Chereads / Ketika Ungu Menjadi Biru (Completed Story) / Chapter 5 - 5. Violet dan Zura

Chapter 5 - 5. Violet dan Zura

Tahun 2007

BRAAAKKK!

Suara pintu ruang tamu dibanting dengan kasar.

"Dasar pengki penyok! Kresek bolong! Ijuk botak! Kerak panci!" Segala cacian untuk semua peralatan rumah tangga terhambur keluar dari mulut siswi kelas VII yang bertubuh agak tambun ini setelah memasuki rumahnya, mengejutkan 2 pasang mata di ruang tamu yang sontak terperangah sekaligus geli mendengar cacian tersebut.

Sadar ada 2 manusia yang memperhatikannya, gadis kecil berkacamata dengan rambut diikat ponytail ini merespon, "Apaan liat-liat?!"

"Ck ... ck ... ck ... ck ... tuh mulut kayak ngga disekolahin! Masuk rumah tuh salam dulu, kek. Assalamu'alaikum, gitu." Seorang gadis yang terpaut usia 2 tahun diatasnya menegur.

"Assalamu'alaikum, Mbak Vi. Udah? Puas?" jawabnya dengan nada menantang.

"Hei, lo kalo ngomong sama yang lebih tua yang sopan, dong! Violet itu kakak lo!" Penghuni lain di ruang tersebut ikut menegur.

"Eh, Einstein junior, nggak usah sok ngajarin gue, ya!"

"Nggak apa-apa, Nta. Palingan ada masalah lagi di sekolah. Ara, ganti baju sana! Jangan lupa telepon Papa." titah Violet pada adiknya.

"Ogah! Malesss!" Gadis kecil yang dipanggil Ara ini melenggang acuh menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.

Sementara Violet dan Kananta hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Ara.

"Yakin itu adekmu, Vi? Kok kayak orang abis keselek wajan ya?" Violet sontak tertawa mendengar komentar Kananta.

"Kita penghuni rumah udah biasa ngadepin kelakuan Ara yang begitu. Tapi aslinya dia itu anaknya baik dan suka bikin gemes, kok."

"Iya sih, pipinya bikin gemes. Yang kiri bakso urat, yang kanan bakso keju." Violet dan Kananta sama-sama terpingkal-pingkal membayangkan pipi Ara yang gembil itu.

"Sekalian aja bakso tenis!" Teriak Ara yang masih berada di ujung anak tangga teratas. Ara mengepalkan kedua tangannya erat sambil menahan bulir-bulir bening menetes dari balik kacamatanya.

Sudah lelah batin dengan bully-an yang ia terima hari ini di sekolah, ditambah lagi dengan ledekan Kananta, teman sekaligus gebetan kakaknya. Postur tubuhnya yang tambun, wajahnya yang bulat, pipinya yang tembem, kerap kali menjadi bulan-bulanan teman-temannya di sekolah.

Ara langsung beranjak masuk ke dalam kamarnya, segera menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dan membenamkan wajahnya erat-erat pada bantal bersarung spiderman kesayangannya.

Tak sampai semenit ia melepaskan bantal tersebut dari wajahnya dan menghirup oksigen banyak-banyak. Engap juga ternyata.

Ara bangkit dan segera mengganti seragamnya dengan pakaian rumahan andalannya. Kaos oblong size jumbo dan celana training. Dengan tidak sengaja pandangan Ara teralih pada cermin panjang yang terpampang di pintu lemari pakaiannya.

Sejenak Ara memperhatikan refleksi dirinya dari atas kepala hingga bawah kaki lalu melepas nafas dengan kencang sambil menghapus sisa-sisa air mata yang masih nemplok di pipi tembemnya yang mulus.

"Azura Andhara, lo harus bisa kurus! Harus!" Ara menunjuk pada dirinya sendiri di cermin.

Ara keluar kamar menuruni anak tangga lalu berjalan menuju dapur. Ia segera mengenakan apron kesayangannya yang bermotif polkadot lalu membuka kulkas.

Ara mengamati bahan-bahan apa saja yang masih memenuhi kulkas 2 pintu tersebut. Lalu ia berpikir sejenak hidangan apa kali ini yang akan menjadi eksperimen sebagai pelampiasan rasa kesalnya hari ini. Apakah cumi gejrot? Tahu bonyok? Pisang geprek?

Ya, sejak kecil Ara terbiasa melampiaskan emosi kesal atau marahnya dengan menjelajahi isi dapur, ajaran dari mamanya sewaktu masih hidup.

Tapi ia lebih suka membuat masakan pedas. Dari mulai masakan setan, siluman, dedemit, jadi-jadian, mercon, hingga petasan sudah pernah dicobanya. Yang penting tinggal modal cabai 10 kg saja.

