Saat ini mereka sedang duduk berdua di sofa ruang keluarga.
"Wasiat? Kenapa ayah baru ngasih sekarang?" Kananta menerima surat tersebut.
"Sehari sebelum kami bertolak dari Singapura, ibumu menulis surat ini. Ibumu meminta ayah memberikannya padamu jika kamu sudah akan lulus dari SMA."
Selanjutnya Kananta membuka lipatan kertas tersebut dan membaca isinya.
Dear Reno gantengnya Ibu,
Apa kabar, Sayang? Pasti putranya Ibu gantengnya kebangetan sekarang :).
Sayang, maafkan Ibu jika saat kamu membaca surat ini...Ibu sudah tidak mendampingimu lagi di dunia. Ibu minta maaf karena belum dapat menyelesaikan tugas sebagai seorang Ibu di dunia. Tapi percayalah, cinta dan kasih sayang Ibu selalu akan selalu menyinari setiap langkah Reno dalam kehidupan.
Reno sayang, kebanggaannya Ibu...Reno tahu kan bagaimana Ibu sangat menyayangi Mayala Restaurant? Ibu membangun usaha tersebut dengan kerja keras, keringat, dan darah. Dan Reno juga tahu kan kalau Ibu merintis usaha tersebut karena gagalnya impian Ibu untuk menjadi seorang Chef.
Ren, ingat 'kan Ibu pernah menyampaikan dua permintaan untukmu? Ibu sangat berharap kamu bisa meneruskan wasiat terakhir Ibu ini. Dan Ibu sangat yakin kalau kamu pasti bisa.
Yang pertama, Ibu ingin Reno menjadi penerus Mayala Restaurant. Ibu yakin kamu bisa membawa Mayala Restaurant naik ke ambang kesuksesan. Dan keyakinan seorang Ibu terhadap anaknya tidak pernah salah.
Tolong penuhi permintaan Ibu ya, Ren. Ibu minta maaf jika permintaan ini berlebihan. Tapi percayalah Ren, dari awal Ibu sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk masa depanmu.
Terima kasih untuk kehadiran Reno dalam hidup Ibu, Reno adalah bunga warna-warninya Ibu yang begitu indah...dan akan selalu begitu.
Dan permintaan Ibu yang kedua, gantilah nama panggilanmu menjadi Reno.
Sayangnya Kananta Moreno,
Ibu
Kananta menghempaskan surat tersebut diatas sofa sebelum menyandarkan badannya dengan kasar. Tiba-tiba berbagai tanya menyergap pikiran Reno. Ia terdiam sejenak untuk berpikir sebelum akhirnya memandang ayahnya yang masih tertunduk.
"Jadi, Yah? Ibu...?"
Yudho mengangguk dengan tegas sebelum melanjutkan, "Kamu akan mengelola Mayala Resto."
"Tapi 'kan sudah diurus Om Danu, Yah." Sepengetahuan Kananta semenjak ibunya meninggal, Om Danu adik dari ibunya ini sudah mengambil alih usaha restoran tersebut.
"Tidak, dia hanya dimintai tolong untuk sementara saja sambil menunggu kesiapanmu."
"Tapi Nanta baru akan lulus, Yah. Belum mengerti cara ngurus bisnis resto."
Yudho menyadari permintaan istrinya ini tidak akan diterima dengan mudah oleh anak semata wayang mereka. Tapi sama seperti Kananta, ia pun tidak pernah bisa menolak permintaan istrinya. Apalagi saat itu istrinya sedang memiliki harapan hidup yang tipis.
"Nak, Ibumu sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kamu sejak lama. Kamu tidak akan langsung mengelola Mayala. Kamu akan belajar kuliner dan manajemennya terlebih dahulu. Ibumu sudah meminta tolong bantuan Tante Danish temannya di Sidney agar setelah SMA, kamu bisa melanjutkan pendidikan culinary di sana. Tapi sebelumnya disini kamu akan mengikuti pelatihan dulu. Karena proses diterima disana tidak mudah."
Seketika pandangan Kananta nanar. Kananta menggeleng-gelengkan kepala. Ibunya itu memang luar biasa.
Perasaan sesal menyelimuti hati dan pikirannya. Merasa sungguh bodoh. Kenapa pula waktu itu ia memenuhi permintaan ibunya? Toh, tetap saja sang ibu akhirnya meninggalkannya, bahkan untuk selama-lamanya.
Tapi Kananta terlanjur mengiyakan, dan ini wasiat. Amanah! Dan lagi-lagi, seorang Kananta Moreno tidak akan pernah bisa menolak permintaan ibunya. Tapi...Violet? Ah, entahlah! Tak tahu takdir macam apa yang sedang menunggunya.
