Chapter 8 - 8. Jadian?

Sudah seminggu sejak pemakaman Maya, namun Kananta masih betah mengurung diri di dalam rumah. Untuk sekolah pun ia enggan. Rasa bersalah masih kerap menghantuinya.

Andai saja saat itu ia mengetahui kondisi ibunya, andai saja saat itu ia tidak membenci, andai saja saat itu ia tidak marah, andai saja saat itu ia lebih peka andai saja...seluruh andai bahkan tidak akan memutar waktu yang telah berlalu, tak juga akan menghidupkan kembali ibunya.

Raganya tak terurus, penampilannya apalagi. Wajahnya tirus, matanya memerah, kantung matanya gelap menebal, bibirnya putih mengering, tubuhnya mengurus.

Melihat kondisinya anaknya yang seperti itu, Yudho ayahnya pun sempat ikut terpuruk dalam kesedihan yang berlarut-larut, namun untung saja Yudho masih ingat memiliki Allah Yang Maha Besar, lebih besar dari segala masalahnya yang besar.

Namun beda halnya dengan Kananta yang semakin tenggelam dalam kegelapan yang menggerogoti hati dan pikirannya. Ia belum ikhlas, sungguh belum ikhlas dengan kepergian ibunya.

Apakah ini cara Allah menghukumnya? Tapi...kenapa? Ia bukan seorang yang soleh, tapi ia juga bukan seorang penjahat. Pikirannya semakin berkelana kemana-mana, semakin jauh, semakin ngawur.

"Den Nanta, ada teman-temannya datang mau menjenguk." Bik Dar, asisten rumah tangganya membuka sedikit pintu kamarnya.

"Saya sudah bilang berkali-kali, ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar saya!" Kananta membentak Bik Dar. Matanya meradang seperti singa yang siap menerkam.

Jika saja Kananta bukan anak dari majikannya, mungkin Bik Dar sudah balas menghardiknya. Bagaimanapun juga ia sudah tergolong sepuh. Dan ia sudah lelah menghadapi sikap abnormal Kananta seminggu ini.

Namun Bik Dar menyadari perubahan sikap anak majikannya ini adalah pelampiasan kesedihan Kananta karena kepergian ibunya.

"Maaf, Den. Saya sudah ketuk berkali-kali. Tapi Den Nanta diam saja, tidak ada jawaban. Saya khawatir Den Nanta kenapa-kenapa."

Bukannya menyesal, Kananta malah bertambah berang mendengar penjelasan Bik Dar. Saat ini dia tidak ingin ada seorang pun yang membantah ataupun menyalahkannya.

"Usir mereka semua! Saya tidak mau bertemu siapapun!"

"Enak aja lo main usir-usir. Orang datang pake niat baik, enak aja disuruh pergi." Suara seorang laki-laki dari balik pintu menjawab. Kemudian tiga kepala manusia menyembul dari balik pintu.

Fadil, Violet, dan Ara melangkah memasuki kamar. Sedangkan Bik Dar melangkah pergi, ia sedang malas meladeni sikap Kananta yang semakin hari semakin absurd.

"Gue udah bilang ya, gue nggak mau ketemu siapapun!" Kananta menjambak rambutnya kesal.

"Jadi cowok kok cengeng! Cemen!" Ara mengacungkan jempol kanannya ke bawah. Komentar pedas Ara justru menjadi tambahan bahan bakar untuk emosi Kananta yang memang sudah terbakar.

Bisa digambarkan, sepasang tanduk merah kasat mata sedang muncul diatas kepala Kananta saat ini.

"Heiii, semar mendem! Lo ngerti apa?" Kedua bola mata Kananta membelalak seperti hampir lepas dari tempatnya.

"Heiii serabi oncom! Lo lupa kalo kita juga udah ngga punya Mama?"

Jleb! Balasan Ara menyadarkannya. Kananta lupa jika Violet dan Ara juga sudah tidak memiliki seorang ibu. Kananta terdiam, rasa malu diam-diam menelisik. Ia menundukkan kepalanya.

Namun tetap saja, ia merasa kesedihannya saat ini adalah yang paling diantara yang paling. Dengan kata lain, ia adalah orang yang paling merana di dunia ini. Egois memang!

"Sorry!" Hanya itu balasan Kananta. Namun sikapnya masih dingin.

Violet langsung menghampiri Kananta yang terduduk di atas kasur dan segera mendekapnya erat.

"Please, Nta! Stop this! Berhenti, Nta! Aku mohon!" Violet berteriak tertahan.

Tak terasa bulir-bulir air mata Violet mengalir membasahi kaos yang dikenakan Kananta. Kananta terkesiap, kaget dan tidak siap dengan perlakuan Violet. Namun nalurinya bekerja, tangan Kananta balas memeluk Violet. Bahkan memeluknya sangat erat. Tangisnya pun pecah seketika.