Semenjak mamanya meninggal, jadilah urusan dapur berada di tangan Ara kecil yang ternyata mewarisi bakat memasak dari mamanya itu, berbeda dengan Violet yang mewarisi bakat seni dari sang Kakek. Walaupun sudah ada 2 orang asisten rumah tangga yang dipekerjakan di rumah mereka, namun papanya lebih senang menyantap masakan putri bungsunya itu.

"Waaah ... mau masak apa nih sekarang? Bikin yang enak ya." Violet menghampiri dari arah belakang. Kehadirannya mengejutkan Ara yang sedang mengiris bawang.

"Awww!" Ujung mata pisau menyenggol telunjuk kiri Ara, untungnya hanya sedikit merobek kulit tidak sampai berdarah.

"Ngagetin aja! Untung ngga berdarah nih." Protes Ara.

"Ngirisnya sambil ngelamun sih. Masih kesel?" tanya Violet dengan tangan bersedekap di depan dada.

"Bukan urusan Mbak Vi!" Jawab Ara dengan agak ketus lalu lanjut dengan kegiatan mengiris bawang. Tanpa sadar mata bening Ara sudah berkaca-kaca.

Ra, kamu nangis lagi?" Violet menghadap wajah Ara.

"Ulah si bawang, Mbaaak!" Ara berteriak tertahan. Violet tak percaya begitu saja kalau tetes-tetes bening yang bertengger di ujung mata adiknya itu memang karena ulah si bawang.

Violet menghela napas sebelum melanjutkan, "Ra, kamu di

-bully lagi? Sekarang ulahnya siapa? Sena? Rafi? Tasya? Devi?Atau mereka semua?"

"Iihhh ... dibilangin bukan urusan Mbak Vi! Udah sana balik aja ke Kak Nanta." Sebenarnya batin Ara perih jika mengingat tragedi siang tadi di sekolah, batinnya menggebu ingin mencurahkan segalanya pada kakak perempuannya itu.

Namun apa daya, Ara tidak ingin peristiwa sebulan yang lalu terulang kembali. Dimana Violet mengadukan perihal perundungan Ara di sekolah kepada kakak pertama mereka, Indigo yang saat ini kuliah di Bandung. Saat itu Indigo nekat bolos dari kuliahnya, kembali ke Jakarta untuk mendatangi sekolah Ara dan mencari dalang perundungan adiknya ini. Hingga alhasil Ara malah semakin menjadi target pem-bully-an dengan tambahan gelar 'Tukang Ngadu'.

"Kananta udah pulang, kok. Bener nih, nggak mau cerita sama aku?" Violet menyentuh pundak kanan Ara.

"Ara nggak apa-apa, Mbak. Tadi cuma masih terbawa suasana aja." Ara menampilkan senyum penuh keterpaksaan.

Karena kalau tidak, wawancara kakaknya akan tambah panjang kali lebar sama dengan luas persegi.

"Lain kali kalo udah masuk ke rumah suasananya diganti, dong." Violet mencibir.

"Emangnya channel tv bisa diganti-ganti." Ara balik mencibir sambil menumis bumbu di wajan.

"Ya samain aja sama tv."

"Ini hati, Mbaaak! Bukan tv!"

***

"Iya Papa, Ara bakalan hati-hati. Jalan kaki kan sehat. Pak Rahman biar jemput Mbak Vi aja. Ok, Pa...miss you too. Wa'alaikumussalam." Ara menekan tombol off di hp sejuta umat-nya. Ara melanjutkan perjalanan kakinya dari sekolah menuju rumah yang jaraknya sekitar 4 km itu. Sudah seminggu ini Ara mempraktekkan gerak jalan untuk perjalanan pergi pulang sekolahnya. Meskipun nantinya menghasilkan betis talas bogor, setidaknya body biola tak berdawai akan diperoleh, itulah yang tertanam di pikiran Ara. Belum sampai 1 km perjalanan, Ara sudah sangat merasa lelah, tiba-tiba pandangannya buram, ulu hatinya terasa nyeri dan ngilu. Ia baru saja ingat sejak pagi perutnya hanya diisi oleh selembar roti gandum dan segelas air putih.

Ara menghentikan langkahnya, lalu tertunduk sambil berpegangan pada kedua lututnya. Sengatan panas matahari semakin menyakitkan kepalanya. Ara mencoba bangkit berdiri tapi dirasa kakinya mulai goyah, pandangannya mulai gelap, dan tubuhnya sudah serasa melayang ... BRUKKK. Ara merasakan ada yang menopang tubuhnya sesaat sebelum hilang kesadaran.