*Flashback off
---------
"Apa, Nta? Sidney??" Violet yang saat ini hampir berumur 17 tahun terperangah setelah mendengar cerita Kananta. Sementara Kananta hanya tertunduk. Ia tak mampu menatap Violet.
"Terus? Rencana kita untuk sama-sama kuliah di UI gimana?"
Kananta hanya mengangkat kedua bahunya. Ia menengadahkan kepala ke atas menatap awan yang mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Semoga saja tidak ditambah deraian hujan air mata, pikirnya. Saat ini Violet dan Kananta sedang duduk di kursi taman yang terletak diantara kedua gedung sekolah mereka.
"Aku...aku tidak setuju." Violet meremas-remas rok seragamnya. Ada rasa tidak rela menyelusup ke dalam relung hatinya.
"Tapi Vi, ini wasiat ibuku."
Violet hanya tertunduk membungkam lisannya. Diam-diam setitik air mata jatuh di pangkuannya. Sungguh Violet tidak rela dan tidak sanggup jika nantinya harus menjalani yang namanya Long Distance Relationship (LDR). Dan sepertinya tidak memungkinkan baginya jika nantinya turut menuntut ilmu di negeri kangguru itu. Mengingat papa dan kakaknya yang tidak mungkin memberikan izin.
"Vi...kita masih bisa komunikasi setiap hari 'kan?" Kananta menggenggam kedua tangan Violet diatas pangkuan.
"Tapi berat, Nta." Akhirnya isak tangisnya mulai terdengar.
"Iya, pasti berat. Tapi, kita coba ya? Aku juga nggak mau begini, tapi ini amanah ibuku. Dan aku sudah berjanji."
Akhirnya Violet menyadari, ia tidak boleh mengedepankan egonya. Ia tahu Kananta juga tidak menyukai jalan cerita ini. Dan mungkin yang paling tersiksa saat ini adalah Kananta.
Violet tidak mungkin menyuruhnya memilih antara impian mereka atau impian ibunya. Ia tidak boleh egois. Violet sudah memantapkan keputusannya.
"Nta, kita putus saja. Aku ingin kamu konsentrasi dan fokus dengan pendidikanmu disana. Aku juga akan fokus dengan pendidikanku disini. Selama itu, kita tidak perlu berhubungan. Tapi, jika kamu sudah sukses nanti, lamar aku. Lamar aku, Nta! Aku akan selalu menjaga hatiku untuk kamu."
***
Tahun 2016
Reno sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja pagi ini. Mengenakan bawahan celana denim abu-abu dengan polo-shirt berwarna maroon untuk atasannya. Sebagai seorang pemilik restoran besar, ia tidak suka berpakaian formal layaknya seorang bos. Ia lebih senang memilih casual sebagai gayanya. Namun kemarin ia terpaksa harus mengenakan setelan formalnya dikarenakan adanya kunjungan dari Asosiasi Chef Indonesia di salah satu cabang restorannya yang baru saja dibuka sebulan yang lalu.
Ting tong! Suara bel apartemennya berbunyi. Ia mengetahui siapa sosok yang sudah berada di balik pintu apartemennya itu. Malas sebenarnya bagi Reno untuk menemui sosok tersebut. Namun apa daya...
Ckrek! Reno membuka pintu apartemennya.
"Hai, Ren! Sudah siap?" Seorang wanita berbalut dress merah ketat dengan rambut panjang bergelombang yang diwarnai brunette langsung memasuki apartemennya.
"Kamu ngapain kesini?"
Reno bersikap dingin.
"Ya mau berangkat bareng kamu-lah, sayang." Tangan sang wanita bergelayut manja melingkari leher Reno.
"Sitta, lepas!" Wanita itu adalah Sitta teman SMA-nya.
Sitta adalah manajer restorannya sekaligus wanita yang dijodohkan dengannya oleh Tante Danish, sahabat ibunya yang merawat sekaligus menjadi ibu angkatnya di Sidney. Tante Danish adalah orang Indonesia yang menikah dengan Thomas, pria bule yang memang asli berkewarganegaraan Australia. Tante Danish dan Thomas tidak memiliki anak, sehingga saat ibunya meminta mereka untuk merawat Reno, mereka menerima dengan tangan terbuka.
Dan ternyata dunia itu sempit, di Sidney ia baru mengetahui ternyata Sitta adalah keponakan Tante Danish saat Sitta dan orangtuanya berkunjung kesana. Ketika mengetahui perihal Reno yang tinggal disana, Sitta gencar melakukan pendekatan pada Reno. Dan seorang Sitta benar-benar memiliki ratusan cara untuk mendekati seorang Reno. Sehingga Tante Danish berpikiran jika memang mereka saling menyukai dan mendukung hubungan keduanya agar cepat diresmikan. Malangnya nasib Reno setelah mengetahui ternyata Tante Danish merupakan investor terbesar dari Mayala Restaurant yang saat ini sudah berkembang menjadi Mayala Group dan telah memiliki cabang di beberapa daerah. Apalagi Tante Danish sudah merawatnya dengan baik selama di Sidney, terlalu banyak utang budi yang dimilikinya terhadap wanita paruh baya tersebut. Sehingga sulit baginya untuk menolak permintaan Tante Danish untuk menjadikan Sitta sebagai manajer restorannya sekaligus...calon istrinya.
