Kananta yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya berlari cepat memasuki rumah sakit, melewati koridor, menuju ke ruang ICU.
Setengah jam yang lalu kepala sekolah menyampaikan situasi darurat yang dikabarkan oleh ayahnya lewat telepon sekolah. Salah satu larangan yang berlaku di SMA nya adalah untuk tidak membawa segala jenis gadget ke dalam lingkungan sekolah.
Sehingga jika ada orangtua yang ingin menghubungi anaknya hanya dapat dilakukan melalui telepon PSTN sekolah.
Setelah menerima kabar tidak mengenakkan itu, Kananta bergegas menuju rumah sakit dengan Pak Hasyim yang memang sudah diperintahkan oleh ayahnya untuk menjemputnya di sekolah.
Setelah mendengar kabar buruk tadi, rasa sesal sontak menyelimuti hatinya. Kananta teringat kenangan beberapa bulan yang lalu sebelum kepergian ibunya ke Singapura.
*Flashback on
Kananta terheran-heran mendapati keberadaan ibunya di dalam mobil yang disupiri Pak Hasyim. Tidak biasanya ibunya itu turut menjemput Kananta pulang sekolah.
"Ibu ngapain disini?" Kananta bertanya dengan nada agak ketus.
"Duuuh, anak ibu yang paling ganteng bener-bener tumpukan es balok. Dinginnya minta ampun!" Maya, ibunya berusaha mencairkan dinginnya sikap sang anak semata wayang.
"Ibu ada perlu apa kesini?"
Maya mendekatkan diri guna merangkul putranya itu, "Boleh nggak satu hari ini ibu menghabiskan waktu bersama anak kesayangan ibu yang namanya Kananta Moreno?"
Kananta hanya diam.
Benaknya dipenuhi pertanyaan, permintaan yang sangat tak biasa dari ibunya ini.
"Reno, kamu mau, kan?" Hanya Maya yang memanggilnya dengan sebutan Reno. Karena Moreno adalah nama pemberian Maya, sementara Kananta adalah nama pemberian Yudho.
"Reno nggak bisa!"
"Bisa!"
"Nggak bisa!"
"Bisa!"
"Ibu!"
"Kenapa, sayang?"
"Please, jangan maksa!"
"Ya ampun, gantengnya ibu msh dingin aja. Kalah tuh beruang kutub."
"Reno pulang naik angkot!" Kananta langsung menyingkir dari hadapan ibunya. Namun dengan cepat Maya menarik lengannya.
"Ren ... please, ibu pingin nge-date sama anak ibu. Hari iniii aja. Mau ya?" Maya memelas manja layaknya anak kecil.
"Ibu masih anggap aku anak?"
"Ren ..."
"Ibu udah ninggalin aku!"
Deg! Kata-kata itu menancap jantung Maya. Dadanya nyeri, sesak. Meskipun kelihatannya seperti itu, tapi yang sebenarnya tidak begitu.
Naluri keibuannya bekerja, Maya langsung memeluk erat anaknya. Ia mengerti rasa sakit sang anak yang sudah ditelantarkannya selama beberapa bulan ini. Tapi saat ini, Maya belum siap memberitahukan kebenarannya.
Reno yang menerima perlakuan tersebut diam saja. Tubuhnya bergeming. Meskipun rasa rindunya kian menumpuk, namun ada potongan rasa sakit yang mendominasi hatinya.
"Maaf, Ren ..." Maya melepaskan pelukannya sebelum melanjutkan kalimat.
"Pokoknya ... hari ini ibu mau penebusan dosa. Kita senang-senang ya hari ini." Tanpa menunggu jawaban Kananta, Maya segera menggamit lengannya, menuntun Kananta menuju ke mobil.
Kananta tidak menolak lagi. Entah kenapa dari dulu seorang Kananta Moreno tidak pernah sanggup untuk menolak permintaan ibunya. Namun Kananta menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Seharian itu ibu dan anak ini menghabiskan waktunya untuk berkencan. Nonton bioskop, shopping, makan-makan, bahkan bermain bersama di game center yang merupakan hal yang mustahil, bahkan tidak pernah dilakukan ibunya semenjak Kananta lahir.