***

"Ara ... ara! Bangun!" Merasa ada yang menepuk-nepuk pipinya dengan lembut, Ara mencoba membuka matanya perlahan. Pelan-pelan Ara mengedar pandangan lalu kembali melihat wajah di hadapannya. Setelah penglihatannya jelas, Ara terkesiap lalu segera bangkit duduk.

"Inna lillahi!" serunya kaget. Ia tidak menyangka tadi tertidur di pangkuan Kananta. Wajah Ara memerah seketika.

"Ya ampun, Ra. Emangnya gue musibah?" Kananta mengelus dadanya.

Sementara Ara masih terdiam kaku dengan wajah merahnya, otaknya masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Saat ini ia berada di jok tengah mobil yang sedang berjalan.

"Alhamdulillah, Non Ara sudah sadar." Sahut seorang lelaki paruh baya yang sedang mengemudikan setir. Ia adalah Pak Hasyim, supir pribadi keluarga Kananta. Sehari-hari biasanya Kananta menggunakan angkutan umum untuk pergi-pulang sekolah. Ia tidak suka dengan fasilitas mobil dan supir yang diberikan oleh ayahnya. Apa kata teman-temannya nanti? Namun hari ini ia terpaksa menuruti kemauan ayahnya untuk dijemput oleh pak Hasyim. Karena ia harus mewakili ayahnya yang sibuk untuk datang menghadiri pesta ulang tahun Tante Raras, adik ayahnya. Dan dalam perjalanan pulang dari sekolah tadi, di tengah jalan ia melihat sosok Ara yang sudah pucat dan lemah. Kananta segera meminta Pak Hasyim meminggirkan mobil dan segera berlari menghampiri Ara yang ternyata akan jatuh pingsan.

"I—i—ini ... Lo nga—ngapain gue? Jgn jadi pedofil ya!" Ara berteriak kencang sambil menjauh dari posisi duduk Kananta dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada sebagai bentuk proteksi.

"Woooy, bakpao keju! Lo tuh tadi pingsan! Gue cuma nolongin aja." Kananta menaikkan suaranya, tidak terima tuduhan unlogis dari Ara.

Ara terdiam dan tertunduk malu karena baru saja teringat kondisinya yang memang lemah lunglai tadi di jalan.

"Ma—ma ... maaf, Kak!" sesal Ara masih dengan pandangan tertunduk.

"Ya udahlah. Sekarang gimana kondisi lo? Masih pusing?" Kananta merendahkan suaranya.

Ara hanya menggelengkan kepalanya yang masih tertunduk.

"Kruk ... kruk"

Mendengar suara tersebut pandangan Kananta dan Ara sama-sama tertuju ke arah sumber suara yang tak lain adalah perut Ara.

"Ya ampuuun ... si perut nggak bisa diajak kompromi. Nggak banget sih ringtone-nya." Ara berucap dalam hati menahan malu.

"Lo belum makan?"

Ara menggelengkan kepala.

"Lagi puasa?"

Ara yang ditanya bingung menjawab. Karena memang ia belum mengisi lagi perutnya setelah sarapan pagi tadi. DIET! Ara sedang ketat menggalakkan program tersebut.

"eng—eng—enggak, kok. Tadi udah makan di kantin ... tapi sedikit." Ara terpaksa berbohong daripada menahan malu jika berkata yang sebenarnya. Pasti akan ditertawakan oleh si Einstein Junior ini. Ara masih tertunduk belum berani menatap mata Kananta.

"Ya udah. Pak Rahman, cari drive thru ya. Nanti beli burger aja."

Setelah membeli burger di drive thru milik resto fastfood ternama yang berlogo M itu, Kananta beserta Pak Hasyim mengantarkan Ara pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, Violet menyambut kepulangan Ara di depan teras setelah sebelumnya Kananta menghubungi Violet dengan meminjam handphone milik Pak Hasyim dan menceritakan kronologis yang menimpa Ara.

"Nta, makasih banyak ya udah nolongin adekku." Violet menyuguhkan senyum manisnya untuk Kananta.

"Eh, i—iya, sama-sama. Aku pamit, ya." Kananta menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan salah tingkah. Senyum Violet selalu saja membuatnya gagal fokus.

Ara yang memperhatikan sikap keduanya justru merasa jengkel.

"Udah yuk, Mbak. Kita masuk!" Ara menggiring Violet menuju pintu rumah.

Tiba-tiba terdengar teriakan Kananta dari luar pagar, "Woooy, bakpao keju! Jangan lupa dimakan burgernya. Jaga kesehatan!"

Dan Ara kecil mengulum senyum dalam diam.

***