"Ren...jangan dingin-dingin dong sama calon istri." Sitta menangkup kedua tangannya di kedua sisi wajah Reno.
Reno jengah diperlakukan seperti itu. Ia langsung melepas tangan Sitta dengan agak kasar.
"Kita berangkat!" Reno mengambil kunci mobilnya.
"Eh...eh...pake mobil aku aja. Nih!" Sitta memberikan kunci mobilnya pada Reno lalu mengambil kunci mobil Reno dari genggaman untuk dikembalikan pada tempatnya semula.
"Kenapa dengan mobilku?" Reno memandang tajam menunjukkan rasa tidak-sukanya pada Sitta.
"Ya 'kan mobil kamu butut.. eh...nggak, maksudnya 'kan mobil aku lebih nyaman. Keluaran terbaru pula." Sitta cepat-cepat mengoreksi perkataannya. Takut-takut memancing singa keluar dari kandangnya.
"Terus kenapa kalo butut?? Masalah buat lo? Gue pake mobil sendiri!" Dan...sang singa pun mengaum. Reno melempar kunci mobil Sitta ke sembarang arah lalu mengambil kembali kunci mobilnya. Reno melangkahkan kaki keluar dari apartemennya meninggalkan Sitta yang masih mencari-cari kunci mobilnya yang tadi dilihatnya terlempar ke kolong sofa.
"Ketemu!" Sitta lalu bergegas mengejar Reno sesudah mengunci apartemen.
Reno sudah masuk ke dalam lift lalu dengan cepat menekan tombol panah tutup. Batinnya menginginkan pintu segera tertutup agar Sitta tertinggal lift itu. Ia sungguh sangat malas berdekatan dengan wanita berbisa itu. Namun ternyata Tuhan tidak mengabulkan permohonannya, Sitta masih sempat masuk ke dalam lift. Dan sekarang berdiri disampingnya. Ternyata wanita ini lincah juga. Kalau saja bukan karena Tante Danish, mungkin Sitta sudah dilemparnya ke Laut Merah.
"Kamu tega ihhh ninggalin aku. Untung nggak lagi pake heels." Sitta berkata dengan napas terengah-engah sambil menunjuk ke arah flat-shoes yang dikenakannya. Namun Reno diam saja, ia malas menanggapi ocehan wanita itu.
Sesampainya di basement tempat parkiran, Reno melangkah cepat ke arah mobilnya meninggalkan Sitta yang sedang sibuk memperbaiki dandanannya di dekat kantor security.
Sesampainya di depan mobilnya, ia melihat sosok yang baru saja dikenalnya tadi malam. Reno segera menyapanya.
"Assalamu'alaikum, Zura."
"Wa'alaikumussalam." Zura menoleh ke arah Reno. Ia terkesiap melihat penampakan pria yang membuatnya tidak nyenyak tidur tadi malam. Ternyata parkir mobil mereka bersebelahan.
"Eh, Mas Reno. Pagi, Mas!" Zura saat ini sedang mencoba mengendalikan jantungnya.
"Pagi...mau ke kampus?" Reno tersenyum ramah. Ada perasaan senang di sudut hatinya bertemu dengan gadis ini. Setidaknya mengobati kesalnya pagi ini.
"Nggak. Mau ke rumah dosen pembimbing, konsul. Mas Reno mau kerja?" Zura yang pagi ini mengenakan celana kulot berbahan denim dengan atasan kaos yang dibalut cardigan putih terlihat menarik dan cantik di mata Reno.
"Iya, mau berburu jamur." Reno menjawab dengan senyum. Sang singa berubah menjadi kucing anggora.
"Ohh...mau belanja ke pasar ya, Mas?"
Reno langsung tergelak mendengar pertanyaan Zura, lucu. Mungkin di pikiran Zura seorang Reno itu adalah buruh masak.
"Kamu lucu!" Reno berkata setelah berhasil menghentikan tawanya. Sementara Zura hanya bisa melongo melihat reaksi Reno yang ditanya mau ke pasar malah tertawa terbahak-bahak lalu menyebutnya lucu.
"Sayang, kok ninggalin aku lagi sih?" Tiba-tiba Sitta sudah berada di samping kanan Reno, menggamit lengannya dengan manja.
Pandangan Reno dan Zura sama-sama mengarah ke Sitta. Sitta menyadari Reno yang sedari tadi beramah-tamah dengan perempuan di hadapannya itu, ia langsung menunjukkan sifat kepemilikannya terhadap Reno. He's mine!