Ia menumpahkan segala bebannya di sisi Violet. Seketika suasana kamar tersebut hening, hanya terdengar suara isak tangis. Tanpa disadari sepasang manusia yang sedang saling berpelukan tersebut, ada seorang manusia lainnya yang merasa jengah, panas melihat pemandangan tersebut. Namun ia bisa apa? Cuma remahan rengginang, pikirnya.

"Nta, aku sayang banget sama kamu. Aku ngga kuat lihat kamu begini. Tolong...hentikan semua ini." Tanpa sadar pengakuan tersebut meluncur dari lisan Violet.

"Aku juga sayang kamu, Vi."

"Aku juga nggak mau kehilangan kamu."

Demi apa? Violet tak menyangka perasaannya berbalas begitu saja. Entahlah, ia bisa mempercayai pernyataan Kananta ini atau tidak. Karena saat ini anak lelaki tersebut sedang dalam kondisi serapuh-rapuhnya seorang manusia.

"Nta...aku janji akan selalu ada untuk kamu."

Fadil dan Ara bergeming menyaksikan pemandangan tersebut. Masing-masing sibuk dengan perasaan yang berkecamuk dalam batin mereka.

Namun tanpa mereka bertiga ketahui, seseorang disana hanya bisa mengepalkan tangannya menahan amarah, sakit, dan cemburu. Namun lagi-lagi, apa yang bisa dilakukan remahan rengginang selain berada di dasar kaleng biskuit?

Tak lama Kananta dan Violet saling melepaskan pelukan. Pandangan mereka bertemu, berusaha mengembalikan kesadaran masing-masing. Wajah Violet merona, menyadari apa yang baru saja mereka lakukan. Ia tertunduk malu. Namun tatapan Kananta semakin dalam.

"Jadi...kita? Jadian?"

***

Violet sedang gelisah di atas ranjangnya. Sebentar-sebentar badannya berguling ke kiri, sebentar berguling ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi, dan akhirnya bangkit duduk.

Galau! Sungguh galau ini menyiksanya. Sudah empat hari semenjak kunjungannya ke rumah Kananta. Selama itu pula Violet berusaha untuk menghindari bertemu dengannya. Bukan apa-apa, ia masih bingung menjawab pertanyaan Kananta waktu itu.

Kita jadian? Kalau mau mengikuti Standard Operating Procedure (SOP)-nya orang pacaran sih seharusnya begitu. Toh, waktu itu mereka berdua sudah sama-sama mengungkapkan perasaan masing-masing.

Tapi 'kan waktu itu kondisi Kananta sedang depresi. Apa iya waktu itu dia berbicara menggunakan akal sehatnya?

Violet menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali. Lagipula, yang menjadi pertimbangan utamanya bukan itu. Kalaupun ungkapan perasaan Kananta waktu itu memang berasal dari akal sehatnya, kata 'jadian' tetap tidak mungkin terwujud. Entahlah, remaja ABG ini sedang mengalami yang namanya 'labil'.

Ckrek! Pintu kamarnya terbuka. Ara melangkah masuk ke kamarnya lalu memposisikan dirinya untuk duduk di samping Violet.

"Mbak Vi..."

"Hemmm..."

"Masih bingung?"

"Nggak tau deh, Ra." Violet menghela napas kasar.

"Diomongin deh sama Kak Nanta."

"Ya nggak mungkinlah, Ra."

"Kenapa?"

"Iiish...aku malu, tau."

"Yaelah, udah peluk-peluk mesra gitu masih malu?"

"Araaaaaaa!!" Violet memukul-mukul Ara dengan bantal.

"Iihhh...Mbak Viii, sakit tauuu!" Ara berusaha menangkis dengan lengannya.

"Kamu siiih! Malu, tau kalo inget-inget itu!"

Ara menertawakan sembari memegangi perutnya yang merasa geli dengan tingkah kakaknya. Spontan Violet mencubiti perut Ara dengan gemas. Ia tak tahan jika terus-terusan diledek seperti ini. Ara mengemis memohon-mohon ampun sambil meringis menahan nyeri efek cubitan diperutnya.

"Makanya...jangan rese!"

"Iya Mbak, ampuuun! Cubitannya pedes iiih berasa sambel mercon."

"Lebay!" Violet mencibir dengan mulutnya.

"Tapi...Mbak Vi 'kan juga suka sama Kak Nanta. Terus, apa masalahnya?" Ara masih mengelus-elus perutnya yang masih merasakan efek cubitan tadi.

"Yaaa...gitu deh."

"Tapi Mbak...kasian Kak Nanta kalo nasibnya kayak gantungan kunci yang cuma digantung."

Benar juga omongan Ara. Violet tidak mungkin tidak memberi kepastian pada Kananta. Apalagi Kananta termasuk cowok populer di sekolahnya.

Intan, Gita, Farah, Sitta, dan masih banyak lagi cewek-cewek yang tergabung di fans club 'Pejuang Kananta'. Sitta pelopornya yang memberi nama fans club tersebut. Sitta adalah wakil ketua OSIS di SMA Harapan Negeri.