Karena selama itu pula waktu ibunya terkuras antara mengurus rumah tangga dengan bisnis restorannya. Tidak dipungkiri seharian ini Kananta merasa diatas angin, ia sungguh menikmati quality time hubungan antar ibu dan anak ini.
Meskipun Kananta masih menampilkan wajah datar sepanjang kebersamaan mereka, namun Maya tahu ia sudah membuat anaknya senang hari ini.
Setelah makan malam, mereka pun pulang ke rumah. Sebelum turun dari mobil, Kananta membuka pembicaraan dengan Maya.
"Bu ... terima kasih."
Maya memutar badan menghadap Kananta di sampingnya, "Sama-sama, Ren. Ibu juga senang sekali hari ini." Maya menggenggam kedua tangan Kananta erat, sangat erat seakan ini terakhir kalinya ia dapat menggenggam anaknya.
Kananta pun merasakan batin yang tak tenang, ada yang aneh dengan ibunya.
Hari ini pun wajah sang Ibu terlihat pucat, tangannya terasa dingin, lipstik berwarna mauve pun tidak dapat menyembunyikan bibirnya yang terlihat kering.
Entahlah, tapi ia enggan bertanya, walaupun hati dan pikirannya terasa sesak dengan segala tanya yang memenuhi. Namun kini hatinya yang keras sudah melunak.
"Bu, Reno sudah ikhlas dengan ..." Sejenak Kananta menghentikan kalimatnya lalu melanjutkan kembali dengan berat, "perpisahan Ibu dan Ayah."
"Bukan perpisahan, Ren. Hanya saja ibu dan ayah nantinya akan berada di dua tempat yang berbeda. Tapi cinta kami untuk kamu akan selalu ada di tempat yang sama. Di sini." Maya menempelkan telapak tangannya di dada kiri Kananta. Entahlah, Kananta merasakan ada makna tersembunyi di balik ucapan ibunya.
Tanpa disadari Kananta segera memeluk Maya. Ditahannya air mata yang sudah terasa di ujung pelupuk.
"Ren, sebenarnya ... ibu punya dua permintaan lagi. Ibu ingin kamu mengabulkan dua permintaan ibu ini. Kamu mau ya?
"Permintaan?" Kananta melepaskan pelukannya.
"Nanti. Belum saatnya kamu tahu. Nanti, pada waktunya. Tapi, ibu ingin kamu berjanji akan menuruti permintaan ibu nantinya. Mau kan?"
Kananta cepat menganggukkan kepalanya. Apapun permintaan ibunya itu akan ia turuti asalkan ibunya tak lagi meninggalkannya. Asalkan mereka terus bersama.
Maya pun bernafas lega melihat anggukan anaknya.
"Anak pintarnya Ibu, Reno ... sayang ... ibu cuma ingin kamu selalu ingat satu hal. Ibu teramat ... sangat menyayangi kamu, sangat amat sayang. Tolong jangan pernah lupakan itu."
Selanjutnya Maya kembali memeluk erat putra semata wayangnya itu. Kali ini dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya meminta Reno turun dari mobil.
*Flashback Off
Setelah malam itu, Kananta tidak pernah sekalipun bertemu ataupun mendapat kabar dari ibunya. Bahkan kiriman salam pun tidak. Ia mulai bertanya-tanya, mencari jawab pada ayahnya pun sia-sia karena setelah itu Yudho, ayahnya menjadi sering bepergian keluar kota ataupun keluar negeri.
Ia memiliki orangtua tapi rasanya seperti anak sebatang kara di dunia. Ia merasa dikhianati. Dan mulailah ia memendam segala rasa benci, marah, kecewa pada kedua orangtuanya. Namun hari ini ia mendapat semua jawaban.
Tiba di depan ruangan yang bertuliskan ICU, Kananta berdiri berhadapan dengan sang Ayah.
"Ayah, tolong jelaskan ini maksudnya apa?"
"Ibu kenapa bisa begini?"
"Jadi selama ini Ayah bohong?"
"Kenapa, Yah? Kenapa?" Kananta menghardik ayahnya dengan rentetan pertanyaan.
Sementara Yudho, sang Ayah hanya bisa terduduk lemas menghadapi berondongan pertanyaan sang anak semata wayang.
Yudho menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Tak terasa bulir-bulir bening mengalir melewati celah jari-jemarinya. Isak tangisnya pun terdengar.