"Sayang, siapa nih? Kamu nggak ngenalin aku?" Sitta menunjuk dengan jarinya yang lentik ke arah Zura.
Reno lupa akan kehadiran makhluk ghaib yang satu ini, mengganggu saja. Bisa runyam rencananya nanti.
"Lepas!" Reno berusaha menyingkirkan jari-jemari Sitta yang menempel di lengannya. Namun Sitta semakin mencengkeram pegangannya sehingga kuku-kuku lancipnya yang penuh dengan nail-art menusuk ke kulit Reno. Ia tidak rela jika Reno memberi senyumnya pada wanita di hadapannya ini.
"Haiii...aku Sitta! Calon istrinya Reno!" Sitta menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman, sementara tangan kirinya tetap mencengkeram lengan Reno.
"Eh...i...iya, saya Zura." Zura menyambut uluran tangan Sitta dengan gugup. Ada sedikit rasa patah hati menyeringai di sudut hatinya.
"Sitta!" Reno menatap tajam pada Sitta. Ia tidak suka jika Sitta selalu mengaku-aku sebagai calon istrinya kepada setiap perempuan yang ditemuinya. Karena seingatnya ia belum pernah melamar wanita siluman ini.
"Sayang, katanya mau buru-buru berangkat. Ayo!" Sitta mengacuhkan sikap Reno dan mengabaikan keberadaan Zura yang masih berdiri di hadapannya. Ia segera menarik tangan Reno untuk masuk ke dalam mobil bututnya.
Sebenarnya Reno ingin mengobrol lebih lama lagi dengan Zura. Namun ia baru saja ingat harus segera menyortasi jamur maitake yang baru saja datang dari Jepang.
Reno segera melajukan mobilnya setelah memberi isyarat menganggukkan kepala pada Zura yang baru saja akan masuk ke dalam mobilnya.
"Ren, aku nggak suka ya kamu tebar pesona sama cewek lain!"
Sitta berkata dengan ketus sambil membuang muka ke arah jendela.
"Maksudmu?"
"Ya tadi itu. Kamu senyum-senyum nggak jelas ke cewek itu. Aku nggak suka!" Sitta menaikkan intonasinya, menunjukkan sikap arogannya.
"Apa hak kamu?" Reno tetap mengarahkan pandangan ke jalan.
"Aku calon istri kamu!" Sitta memandang tajam sembari membentak Reno.
"Siapa bilang? Kapan aku melamar?" Skakmat! Kalimat itu selalu menjadi senjata pamungkas Reno untuk memojokkan Sitta.
"Aiissh...panasss! Ngapain sih kamu bawa pulang mobil ini? Padahal kamu punya porsche juga. AC-nya nggak berfungsi kali nih." Sitta mencoba mengalihkan pembicaraan. Kalau Reno sudah mengungkit-ungkit soal dia yang belum pernah melamar, Sitta keok. Sitta sudah mencoba segala cara untuk membujuk Reno segera melamarnya, namun sia-sia. Tapi Sitta masih punya satu cara terakhir untuk membuat Reno segera menikahinya. Dan ia akan menggunakan cara itu jika memang terpaksa.
Sementara Reno, ia sudah semakin tidak tahan menghadapi arogansi Sitta. Tadi masalah perempuan lain, sekarang mobilnya. Mobil pertama yang dibeli dengan jerih payahnya bekerja part-time di Sidney. Sewaktu kembali ke Indonesia, mobil ini adalah kendaraan pertamanya. Ia bukan anak manja yang senang menikmati fasilitas pemberian orangtua. Dan mobil butut ini pula yang telah menjadi teman seperjuangannya sepanjang mengelola Mayala Restaurant. Jadi baginya, mobil ini historical.
"Sayang, besok kamu ambil porsche kamu ya di rumah ayah? Masak mobil bagus dianggurin? Terus kenapa sih kamu tinggal di apartemen tua itu? Padahal beli rumah mewah juga kamu mampu. Kamu ini tajir melintir lho."
Sudah cukup! Reno sudah tidak tahan lagi. Ia membanting setir lalu menyalakan lampu sein kiri. Ia meminggirkan mobilnya disamping trotoar.
"Turun!"
"Hah? Kok turun?"
"Aku bilang turun!"
"Nggak mau!"
"Turun!"
"Nggak mau!"
"Turun atau kupecat!"
Akhirnya Sitta mengalah, dengan kesal ia segera turun dari mobil Kijang 2004 tersebut. Ia tahu saat ini percuma berdebat dengan singa yang sedang mengaum. Reno segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Sitta yang sedang meradang di pinggir jalan.
"Sabar, Sitta...kesabaran akan berbuah manis." Sitta tersenyum licik.
***