Sudah menjadi rahasia umum, kalau Sitta menyukai Kananta sejak dahulu kala. Sitta dan Kananta selalu satu sekolahan semenjak SD, namun anehnya mereka tidak pernah dekat. Tapi lebih tepatnya tidak pernah dekat dikarenakan Kananta yang selalu menghindar dari cewek posesif itu.

"Dihhh...si Mbak malah ngelamun. Hellooo..." Ara mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Violet.

"Eh...nggak, kok."

"Hayooo...masih mikirin waktu peluk-pelukan itu yaaa?" Sekali lagi Ara meledek.

"Araaaa! Cubit sampai kempes nih." Violet sudah mengambil ancang-ancang dengan jari-jarinya.

"Iya...iya. Maaf deh, makanya lain kali dipikirin dulu sebelum bertindak. Coba kalo aku sama Kak Fadil nggak ada disitu, bisa ngapain kalian berdua? Hayooo..." Ara masih betah menjahili kakaknya yang sudah semerah tomat.

"Araaaaaa!!" Violet sekali lagi berniat menimpuk Ara dengan bantal-bantal di atas ranjang. Namun kalah cepat dengan gerakan Ara yang sudah berlari ke arah pintu kamar.

Ara menjulurkan lidahnya meledek lalu menutup pintu kamar. Tiga detik kemudian pintu kembali terbuka.

"Oh iya lupa, Kak Nanta-nya nunggu di bawah tuh."

--------

Violet menuruni anak tangga perlahan, seakan-akan menjaga langkahnya agar tidak terjatuh. Padahal ia hanya sedang mengulur waktu. Masih bingung bagaimana harus menghadapi Kananta saat ini.

Canggung! Ia merasa lebih baik hubungan mereka kembali biasa seperti sebelumnya. Hubungan tanpa status.

Sungguh, ia tidak memerlukan kejelasan status. Hanya mengetahui bagaimana perasaan Kananta terhadapnya, itu sudah lebih dari cukup baginya.

Violet memiliki dua alasan, kenapa ia takut menyandang gelar 'pacar'. Yang pertama, Alwan papanya. Yang kedua, Indigo kakaknya. Mereka adalah pria-pria over-protective yang sangat menjaga Violet dan Ara. Terutama Indigo, sejak kuliah di Bandung, pria 19 tahun tersebut bergabung dalam kepengurusan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di kampusnya.

Indigo saat ini sedang dalam proses hijrah. Biar jadi calon imam yang keren nantinya, begitu katanya. Jadi bisa dipastikan bahwa kata 'pacaran' atau 'jadian' tidak ada dalam kamusnya.

Nah, apa jadinya nanti jika Indigo mengetahui adiknya berstatuskan 'pacar'? Bisa tamat riwayat Kananta.

"Nta..." Saat ini Violet sudah berada di hadapan Kananta yang duduk di sofa.

"Eh, Vi...ehm...apa kabar?" Tuh 'kan canggung.

"Eh...ehm...baik."

"Oo...alhamdulillah."

"Iya, alhamdulillah."

Lalu...krik krik krik...senyap berganti suara jangkrik.

Violet akhirnya mengambil duduk di sofa seberang. Untuk beberapa menit kedua manusia itu saling terdiam, sebelum akhirnya sama-sama mencoba memulai pembicaraan.

"Nta..."

"Vi..."

Suara mereka keluar bersamaan.

"Eh..."

"Eh..."

Dan terjadilah canggung part 2.

"Ada perlu apa, Nta?" Akhirnya Violet duluan yang bicara.

"Eh...emmm...itu..." Kananta mengelus-elus kepala belakangnya.

"Eh...kamu nggak mau nanyain kabarku?"

"Hah?" Violet menjadi bingung. Jadi kesini cuma karena ingin ditanyakan kabarnya?

"Kabarku alhamdulillah baik juga." Kananta sudah menjawab sendiri sebelum ditanyakan.

"Aku 'kan belum nanya."

"Eh...iya, ya." Kembali Kananta mengelus kepala belakangnya dengan agak kasar.

"Iihhh...apa sih, Nta? Jadi kamu kesini cuma karena pingin ditanyain kabarnya?" Violet mulai jengah.

"Hah? Nggak, tuh."

"Ya terus?"

"Terus? Yaa...gitu deh."

"Gitu apa?"

"Eh...ehm...apa ya?" Demi apa? Situasi ini sungguh menyeramkan bagi Kananta. Lebih baik dia menghadapi Pak Sastro, guru kimia paling killer di sekolah daripada harus berhadapan dengan Violet saat ini dan mengatakan tujuan sebenarnya bertandang ke rumah ini.

"Ya ampuuun, Nta. Cepetan dong ngomong. Jadi keki, nih." Violet sudah tidak sabar. Ia ingin segera mengakhiri situasi aneh ini. Jangan sampai ada canggung part 3.

"Itu...anu.."

"Ntaaa!"

"Vi...kita pacaran ya?"

Deg!

"Maaf...Nta. Aku nggak bisa."

***