Kananta berlutut di hadapan sang Ayah. Melihat isak tangis Yudho yang semakin kencang, perlahan amarah dan rutukan yang tadinya membuncah memenuhi pikiran dan hatinya berganti menjadi rasa iba.
Tanpa disadari, Kananta segera memeluk ayahnya erat. Dan pelukan tersebut segera disambut oleh Yudho. Hatinya sudah lelah menyimpan rapat rahasia ini sendiri selama berbulan-bulan.
"Maafin Ayah, Nak! Maaf!" Cukup lama ayah dan anak itu saling berpelukan dalam tangisnya masing-masing.
Setelah sama-sama menenangkan diri, akhirnya Yudho mulai menceritakan segala sesuatunya pada Kananta.
"Nanta, sebenarnya Ibu dan Ayah tidak dalam proses perceraian. Ibumu ... dia sakit." Ditahannya bulir-bulir yang akan kembali mengalir dari pelupuk mata Yudho.
Setelah menarik nafas cukup dalam, Yudho kembali melanjutkan kalimatnya. "Kira-kira enam bulan yang lalu dokter sudah memvonis ibumu mengidap leukemia. Saat itu ibumu masih belum bisa menerima vonis tersebut. Ia marah, kesal, kecewa, bahkan pada Sang Al-Khaliq. Ayah pun ikut terbawa emosi. Maaf jika kami sering ribut di hadapanmu, Nak." Yudho membelai sayang rambut anaknya.
"Beberapa bulan yang lalu akhirnya kami sepakat agar ibumu berobat ke Singapura. Disana kami mendapat kabar jika ada donor sumsum tulang belakang yang cocok untuk ibumu. Tapi ... dua minggu yang lalu setelah ibumu menjalani kemoterapinya yang ketiga, ia mengatakan ingin pulang dan bertemu denganmu. Ayah melarangnya, tapi ... kamu tahu sendiri kan bagaimana ibumu? Akhirnya ayah membawanya pulang kesini, dan tinggal di apartemen untuk sementara sambil mengatur pertemuannya denganmu. Tapi ... tiba-tiba kemarin ibumu drop dan tidak sadarkan diri."
"Lalu kenapa ayah harus berbohong dengan mengatakan kalian akan bercerai?"
"Itu permintaan ibumu, Nak. Dia hanya tidak ingin kamu terlalu sedih jika nantinya memang ..." Yudho tak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Ibumu merasa lebih baik kamu membencinya daripada meneteskan air mata untuknya. Dia tidak ingin dikasihani. Mungkin jika kamu membencinya, akan lebih mudah untuk melepasnya...begitulah isi pikiran ibumu. Ayah pribadi tidak setuju dengan cara ibumu itu. Tapi ..." Yudho melepas nafas sejenak sebelum melanjutkan.
"Semua sudah terjadi. Sekarang sebaiknya kita berdo'a meminta yang terbaik untuk ibumu. Kita belajar untuk ikhlas ya, Nak."
Tak terasa air mata Kananta kembali mengalir untuk kesekian kalinya. Ia mengutuki dirinya sendiri yang selama ini telah salah paham dan bahkan membenci ibunya karena tega meninggalkannya begitu saja tanpa pamit.
Meskipun dibalik rasa benci itu, rasa rindu yang teramat luar biasa akan kehadiran sang ibu membuncah memenuhi relung hatinya.
Kananta memberanikan diri masuk ke dalam ruang ICU yang dijaga oleh 2 orang perawat. Hatinya terasa perih, nyeri seperti tersayat sembilu menatap tubuh ibunya yang lunglai tak sadarkan diri dipenuhi dengan selang-selang yang menancap di beberapa bagian tubuhnya.
Reno menghampiri ibunya yang sedang terbujur tak berdaya lalu menggenggam tangan kirinya.
"Bu, Reno disini. Reno mohon, buka mata Ibu. Reno janji akan menuruti semua permintaan Ibu. Maafin Reno, Bu! Maafin Reno!" Kananta mengecup jemari ibunya lama. Lalu tangis yang sedari tadi sudah terbendung pun pecah kembali.
Tiba-tiba layar monitor persegi hemodinamik menunjukkan garis-garis lurus.
***