Chapter 6 - 6. Nasi Goreng

Bel tanda waktu istirahat di sekolah telah berkumandang. Sontak hampir seluruh manusia berseragam putih abu-abu menyeruak keluar dari masing-masing kelasnya. Tak terkecuali Kananta, ia bergegas berjalan menuju kantin.

Sudah sejak sejam yang lalu cacing-cacing di perutnya berdemo meneriakkan kata "siomay". Ya, sudah 2 bulan lamanya ia puasa memakan siomay favoritnya di kantin dikarenakan Bu Sani penjualnya melahirkan anak keempatnya.

Dan pagi tadi Fadil, sahabat sekaligus teman sebangkunya, mengabarkan jika Bu Sani yang juga tetangga Fadil, akan mulai berjualan siomay lagi hari ini.

"Eh, Bu Sani. Akhirnya jualan juga." Kananta menyapa Bu Sani ramah dengan wajah sumringah.

"Eh, Nanta. Kangen ya? Sama ibu apa siomaynya?" Bu Sani membalas dengan menggoda. Tangan kirinya sibuk menggendong bayi kecilnya. Sedangkan tangan kanannya sibuk menyiapkan pesanan.

"Hehe ... dua-duanya, Bu. Tapi perut saya yang kangen."

"Yah, masa cuma perutnya. Hatinya nggak?" Bu Sani mengerlingkan matanya.

"Yaelah si Ibu, udah anak 4 masih aja ganjen kemana-mana. Sama anak dibawah umur pula." Kananta cuma membatin dalam hati.

"Hati saya juga kangen, Bu. Tapi kangennya sama Ibu-ibu yang lain."

Kananta tidak berbohong. Hatinya memang merindukan seseorang, ia merindukan ... Ibunya.

Sudah 3 bulan ia tidak bertatap muka dengan ibu kandungnya. Saat ini orangtuanya sedang dalam proses perceraian. Sejak proses perceraian berlangsung, Kananta tinggal bersama ayahnya dikarenakan ibunya yang saat ini memilih berdomisili di Singapura.

Walaupun judulnya tinggal dengan sang ayah, namun tetap saja faktanya ia seperti hidup sebatang kara. Ayahnya sendiri pun jarang sekali berada di rumah karena kesibukannya.

Hanya Pak Hasyim supirnya dan Bik Dar asisten rumah tangganya yang menemani kesehariannya. Sebenarnya sudah sejak setengah tahun ini Kananta melihat ketidak-harmonisan orangtuanya, tapi ia memilih diam dan menyimpan sedihnya rapat-rapat. Bagaimanapun juga ini aib keluarganya dan ia tidak suka jika orang lain menaruh iba padanya.

Tak seorang pun mengetahui kisah sedihnya ini, tidak juga Fadil sahabatnya, ataupun Violet gadis kecil yang diam-diam telah menghuni hatinya belakangan ini.

"Yaaah ... kalah saing. Terus gimana nasib ibu dong?"

"Tanyakan pada Tuhan, Bu."

-----------------

"Kanantaaa!" Violet berlari cepat menghampiri Kananta yang sedang asyik menyantap 2 porsi siomay favoritnya di kantin.

"Yaaah, kok kamu udah makan, sih? Padahal aku bawain bekal lagi nih!" Violet segera memposisikan dirinya duduk disamping Kananta, menggeser posisi Fadil yang awalnya duduk disebelah Kananta.

"Ya ampun, Viii ... main selonong, bae! Ngapain anak seragam putih biru nyempil-nyempil di sarangnya putih abu-abu?" celetuk Fadil dengan wajah kesal.

"Iih ... bawel lo, Dil! Kan gue juga lagi jam istirahat. Lagian cuma nyeberang gedung ini. " Jawab Violet dengan nada agak ketus.

Posisi gedung sekolah SMP dan SMA Harapan Negeri tempat Kananta dan Violet menuntut ilmu memang masih berada dalam satu komplek yayasan. Lapangannya pun terletak bersebelahan. Sehingga memudahkan siswa-siswi SMP dan SMA-nya untuk berbaur.

Walaupun Kananta dan Violet seumuran, namun karena otak jeniusnya, ia berhasil loncat kelas saat di sekolah dasar.

"Eh, Vi ... gue tuh senior! Panggil 'Kak' gitu kek. Lagian sama Kananta ngomong 'aku—kamu', giliran sama gue pakenya 'gue—elo'. Keliatan tuh modus lo!"

Wajah Violet langsung menegang ketika mendengar kata 'modus' terucap dari bibir Fadil. Khawatir Kananta menangkap maksud ucapan Fadil.

Untung saja Kananta tetap acuh dengan perang mulut antar dua manusia disebelahnya ini dan tetap fokus menikmati siomay kesukaannya. Ketidak-akuran mereka sudah menjadi santapannya sehari-hari.

"Eh, Nta cobain dong bekalnya. Hari ini aku bikin nasi goreng pesanan kamu, lho." Violet tidak mau lanjut menggubris omongan Fadil. Tangannya segera membuka kotak bekal dan menyodorkannya ke hadapan Kananta.

Kananta segera cepat menghabiskan siomaynya dan menyendok kotak bekal dihadapannya. Ia baru saja ingat jika kemarin ia memang meminta dibuatkan nasi goreng oleh Violet.

Selain siomay, makanan favorit utamanya adalah nasi goreng, terutama nasi goreng buatan ibunya. Ia sangat merindukan masakannya. Untuk urusan masakan, ibunya memang ahlinya.

Dulu ibunya sempat bercita-cita ingin menjadi seorang chef, namun sayang impiannya harus pupus dikarenakan adanya perjodohan dengan sang ayah.

Sesaat Kananta menikmati sensasi rasa dari nasi goreng tersebut. Tiba-tiba kedua bola matanya membelalak. Perasaan rindu membuncah di hatinya. Rasa itu persis ... persis masakan ibunya.

Tanpa ba-bi-bu, Kananta segera melahap nasi goreng tersebut. Walaupun perutnya telah terisi penuh oleh 2 porsi siomay Bu Sani, ia tetap menyantap nasi goreng tersebut dengan lahapnya.

Jika saja ia tidak sedang makan di hadapan puluhan manusia di sekitarnya, saat ini airmata bisa dipastikan sudah keluar dari pelupuk matanya. Rasa rindu kepada ibunya kian membuncah.

"Laper, Bang? Habis puasa ramadhan, ya?" Fadil memperhatikan cara makan Kananta dengan terheran-heran.

"Seenak itukah masakan Ara? Ah, sayang tadi aku nggak nyicipin dulu." Violet menyesal dalam hati.

"Enak ya, Nta?" Violet bertanya dengan senyum manis. Kananta hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah.

"Jadi ngiler gue." Fadil yang penasaran langsung turut menyendok nasi goreng tersebut menggunakan sendok bekas makannya.

"Njir! Maknyusss!" Fadil berkomentar dengan meminjam jargon ala Bondan Winarno. Lalu ia lanjut menyendok kembali nasi goreng tersebut. Bola mata Violet mengikuti tangan Fadil.

"Iiihhh ... ngapain lo pake ikutan makan?" protes Violet ke Fadil.

"Biar nggak mubazir, Vi. Kali aja Nanta butuh bantuan." Fadil tetap lanjut menyendok nasi goreng.

"Kalo dia butuh bantuan, manggilnya tim SAR, bukan elo!"

"Emangnya musibah bencana alam?"

"Elo tuh yang musibah!"

"Anugerah!"

"Wabah!"

"Fathonah!"

"Dihhh, guru ngaji gue dibawa-bawa."

"Bisa nggak sih, gue makan dengan tenang?" Kananta menatap tajam Violet dan Fadil.

"Ya dia duluan sih yang mulai." Violet cemberut.

"Lhaaa ... gue disalahin. Kan gue cuma numpang nyicip."

"Nyicip dari Ethiopia? Nyicip tuh cuma seujung sendok, bukan secentong nasi."

"Lebay! Deketan juga Hongkong daripada Ethiopia."

"Tau dari mana lo? Emang pernah ngukur jarak?"

Tuh 'kan ... lanjut lagi.

"Udah...udah...udah! Masih mau dilanjut nih Tom and Jerry-nya?" Kananta kembali berusaha melerai. Bisa-bisa berujung jambak-jambakkan.

Violet dan Fadil sama-sama membungkam dan saling membuang muka.

"Vi, besok tolong bawain lagi nasi goreng yang rasanya persis kayak gini ya. Aku suka!" Kananta berujar dengan senyum manisnya.

Yesss! Yesss! Yesss! Batin Violet bersorak gegap gempita. Andai saja saat ini ia sedang seorang diri di kamarnya, mungkin ia akan gulang-guling, jejeritan, jumpalitan, mungkin seperti orang kerasukan.

Dalam hati ia berterima kasih kepada Ara yang rela bersusah payah sejak ba'da subuh menyiapkan bekal permintaannya.

"Oh iya, Si Bakpao Keju gimana kondisinya?"

"Bakpao keju?" Dahi Ara mengernyit bingung mendengar pertanyaan Kananta.

"Eh, maksudnya adekmu, Ara." Kananta menepuk dahinya.

"Oohhh ... udah nggak apa-apa, kok. Kemarin sore udah periksa ke klinik yang di depan kompleks. Kata dokter, asam lambungnya naik dan tensinya rendah. Udah dikasih obat, kok." Violet menjelaskan.

"Kok bisa maag sama tensi rendah ya? Kan adek lo kelebihan stok lemak gitu, apalagi di pipinya." Fadil mencontohkan dengan menggembungkan pipinya bak ikan mas koki.

"Nah justru itu, si Ara sekarang lagi program De ... I ... E ... Te. Diet! Tapi sepertinya cara dietnya yang salah." Violet memangku dagunya di atas meja kantin.

"Ya ampun, kecil-kecil udah diet. Lagi ucul-uculnya itu. Padahal sebenarnya kalo dilihat-lihat adek lo itu imut, lho." Fadil menyetel wajah sok imutnya.

"Sok tempe deh! Kapan lo liat adek gue?"

"Lo lupa? Dua minggu yang lalu gue yang nganter Nanta ke rumah lo, terus disambut dengan muka galak nan jutek bin judes sama adek lo."

"Nah itu tau adek gw jutek, kok bisa lo bilang imut?"

"Keliatan bakat imutnya. Juteknya cuma tameng aja. Ntar kalo di masa depan gue berjodoh sama dia juga gue nggak nolak." Dengan pedenya Fadil membusungkan dada.

"Dih, najong gue punya adek ipar kayak lo."

"Jangan najong-najong, ntar jatuh cintrong."

***